5 Prinsip untuk membuat pembelajaran menjadi Playful Learning.

Photo by sigmund on unsplash

Seiring dengan berkembangnya pengetahuan kita mengenai “how people learn” berbagai macam pendekatan pembelajaran yang Playful pun semakin luas diterima, dan semakin banyak diterapkan. Pendekatan ini bukan hanya cocok untuk Anak-anak yang memang kodratnya harus bermain, tapi ternyata hingga remaja maupun dewasa, pendekatan Playful Learning memang masih sangat efektif (Hemmi et al., 2014).

Hal yang membuat pendekatan ini cocok untuk semua orang mungkin karena ada banyak sekali macam Playful Learning. Mungkin yang playing populer adalah Game Based Learning yang memang sudah banyak sekali penelitian yang menunjukan efektifitasnya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Tentu tidak perlu menggunakan Games agar pembelajaran menjadi menyenangkan. Beberapa contoh lain adalah Story Based Learning yang menggunakan cerita seru untuk pembelajaran, atau menggunakan media-media untuk belajar seperti menonton video/film, atau Gamification yang menggunakan elemen-elemen games dalam proses pembelajaran.

Macam-macam Playful Learning ini hanya terbatasi oleh kreativitas Guru dan Murid karena itu jelas masih banyak lagi macam pendekatan Playful. Karena itu berikut adalah 5 prinsip Playful Learning yang bisa membantu Guru untuk menerapkan atau merancang pendekatan playful untuk ruang kelas (Zosh et al., 2018), dan pasti prinsip ini juga bisa diterapkan oleh Orang tua jika ingin belajar sambil bermain bersama Anak-anaknya di rumah. 

Yang lebih kerennya lagi prinsip-prinsip ini juga bisa dimasukan dalam pendekatan-pendekatan belajar yang sudah efektif agar semakin efektif lagi, seperti Project Based Learning atau Problem Based Learning. 

Joyful 

Ini bisa jadi prinsip paling penting yang membuat Playful Learning menjadi, ya Playful. Bahwa kita menikmati proses belajar juga yang membuat Playful Learning sangat bermanfaat. Pertama jelas dari motivasi, kita akan terus semangat belajar saat kita senang. Selain itu kebahagiaan serta emosi positif lainnya membuat pemikiran kita lebih fleksibel dan terintegrasi, dan juga meningkatkan kreatifitas (Isen, 2001).

Hal utama yang membuat kita bisa menikmati sesuatu datang dari diri sendiri, yaitu melakukan hal yang memang ingin kita lakukan bukan karena dipaksa, mencari tau sesuatu karena rasa ingin tahu bukan karena besok akan ada di ujian. 

Untuk menerapkan kita bisa coba bereksperimen, apakah Anak-anak kita masih akan berpartisipasi dengan aktivitas yang kita suguhkan dan belajar meskipun tidak diwajibkan. Jika mereka mau melakukannya, mereka jauh lebih mungkin menikmati prosesnya. 

Selain perasaan senang ini juga memiliki beberapa macam, dan ada yang cocok untuk suasana pembelajaran dan bisa diterapkan. Click link ini untuk membaca artikel yang membahas ini ya!

Active Learning

Jika Anak-anak secara aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran mereka akan jauh lebih memahami konten pembelajarannya dibanding saat mereka mengkonsumsi informasi secara pasif, seperti mendengarkan, membaca, ataupun menonton. Fenomena ini terlihat jelas dari pengalaman-pengalaman pribadi Guru dan juga hasil eksperimen sains (Chi, 2009).

Active learning ini terjadi bukan saat Anak-anak sekedar aktif mengerjakan sesuatu, saat mereka mengerjakan soal yang membutuhkan memori itu bukan berpikir secara aktif, melainkan mengingat. Aktivitas-aktivitas seperti bereksperimen, mengerjakan suatu project, menyelesaikan masalah merupakan bentuk dari berpikir secara aktif (Felder & Brent, 2009).

Berpikir/belajar secara aktif juga bisa sangat sederhana, seperti menanyakan pertanyaan terbuka. Hal ini mendorong Anak-anak berpikir secara aktif karena mereka tidak sekedar menebak iya atau tidak atau mengingat. Melainkan mereka harus mencari tahu bagaimana cara menjawab agar bisa meyakinkan Guru atau teman mereka bahwa mereka benar-benar memahami topik pembelajaran.

Engagement

Student engagement merupakan keterlibatan siswa yang  diukur dengan tingkat perhatian, keingintahuan, minat, optimisme, dan semangat yang ditunjukkan siswa ketika mereka belajar.

Engagement bisa jadi hal yang membedakan antara belajar atau tidak. Saat belajar kita harus memisahkan semua stimulus yang masuk dari panca indra mana yang penting atau tidak dan memfiltrasi pikiran kita agar hanya memikirkan apa yang berhubungan dengan yang dipelajari.

Hal ini membutuhkan usaha mental yang berat, khususnya untuk Anak-anak yang bagian lobus frontal otaknya belum cukup sempurna untuk fungsi eksekutif seperti ini. Namun semua ini akan terjadi dengan sangat mudah, saat “flow” muncul. Kondisi mental dimana kita bisa fokus pada satu hal tanpa usaha.

Dengan Playful Learning kita mencoba meningkatkan engagement bahkan memunculkan flow pada Siswa-siswi kita. Memang menggunakan Games sangat efektif untuk ini, liat aja kalo Anak-anak main games, konsennyaa yaa ampuun. Nah kalo dibahas cara meningkatkan engagement disini pasti artikelnya jadi kepanjangan, tapi untungnya kita sudah punya tips meningkatkan engagement!

Socially Interactive

Fakta bahwa kita makhluk sosial, yang juga belajar lebih efektif dalam kondisi sosial sudah menjadi pengetahuan umm. Teori-teori pembelajaran seperti social cognitive theory oleh Bandura dan zone of proximal development dari Vygotsky telah memberikan banyak kesuksesan saat diterapkan.

Selain membuat belajar lebih efektif, belajar bersama teman-teman juga merupakan hal penting yang membuat belajar menjadi asik!

Fenomena ini pun juga telah diteliti secara rinci, ada sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 1000 orang untuk meneliti sebenarnya apa sih itu “fun”?  Salah satu tipe fun yang mereka temukan adalah sociability, yaitu senang karena bersama-sama (McManus & Furnham 2010).

Sepertinya prinsip ini yang paling mudah diterapkan di antara prinsip-prinsip lain. Ingin Anak-anak lebih menikmati proses belajar? Ya ajak mereka buat belajar sama temen-temennya aja…

Meaningful

Meaningful, atau penuh arti dalam konteks pendidikan sering dimaksud sebagai konten pembelajaran yang terhubung secara personal dan nilai-nilai yang dipegang, atau bisa juga pelajar anggap penting, berhubungan dengan pengalaman pribadi, dan minat pelajar.

Seperti Siswa-siswi yang melihat contoh soal pecahan di papan tulis akan menemukan lebih banyak meaning saat mereka ditanyakan kue ini harus diapakan agar semua teman-teman kalian bisa mendapatkan porsi yang sama.

Tentu pelajar yang baik bisa menemukan arti dibalik setiap ilmu yang mereka pelajari, tapii jelas tidak semua orang bisa melakukan ini, apa lagi Anak-anak. Melainkan kita bisa membuat topik pembelajaran lebih berarti untuk Siswa-siswi kita.

Maka hal yang paling sederhana adalah menghubungkan topik pembelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari atau nilai yang mereka pegang, lebih baik lagi jika dilakukan dengan pertanyaan terbuka. 

Seperti pelajaran sejarah tentang perang kemerdekaan, kita bisa tanyakan, “menurut kalian kenapa nenek moyang kita rela menyerahkan nyawa mereka demi merdeka?” Pertanyaan ini menghubungan mereka dengan nenek moyang mereka, dan nilai yang kita pengang bersama bahwa penjajahan adalah tindakan yang immoral.

Dengan pertanyaan ini meskipun mereka tidak menjawab mereka akan lebih tertarik mendengarkan kondisi sejarah kita saat dijajah dan materi lain yang berhubungan dengan perang kemerdekaan atau penjajahan.

Sumber:

Chi, Michelene. T. “Active-Constructive-Interactive: A Conceptual Framework for Differentiating Learning Activities.” Topics in Cognitive Science 1, no. 1 (2009): 73–105.

Felder, R. M., & Brent, R. (2009). Active learning: An introduction. ASQ higher education brief, 2(4), 1-5.

Hemmi, A., Narumi-Munro, F., Alexander, W., Parker, H., & Yamauchi, Y. (2014). Coevolution of mobile language learning: Going global with games consoles in higher education. British Journal of Educational Technology

Isen, Alice M. “An Influence of Positive Affect on Decision Making in Complex Situations: Theoretical Issues with Practical Implications.” Journal of Consumer Psychology 11, no. 2 (2001): 75–85.

McManus, I. C., & Furnham, A. (2010). “Fun, fun, fun”: Types of fun, attitudes to fun, and their relation to personality and biographical factors. Psychology, 1(03), 159.

Zosh, Jennifer M., Kathy Hirsh-Pasek, Emily J. Hopkins, Hanne Jensen, Claire Liu, Dave Neale, S. Lynneth Solis, and David Whitebread. “Accessing the Inaccessible: Redefining Play as a Spectrum.” Frontiers in Psychology 9 (2018): 1124.