Ada satu cerita yang mungkin kita semua masih ingat. Tentang seorang gadis yang baik hati, dan saudara tiri nya yang…. kebalikan nya. Setiap kali ada hal baik yang terjadi pada sang gadis itu, saudara tiri nya pasti gak mau terima, dan ingin mendapatkan yang lebih baik.
Hingga suatu hari sang gadis mendapatkan labu berisi emas dari seorang penyihir. Seperti biasa, saudara tiri nya iri dan tidak mau kalah, dan meminta labu kepada penyihir itu juga. Tapi ternyata isi labu yang dia ambil dengan dengki itu berisi ular berbisa!
Kita pasti tau ini cerita apa. Meskipun cerita rakyat ini berasal dari Riau, setiap orang Indonesia pasti mengenal nya, Bawang Merah dan Bawang Putih.
Cerita ini, seperti banyak cerita lain nya memiliki pesan moral, yang dapat dipahami dengan mudah oleh orang-orang, apalagi anak-anak. Saat anak-anak di ceritakan Bawang Merah, Bawang Putih mereka belajar berempati dengan karakter-karakter nya. Mereka bisa memahami bahwa iri, dengki adalah sifat-sifat yang memberikan hasil yang buruk, dan sifat-sifat baik hati nya Bawang Putih patut untuk di contoh.
Nah, bayangkan jika anak-anak tidak diceritakan ini, tapi malah di ceramahin, “Hey anak-anak, kalian jangan gampang iri ya! Jangan dengki juga!”
Kira-kira cara mana yang lebih ampuh?
Proses belajar mengajar ini adalah hal yang membuat manusia bisa menjadi makhluk yang berhasil mendominasi dunia ini bahkan suatu saat, luar angkasa. Dan sebelum ada nya institusi pendidikan, nenek moyang kita tetap harus bisa mengajarkan hal-hal penting kepada anak-anak nya agar mereka bisa bertahan hidup, dan melanjutkan spesies manusia.
Mereka memiliki berbagai macam cara, salah satu nya tentu adalah bermain. Tapi ada satu cara lain, yang mungkin sudah diteliti lebih dalam lagi adalah storytelling (Rossiter, 2002). Penggunaan narasi di dalam pendidikan memang sudah sangat populer, bahkan sudah ada ratusan buku mengenai pendidikan dan narasi.
Di antara guru-guru kreatif di sini pasti sudah banyak yang menerapkan. Tapi tidak ada salah nya kita mempelajari bersama, kenapa nasi bisa efektif untuk mengajar. Tentu mempelajari ini akan memberikan kita wawasan lebih dalam mengenai penggunaan cerita dalam mendidik.
Perhatian Murid
Untuk memastikan sesi belajar bisa mewujudkan hasil yang bermakna ada hal yang harus diperhatikan sebelum belajar. Yaitu kondisi psikologis murid-mudi, apakah mereka siap belajar? Apakah mereka sanggup memberikan perhatian sepenuhnya kepada materi pembelajaran?
Di sini letak manfaat penggunaan narasi untuk mengajar. Manusia terbiasa memberikan perhatian yang tinggi saat sebuah informasi disampaikan melalui cerita. (Rijinja & Van der Jagt, 2004). Jika orang dewasa saja lebih senang mendengarkan cerita di banding ceramah, apalagi anak-anak.
Salah satu tantangan pendidikan adalah motivasi pelajar. Kita tahu bahwa masih banyak anak-anak kita yang tidak suka belajar. Mungkin di sini narasi bisa menjadi solusi nya, kita bisa mencoba membuat materi-materi pembelajaran menjadi menarik dengan ada nya narasi di kelas kita, tentu nya agar mereka lebih semangat belajar.
Meningkatkan daya ingat
Ada konsensus dalam literatur bahwa storytelling adalah sarana yang sangat alami dan powerfull untuk menyampaikan, mempelajari, dan menyimpan informasi (Eck, 2006) sederhana nya, apa pun yang kita pelajari lewat cerita lebih mudah teringat oleh kita.
Salah satu alasan nya adalah faktor emosi. Bahwa di sebuah cerita kita tidak hanya mengkonsumsi informasi, tapi cerita juga mengeluarkan emosi yang kuat. Di saat emosi ini ada bagian kognitif otak aktif dan sanggup menyimpan informasi baru (Perry, 2005)
Jika kita bisa bercerita dengan baik, dan mengajak murid kita naik emotional roller coaster bersama, sesi pembelajaran pasti menjadi sangat mengesankan.
Wawasan yang luas
Sebuah cerita memiliki berbagai macam tokoh, dengan motivasi, tantangan dan keinginan yang berbeda-beda, dan mengalami perjalanan yang penuh arti. Dari sebuah cerita manusia belajar memahami berbagai macam pandangan dunia, dan pengalaman hidup (Rossiter, 2002).
Seperti yang kita lihat di contoh cerita Bawang Merah, Bawang Putih anak-anak bisa mempelajari karakter yang baik dan buruk dari sebuah cerita. Belajar dari cerita memberi kita kesempatan untuk belajar dari pengalaman tokoh itu, atau orang lain ketika cerita itu sebuah kisah nyata.
Dalam kata lain, cerita memungkinkan kita untuk menghidupi ratusan kehidupan lain, dan belajar dari setiap kehidupan itu. Dari sini, karakter dan moralitas kita akan terbentuk dengan baik, sehingga kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.
Sumber:
Eck, J. E. (2006). An Analysis of the Effectiveness of Storytelling with Adult Learners in Supervisory Management (Doctoral dissertation, University of Wisconsin-Stout).
Rijnja, R. van der Jagt. (2004) Storytelling: the power of stories in communication, Kluwer, Alphen aan de Rijn, 2004.
Perry, B. (2005). How the brain learns best. Scholastic Inc, 11 O(4). Retrieved June 1,2005 from the Ebsco Host database. Psychological foundations of organizational behavior
Rossiter, M. (2002). Narrative and Stories in Adult Teaching and Learning. ERIC Digest.