Game Sebagai Media Pembelajaran Anak Bisa Berhasil Bila Anda Melakukan Ini

Game Sebagai Media Pembelajaran Anak Bisa Berhasil Bila Anda Melakukan Ini

Ketika menerangkan materi ajar baru, baik orang tua maupun guru suka menyampaikan pada anak lewat metode permainan (game). Misalnya, untuk belajar menghitung, Anda menggunakan buah-buahan sebagai media pembelajaran. Begitu juga dengan game sebagai media pembelajaran anak Anda.

Tentu saja bisa menjadi menyenangkan, anak bebas dari rasa tegang seperti sedang berada di dalam kelas. Meskipun begitu, kerapkali terdapat kesalahan yang sering dilakukan oleh pengajar, maupun orang tua saat mengenalkan game pada anak.

Game dan konten pembelajaran itu ibarat makan soto dan nasi. Game adalah soto, sedangkan konten itu nasi. Gimana jadinya kalau soto semangkuk ditumpahi nasi sebakul besar? Bukan soto nasi jadinya, tapi nasi basah,” kata Eko Nugroho, Game-based Learning Expert Indonesia di acara Ngobrol Game yang dihadiri juga para pengajar se-Jabodetabek di Code Margonda, Depok pada Sabtu (3/2).

Sederhananya, jadi tidak berimbang. Bisa-bisa, 
game tersebut bukannya membuat anak lebih mudah mengerti, tapi justru semakin membuat bingung mereka. Nah, bagaimana kah cara agar game bisa jadi media pembelajaran untuk anak Anda? Simak pemaparannya di bawah ini. 

KumparanMom (kumparan.com) merangkum hal-hal yang sebaiknya tidak perlu dilakukan para pengajar atau orang tua ketika akan menjadikan game sebagai media pembelajaran anak, sebagai berikut:

Mengabaikan Teknik ‘Soto Asin’

Eko menyebut, game sebagai pembelajaran bisa dianggap berhasil jika dapat membuat anak terpancing ‘menambah’ porsi nasi, yang berarti konten secara sukarela.

Singkatnya, game semestinya bisa menstimulasi anak agar dapat lebih mengerti dan belajar lebih baik. Prinsipnya, berikan secara berimbang. Pecah-pecahlah materi ajar yang kompleks, secara sederhana menggunakan analogi atau permainan, sehingga mudah dimengerti anak.

 


Tidak menghargai proses game sebagai media pembelajaran anak

Satu hal yang tak kalah penting, keberhasilan game sebagai pembelajaran bukan menjadikan anak langsung juara saat ujian. Tapi, mesti menghargai proses. Ada proses berpikir, berdiskusi, memahami hingga bisa bernalar kritis.

Itu semua adalah proses yang perlu dimengerti pengajar, termasuk Anda sebagai orang tua. Hargai proses belajar anak, serta sesuaikan dengan kemampuannya, Moms.

Selamat belajar dengan cara menyenangkan!

#ngobrolgame: Tantangan Terbesar eSports di Asian Games

#ngobrolgame: Tantangan Terbesar eSports di Asian Games

Asian Games 2018 di Indonesia menjadi ajang yang isimewa, bukan hanya karena ini merupakan perayaan olahraga terbesar di Asia dan menjadi bagian perayaan kemerdekaan kita yang 73, namun juga karena untuk pertama kalinya electronics sports (eSports) diperkenalkan sebagai salah satu demo sport atau cabang olahraga eksibisi.

Lalu mengapa hal tersebut menjadi penting?
Setelah catur (board game) dan Bridge (card game) diakui sebagai bentuk olahraga resmi, maka pengakuan terhadap eSports (digital game) makin melengkapi pandangan dunia bahwa game adalah sebuah media yang memiliki potensi luar biasa, lebih dari sekedar hiburan semata. Dampak lainnya tentu adalah industrinya akan berkembang semakin pesat.

Exposure terhadap berbagai bentuk game (online) juga akan semakin kuat. Hal ini telah dimulai pada akhir Juli lalu ketika salah satu perusahaan televisi swasta nasional menyiarkan secara langsung grand final Mobile Legends Southeast Asia Cup 2018.

Melihat sejarahnya, eSports bukanlah sesuatu yang baru. Event eSports pertama tercatat diadakan pada bulan Oktober 1972 di Kampus Universitas Stanford. Saat itu para peserta saling berkompetisi dengan video game Spacewar dan pemenangnya mendapatkan langganan gratis majalah Rolling Stone selama setahun.

Namun baru pada tahun 1980 eSports mulai mendapat perhatian luas. Pada tahun itu The Space Invaders Championship tercatat dihadiri oleh 10.000 peserta. Sejak saat itu eSports terus berkembang.
Berdasarkan data dari esportsearnings.com ada 3.765 turnamen eSports yang diselenggarakan dan total uang hadiah yang diberikan mencapai angka fantastis $110.6 juta. Salah satu turnamen tercatat bahkan memberikan hadiah total $24,6 juta. Dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, eSports diproyeksikan akan tumbuh semakin pesat.

Ada banyak harapan bahwa dengan hadirnya eSports sebagai salah satu cabang olahraga ekshibisi akan mengikis stigma negatif terkait (online) game secara umum. Dengan potensinya yang begitu luar biasa, perkembangan eSports, termasuk di Indonesia adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Pertanyaannya, apakah kita sungguh siap untuk bisa berkontribusi di panggung eSports dunia? apakah kita akan mampu mengoptimalkan panggung eSports untuk mengharumkan nama baik Indonesia?

Apakah kita juga mampu ikut mengoptimalkan potensi bisnis/industri eSports sebagai ruang untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia kita – dan bukan sekadar mengeruk keuntungan jangka pendek semata?

Melihat semua perkembangan yang ada, fakta bahwa eSports diperkenalkan sebagai cabang olah aga eksibisi di Asian Game 2018 yang diselenggarakan di indonesia, berbagai talenta yang kita miliki, serta perkembangan teknologi saat ini – saya percaya atlet-atlet eSports Indonesia bisa berkontribusi mengharumkan nama bangsa.

Dengan sedikit dukungan serta program yang tepat, eSports (seperti halnya semua cabang olah raga lainnya) bisa menjadi ruang untuk mengembangkan sumber daya manusia (talenta) yang potensial.
Selama hal ini masih saja kita pelihara, akan sulit untuk bisa mengoptimalkan segala potensi yang ada. Dalam jangka panjang – stigma dan ketidakpedulian kita, akan menghambat pertumbuhan talenta eSports kita, pada akhirnya mereka hanya jadi sekedar tunas dan tidak pernah tumbuh kuat sebagaimana seharusnya.

Kita telah memasuki gaming-era, satu masa ketika game menjadi bagian integral dari keseharian kita. Saatnya kita sama-sama belajar untuk mengoptimalkan potensinya. Hal ini menjadi penting, karena ini bukan lagi soal kita – ini soal memberi kesempatan anak-anak kita untuk bisa berkarya dengan bahagia!

 

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: Mau Belajar Lewat Game, Indonesia Harus ke Amerika Dulu?

#ngobrolgame: Mau Belajar Lewat Game, Indonesia Harus ke Amerika Dulu?

Apakah game benar-benar efektif untuk proses pembelajaran? Apakah pendekatan game-based learning sungguh bisa diimplementasikan oleh guru/orang tua? Apakah game bisa dikembangkan untuk mendukung kurikulum yang ada?

Di banyak kesempatan saya selalu mendapat pertanyaan tersebut, menariknya pertanyaan tersebut sudah saya dapat sejak beberapa tahun lalu ketika pertama kali kembali ke Indonesia dan masih saya dapat hingga saat ini. Apakah ini artinya kita belum cukup bukti, atau mungkin kita hanya berkeras hati – karena hal tersebut belum jadi sesuatu yang trendi?

Seminggu kemarin adalah minggu pertama kunjungan saya di MIT education arcade, sebuah program khusus yang dikembangkan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) untuk melakukan penelitian dan pengembangan berbagai game dan metode pembelajaran interaktif. Diinisiasi sejak 2001, MIT education arcade telah terlibat di banyak pengembangan game edukasi, pemberdayaan guru, serta berbagai pengembangan teknologi edukasi baik di U.S juga di berbagai negara lainnya.

Selama satu minggu kemarin beruntung bisa belajar dan terlibat banyak diskusi dengan Scot Osterweil, Creative Director dari MIT Education Arcade, berdiskusi dengan beberapa partner, juga terlibat di salah satu seminar ilmiah mereka.

Di hari ketiga, misalnya, saya berkesempatan hadir dalam sebuah simposium di MIT Media Lab yang secara khusus membahas banyak hal terkait tema, narasi, dan konten kolonialisme pada berbagai judul board game. Simposium tersebut secara umum memberikan penekanan bagaimana elemen-elemen pada sebuah game bisa jadi ruang untuk menyampaikan sebuah pesan secara efektif atau malah menyamarkannya.

Simposium ini dihadiri banyak pihak dari mulai para peneliti, praktisi pendidikan, juga profesional termasuk juga Sydney Engelstein, salah satu desainer game terkenal Space Cadet. Banyak diskusi yang menarik dan bisa jadi bekal untuk memperkaya apa yang telah dilakukan di Indonesia.

Fakta bahwa MIT, sebuah institusi pendidikan terbaik di dunia mengembangkan program khusus dengan fokus pada game untuk pembelajaran, pengembangan proses pembelajaran interaktif, serta pemberdayaan guru sesungguhnya memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan di atas.

Bahwa kemudian mereka juga terlibat di berbagai program pengembangan potensi game dan kapasitas guru di berbagai negara – juga merupakan sebuah sinyal bahwa banyak negara telah melihat hal yang sama.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kenapa kita belum mulai benar-benar memanfaatkan game untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita? Mengapa kita belum sungguh-sungguh melatih guru untuk mampu mengoptimalkan potensi game?

Bisa hadir di MIT adalah bentuk pengakuan bahwa Indonesia memiliki kemampuan untuk menghadirkan game serta program game-based learning yang terbukti memberi dampak positif. Bahwa implementasi game-based learning belum mendapatkan dukungan penuh di Indonesia – mungkin hanya soal waktu.

Saya selalu percaya bahwa Indonesia adalah negara besar, sehingga kadang lebih mudah mendapatkan pengakuan dari negara lain lebih dulu. Atau mungkin kita perlu minta bantuan inces Syahrini? Agar pendekatan game-based learning segera bisa jadi sesuatu yang trendi dan memotivasi lebih banyak pihak untuk ikut berpartisipasi.

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: Game Tahunan Bernama ‘Mudik’ yang Makin Asyik

#ngobrolgame: Game Tahunan Bernama ‘Mudik’ yang Makin Asyik

“Mas katanya sampeyan game designer, kenapa gak bikin game tentang mudik? khan seru!” Tanya seorang kerabat yang kebetulan mampir ke rumah lebaran kemarin.

“Bukan ndak mau, tapi lha wong mudik emang pada dasarnya sebuah game kok! Bedanya, tahun ini game designer-nya agak mikir. Makanya lumayan bisa kita nikmati!” jawab saya sambil nyemil rendang dan opor tanpa nasi – tapi pakai ketupat pastinya.

“Mudik kok game? Gimana ceritanya?” Tanyanya lagi entah memang penasaran atau cuma cari alasan agar bisa duduk lebih lama menikmati hidangan lebaran.

“Gini lo kangmas, kita bisa melihat fenomena mudik sebagai sebuah game. Dalam konteks game, maka pemerintah berperan sebagai game designer dan kita (masyarakat) berperan sebagai pemain. Setiap game setidaknya memiliki 2 komponen utama: objektif dan gameplay. Objektif dari tiap pemain umumnya adalah tiba di tujuan dengan selamat dalam waktu tempuh yang wajar. Gameplay dari game ‘mudik’ ini adalah berbagai kombinasi pilihan yang dimiliki oleh pemain, diantaranya: pilihan rute, pilihan moda transportasi, dan pilihan waktu perjalanan,” jawab saya.
Pemudik melintasi tol fungsional Salatiga-Solo. (Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)

“Setiap pilihan (yang kita miliki) adalah konsekuensi dari berbagai ‘(game) mechanics’ yang telah disiapkan. Pengembangan infrastruktur, peraturan cuti bersama, berbagai operasi/pengaturan lalu lintas, adalah beberapa contoh ‘mechanics’ yang disiapkan sehingga kita memiliki berbagai pilihan tersebut di atas. Karena mudik memiliki objektif dan gameplay, mudik pada dasarnya bisa kita lihat sebagai sebuah game!” Lanjut saya jawab panjang lebar sekalian menunggu waktu yang tepat untuk mengambil porsi makanan utama – setelah cemilan pembuka opor dan rendang tidak lagi bersisa.

“Kalo emang mudik ini sebuah game, terus siapa yang menang?” Tanyanya lagi sambil mendahului saya mengambil sepotong rendang terakhir yang ada di meja.

“Gak semua game itu soal menang kalah. Seorang game designer yang baik akan fokus mendesain sebuah game yang memberikan kesempatan bagi setiap pemain untuk bisa mencapai objektifnya seoptimal mungkin, dengan memperhatikan berbagai batasan yang ada tentunya. Secara umum mudik tahun ini kita diberi pilihan rute yang lebih menarik, pilihan moda transportasi yang lebih baik, dan pilihan waktu yang lebih banyak. Bukan cuma itu, berbagai pengaturan lalu lintas, fasilitas pendukung juga disiapkan untuk memastikan game ‘mudik’ kita menyenangkan. Hasilnya data kecelakaan menurun drastis dan waktu tempuh rata-rata juga jauh lebih baik. Ini sebuah tanda bahwa pemerintah sebagai game designer ‘mudik’ tahun ini sepertinya telah jauh lebih paham bagaimana mendesain game dengan baik. Kita tidak menutup mata, kecelakaan masih terjadi. Budaya tertib lalu lintas kita yang masih rendah, kendaraan yang tidak layak jalan, dan waktu istirahat pengemudi yang kurang menjadi beberapa faktor penyebabnya. Di tahun mendatang, kita bisa menerapkan konsep game (gamification) untuk memotivasi tiap pemudik agar lebih memperhatikan berbagai hal tersebut. Saya optimis bahwa dengan menerapkan konsep game (gamification) yang tepat kita bisa menekan jumlah kecelakaan secara lebih signifikan,” jawab saya sambil menyesali diri karena kurang cepat mengambil potongan rendang terakhir.

“Iya, bener mas. Mudik sekarang lebih menyenangkan. Tapi kok masih aja ada yang sebar-sebar hoaks jalan miring 50 derajat dan nyinyir macem-macem ya mas?” Tanyanya lagi.

Setelah menghela napas mengiklaskan potongan rendang yang tidak berhasil saya dapatkan, saya coba menjawab: “Ketika mendesain sebuah game, kita harus memahami berbagai tipe pemain yang mungkin terlibat. Prof. Richard Bartle* — seorang game researcher dari Essex University Inggris — membagi pemain ke dalam 4 type utama:

1. Explorer, pemain yang suka mengeksplorasi. Sambil mudik biasanya suka cari spot-spot yang instagramable.

2.
Achiever, pemain yang suka jadi yang paling depan, paling banyak bawa oleh-oleh, paling keren. Contohnya mereka yang tiap mudik bawa motor baru, mobil baru, pacar atau bahkan istri baru.

3.
Socializer, yang tiap mudik sukanya rame-rame, sambil mampir-mampir silaturahmi. Gak penting sampai-nya cepet atau lama, selama di jalan punya banyak temen ngobrol dan cerita mereka happy.

4.
Killer atau Disruptor, type pemain yang sukanya cuma menggangu yang lain. Tipe ini yang kemungkinan besar berpartisipasi menyebar hoaks dan nyinyir macem-macem selama mudik kemarin. Mudik didesain untuk semua tipe pemain tersebut. Jadi jangan heran klo memang ada yang sebar-sebar hoaks dan nyinyir segala hal.”

Ilustrasi arus mudik di stasiun KA

Ilustrasi arus mudik di stasiun KA (Foto: Hafidz Mubarak A./ANTARA)

“Oooo gitu ya! Ternyata pemahaman tentang game (design) itu bisa diimplementasikan konteks mudik juga ya! Keren mas! Kalau soal pilkada dan pilpres bagaimana mas?” Tanyanya lagi tampak serius penasaran.

“Ya bisa banget, bahkan kalo mau kita bisa implementasikan game untuk memotivasi swing voters lebih efektif! Tapi itu nanti aja kita obrolin lagi!” Jawab saya mengakhiri obrolan setelah melihat Bibi me-refill mangkuk rendang di meja.

***

* Richard Bartle adalah seorang profesor, computer scientist, dan game researcher dari Essex University Inggris. Pada tahun 1978 ia bersama rekannya mengembangkan sebuah sebuah (online) text-based multi-player role-playing game yang kemudian dikenal dengan nama MUD (Multi-User Dungeon). MUD kemudian menginspirasi pengembangan berbagai bentuk online role playing game yang kita kenal saat ini. Penelitiannya terkait berbagai tipe pemain MUD dikenal sebagat Bartle Taxonomi dan menjadi salah satu rujukan utama untuk memahami tipe-tipe pemain.

Gambar Ilustrasi: Alexandra (via Pixabay) didistribusikan di bawah lisensi Creative Commons. Visual Bartle Taxonomy: Wikipedia.org

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: Hindari Depresi, Bermainlah Sepenuh Hati!

#ngobrolgame: Hindari Depresi, Bermainlah Sepenuh Hati!

Seminggu belakangan ini berbagai media memberitakan kasus bunuh diri Kate Spade dan Anthony Bourdain. Depresi diduga menjadi menjadi faktor pemicu utama. dan saya sadar sepenuhnya bahwa depresi bisa mengancam siapa saja.

Tahun 2003 saya memutuskan berhenti dari pekerjaan untuk melanjutkan kuliah di salah kampus di Jerman. Hampir tanpa persiapan dan hanya berbekal tabungan seadanya saya berangkat penuh keyakinan bisa mendapatkan pekerjaan sampingan untuk mendukung kehidupan saya di sana. Beberapa bulan berlalu, tabungan hampir tidak bersisa dan pekerjaan sampingan tidak semudah yang saya bayangkan. Merasa gagal, frustasi, menyesali banyak hal jadi santapan setiap hari. Saat itu saya tidak tahu apa itu depresi, yang saya tahu berat badan saya menurun, saya insomnia, dan saya tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun. Hingga suatu ketika seorang teman mengundang saya ikut makan malam bersama keluarganya yang kebetulan sedang berkunjung. Selesai makan, ayahnya membuka sebuah kotak besar (yang pada akhirnya saya tahu adalah sebuah board game berjudul Catan). Ia kemudian menjelaskan peraturannya dengan bahasa Jerman yang sedikitpun tidak saya mengerti. Dengan pemahaman seadanya, didukung bahasa tubuh sebisa-bisa, saya ikut bermain bersama. Hampir 2 jam kami bermain bersama, bertukar sapa dalam bahasa yang beda, dan berbagi gembira. Tanpa disangka saya berhasil menang dan semua bergantian memeluk saya. Bahkan saya masih ingat ketika sang Ayah menepuk pundak saya dan berkata “Gutes spiel!”. Saat itu kembali saya merasakan bangga dan bahagia.
Hari itu mengubah pandangan saya terhadap game sepenuhnya. Saya melihat melihat sebuah media yang mampu mendekatkan kami yang bahkan tidak bicara dalam bahasa yang sama. Satu media yang membuat sebuah keluarga (asing) bersedia memeluk saya. Satu media yang membantu saya menemukan kembali semangat, bangga, dan bahagia saya. Sejak hari itu, bagi saya pribadi banyak hal menjadi lebih baik dan saya percaya sepenuhnya bahwa game bisa menjadi sebuah media yang mampu hadirkan banyak perubahan baik. Hari itu saya berjanji untuk selalu coba hadirkan game terbaik yang saya bisa.

Pada bulan September nanti, bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung, Institute of Mental Health Singapore, University of New South Wales Australia, dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui dana hibah Australia Global Alumni, kami akan melakukan pilot program sebuah implementasi pembelajaran berbasis game untuk meminimalisir stigma dan membangun pemahaman terkait depresi di kalangan siswa SMA dan Mahasiswa.

Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 lalu menunjukkan bahwa ada sekitar 6% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas, atau sekitar 14 juta orang, yang mengalami gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan. Tahun 2017 lalu World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa depresi menjadi penyebab utama masalah kesehatan dan ketidakmampuan di seluruh dunia. Diperkirakan ada sekitar 300 juta orang menderita depresi dan angka penderita depresi telah naik lebih dari 18 persen sejak 2005. Hal ini yang kemudian memotivasi WHO untuk menjalankan kampanye “Depression: Let’s Talk”.

“Let’s Talk!” Ayo bicara, ayo ngobrol, ayo berbagi! Walau terkesan sederhana, aktivitas bicara, ngobrol, berbagi sungguh menjadi solusi terbaik untuk meminimalisir bahaya depresi. Untuk mendukung hal tersebut, yang kita perlukan mungkin adalah menumbuhkan kembali budaya untuk melakukan aktivitas sehat bersama. Bermain bersama di setiap keluarga mungkin adalah salah satu bentuk implementasi terbaiknya. Dalam konteks ini saya percaya game, khususnya board game, bisa menjadi sebuah media yang tepat untuk mendukung hal tersebut. Bayangkan jika setiap minggu, 1-2 jam saja, setiap keluarga menyempatkan diri untuk bermain bersama dan merasakan apa yang pernah saya rasakan sebelumnya. Mungkin itu akan menjadi ruang terbaik untuk kita saling menjaga, untuk bisa saling bicara, untuk saling ngobrol, untuk bisa saling berbagi sepenuh hati. Ketika ini terwujud, kita mungkin tidak perlu lagi terlalu khawatir akan bahaya depresi.

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

 

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: Soal Game, Jangan Sampai Kita Blunder

#ngobrolgame: Soal Game, Jangan Sampai Kita Blunder

Malam itu 61.561 penonton di NSC Olimpiyskiy Stadium di Kiev, Ukraina dan jutaan pasang mata lain di seluruh dunia menyaksikan 2 kali blunder Loris Karius memupus harapan Liverpool untuk mendapatkan gelar apapun di musim ini.

Kita umumnya mengenal blunder sebagai sebuah situasi di mana seorang pemain bola melakukan kecerobohan sehingga mengakibatkan gawangnya kebobolan. Tapi kata blunder sendiri tidak dikhususkan hanya untuk pertandingan bola semata.
 
Kata blunder juga dikenal dalam catur sebagai penggambaran sebuah pengambilan keputusan/langkah yang ceroboh, sebuah bentuk kepercayaan diri yang berlebih, sehingga salah perhitungan dan pada akhirnya merugikan diri sendiri.
 
Mungkin cara pandang kita terhadap game selama ini juga merupakan sebuah blunder tersendiri.
 
April lalu perusahaan riset, Newzoo, meliris laporan terbaru terkait industri digital game global yang mereka prediksi akan mencapai nilai 137,9 milyar dolar pada 2018 ini, naik 16,2 milyar dolar atau 13,3% dari tahun sebelumnya. Di sisi lain industri board game global juga berkembang pesat.
 
Pada 2017 lalu nilai industri board game global telah mencapai lebih dari 9 milyar dolar dan diprediksi akan terus meningkat. Jika kita jumlahkan, maka kita bicara sebuah industri dengan nilai total hampir 150 milyar dolar –sebuah nilai yang luar biasa.
 
Mengapa kita harus peduli dengan semua angka tersebut?
 
Sederhana, angka-angka di atas menunjukkan bahwa industri game dengan semua pertumbuhannya akan mendorong game, dalam segala bentuknya (digital ataupun board game) semakin dekat dengan anak-anak kita, lebih dari media lainnya. Tanpa kita sadari, mungkin hal ini telah mulai terjadi. Oleh karena itu, setiap keputusan untuk menjauhkan anak-anak kita dari game, ketidakpedulian kita akan segala potensi dari game, serta keengganan kita untuk memanfaatkan game untuk mendukung perubahan positif mungkin adalah sebuah blunder besar.
 
Kita memiliki talenta, konten, serta kemampuan untuk menghadirkan industri game Indonesia yang berdikari (bermakna, mendidik, dan mandiri). Industri game yang bukan hanya mampu berkontribusi secara ekonomi, namun juga mampu ikut memotivasi kebanggaan akan Indonesia, berkontribusi untuk menjaga berbagai nilai budaya yang kita miliki, berkontribusi aktif untuk melatih kemampuan berpikir kritis, serta berkontribusi untuk meningkatkan literasi di seluruh negeri.
 
Game mungkin adalah sebuah media paling efektif untuk jadi solusi berbagai masalah yang saat ini kita hadapi. Blunder kita, kesalahan cara pandang kita terhadap game, bisa membuat kita kehilangan itu semua.
 
Bagaimana caranya agar blunder tersebut bisa kita hindari?
 
Menjauhkan anak-anak kita dari game sudah bukan lagi pilihan, meningkatkan pemahaman kita akan potensi positif game – dan bagaimana pemanfaatannya secara optimal untuk mendukung proses interaksi (dan pembelajaran) yang positif mungkin jadi pilihan yang lebih bijaksana.
 
Sudah waktunya kita juga belajar lebih peduli dan mulai melihat potensi game dari berbagai sisi, dengan begitu kita memiliki kemampuan untuk memilah, memilih dan menseleksi – memastikan hanya game dengan konten dan potensi terbaik yang hadir di setiap rumah kita.
 
Keengganan untuk bermain bersama anak-anak kita harus mulai kita kikis. Aktivitas bermain harus menjadi salah satu aktivitas prioritas kita, karena lewat bermain (game) kita sesungguhnya berlatih berpikiran terbuka dan berlatih menghargai berbagai perbedaan yang ada. Jika kita bisa melakukannya secara konsisten bersama-sama, banyak hal baik yang mungkin bisa sungguh-sungguh kita hadirkan untuk Indonesia.
 
Disclamer: Penulis adalah fans Manchester United dan Persib. Tulisan ini ditulis tanpa kepentingan membela Fans Liverpool atau Real Madrid.
 
Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: Apa Hubungan Bermain Tetris, Terror, dan Hoaks?

#ngobrolgame: Apa Hubungan Bermain Tetris, Terror, dan Hoaks?

Tetris, sebuah game yang diciptakan oleh Alexey Pajitnov, seorang ahli komputasi dari Rusia pada Juni 1984 mungkin jadi salah satu game yang penting untuk bisa kita mainkan lebih sering. Ketika bermain tetris, kita melakukan analisa terhadap berbagai faktor, dari mulai bentuk kepingan puzzle yang mulai turun, kepingan selanjutnya yang akan muncul, kepingan-kepingan puzzle lain yang sudah tersusun di bagian bawah, lokasi mana yang paling tepat, serta semua keuntungan/risiko yang mungkin muncul dari peletakan kepingan puzzle tersebut.

Semua kita lakukan dalam waktu yang relatif singkat dan berulang kali. Tetris (dan juga berbagai game dengan genre atau puzzle mechanics lain) melatih kita untuk menganalisa, berpikir kritis, mempertimbangkan segala bentuk risiko/keuntungan, dan mengambil keputusan yang tepat dalam waktu singkat/terbatas.

Sayangnya kita sepertinya memang sudah tidak sempat lagi bermain tetris.

Bukan hanya satu dua kali berita terkait teror di berbagai tempat di Indonesia jadi headline selama berhari-hari. Bukan hanya di media resmi, berbagai berita yang tidak jelas sumbernya juga bertebaran melalui sosial media dan aplikasi pesan (messenger) langsung ke perangkat mobile kita.

Sebagian dari kita mungkin langsung membagikan berita-berita tersebut ke saudara, rekan, dan teman tanpa berpikir panjang – hanya karena pengirim sebelumnya adalah saudara/rekan dekat kita. Dalam hitungan menit, berita-berita hoaks tersebar secara luas. Tanpa kita sadar, penyebaran berita tersebut adalah bagian dari strategi teror itu sendiri.

Kenapa kadang kita begitu mudah menyebarkan sebuah berita tanpa memeriksa kembali validitas berita tersebut? Tanpa mempertimbangkan apakah itu hal yang baik atau tidak. Ini bukan kali yang pertama, mungkin sudah jadi bagian keseharian kita.

Kita begitu mudah membagi satu berita hanya dengan pertimbangan suka, sepakat, atau demi banyak like/komentar semata. Dari satu group ke group lainnya, dari satu timeline ke timeline lainnya. Apakah itu pantas atau tidak, fakta atau hoak, benar atau fitnah, kita tidak peduli.

Karena kebiasaan kita tersebut, di negeri ini segelintir oknum bisa membuat gosip bahkan fitnah jadi seakan fakta, tersebar begitu luas, berkali-kali. Kesalahan kita dalam meyebarkan hal itu pun seakan-akan bisa selesai dengan memohon maaf ala kadarnya.

Apakah kebiasaan ini yang akan kita turunkan pada anak-anak kita? membagi berita tanpa tanya? Menyimpulkan tanpa data? Memutuskan tanpa rasa?

Mengasah kemampuan berpikir kritis dan mengambil keputusan dengan lebih bijaksana perlu banyak latihan dan dibiasakan, untuk itu mungkin kita semua perlu lebih serius lagi belajar lewat berbagai game yang ada. Tentu akan lebih baik jika kita juga mulai mengajak anak-anak kita bermain bersama.

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: Anak Tak Perlu Diajarkan Berimajinasi

#ngobrolgame: Anak Tak Perlu Diajarkan Berimajinasi

Satu hari salah satu media nasional mengeluarkan sebuah headline “Daya Imajinasi Siswa Lemah” – hal ini yang kemudian diduga menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia masih saja berada di lapisan bawah dalam penguasaan remaja berusia 15 tahun terhadap keupayaan Sains, membaca, dan Matematika (PISA).

Picasso pernah berkata: Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up. Putra-putri kita –seperti halnya kita semua– terlahir dengan kemampuan imajinasi yang luar biasa, kreatif, penuh rasa ingin tahu, tidak ragu untuk mencoba banyak hal baru. Yang jadi masalah adalah semua kemampuan itu sepertinya pudar ketika mereka (kita) beranjak dewasa. Sir Ken Robinson dalam TED talk-nya (yang telah ditonton lebih dari 50 juta kali) bahkan berargumentasi bahwa we don’ t grow into creativity, we grow out of it. Or rather, we get educated out if it. So why is this?

Ada banyak hal yang memang perlu kita perbaiki sama-sama. Namun kita bisa memulainya dengan mengubah mindset bahwa kewajiban kita (orang tua/guru) bukan MENGAJARKAN. Apalagi, mengajarkan anak untuk berimajinasi dan menjadi lebih kreatif. Imajinasi dan kreativitas adalah sifat anak. Justru kita (orang tua/guru) lah yang perlu BELAJAR bersama anak-anak kita untuk senantiasa berlatih berpikir kreatif, memupuk rasa ingin tahu, dan mengurangi keraguan untuk mencoba banyak hal baru.

Dengan begitu kita bisa hadirkan sebuah lingkungan yang mengapresiasi kreativitas, kemampuan mengeksplorasi, dan persistensi. Sebuah lingkungan yang mendorong kita sadar sepenuhnya bahwa setiap prestasi dan kecukupan materi adalah konsekuensi logis proses belajar yang tidak pernah terhenti – bukan sebaliknya.

Dalam banyak hal, saya percaya game adalah salah satu media terbaik untuk memudahkan kita (orang tua/guru) belajar bersama anak-anak kita. Jika kita terbiasa untuk belajar bersama anak-anak kita serta sungguh-sungguh menikmati setiap prosesnya, mungkin mereka bisa tumbuh menjadi lebih kreatif (grow into creativity) dan mampu mengoptimalkan potensi dirinya untuk bawa perubahan baik bagi sekitarnya.

Sebagai bonus, jika kita terbiasa belajar bersama mereka, kita mungkin akan cukup layak untuk mendapatkan pengakuan sebagai salah satu teman terbaik dari anak-anak kita. Sehingga mereka tidak ragu untuk senantiasa berbagi banyak cerita, hadir menyapa pada saat kita renta, dan membisikkan doa terbaik mereka di kala kita telah tiada. Bukankah itu yang jadi mimpi kita semua?

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

 

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: 5 Langkah Agar “Kecanduan” Game

#ngobrolgame: 5 Langkah Agar “Kecanduan” Game

Bagaimana menghindarkan anak-anak dari kecanduan game? Ada banyak tips dari para ahli untuk menjawab hal tersebut – umumnya menyarankan untuk menjauhkan atau minimal membatasi anak-anak bermain game.

Permasalahannya adalah saat ini game begitu dekat dengan anak-anak kita dan telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Menjauhkan mereka dari game sepertinya bukan pilihan yang bijaksana dan mungkin akan jadi permasalah tersendiri.

Jika pertanyaan itu diajukan pada saya, saya selalu menjawab: orang tuanya harus lebih dulu “kecanduan”. Berikut adalah beberapa langkah sederhana bagi kita para orang tua untuk belajar kecanduan bermain game bersama-sama:

1. Cari tahu judul game yang anak-anak kita suka mainkan.
Sempatkan untuk mencari tahu minimal judul game yang mereka sukai dan coba cari tahu mengapa mereka tertarik memainkannya. Ketertarikan kita akan jadi sinyal bahwa kita peduli dan ini mungkin membuka komunikasi yang menarik dengan anak kita.

2. Baca info terkait game tersebut.
Ketahui beberapa hal dasar dari game tersebut, kontennya, game designer/developernya, serta apa kelebihannya (wikipedia bisa jadi awal yang baik, namun untuk informasi yang lebih komprehensif coba cek commonsensemedia.org).

Hal ini penting untuk menyiapkan mental kita agar bisa lebih tertarik serta bisa memilah apakah game tersebut cocok dengan nilai-nilai keluarga yang coba kita kembangkan. Selain itu, hal ini juga penting untuk memotivasi diri kita agar sungguh-sungguh tertarik dengan game tersebut.

Anak-anak kita akan lebih menghargai jika kita bermain game dengan sungguh-sungguh (karena juga menikmati) dan bukan basa-basi.

3. Pelajari peraturan permainan dari game tersebut.
Investasikan waktu 20-30 menit untuk mempelajari peraturan permainan dari game tersebut. Jika bentuknya board/card game – boardgamegeek.com atau boardgame.id bisa jadi referensi.

Jika digital/mobile game kita bisa mempelajari video walktrough (panduan dasar) dari game tersebut via youtube atau web resminya (cukup googling walktrough “judul game”). Dengan begitu kita memiliki gambaran dasar bagaimana sebuah game dimainkan.

Tidak apa jika kita belum sepenuhnya mengerti, apa yang tidak kita mengerti bisa menjadi bahan diskusi menarik nanti dengan anak-anak kita. Pada titik ini, kita juga bisa menyiapkan diri kita untuk punya peluang menang. Walau bagaimanapun kompetisi dalam bermain game memiliki daya tarik tersendiri.

4. Jadwalkan untuk bermain bersama.
Buat jadwal khusus untuk bermain bersama. Persiapkan acara bermain bersama ini secara sungguh-sungguh dan libatkan sebanyak mungkin anggota keluarga. Sabtu/Minggu sore jam 15 s/d jam 17 bisa jadi waktu yang baik. Awali dengan menyiapkan snack sederhana dan akhiri dengan makan malam bersama. Jadikan waktu bermain ini sebuah aktivitas penting untuk seluruh keluarga.

5. Diskusikan game yang baru saja dimainkan.
Sempatkan untuk membahas berbagai hal yang menarik selama sesi bermain bersama tadi. Siapa yang menang, bagaimana strategi bisa menang, mengapa kalah, apa kesalahan yang dilakukan, apa yang menarik dari game tadi, apa yang jadi latar cerita, dan berbagai hal lain yang menarik untuk diskusi bersama.

Misal ketika gamenya memiliki latar belakang sebuah gurun, kita bisa bahas gurun terbesar di dunia dan apa yang menarik di sana. Jika perlu eksplor lebih jauh dengan membuka buku atau artikel terkait.
Jika berbagai hal tersebut di atas bisa dilakukan secara rutin dan semua keluarga ikut “kecanduan bermain game bersama” – maka kita akan melihat bahwa game punya potensi luar biasa.


Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan
 

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]