Bermain adalah proses pembentukan karakter yang baik untuk Anak.

Banyak sekali hal yang kita inginkan dari dunia pendidikan yang nampak pada permukaan banyka ornag yang menginginkan pendidikan menambah ilmu pengetahuan anak yang sesuai dengan kurikulum. Ini terlihat dari puluhan tahun sistem pendidikan kita yang sangat mementingkan nilai ujian.

Seiring berkembangnya jaman kita semakin paham bahwa itu mungkin bukan hal yang utama apa lagi dengan adanya internet semua ilmu bisa di kases degan mudah. Lalu pendidikan menjadi sarana agar Anak-anak bisa meningkatkan soft skills mereka, seperti berpikir kritis, kreatif, dan semua 21st century skills lainnya.

Jelas tidak hanya disitu, satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah pendidikan harus mampu membantu Anak mengembangkan karakter yang moral. Sehingga mereka bisa menjadi orang yang mampu bekerja sama, memiliki keinginan untukuk membantu orang lain, dan secara menyeleuruh membuat Indonesia lebih baik.

Dari tujuan-tujuan pendidikan ini kita bisa melihat betapa luarbasanya bermain. Karena dari bermain Anak-anak mengembangkan ketiga hal ini. 

Sudah banyak artikel kita yang membahas bahwa bermain membuat kondisi psikologis sangat optimal untuk membentuk ilmu baru, salah satunya ada penelitan yang menunjukan nilai ujian Anak-anak meningkat lebih tinggi saat belajar menggunakan games.

Pendidikan soft skills apa lagi, saat bermain jika ingin mengikuti alur permainan tentu segala macam soft skills diperlukan dan terasah. Karena ini pula World Economic Forum membanggakan play based learning sebagai sarana mengembangkan 21st century skills.

Nah diartikel ini kita coba membahas sedikit bagaimana saat bermain Anak-anak terdorong untuk mengembangkan karakter yang moral. Pertama yang jelas tidak semua macam bermain bisa ya, main video game sendirian sepertinya tidak ada dampak pada pembentukan karkater yang baik, permainan sosial lah yang dibutuhkan.

Sebuah penelitian di Indonesia menunjukan bahwa banyak nilai-nilai positif yang kita banggakan berkembang secara natural saat Anak-anak bermain, khususnya permainan tradisional. 

Melalui permainan-permainan ini anak-anak belajar berbagai macam nilai-nilai budaya seperti proto demokrasi, kepemimpinan, kebersamaan, tanggung jawab, dan lain-lain (Dharmamulya, 1992).

Kita bisa mempelajari proses berkembangnya moralitas dari bapak psikologis perkembangan, Jean Piaget (1932). Melalui observasinya Jean Piaget melihat bahwa saat Anak-anak bermain dengan teman-temannya banyak sekali hal yang terajdi yang mendorong perkembangan moralitas mereka secara bertahap.

Tahap pertama saat mereka bermain pasti mereka akan mengikuti peraturan yang sudah ditentukan. Mereka juga mulai belajar manfaat dari peraturan yang baik, seperti saat main petak umpet yang mencari harus menutup matanya terlebih dahulu agar yang lain bisa sembunyi. 

Mereka akan mulai sadar konsekuensi dari tidak mengikuti permainan seperti jika ada yang curang mereka mungkin bisa menang tapi mendapatkan reaksi negatif dari teman lainnya. Kalo ada Anak yang terus-terusan tidak mau mengikuti peraturan demi ingin menang Anak itu akan merasakan dampak yang sangat buruk seperti social rejection dan tidak memiliki teman yang mau diajak bermain lagi. 

Ini merupakan tahap yang Piaget sebut memahami moral responsiblity, saat mereka sadar siapa yang pantas dihukum (yang membawa bola dengan tangan saat main sepak bola) dan siapa yang tidak patut di hukum (tanmpa sengaja memegang bola). Ini terjadi usia 6-9 tahun.

Belajar mengikuti peraturan memang merupakan tahap yang baik untuk membentuk karakter. Namun sangat tidak cukup, karena kita sendiri tahu bahwa peraturan tidak selamanya benar dan bisa berubah-ubah demi kepentingan yang lebih tinggi, seperti keamanan, kesejahteraan atau keadilan. 

Banyak permainan seperti permainan tradisional atau saat Anak-anak bebas bermain mereka sering menegosiasi peraturan demi niali-nilai baik seperti kebersamaan. Contohnya saat sekelompok Anak-anak dengan umur berbeda-beda bermain mereka sering meringankan peraturan untuk adik-adik mereka, atau mereka yang memang memiliki disabilitas. 

Seperti saat main benteng-bentengan yang membutuhkan fisik yang kuat dan lincah, mereka bisa memberi dua “nyawa”, atau saat bermain monopoli mereka memberikan uang leibh banyak di awal permainan kepada adik-adik yang jauh lebih kecil agar permainannya tetap seru, kompetitif, dan dalam konteks ini adil.

Fleksibilitas dan negosiasi akan peraturan ini sering terjadi pada anak usia 9 tahun keatas, Piaget menyembut ini Autonomous Morality saat Anak-anak mulai mempikirkan secara dalam apa yang benar dan salah, tanmpa mengandalkan peraturan. 

Disaat ini mereka mulai berkembang diluar egosentrism mereka dan belajar empati, memposisikan diri sebagai orang lain, contohnya sebagai Anak kecil yang belum bisa lari kencang atau berpikir secara kompleks, tapi ingin ikut bermain. 

Sumber:

Dharmamulya, S. et al. (1992). Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.

DeVries, R. (1998). Moral and Intellectual Development Through Play: How to Promote Children’s Development Through Playing Group Games. Web: http://www. uni. edu/coe/regentsctr/moral. html, 27.

Piaget, J. (1932). The moral judgment of the child. London: Kegan, Paul, Trench, Trubner & Co.