Main games Esports melatih Anak-anak untuk mengelola stress

Main games Esports melatih Anak-anak untuk mengelola stress

Kemampuan untuk meregulasi emosi adalah salah satu kapasitas yang sangat dibutuhkan oleh siapapun, bahkan riset yang meneliti kinerja di dunia kerja menunjukan bahwa “ EI (Emotional Intelligence) adalah predictor terbesar dari kinerja dan pendorong terkuat untuk kemampuan memimpin dan keunggulan pribadi” (Bradberry & Greaves, 2009).

Bahkan pendapatan pun sangat berhubungan dengan EI, ada sebuah studi yang mengetes EI mahasiswa dan melihat karir mereka selama 10 setelah itu menunjukan bahwa mahasiswa yang memiliki EI yang tinggi secara konsisten memiliki pendapatan yang lebih tinggi di semua industri (Rode et al., 2017).

Ristet terbaru mengenai Esport dari Queensland University

Queensland University Australia mengadakan riset mengenai stress dan mental toughness pada atlet Esport. Lebih dari 300 atlet Esport mengikuti riset, mereka juga merupakan pemain-pemain yang menduduki peringkat 40% terbaik di 5 games Esport terpopuler; DotA 2, League of Legends, Counter Strike, Overwatch, dan Rainbow Six: Siege. 

Para pemain Esport ini menjalankan berbagai macam tes yang melihat kemampuan mereka mengelola stress, tingkat mental toughness mereka. Hasil dari riset ini menunjukan bahwa pemain-pemain ini mengalami tingkat stress yang rendah saat mereka menghadapi situasi yang diluar kontrol mereka (Poulus et al., 2020).

Esport mengajarkan Anak cara mengatasi stress

Dalam riset nya para peneliti menemukan bahwa pemain dengan lihai melakukan framing dimana mereka melihat situasi yang penuh stress sebagai ancaman tapi juga sebuah tantangan, perspektif ini yang membantu mereka mengatai stress.

Saat bermain secara kompetitif, banyak faktor yang diluar kontrol seorang pemain, seperti pemain lawan dan pemain dalam tim sendiri. Meskipun hal ini bisa memunculkan stress kemampuan untuk menerima bahwa faktor ini ada diluar kendali pemain berasosiasi dengan performa main yang lebih tinggi.

Di tanggal 5 Mei yang lalu majalan EdTech melakukan interview dengan seorang pelatih

Esport, Zack Gilbert di sebuah SMA di Illinois A.S. Zack juga menjabat sebagai guru yang mengajar ilmu sosial. Menurut Zack selama pandemi ini dia melihat sendiri bahwa games adalah media yang sangat efektif untuk membantu Anak menghadapi stress, game ini dapat mencegah mereka memiliki pemikiran-pemikiran negatif mengenai situasi mereka. 

Dalam artikel yang sama majalah ini juga meliput interview mereka dengan Ryan Botting, seorang Guru yang juga menjabat sebagai pelatih Esport dan juga tim gulat sekolah nya.

Ryan menemukan sedikit perbedaan yang menarik diantaranya, menurut nya saat mengalami kekalahan saat bergulat Anak-anak merasakan kekalahan sedikit terlalu personal, sementara dalam Esport Anak-anak tetap merasakan emosi-emosi itu dan tetap bisa belajar menangani kekalahan, menurut nya ini adalah bagian yang paling penting dalam sebuah sport.

Menurut Botting, sports membantu Anak-anak tumbuh secara sosial dan emosional dan sebagai pemimpin. Dan bermain adalah hal yang memang Anak-anak sudah pandai lakukan, dalam Esport kita bisa memaksimalkan hal ini dan membantu Anak membangun keterampilan-keterampilan yang penting. 

Dalam artikel ini majalan EdTech juga mengutip berbagai macam penelitian yang mengusulkan bahwa Anak-anak dari SD atau SMP bisa belajar banyak hal mengenai regulasi emosi dan stress, bahkan banyak yang menyarankan sekolah-sekolah untuk mengadakan pelatihan Esport untuk Anak-anak yang didukung dengan baik oleh staf sekolah. 

Memang benar, kemampuan-kemampuan yang sangat penting untuk membangun Emotional Intelligence ini bisa dipelajari sama dengan saat manusia belajar melakukan berbagai macam hal seperti membaca peta, mengendarai mobil, atau menendang bola hingga GOAL!!!

Nah ayo bikin Esport di sekolah yuk! Latihan Esport aja sekarang ada startup nya!

Sumber:

Bradberry, T., & Greaves, J. (2009). Emotional intelligence 2.0. San Diego, CA: TalentSmart

Poulus, D., Coulter, T. J., Trotter, M. G., & Polman, R. (2020). Stress and coping in esports and the influence of mental toughness. Frontiers in psychology, 11, 628.

Rode, J. C., Arthaud-Day, M., Ramaswami, A., & Howes, S. (2017). A time-lagged study of emotional intelligence and salary. Journal of Vocational Behavior, 101, 77-89.

Game Based Learning akan semakin relevan di Masa Depan. Berpain pun semakin penitng!

Game Based Learning akan semakin relevan di Masa Depan. Berpain pun semakin penitng!

 

 

Photo by: Rico De Zoysa

Sejak ada nya internet, kita memahami bahwa ilmu bukan lagi hal yang langka. Siapa pun dimana pun jika memiliki internet dan niat, bisa mempelajari apa pun.

Dengan banyaknya platform belajar online yang murah seperti Skillsahre, dan kelas-kelas online gratis lain nya belajar dan melatih Hard Skills pun menjadi sesuatu yang sangat terjangkau bagi siapa pun.

Dan dengan kedua hal utama itu, Knowledge (ilmu) dan Hard Skills tidak lagi menjadi hal yang langka. Meskipun kedua hal ini tetap sangat dibutuhkan, namun “harga jual” nya berkurang.

Tapi dengan kompleksitas dunia kita sekarang, ada satu hal yang harga jualnya semakin meningkat, yaitu Soft Skills.

Di tahun 2016 World Economic Forum mengeluarkan laporan mereka mengenai 21st century skills

 

Dari 16 keterampilan yang akan dibutuhkan di abad 21 ini hanya 6 keterampilan pertama (1-6) yang bisa kita kategorikan sebagai Hard Skill.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah laporan LinkedIn’s 2019 Global Talent Trends. Dimana mereka menemukan bahwa 92% perekrut pekerja menganggap Soft Skills lebih penting dibandingkan hard skill saat merekrut calon karyawan.

Selain itu Zety, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang rekrutmen melakukan survei “Top Skills Employers Look For 2021” mereka menemukan bahwa 61% merasa soft skills lebih penting.

Nah disinilah kita bisa paham mengapa GBL (Game Based Learning) semakin relevan di masa depan.

Setiap media belajar memiliki keunggulan nya sendiri. Kebetulan salah satu keunggulan games yang telah diteliti secara detail adalah kemampuan games untuk melatih soft skills.

Dalam survei oleh zety itu mereka mendaftarkan 10 Soft Skills yang paling dibutuhkan.

  1. Teamwork
  2. Communication
  3. Time-management
  4. Problem solving
  5. Creativity
  6. Leadership
  7. Organization
  8. Emotional Intelligence
  9. Decision-making
  10. Stress management

 

Beberapa artikel Ludenara telah mendetailkan penelitian yang menunjukan kenapa GBL sangat efektif dalam melatih beberapa Soft Skills Tersebut dan penerapan nya.

Kebetulan minggu lalu artikel Ludenara membahas tentang keunggulan GBL melatih Komunikasi dan Teamwork.

Lalu penelitian IBM Gaming Report melihat bagaimana kita bisa belajar Leadership melalui games online. Saking banyak nya yang bisa dipelajari dari laporan ini, ulasan kami dibagi menjadi 2 bagian.

Aktivita bermain juga terlihat semakin penting. Berberapa penelitian menunjukan bahwa bermain sangat penting untuk meningkatkan Creativity, Emotional Intelligence, dan Problem solving.

Sebenarnya memang ini sudah banyak diketahui, laporan 21st Century Skills World Economic Forum sendiri menjelaskan bahwa kita perlu menggunakan Play/Game Based Learning untuk melatih 21st century skills yang mereka daftarkan. 

Hal ini pun telah dikonfirmasi oleh penelitian yang sama sekali tidak terhubung dengan World Economic Forum. Ternyata hanya sekedar memainkan game sudah bisa melatih 21st century skills, apalagi jika kita terapkan GBL protokol yang baik. 

Semua hal ini menunjukan bahwa bermain dan pendekatan belajar yang seperti bermain semakin penting!

Online games memberikan kesempatan pemain untuk menjadi pemimpin yang handal. IBM Gaming report review part 2.

Online games memberikan kesempatan pemain untuk menjadi pemimpin yang handal. IBM Gaming report review part 2.

Bermain memang lah hal yang sangat edukatif, dan segala macam bentuk permainan memiliki kekuatan nya sendiri ini termasuk games online. Penelitian dari IBM ini menjelaskan banyak hal di lingkungan MMORPG yang bisa melatih pemain menjadi pemimpin virtual. Sebuah nilai tambah bagi siapa saja yang akan bekerja di dunia masa depan yang semakin digital. 

Di part 1 artikel ini kita mengetahui bahwa salah satu komponen utama dalam memimpin tim virtual adalah tools yang bisa dioptimalkan. MMORPG menyedihkan tools yang sangat baik. Seperti channel komunikasi yang multilevel dan multifungsi, insentif yang transparan, dan informasi yang terekam dan bisa dimonitor secara real time. 

Hasil yang sangat terlihat dari tools yang baik ini adalah memberi kemampuan kepada pemain-pemain yang awalnya pemalu, dan pendiam menjadi pemimpin yang baik. Dokumen ini juga meliput wawancara dengan salah satu pemain games online yang sekarang menduduki level manajerial di perusahaan tempat dia bekerja. Wawancara ini sangat inspiratif untuk pemain lain yang merasa dirinya tidak bisa memimpin.

Di interview ini Helen Cheng menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah menyangka bahwa dia sanggup menjadi seorang pemimpin karena dia sangat lah pendiam. Pertama kali dia memimpin juga merupakan sebuah kebutuhan, karena situasi yang memojokan dan mau tidak mau dia mencoba berani dan memimpin tim dengan 40 anggota.

 

Kejadiannya juga sangat mungkin muncul di dunia nyata, saat itu dia bersama temannya sedang mengerjakan misi yang tidak disangka sangat sulit untuk diselesaikan. Ditambah dengan pemimpin yang pasif, tidak otentik, dan tidak sanggup mendorong timnya untuk sukses misi nya semakin sulit, tidak lama mereka pun berada di ujung kekalahan.

Saat itu lah Helen merasa dia barus melakukan sesuatu yang drastis, meskipun sangat pendiam dia berani menaruh dirinya didepan, memotivasi anggota tim nya yang sedang down, dan mendorong tim nya menuju objektif yang harus dicapai. Helen pun merasa sangat kaget bahwa 39 orang lainnya menurut dan melaksanakan perintah Helen dengan suka hati.

Dari saat itu Helen pun menjadi berani memimpin, dan sekarang dia menduduki level 60 Guild Leader, posisi kepemimpinan tertinggi di World of Warcraft. Ini lah kekuatan games online, membuat pengikut menjadi pemimpin.

Bukan hanya melahirkan pemimpin, MMORPG juga 2 hal utama yang mendorong para eimpin untuk selalu belajar dan menjadi pemimpin yang lebih baik.

Impermanent power

“He who cannot be a good follower, cannot be a good leader.” – Aristotles

Kita semua pasti pernah, bahkan sering mendengarkan quote, atau versi lain dari quote ini. Alasan di balik popularitas quote ini adalah kebenaran yang dikandung. Bahwa pemimpi-pemimpin yang baik juga lah pengikut yang baik.

Mungkin ini juga yang kita masih kurang tekankan kepada para pemimpin sekarang. Sering kali di sistem organisasi yang ada saat kita menemukan seseorang dengan potensi memimpin kita terus beri kesempatan menjadi pemimpi dan kita angkat ke posisi yang memimpin, dan dia pun terus menerus menjadi pemimpin.

Romulan Battleship MMORPG

 

Selain tidak memberikan kesempatan orang lain memimpin dan dia sebagai pengikut, sistem seperti ini telah banyak dikritisi. Salah kesalahannya bisa di lihat dari Peter Principle, yang menunjukan bahwa seseorang yang menunjukan kapasitas memimpin di satu hal belum berarti dia bisa memimpin di hal-hal lain. 

Ini lah mengapa MMORPG sangat berpotensial. Banyak sekali misi-misi yang jangka waktunya sangat berbeda, terkadang pemain akan memimpin selama 10 menit, 10 hari, atau bahkan berbulan-bulan. 

“Kepemimpinan sementara” ini muncul sebagai akibat dari kecepatan permainan, dan sifat “project-orientation” dari online games. Karena keputusan harus dibuat dengan cepat, dan setiap sesi yang diberikan terus berubah, para pemimpin dipilih dengan cepat, berdasarkan pengalaman dan keterampilan yang sesuai dengan tugas yang dihadapi.

Kepemimpinan dipandang sebagai pekerjaan yang harus diasumsikan secara berurutan untuk menyelesaikan tugas tertentu, bukan identitas permanen.

Hal lain dari sistem ini yang membuat pemimpin menjadi lebih baik adalah, para pemimpin itu tahu dia tidak akan terus menerus memimpin, dan memahami bahwa besok mereka akan menjadi pengikut. Dan keputusan tentang siapa yang akan memimpin dan siapa yang akan mengikuti dibuat secara organik, oleh kelompok itu sendiri, daripada datang dari otoritas yang lebih tinggi.

Freedom to Fail

Mungkin ini hal yang paling menantang untuk diterapkan di dunia nyata. Bahwa games memberikan lingkungan dimana kegagalan itu sesuatu yang pasti, tentunya membuat pemain tidak takut mengambil keputusan, mengambil resiko, dan terus belajar.

Kegagalan Di dunia nyata taruhannya lebih besar, terkadang kita bisa kehilangan karir kita hanya dengan satu kegagalan yang fatal.

Memang dunia kerja menakutkan. Dunia games tidak seperti ini. Di dunia game online, pengambilan risiko dianjurkan. Bahkan dianggap sebagai pelopor yang diperlukan untuk sukses.

Pemimpin merumuskan strategi dengan cepat, dengan data yang tidak sempurna, dan menjalankan strategi mereka tanpa takut akan konsekuensi.

Maka dengan itu, jika ingin bereksperimen dengan sistem, atau style leadership yang baru, gunakanlah online games. Dengan ini kita tahu mana cara memimpin yang baik dan mana yang kurang.

Apa lagi dengan kebutuhan memimpin tim virtual, game-game seperti MMORPG rupanya akan semakin dibutuhkan untuk ita meningkatkan kualitas bekerja secara online.

Link file IBM gaming report

https://www.ibm.com/ibm/files/L668029W94664H98/ibm_gio_gaming_report.pdf

Pemimpin masa depan lahir di Online Games, IBM gaming report review, part 1.

Pemimpin masa depan lahir di Online Games, IBM gaming report review, part 1.

The IBM gaming report

Banyak sekali manfaat dari menggunakan teknologi digital, ini juga terbukti dari kenyataan bahwa organisasi-organisasi atau bahkan individu-individu yang cepat mengadopsi dan memanfaatkan teknologi digital dengan maksimal mampu mendapatkan keunggulan kompetitif.

Kita bisa melihat startup-startup, atau bahkan social media celebs yang menggunakan teknologi digital dengan baik mampu mencapai kesuksesan. Sepertinya trend ini tidak terlihat ada habisnya, apalagi sekarang ada pandemic yang mendorong trend ini dengan pesat.

Sebagai pendidik kita sekarang bisa berasumsi bahwa mengajarkan anak-anak kita untuk mengoptimalkan teknologi-teknologi ini sangatlah penting. Salah satu pengoptimalan nya adalah bagaimana cara memimpin tim virtual ini? Apa saja keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk bekerja di lingkungan kerja yang semakin digital? 

Jika kita bisa mengajarkan leadership yang baik di dunia digital tentu itu adalah sebuah nilai tambah yang bermanfaat bagi anak-anak kita!

Melatih virtual leaders tentu sudah menjadi kepentingan dunia korporat. Karena itu lah IBM bersama peneliti-peneliti dari universitas ternama seperti Stanford dan MIT memutuskan untuk mempelajari dan meneliti apakah pelajaran bisnis nyata dapat dipelajari dari mengamati leadership dalam game MMORGP (Massively Multiplayer Online Role Playing).

Game dimana pemain dapat membuat karakter yang akan menjelajahi dunia virtual, lengkap dengan sistem ekonomi, sosial, dan budaya nya sendiri. Seringkali para pemain membuat kelompok untuk menjelajahi area-area penuh dengan musuh yang berbahaya, di sini mereka harus berorganisasi, membagi tugas, menetapkan tujuan, disinilah online leaders terbentuk.

Untuk menganalisa kualitas leadership online ini mereka menggunakan Sloan Leadership Model, mereka mendapatkan 173 peserta yang sudah bekerja dan memainkan MMORPG, dan lebih dari 50 jam aktivitas di dalam 5 game MMORGP yang dianalisa, hasilnya sangat menarik.

Pertama kita sebagai pendidik mendapatkan kabar yang sangat baik. Yaitu mengenai perdebatan antara nature vs nurture apakah pemimpin dilahirkan atau dilatih?

Tentu para ilmuwan yang memegang biological determinism akan mengatakan bahwa jika kemampuan leadership tidak terlihat di saat seseorang mulai beranjak dewasa, tentu dia akan kita bisa menjadi pemimpin yang baik.

Sebagai pendidik ini sangat buruk jika benar, karena berarti apa pun yang kita lakukan, kita tidak akan melatih pemimpin, dan harus menunggu mereka untuk dilahirkan.

Ternyata di penelitian ini, mereka menunjukan bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam mengembangkan seorang pemimpin.

Leadership terjadi dengan cepat dan mudah di online games, dan sering kali peran pemimpin di ambil oleh pemain yang pendiam di dunia nyata, bahkan mengagetkan diri mereka sendiri dengan kemampuan memimpinnya. Tidak ada bukti bahwa hal yang sama tidak bisa terjadi di dunia korporat. Tapi ini tidak membuktikan bahwa setiap orang di dalam organisasi bisa memimpin, namun jika situasi dan sumberdaya yang pantas, leadership bisa muncul.

Tiga dari empat pemain yang telah di survey di studi ini mengatakan teknik dan pendekatan yang mereka dapatkan di online games bisa membuat mereka leaders yang lebih efektif di dunia pekerjaan.

MMORPG terpopuler, World of Warcraft

Jadi apa yang membuat lingkungan online games ini subur untuk bibit-bibit pemimpin?

Pertama online games menyediakan banyak kesempatan untuk memimpin. Banyak sekali misi-misi yang membutuhkan pemain berkelompok, dan pemimpin pun dibutuhkan. Pemain dengan mudah bisa mencoba leadership style yang berbeda, seperti otoriter, demokratis, atau bahkan laissez faire. Ekspektasi atau konsekuensi untuk performa pemimpin juga relatif kecil, faktor yang besar untuk mendorong experimentasi. 

Ryzom MMORPG

Pemain di online games juga diberikan tools yang memudahkan leadership. Skills dan level kompetensi bisa dilihat, membuat delegasi dan pembagian tugas lebih mudah. Mereka juga bisa menganalisa resiko lebih mudah karena informasi tercatat secara real time.

Sistem insentif yang diperlukan untuk memotivasi pemain juga terlihat secara umum, transparansi ini memfasilitasi kepercayaan dan kredibilitas di antara pemain. Ini terkait langsung dengan sensemaking dari Sloan Model.

Sloan Leadership Model

Terakhir, berbagai tingkat dan medium komunikasi dalam dunia game online memberi para pemimpin banyak pilihan ketika berkomunikasi. Sloan Model menyebut ini sebagai Relating, atau mengembangkan hubungan di dalam organisasi. Sebagai pemimpin, menengahi konflik dan menjaga hubungan adalah bagian penting dari pekerjaan, tingkat komunikasi penting di sini. Di dalam situasi apapun saat setiap orang memiliki motivasi dan kebutuhan yang beda, konflik akan terjadi, mau tidak mau pemimpin harus bisa memediasi.

Banyak sekali alat komunikasi di MMORPG. (Villagers and Heroes iOS)

Degan tingkat dan medium komunikasi yang banyak memediasi menjadi mudah. Dan setiap medium komunikasi efektif untuk hal yang berbeda. Saat mengkomunikasikan sistem insentif untuk setiap orang di organisasi, post di forum online yang bisa dilihat setiap anggota tentu sangat baik. Saat mendiskusikan konflik di antar anggota, chat privat akan lebih baik.

Saat menyelesaikan misi secara real time tentu voice chat di butuhkan. Dan misi-misi organisasi yang rumit pemimpin harus menggunakan broadcast kepada setiap anggota, narrowcast untuk setiap tim, dan microcast untuk individu yang sedang melakukan hal yang vital. Ini bisa dilakukan secara simultan untuk menggerakan organisasi kepada tujuannya.

Star Trek MMORPG

Hal-hal seperti ini lah yang sangat memudahkan orang biasa menjadi pemimpin, apa lagi mereka akan mencoba lagi dan lagi bermain-main dengan senang hati sebagai pemimpin. Tentu ketika kita ingin melatih pemimpin yang baik, mereka harus mengalami menjadi pemimpin, dan sepertinya kita harus banyak-banyak membuat lingkungan yang seperti ini, lingkungan yang bisa melahirkan banyak pemimpin.

Sumber:

https://www.ibm.com/ibm/files/L668029W94664H98/ibm_gio_gaming_report.pdf

 

Tipe-tipe permainan yang meningkatkan empati.

Tipe-tipe permainan yang meningkatkan empati.

Image by Hai Nguyen Tien from Pixabay

Saat melihat tantangan-tantangan rumit yang kita semua sedang hadapi, secara global dan juga nasional, semakin jelas bahwa mengajarkan empati adalah solusi awal dari semua tantangan itu. Untungnya ada cara mudah bagi setiap anak untuk belajar empati.

Nah di artikel ini kita akan membahas cara-cara bagaimana anak-anak bisa mengembangkan empati mereka dengan cara yang sangat natural melalui bermain doong!!

Ternyata ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa ada beberapa tipe permainan yang efektif dalam mengembangkan empati anak.

Imaginative play

Tipe permainan ini banyak disorot sebagai fondasi kuat empati. Rudolf Steiner, dan teori sosiologi menjelaskan bahwa imaginative play memberikan pondasi untuk belajar hidup bermasyarakat secara rukun (Waite & Rees, 2014). 

Meskipun imaginative play ini sedikit sulit untuk didefinisikan, namun kita bisa menggunakan imajinasi kita sendiri, haha. 

Jadi sesuai nama nya permainan ini terjadi saat anak-anak dengan bebas berimajinasi membawa diri mereka ke dunia permainan dimana ada meteor yang sedang jatuh ke bumi, dan mereka harus menciptakan alat yang bisa menghancurkan meteor itu sebelum jatuh. Atau apa skenario-skenario lain yang hanya dibatasi imajinasi mereka, dan tidak terjebak dalam peraturan yang baku.

Inti dari permainan ini adalah eksplorasi dan melatih imajinasi mereka. Secara psikologis hal-hal yang terjadi saat bermain bisa memunculkan reaksi emosi yang sama kuatnya dengan kejadian nyata (Vygotsky, 2003).

Melatih imajinasi ini dibutuhkan untuk eksplorasi berbagai macam emosi. Imajinasi bersama dengan emosi menyediakan landasan untuk perkembangan empati, dimana anak-anak bisa memahami perasaan dan pengalaman orang lain

Free play

Tipe permainan ini sangat mirip dengan imaginative play, dengan perbedaan di penekanan nya. Imaginative play terjadi saat anak-anak asik berimajinasi, free play terjadi saat anak bermain mengikuti minat mereka sendiri tanpa batas peraturan dan perintah dari luar.

Ada sebuah penelitian yang menemukan bahwa anak-anak kecil sangat handal dalam mengapresiasi cara pandang lain, menunjukan kepedulian dan perhatian kepada teman-teman nya tanpa supervisi dari orang dewasa. (Wite & Rees, 2014).

Ini terjadi karena saat bermain anak-anak terlibat dalam momen-momen yang sama secara mental dan emosional. Mengalami irama permainan bersama ini menciptakan perasaan-perasaan dan pemahaman akan kondisi emosional dan niat dari teman bermain nya, ini lah yang menjadi pondasi empati yang kuat (Stern, 2010)

Selain itu free play sendiri ternyata memiliki peran yang sangat besar dalam perekmbangan karakter moral anak. Menurut Jean Piaget bermain memberikan banyak ruang untuk berkembang seara moral.

Saat mereka berperilaku baik mereka akan mendapatkan reaksi positif dari teman-teman. Dari melakukan sesuatu immoral mereka melihat dan mendapatkan reaksi negatif, sehinga memahami tingkah mereka kurang baik. Mereka juga belajar dan mengikuti norma sosial dan peraturan permainan, menyadari mengapa peraturan itu terbentuk, dan konsekuensi dari melanggar peraturan.

Level selanjutnya adalah ketika mereka bisa memodifikasi, membuat peraturan-peraturan bermain bersama agar lingkungan bermain menjadi lebih adil.

Ini semua akan terjadi dengan efektif saat supervisi orang dewasa tidak ada. Dimana mereka mau tidak mau harus belajar bermain dengan akur dengan sendiri nya.

Role-play

Jika diterjemahkan role-play berarti “bermain peran”. Di saat anak-anak Bera pura-pura menjadi orang lain dan memainkan peran itu. Seperti anak yang menjadi seorang permaisuri yang harus menyelamat kan pangeran yang terjebak dalam sihir. Atau yang sangat sederhana seperti berpura-pura menjadi polisi atau dokter.

Secara logika sangat mudah kita pahami kenapa permainan seperti ini sangat baik dalam meningkatkan empati. Karena pada dasar nya empati adalah menempatkan diri menjadi orang lain, dan merasakan apa yang mereka rasakan.

Saat anak-anak berpura-pura dan menjalani peran orang lain dalam situasi-situasi sulit, anak-anak belajar berempati dan merasakan apa yang orang lain rasakan saat dalam merasakan situasi yang sama dalam dunia nyata (Van Ments, 1999). 

Traditional games

Banyak sekali games tradisional yang pastinya setiap orang pernah mainkan di masa kecil. Keren nya sebelum ada sekolah-sekolah formal secara masal, game-game ini lah yang digunakan oleh nenek moyang kita.

Melalui permainan-permainan ini anak-anak belajar berbagai macam nilai-nilai budaya seperti proto demokrasi, kepemimpinan, kebersamaan, tanggung jawab, dan lain-lain (Dharmamulya, 1992).

Ada sebuah penelitian keren dari Indonesia yang mengadakan pre dan post test untuk mengukur apa saja yang dipelajari anak-anak umur 4-6 tahun saat bermain permainan tradisional (seperti cublak-cublak suweng, uri-uri, and engklek) selama 20 menit tiga kali seminggu selama 1 bulan.

Mereka juga melakukan dokumentasi observasi dan interview yang dalam. Tentu hasilnya jauh dari mengagetkan, berdasarkan analisa mereka nilai-nilai karakter yang baik terlihat muncul pada sebagian besar anak-anak di akhir bulan setelah mereka rutin bermain games tradisional ini (Sugiyo & Hong, 2014). 

Sekarang kita bisa berekspektasi bahwa dengan memainkan games tradisional secara konsisten, karakter anak-anak akan terbangun dengan baik.

Sumber:

Dharmamulya, S. et al. (1992). Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.

Pranoto, Y., Sugiyo, S., & Hong, J. (2014). Developing Early Childhood’s Character Through Javanese Traditional Game. Indonesian Journal Of Early Childhood Education Studies, 3(1), 54-58. doi:10.15294/ijeces.v3i1.9477

Stern, D. N. (2010). Forms of Vitality: Exploring Dynamic Experience in Psychology, the Arts, Psychotherapy, and Development. Oxford University Press.

Sue Waite & Sarah Rees (2014) Practising empathy: enacting alternative perspectives through imaginative play, Cambridge Journal of Education, 44:1, 1-18, DOI:10.1080/0305764X.2013.811218

Van Ments, M. (1999). The effective use of role-play: Practical techniques for improving learning. London: Kogan Page.

Vygotsky, L. S. (2003). Imagination and creativity in childhood. Journal of Russian and East European Psychology, 42, 7–97.

Mengajarkan Empati bisa menjadi solusi dari tantangan-tantangan tersulit kita.

Mengajarkan Empati bisa menjadi solusi dari tantangan-tantangan tersulit kita.

Image by Bessi from Pixabay

Bagian besar dari pendidikan adalah menyiapkan anak untuk masa depan, tapi juga ada cara pandang yang tidak terlalu individualis. Yaitu membuat masa depan itu sendiri lebih baik.

Tentu dua sisi ini harus bersinergi, tidak cukup anak-anak kita tumbuh pintar lalu kerja atau usaha dan bisa menafkahi keluarga nya saja. Mereka juga harus bisa membangun masa depan yang lebih baik, agar anak-anak mereka bisa hidup di dunia yang lebih baik.

Tentu ini hal yang sangat jelas, namun seperti apa sih masa depan yang lebih baik itu?

Dan bagaimana kita bisa kesana?

Pertama kita bisa melihat tantangan-tantangan utama yang kita hadapi secara global, dan tentu jika ini permasalahan global, setiap negara pun mengalami nya. Apa lagi Indonesia.

Kita coba mulai dari kemiskinan, dan kelaparan. Data dari UN tahun 2015, 736 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan internasional sebesar US $ 1,90 per hari. 690 juta orang hidup dalam kelaparan dan malnutrisi.

Kita mulai dari kelaparan dulu, meskipun banyak orang yang kelaparan banyak juga yang… gak kenyang-kenyang?? 

Data dari WHO menunjukan bahwa 650 juta orang dewasa, dan 38 juta anak obesitas.

Tentu ini hal yang sangat serius dan berbahaya, dan tadi saya cuma bercanda ko, bilang mereka gak kenyang-kenyang… Mohon maaf 

Saat memikirkan kemiskinan datanya semakin mengerikan. Orang-orang yang masuk kedalam 1% orang terkaya di dunia memiliki 44% dari total kekayaan yang ada di dunia. Sementara jika kita kumpulkan harta dari 56% orang termiskin harta mereka hanya sekedar 2% dari total kekayaan di dunia.

Pemanasan global juga memiliki dampak yang asimetris, negara-negara yang paling berkontribusi kepada global warming seperti Cina, Amerika, dan India tidak merasakan dampak nya secara langsung. Sementara negara-negara kecil seperti Maldives bisa tenggelam gara-gara ini padahal mereka tidak berkontribusi kepada pemanasan global.

 

Coba renungkan ini sejenak….

Dan mungkin setelah kita renungkan ini, tahap awal dari solusi nya sebagai pendidik jelas terlihat. Yaitu empati dan compassion.

Kemungkinan untuk kita bisa melampaui tantangan-tantangan ini kita harus mengajarkan empati ke sebanyak-banyak nya orang dan tentu anak-anak, kita contoh kan juga empati agar semakin banyak yang paham bahwa itulah yang dibutuhkan.

Semua niat dan aksi baik untuk melawan tantangan-tantangan ini berawal dari kemampuan kita yang lebih beruntung berempati kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung.

Tentu setelah kita berhasil membantu mereka yang kurang beruntung, mereka juga bisa membantu yang lain dan seterus nya membuat dunia ini sedikit lebih indah lagi.

Untungnya empati memang bisa diajarkan, apa lagi dari usai dini. Dan lebih untung nya lagi cara mengajarkan empati yang baik adalah dengan cara-cara yang seru seperti bermain dan bercerita.

Tentu tidak sembarang bermain. Ada permainan-permainan yang sangat efektif dalam membentuk empat seperti role-playing dan imaginative play.

Nah di artikel selanjutnya kita akan bahas berbagai macam cara meningkatkan empati.

Di tunggu ya!

Hal penting yang bisa dipelajari dari Play-based Kindergarten

Hal penting yang bisa dipelajari dari Play-based Kindergarten

Photo by: Bambi Corro on Unsplash

Saat kita melihat pendidikan Paud seringkali kita melihat mereka sudah sangat difokuskan terhadap aspek akademik (calistung). Memang banyak penelitian yang menunjukan anak-anak yang dibiasakan mengerjakan soal, dan belajar secara akademik ini lebih siap menghadapi SD, dan memang mereka akan mendapat nilai akademik yang lebih tinggi.

Namun ada penelitian yang juga melihat dampak jangka panjang dari Paud yang fokus kepada akademik dan Play-based kindergarten. Mereka menemukan data yang sama, pada awal nya di kelas 1-2 anak-anak yang datang dari Paud yang sangat akademik mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Namun ternyata dari kelas 4-5 para peneliti tidak menemukan perbedaan.

Bahkan ternyata di kelas 6 mereka, anak-anak yang datang dari Play-based kindergarten memiliki rata-rata nilai yang lebih tinggi!  (Marcon, 2002).

Selain itu jika teman-teman penasaran ada Psikolog yang menuliskan artikel bahwa ternyata Paud yang terlalu akademik bisa sangat harmful bagi mereka di masa dewasa.

Tapi memang bagi setiap orang yang sudah mempelajari proses perkembangan anak secara dalam hal ini sangat logis, dan kita bersama bisa bilang “ya iya laah!”

Selain itu paud-paud yang bisa kita definisikan sebagai play-based atau child-centered ini memang memiliki banyak manfaat bagi proses perkembangan anak, yang anak menjadikan mereka orang-orang dewasa yang lebih baik juga!

Bagian besar dari play-based kindergarten adalah menggunakan permainan sebagai alat mengajar konsep-konsep akademis, ini yang disebut dengan adult-directed play dan ini tentu hasil nya jelas anak-anak dengan cara yang asik. 

Namun ada filosofi pendidikan, seperti Waldorf education yang lebih fokus terhadap permainan yang lebih child-centered, bisa juga disebut free atau imaginative play. Permainan-permainan di mana para guru hanya mengobserfasi dan memastikan keapamanan anak-anak lalu membiarkan mereka bermain sesuka hati! Dan hal ini lah yang sangat menarik untuk dipelajari.

Lalu hasil nya apa, apa yang terjadi ketika sebagian besar dari pendidikan masa kecil adalah membiarkan mereka bermain?

Satu hal yang mungkin sangat jelas adalah kreativitas. Karena imaginative play ini sangat beraneka ragam, anak-anak juga banyak yang memilih untuk berkarya dan menciptakan cerita-cerita dari imajinasi mereka. (Vygoutsky, 2003)

Selain itu hal yang mungkin diluar ekspektasi adalah empati.

Pendiri dari filsafat pendidikan ini Rudolf Steiner, dan teori sosiologi menjelaskan bahwa imaginative play dan tipe permainan child-center lainya memberikan pondasi untuk belajar hidup bersama masyarakat dengan baik (Waite & Rees, 2014). 

Ini bisa terjadi karena tidak adanya figur otoritas yang kuat seperti di adult-directed play. Tanpa adanya figur otoritas dan peraturan yang baku, anak-anak tetap bisa bermain bersenang-senang dan menyelesaikan konflik nya sendiri. Ini lah yang membentuk karakter yang moral, dimana tanpa peraturan, dan perintah mereka harus bisa tetap bersosialisasi dengan baik.

Anak-anak bisa mempelajari ini secara natural karena dengan imaginative play karena anak-anak belajar melihat dari berbagai macam pandangan atau yang sering dibilang menaruh diri nya di posisi orang lain. Dari sini empati pun terbentuk dan ini fondasi untuk karakter yang moral itu.

Proses alami ini sangat efektif agar anak bisa benar-benar memahami salah dan benar, dan membentuk identitas etis mereka. Bahkan pelatihan-pelatihan “character-building” di masa dewasa menjadi tidak berguna saat anak-anak diberikan ruang dan waktu yang cukup di masa kecil untuk imaginative play ini (Edmiston, 2010).

Di tahun 2014 pun ada penelitian dari Cambridge yang mencari bukti dari teori-teori dan filsafat pendidikan ini. Mereka pun menganalisa 5 sekolah yang menggunakan filosofi Waldorf education sebagai pondasi pendekatan pembelajaran mereka. 

Hasil nya pun cukup baik, dan mengkonfirmasi teori-teori ini. Bahwa anak-anak menjadi sangat kreatif dan juga etis saat mereka diberikan banyak ruang untuk imaginative play

Namun sayangnya studi ini belum bisa melihat dampak jangka panjang dari pendekatan pendidikan yang mengutamakan child-centered play ini. Apa lagi jika kita coba teliti sekarang, pasti datanya tidak akan akurat karena kondisi anak-anak ini sekarang akan sangat berbeda dari anak-anak di masa lain yang tidak terpengaruh oleh Pandemi ini.

Nah bagaimana menurut teman-teman, setuju tidak dengan cara pendidikan ini? Apa mungkin ada cara lain yang lebih efektif agar anak bisa membangun karakter yang baik?

 

Sumber

Edmiston, B. (2010). Playing with children, answering with our lives: A Bakhtinian approach to coauthoring ethical identities in early childhood. British Journal of Educational Studies, 58, 197–211.

Marcon, R. A. (2002). Moving up the Grades: Relationship between Preschool Model and Later School Success. Early Childhood Research & Practice, 4(1), n1.

Sue Waite & Sarah Rees (2014) Practising empathy: enacting alternative perspectives through imaginative play, Cambridge Journal of Education, 44:1, 1-18, DOI:10.1080/0305764X.2013.811218

Vygotsky, L. S. (2003). Imagination and creativity in childhood. Journal of Russian and
East European Psychology, 42
, 797.

Bermain bisa melatih anak untuk menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti.

Bermain bisa melatih anak untuk menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti.

Image by Pete Linforth from Pixabay

Setiap orang pasti setuju kita harus menyiapkan anak kita untuk masa depan. Tapi sebelum kita tahu harus mengajari dan melatih mereka apa tentu kita harus mencoba melihat masa depan mereka meskipun sulit.

Saat kita berkontemplasi akan dunia mereka nanti seperti nya sangat banyak yang harus disiapkan. Khusus nya jika kita lihat pesat nya perkembangan teknologi. 

Yang mungkin menggantikan kita tidak tahu sepenuhnya konsekuensi negatif dari teknologi ini, seperti sekarang dengan algoritma yang kuat YouTube, Instagram, Tick Tock dan kawan-kawa sangat pandai dalam memancing emosi kita hingga perhatian kita sepenuh nya ada dalam cengkraman media itu.

Bukan hanya memanipulasi individu. 15 tahun yang lalu saja Facebook belum ada, dan sekarang platform ini bisa digunakan untuk memanipulasi masyarakat secara luas dan mengacaukan proses demokrasi negara-negara seluruh dunia.

Seperti apa masa depan anak-anak kita nanti? Bagaimana mereka bisa menggunakan teknologi-teknologi ini tanpa merusak mental dan hubungan sosial mereka?

Tentu salah satu jawaban yang sudah dibahas di artikel kita sebelum nya anak-anak kita butuh intrapersonal intelligence. Selain itu ada bagian dari intrapersonal intelligence ini yang sangat dibutuhkan, yaitu Emotional Intelligence. Kemampuan memanage emosi kita.

Ada satu perspektif yang sangat menarik dari Yuval N. Harari, ada quote yang menarik dari interview mengenai masa depan.

“We will have these huge changes by 2025—but then we’ll have even bigger changes in 2035, and even bigger changes in 2045, and people who have to repeatedly re-adjust to these things.”

Menurut nya karena dunia yang akan terus berubah, investasi paling penting bagi setiap individu adalah emotional intelligence dan keseimbangan mental karena tantangan-tantangan yang paling sulit untuk dihadapi adalah tantangan psikologis.

Bukan hanya dari berhubungan dengan algoritma yang memanipulasi emosi kita, tapi juga karena lapangan kerja kita yang akan terus berubah dan membutuhkan pekerja-pekerja yang sanggup beradaptasi dengan cepat. Jika kita tidak memiliki keseimbangan emosi tentu sangat sulit untuk menghadapi perubahan.

Sebenarnya tidak perlu kita mendengarkan expert. Dari mengintrospeksi diri kita sendiri pasti kita memahami bahwa dari hari ke hari keseimbangan emosi sangat lah penting. Ini ditambah dengan permainan emosi kita oleh algoritma tentu semakin penting. 

Sayangnya masih banyak generasi muda yang tidak memiliki emotional balance sehingga banyak yang kecanduan gadget dan ada juga yang jatuh depresi.

Namun jika kita perhatikan, tidak semua anak mengalami ini. Beberapa diantara mereka yang sangat pandai mengontrol pikiran dan emosi sanggup menggunakan teknologi-teknologi tanpa mengalami.

Ada buku yang sangat jelas menunjukan fenomena ini. Penulis buku The Coddling of The American Mind, Greg Lukianoff dan Jonathan Haidt menujukan dampak negatif yang terjadi ketika anak-anak tidak diberikan free play yang cukup. Anak-anak ini memiliki mental yang rapuh, mereka sangat tidak sanggup menghadapi masalah dan sering kali mengandalkan orang tua untuk menyelesaikan masalah mereka.

Ini lah mengapa kita harus mendorong anank-anak kita untuk bermain offline! Mereka yang bersosialisasi dengan baik, memiliki waktu bermain dan mengeksplor emosi, pikiran, dan mental mereka dari menang, kalah dan semua yang dialami dalam permainan tentu menjadi individu yang lebih tangguh.

Anak-anak yang bermain bersama teman-temannya selalu berkomunikasi, mengekspresikan diri dan saling mengenal. Saat bermain mereka juga harus memperhatikan orang lain, sehingga egosentrisme anak-anak berkurang dengan sehat.

Apa lagi saat menang dan kalah. Dari bermain yang ada menang kalah nya mereka mau tidak mau belajar memanage emosi-emosi negatif saat kalah, dan tentu juga mengontrol emosi positif saat menang agar tidak terlihat sombong.

Kenyataan nya Emotional Intelligence dan aktivitas bermain berkembang secara bersamaan. Semakin manusia berkembang semakin kompleks permainan yang dimainkan, semakin berkembang juga Emotional Intelligence kita (Hohlbein, 2015).

Tentu proses bermain ini bisa ditambahkan dengan proses introspeksi hingga kecerdasan emosi dan intrapersonal ini akan semakin mendalam. Yuval N. Harari pun merekomendasikan hal ini untuk orang dewasa.

Saat di interview ini Harari ditanyakan, karena masa depan membutuhkan flexibilats mental yang tinggi apa yang harus kita lakukan agar bisa mendapatkan ini?

Menurut nya kita harus melakukan aktifitas-aktifitas yang kita sukai, namun jangan hanya gunakan aktifitas ini sebagai hobi sampingan. Tapi gunakan aktifitas ini untuk mengenali diri kita sendiri lebih dalam.

Karena menurut Harari 

“The better you know yourself, the more protected you are from all these algorithms trying to manipulate you.”

Sumber:Hohlbein, Patricia J., “The power of play in developing emotional intelligence impacting leadership success: a study of the leadership team in a Midwest private, liberal arts university” (2015). Theses and Dissertations. 595. https://digitalcommons.pepperdine.edu/etd/595

Bermain non-digital semakin penting untuk menghadapi dunia yang semakin digital

Bermain non-digital semakin penting untuk menghadapi dunia yang semakin digital

Photo by: Marvin Meyer on Unsplash

Banyak sekali advokat Game Based Learning (GBL) atau Playful Learning yang mengutamakan penggunaan game-game digital agar anak-anak kita bisa lebih siap menghadapi masa depan mereka yang akan sangat terdigitalisasi.

Tentu hal ini sangat logis, dengan bermain video games kita akan terbiasa menggunakan teknologi digital. Singkat nya digital literasi kita akan meningkat. 

Terus bagaimana dengan permainan-permainan fisik seperti bermain petak umpet di luar rumah atau main board games? Apakah permainan-permainan ini akan hilang relefansi nya di dunia yang semakin digital?

Ternyata sama sekali tidak, justru permainan-permainan yang lebih tradisional ini memiliki banyak sekali manfaat yang juga sangat penting agar anak-anak bisa sukses di masa depan yang digital itu.

Saat bermain kita melatih diri untuk mengenali diri sendiri (Eberle, 2011). Proses-proses yang terjadi dalam permainan mendorong kita untuk mengenali diri. Seperti merasakan spektrum emosi yang luas dan juga mengontrol emosi itu. 

Kita juga memahami diri kita saat berhubungan dengan teman-teman kita, seperti interaksi apa yang kita suka dan tidak, atau bahkan menemukan tipe hubungan dengan orang lain yang baik untuk kita.

Beriman juga membantu self management atau self discipline. Dimana kita meregulasi diri sendiri dari emosi, pikiran, dan perilaku agar kita bisa berhubungan lebih baik dengan teman-teman dan diri kita sendiri.

Hal ini yang sering disebut dengan self-knowledge, atau intrpaersonal intelligence. Lalu kenapa kita harus mengenali diri sendiri agar bisa sukses di dunia digital?

Dunia digital ini memang banyak berkah, namun tidak tanpa harga yang juga mahal. Harga itu sering kali kita bayar dengan kesehatan mental kita. 

Teknologi kita sudah berevolusi jauh lebih pesat dari kita sendiri dan sekarang dengan algoritma dan AI yang sangat canggih medial sosial, mobile games, dan produk digital lain nya sangat pintar dalam menarik dan mengontrol perhatian kita. 

Hal ini lah yang membuat mereka sangat addictive dan gadget/internet addiction ini lah sumber dari banyak sekali penyakit mental yang dialami anak muda sekarang.

Ini mengapa self knowledge atau intrapersonal intelligence sangat penting di dunia digital. Jangan sampai AI dan algoritma mengenal diri kita lebih dari kita mengenali diri sendiri.

Dengan intrapersonal intelligence yang dalam kita bisa mengontrol algoritma bukan dikontrol. Dengan mengenali dan mengendali diri kita bisa memilih konten yang baik untuk kita, dan menghapus history saat kita terpaksa mengkonsumsi konten-konten negatif agar tidak terbaca oleh algoritma nya.

Self-management yang kuat juga penting agar kita bisa membuat kebiasaan dan disiplin yang baik dengan produk-produk digital ini. Sosial media dan mobile games memiliki banyak manfaat, tapi kita hanya bisa memanfaatkan nya jika kita memiliki hubungan yang baik dengan produk-produk ini.

Makanya anak-anak harus main! Tapi jangan main digital terus ya. Bermain “fisik” adalah cara yang baik untuk membangun intrapersonal intelligence

Bermain khususnya role-play sudah memberikan banyak ruang agar intrapersonal intelligence bisa terbangun. Bermain mengembangkan kesadaran diri, kita juga belajar hal-hal seperti mengungkapkan perasaan, berempati, dan mengendalikan emosi (Rogers & Evans, 2006).

Pada dasarnya saat bermain kita juga belajar mengenali dan mengendali diri kita sendiri. Permainan-permainan fisik dan tradisional ini juga bisa di tambahkan protokol GBL untuk memberikan dampak yang lebih tinggi dalam pembentukan intrapersonal intelligence.

Sumber:

Eberle, S. G. (2011). Playing with the Multiple Intelligences: How Play Helps Them Grow. American Journal of Play, 4(1), 19-51.

Rogers, S., & Evans, J. (2006). Playing the game. European Early Childhood Education Research Journal, 14(1), 43-56

eSports? Sports beneran gak sih?

eSports? Sports beneran gak sih?

Photo by: blog.scienceandmediamuseum.org.uk

Di tahun 2019 MLBB (Mobile Legend Bang Bang) mengadakan M1 World Championship,  yang diikuti belasan negara termasuk, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Brazil, dan negara-negara lain yang sering tampil dan berprestasi di ajang kompetisi di dunia.

Terus, saat ditandingkan dengan negara-negara ini, prestasi Indonesia seperti apa? Indonesia MENANG, JUARA SATU!

M1 World Championship

Indonesia berhasil mendominasi kompetisi ini secara total, bahkan dua tim yang bertanding di babak final berasal dari Indonesia lho! Yaitu RRQ vs EVOS, dan setelah pertandingan yang amat sangat seru, EVOS pun menjadi juara.

Bukan hanya ini saja, masih banyak lagi prestasi eSport Indonesia di ajang kompetisi internasional yang cukup membangakan. 

Namun, apakah semua prestasi ini bisa benar-benar diinginkan?

Apa kah kita bisa membangakan RRQ dan EVOS seperti kita membangga akan atlet-atlet bulu tangkis kita yang mendunia “The Minions” dan “The Daddies”?

Apakah eSports, benar-benar Spots?

Untuk menjawab ini kita bisa mulai dulu dari memahami sports itu sendiri dalam konteks profesionalisme dan kompetisi. Dan jangan lupa sports di sini bukan di artikan sebagai “olahraga” yang semata-mata kita mengolah raga kita, namun sebuah bidang yang mengkompetisikan skills.

Contoh nya board games yang dikompetisikan secara profesional seperti Catur dan Go aja di anggap sebagai sports.

Menurut Michael G. Wagner, sports adalah:

“Sports” adalah bidang aktivitas budaya di mana orang secara sukarela terlibat dan berkompetisi dengan orang lain dengan niat sadar untuk mengembangkan dan melatih kemampuan-kemampuan yang dianggap penting secara budaya dan membandingkan diri mereka dengan orang lain dalam kemampuan-kemampuan ini sesuai dengan aturan yang berlaku umum dan tanpa dengan sengaja merugikan siapapun.

Dari definisi ini kita bisa menjawab kenapa mayoritas sports kompetitif adalah olahraga yang fisik. 

Karena memang sepanjang sejarah manusia, kemampuan-kemampuan yang kita hargai sebagai budaya adalah kemampuan-kemampuan fisik. Sepanjang sejarah, hingga revolusi industri pun, kemampuan fisik lah yang bisa meningkatkan kemungkinan kita bertahan hidup, mencari, dan memproses sumberdaya untuk kesejahteraan kita.

eSport, merupakan perkembangan yang layak saat kita sebagai budaya berevolusi dari industrial menjadi budaya yang melebur dengan information technology. Di saat ini, kita sebagai budaya sangat menghargai kemampuan-kemampuan intelektual, dan juga teknikal yang berkaitan dengan teknologi.

Dan kemampuan-kemampuan seperti Critical Thinking, Collaboration, Problem Solving, Cognitive Agility lah yang di kompetisi kan di dalam games-games ini. 

Selain itu ada beberapa hal lagi yang sangat penting agar kompetisi bermain game ini bisa dianggap sports beneran

“Secara sukarela terlibat dan berkompetisi dengan orang lain dengan niat sadar untuk mengembangkan dan melatih kemampuan-kemampuan” kompetisi yang baik adalah yang dilakukan secara sukarela, dan juga dengan niat untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan yang kita hargai ini.

Niat disini sangat penting, karena jika kita bermain eSport hanya untuk menang, mendapat hadiah, dan menghasilkan uang hal ini akan mengakibatkan banyak kondisi psikologis yang buruk. Jika menang tidak akan ada hadiah yang bisa benar-benar memuaskan hasrat materi, dan jika kalah makan emosi-emosi negatif akan menjadi terlalu kuat.

Selain itu, terlalu ingin menang dan mengharapkan materi bisa merusak niatan baik untuk meningkatkan skills, sehingga fokus para peserta tidak ada di situ lagi.

Kedual hal terakhir berkaitan dengan mengikuti aturan, dan tidak boleh merugikan siapapun.

Hal inilah yang harus diingat dalam merancang kompetisis eSport yang baik. Bahwa kita harus bisa merancang peraturan-peraturan yang cukup baik untuk kelancaran kompetisi, serta sebisa mungkin tidak merugikan siapapun.

Nah dengan semua penjelasan ini, seperti kita bisa bangga dengan RRQ, EVOS, dan tim-tim eSport Indonesia lain nya yang telah membawa nama harum negara kita di ajang kompetisi Internasional.

Sumber:

Wagner, M. G. (2006, June). On the Scientific Relevance of eSports. In International conference on internet computing (pp. 437-442).