Hal penting yang bisa dipelajari dari Play-based Kindergarten

Photo by: Bambi Corro on Unsplash

Saat kita melihat pendidikan Paud seringkali kita melihat mereka sudah sangat difokuskan terhadap aspek akademik (calistung). Memang banyak penelitian yang menunjukan anak-anak yang dibiasakan mengerjakan soal, dan belajar secara akademik ini lebih siap menghadapi SD, dan memang mereka akan mendapat nilai akademik yang lebih tinggi.

Namun ada penelitian yang juga melihat dampak jangka panjang dari Paud yang fokus kepada akademik dan Play-based kindergarten. Mereka menemukan data yang sama, pada awal nya di kelas 1-2 anak-anak yang datang dari Paud yang sangat akademik mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Namun ternyata dari kelas 4-5 para peneliti tidak menemukan perbedaan.

Bahkan ternyata di kelas 6 mereka, anak-anak yang datang dari Play-based kindergarten memiliki rata-rata nilai yang lebih tinggi!  (Marcon, 2002).

Selain itu jika teman-teman penasaran ada Psikolog yang menuliskan artikel bahwa ternyata Paud yang terlalu akademik bisa sangat harmful bagi mereka di masa dewasa.

Tapi memang bagi setiap orang yang sudah mempelajari proses perkembangan anak secara dalam hal ini sangat logis, dan kita bersama bisa bilang “ya iya laah!”

Selain itu paud-paud yang bisa kita definisikan sebagai play-based atau child-centered ini memang memiliki banyak manfaat bagi proses perkembangan anak, yang anak menjadikan mereka orang-orang dewasa yang lebih baik juga!

Bagian besar dari play-based kindergarten adalah menggunakan permainan sebagai alat mengajar konsep-konsep akademis, ini yang disebut dengan adult-directed play dan ini tentu hasil nya jelas anak-anak dengan cara yang asik. 

Namun ada filosofi pendidikan, seperti Waldorf education yang lebih fokus terhadap permainan yang lebih child-centered, bisa juga disebut free atau imaginative play. Permainan-permainan di mana para guru hanya mengobserfasi dan memastikan keapamanan anak-anak lalu membiarkan mereka bermain sesuka hati! Dan hal ini lah yang sangat menarik untuk dipelajari.

Lalu hasil nya apa, apa yang terjadi ketika sebagian besar dari pendidikan masa kecil adalah membiarkan mereka bermain?

Satu hal yang mungkin sangat jelas adalah kreativitas. Karena imaginative play ini sangat beraneka ragam, anak-anak juga banyak yang memilih untuk berkarya dan menciptakan cerita-cerita dari imajinasi mereka. (Vygoutsky, 2003)

Selain itu hal yang mungkin diluar ekspektasi adalah empati.

Pendiri dari filsafat pendidikan ini Rudolf Steiner, dan teori sosiologi menjelaskan bahwa imaginative play dan tipe permainan child-center lainya memberikan pondasi untuk belajar hidup bersama masyarakat dengan baik (Waite & Rees, 2014). 

Ini bisa terjadi karena tidak adanya figur otoritas yang kuat seperti di adult-directed play. Tanpa adanya figur otoritas dan peraturan yang baku, anak-anak tetap bisa bermain bersenang-senang dan menyelesaikan konflik nya sendiri. Ini lah yang membentuk karakter yang moral, dimana tanpa peraturan, dan perintah mereka harus bisa tetap bersosialisasi dengan baik.

Anak-anak bisa mempelajari ini secara natural karena dengan imaginative play karena anak-anak belajar melihat dari berbagai macam pandangan atau yang sering dibilang menaruh diri nya di posisi orang lain. Dari sini empati pun terbentuk dan ini fondasi untuk karakter yang moral itu.

Proses alami ini sangat efektif agar anak bisa benar-benar memahami salah dan benar, dan membentuk identitas etis mereka. Bahkan pelatihan-pelatihan “character-building” di masa dewasa menjadi tidak berguna saat anak-anak diberikan ruang dan waktu yang cukup di masa kecil untuk imaginative play ini (Edmiston, 2010).

Di tahun 2014 pun ada penelitian dari Cambridge yang mencari bukti dari teori-teori dan filsafat pendidikan ini. Mereka pun menganalisa 5 sekolah yang menggunakan filosofi Waldorf education sebagai pondasi pendekatan pembelajaran mereka. 

Hasil nya pun cukup baik, dan mengkonfirmasi teori-teori ini. Bahwa anak-anak menjadi sangat kreatif dan juga etis saat mereka diberikan banyak ruang untuk imaginative play

Namun sayangnya studi ini belum bisa melihat dampak jangka panjang dari pendekatan pendidikan yang mengutamakan child-centered play ini. Apa lagi jika kita coba teliti sekarang, pasti datanya tidak akan akurat karena kondisi anak-anak ini sekarang akan sangat berbeda dari anak-anak di masa lain yang tidak terpengaruh oleh Pandemi ini.

Nah bagaimana menurut teman-teman, setuju tidak dengan cara pendidikan ini? Apa mungkin ada cara lain yang lebih efektif agar anak bisa membangun karakter yang baik?

 

Sumber

Edmiston, B. (2010). Playing with children, answering with our lives: A Bakhtinian approach to coauthoring ethical identities in early childhood. British Journal of Educational Studies, 58, 197–211.

Marcon, R. A. (2002). Moving up the Grades: Relationship between Preschool Model and Later School Success. Early Childhood Research & Practice, 4(1), n1.

Sue Waite & Sarah Rees (2014) Practising empathy: enacting alternative perspectives through imaginative play, Cambridge Journal of Education, 44:1, 1-18, DOI:10.1080/0305764X.2013.811218

Vygotsky, L. S. (2003). Imagination and creativity in childhood. Journal of Russian and
East European Psychology, 42
, 797.