Bermain Puzzle: Rahasia Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Melambatkan Penurunan Akibat Penuaan

Bermain Puzzle: Rahasia Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Melambatkan Penurunan Akibat Penuaan

Image by Alexa from Pixabay

Kita semua suga games, tapi ada satu jenis games yang sangat baik untuk kemampuan kognitif kita, yaitu puzzles! Iya game ini sangat baik untuk orang dewasa yang butuh menjaga kemampuan kognitifnya dan membantu anak-anak untuk mengembangkannya dengan baik!

Penelitian ini menawarkan cara yang menyenangkan untuk meningkatkan kemampuan mental kita dan berpotensi melambatkan aspek penurunan kognitif akibat penuaan: teka-teki jigsaw (JP).

Teka-teki jigsaw, yang sering dilihat sebagai kegiatan santai, ternyata memiliki potensi luar biasa dalam meningkatkan berbagai kemampuan visuospatial. Kemampuan ini sangat penting untuk menginterpretasi dan memahami informasi visual dan hubungan spasial dalam kehidupan sehari-hari kita.

Berikut adalah delapan kemampuan visuospatial yang dapat diuntungkan dari interaksi rutin dengan teka-teki jigsaw:

  1. Persepsi Visuospatial: Membantu menginterpretasi dan memahami informasi visual di sekitar kita, serta mengidentifikasi bentuk dan hubungan spasial.
  2. Praksis Konstruksional: Mengembangkan kemampuan untuk membuat atau menggambar figur geometris, yang integral dalam mengorganisir dan memanipulasi informasi spasial.
  3. Rotasi Mental: Teka-teki membutuhkan rotasi mental objek 2D atau 3D, meningkatkan kesadaran dan pemahaman spasial.
  4. Kecepatan Pengolahan: Bermain puzzle secara rutin dapat meningkatkan kecepatan dalam mempersepsi, mengolah, dan merespons informasi.
  5. Fleksibilitas Kognitif: Melibatkan kemampuan untuk beralih antara konsep yang berbeda atau memikirkan beberapa konsep secara bersamaan.
  6. Memori Kerja: Teka-teki jigsaw meningkatkan kapasitas untuk memegang dan memanipulasi informasi dalam pikiran dalam jangka waktu pendek.
  7. Penalaran: Membantu mengembangkan kemampuan untuk membuat penilaian dan kesimpulan berdasarkan informasi yang diberikan.
  8. Memori Episodik: Berinteraksi dengan puzzle dapat meningkatkan kemampuan untuk mengingat dan mengalami kembali episode spesifik dari masa lalu pribadi seseorang.

Penting untuk dicatat, teka-teki jigsaw tidak hanya bermanfaat bagi orang dewasa. Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan ini dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan kognitif mereka.

Ini meningkatkan keterampilan motorik halus, yang sangat penting untuk tugas-tugas yang memerlukan koordinasi mata-tangan. Selain itu, ia mendorong perkembangan kognitif, meletakkan dasar yang kuat untuk pembelajaran dan pemecahan masalah.

Untuk populasi yang menua, bermain puzzle menawarkan perisai pelindung terhadap:

  • Penurunan memori
  • Kecepatan pengolahan yang lebih lambat
  • Kapasitas perhatian yang berkurang
  • Perubahan fungsi eksekutif

Semua ini merupakan aspek umum dari penuaan kognitif. Ini adalah cara yang menyenangkan dan mudah diakses untuk melibatkan otak, menawarkan istirahat dari kelebihan digital kehidupan modern.

Meskipun teka-teki jigsaw bukan solusi untuk segala masalah, manfaatnya terlalu signifikan untuk diabaikan.

Seiring berkembangnya pemahaman kita tentang kesehatan kognitif, menggabungkan kegiatan sederhana dan menyenangkan seperti ini ke dalam rutinitas sehari-hari kita mungkin menjadi salah satu strategi paling efektif untuk menjaga ketajaman mental dan meningkatkan kesehatan kognitif secara keseluruhan.

Sumber:

Fissler, P. (2018). Jigsaw Puzzling Taps Multiple Cognitive Abilities and Is a Potential Protective Factor for Cognitive Aging.

Riset Playful Learning Paling Berpengaruh di 2023 versi Ludenara

Riset Playful Learning Paling Berpengaruh di 2023 versi Ludenara

Photo by Ben McLeod on Unsplash

Playful Learning di 2023: Menciptakan Minat dan Kemandirian dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan tahun 2023, pembelajaran bermain telah muncul sebagai pendekatan transformatif dalam penelitian pendidikan, merombak cara kita memahami dan memfasilitasi pembelajaran pada anak-anak.

Tiga studi terobosan telah membawa wawasan baru ke dalam bidang dinamis ini, masing-masing memberikan kontribusi unik untuk pemahaman kita tentang persimpangan antara bermain dan belajar.

1. Active Playful Learning: Gerbang Menuju Pendidikan yang Menarik

Studi pertama, “Menyelidiki kontribusi pembelajaran bermain aktif terhadap minat siswa dan hasil pendidikan,” menekankan pentingnya pembelajaran bermain aktif dalam menumbuhkan ‘6 C’: Kolaborasi, Komunikasi, Konten, Berpikir Kritis, Inovasi Kreatif, dan Kepercayaan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa minat siswa merupakan faktor perantara penting antara pembelajaran bermain dan hasil pendidikan, mengusulkan pergeseran progresif dari minat situasional menjadi minat individu.

Penelitian ini sangat penting dalam menunjukkan bagaimana pembelajaran bermain dapat menyalakan gairah seumur hidup untuk belajar dengan melibatkan siswa lebih dalam dengan konten.

2. Bermain Terstruktur di Masa Kanak-Kanak: Pengalaman Norwegia

Studi kedua, yang dilakukan di Norwegia, mengevaluasi dampak kurikulum pembelajaran bermain terstruktur terhadap kesiapan sekolah anak-anak.

Studi ini yang menggunakan metode Randomized Controlled Trial ini merupakan bukti efektivitas integrasi pembelajaran bermain terstruktur ke dalam pendidikan awal, membuka jalan bagi kesuksesan anak-anak dalam pendidikan formal.

Berikut adalah sedikit gambaran mengenai kurikulumnya:

  1. Fokus pada Keterampilan Kunci: Kurikulum ini dirancang untuk meningkatkan kompetensi sosial, pengaturan diri, bahasa, dan keterampilan matematika. Keterampilan ini merupakan dasar penting untuk pembelajaran masa depan.
  2. Aktivitas yang Dirancang dengan Cermat: Kurikulum mencakup sekitar 130 permainan, adegan bermain, dan aktivitas yang dirancang untuk merangsang empat komponen inti tersebut. Pentingnya aktivitas ini terletak pada kemampuannya untuk menarik minat anak-anak sambil mengajarkan konsep-konsep penting secara alami dan menyenangkan.
  3. Durasi dan Konsistensi: Para guru didorong untuk mengimplementasikan kurikulum ini selama minimal delapan jam per minggu selama sembilan bulan. Konsistensi dan durasi ini penting untuk memastikan bahwa anak-anak terpapar secara menyeluruh pada konsep-konsep dan keterampilan yang diajarkan.

3. Memberdayakan Kemandirian Anak Melalui Bermain

Yang ketiga, “Membuka Ruang untuk Kemandirian Anak dengan Pembelajaran Bermain,” menawarkan pandangan mendalam tentang peran kemandirian dalam pembelajaran bermain.

Makalah ini mengartikulasikan bagaimana bermain bisa menjadi konteks yang kuat bagi anak-anak untuk berlatih kontrol, berpartisipasi aktif, dan terlibat dengan sukarela dalam perjalanan pembelajaran mereka.

Dengan menekankan inklusivitas budaya, studi ini menganjurkan pengakuan dan pemanfaatan kemandirian dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang beragam. Penelitian ini menekankan kekuatan transformatif bermain dalam menumbuhkan pengaturan diri, motivasi, dan rasa kemandirian di antara peserta didik.

Kesimpulan: Jalur Bermain Menuju Pembelajaran Sepanjang Hidup

Ketiga studi ini secara kolektif menekankan esensi pembelajaran bermain sebagai lebih dari sekadar strategi pendidikan; ini adalah pendekatan holistik yang menghormati dan menumbuhkan rasa ingin tahu dan kemandirian alami anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, wawasan ini akan sangat membantu dalam membentuk praktik dan kebijakan pendidikan, memastikan bahwa pembelajaran tidak hanya efektif tetapi juga menyenangkan dan menarik, menyiapkan panggung untuk seumur hidup rasa ingin tahu, kreativitas, dan pembelajaran.

Referensi:

Blinkoff, E., Nesbitt, K. T., Golinkoff, R. M., & Hirsh-Pasek, K. (2023). Investigating the contributions of active, playful learning to student interest and educational outcomes. Acta Psychologica, 238, 103983.

Størksen, I., Rege, M., Solli, I. F., ten Braak, D., Lenes, R., & Geldhof, G. J. (2023). The playful learning curriculum: A randomized controlled trial. Early Childhood Research Quarterly, 64, 36-46.

Baker, S. T., Le Courtois, S., & Eberhart, J. (2023). Making space for children’s agency with playful learning. International Journal of Early Years Education, 31(2), 372-384.
Permainan Cilukba: Sebuah Jendela Untuk Melihat Kesatuan Ilahi dalam Neo-Platonisme

Permainan Cilukba: Sebuah Jendela Untuk Melihat Kesatuan Ilahi dalam Neo-Platonisme

Illustraion by Leonardo.ai

Neo-Platonisme telah menjadi salah satu aliran pemikiran yang sangat berpengaruh dalam dunia filsafat. Keindahan dan kebijaksanaan ajaran ini telah merambah berbagai tradisi dan keyakinan, termasuk dalam Islam dan Kekristenan.

Pengaruh Neo-Platonisme dalam konteks pemikiran Islam dapat ditemukan dalam karya-karya para filosof Muslim terkemuka seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Arabi, yang mengintegrasikan elemen-elemen Neo-Platonis dalam kerangka pemahaman Islam mereka. Demikian pula, dalam tradisi Kekristenan, teolog seperti Santo Agustinus mengadopsi Neo-Platonisme dalam pemikirannya.

Dalam pemikiran Neo-Platonisme, di mana realitas tertinggi/terdalam dipahami sebagai The One (Yang Satu), Cilukba dapat digambarkan sebagai metafora filosofis yang memahami hubungan antara jiwa individu dengan sumber transenden dari segala eksistensi.

Jika melihat Cilukba dengan lensa Neo-Platonisme, kita dapat menjelajahi implikasi mendalam dari Cilukba sebagai representasi “tari” kosmik antara jiwa dan The One.

Persembunyian Jiwa: Cilukba dimulai dengan sembunyinya perawat dari sang anak, yang melambangkan pemisahan awal jiwa dari The One. Sang anak, yang masih tidak menyadari kehadiran di luar persepsinya yang terbatas, mengalami kekosongan sesaat karena “menghilangnya” orang yang merawatnya. Ini mencerminkan perjalanan jiwa yang tersembunyi oleh keterbatasan dunia fisik yang sesaat hingga melupakan persatuan bawaannya dengan The One

Kerinduan dan Penemuan: Ketika sang anak merindukan kehadiran orang yang disembunyikan, ia melibatkan proses kerinduan, iya  tapi juga antisipasi. Ini mencerminkan keinginan bawaan dalam setiap jiwa untuk mencari penyatuan dengan The One, kerinduan akan menemukan kebenaran yang tersembunyi. Sebagai respons terhadap kerinduan ini, The One dengan penuh kasih “menunjukan” dirinya, mengingatkan jiwa untuk mengenang hubungan abadi mereka.

Pengenalan dan Pengingatan: Ketika mata sang anak bertemu dengan mata orang yang merawatnya setelah Baaa!!!, terjadi momen pengenalan dan pengingatan. Ini adalah pengenalan mendalam dari persatuan jiwa dengan The One, melampaui ilusi pemisahan. Pengenalan ini mencerminkan pengenalan diri individu yang terjaga akan hakikat sejatinya sebagai emanasi tak terpisahkan dari The One, pemahaman yang sentral dalam filsafat Neo-Platonisme.

Kebahagiaan dan Persatuan: Permainan Cilukba diiringi dengan perasaan kebahagiaan dan ekstase, mencerminkan perpaduan jiwa dengan The One. Dalam tawa dan kegembiraan sang anak, kita melihat ungkapan ekstase murni dan pelepasan ketegangan yang disebabkan oleh pemisahan sementara. Ini mencerminkan kebahagiaan dan ekstase yang dialami oleh jiwa ketika ia bersatu dengan The One, melampaui batasan dunia material.

Perjalanan Jiwa: Seperti halnya anak-anak mengembangkan pemahaman dan kemampuan kognitif melalui permainan, jiwa bergerak dalam perjalanan penemuan diri dan naik menuju The One. Cilukba menjadi metafora perjalanan jiwa yang bertahap, mengarah pada kesadaran yang lebih dalam dan pengetahuan akan asal ilahinya.

Cilukba, ketika dipertimbangkan dalam kerangka Neo-Platonisme, menjadi cerminan mendalam dari hubungan jiwa dengan The One.

Melalui kesederhanaan permainan ini, kita menemukan metafora tarian kosmik antara jiwa dan The One, sebuah undangan untuk mencari penyatuan, pengenalan, dan persatuan ekstatis.

Pada intinya, saat kita main Cilukba, benar-benar main, kita bisa merasakan sendiri betapa tipisnya jarak antara diri dan realita.

Mencermati Cilukba dengan filsafat Neo-Platonisme menjadi sebuah renungan, atau obrolan yang menarik. Setelah ini kita akan membahas Cilukba lagi, tapi dengan kacamata sains yang praktis, kita akan melihat manfaat-manfaat memainkan game ini bagi balita.

Konsekuensi dari Kurangnya Bermain: Mengungkap Dampaknya pada Pembelajaran dan Kesejahteraan

Konsekuensi dari Kurangnya Bermain: Mengungkap Dampaknya pada Pembelajaran dan Kesejahteraan

Illustration by BlueWillow Text to Image

Dalam dunia yang penuh dengan tanggung jawab dan tekanan, bermain seringkali diabaikan sebagai aktivitas yang “tidak serius”. Namun, bermain bukan hanya hiburan sepele; itu adalah kebutuhan dasar manusia yang memiliki arti besar bagi kesejahteraan kita secara keseluruhan.

Berikut adalah beberapa konsekuensi dari kurangnya bermain (Whitebread et al., 2012):

1. Peluang Pembelajaran yang Terbatas:

Kegiatan bermain memberikan peluang unik untuk keterlibatan aktif dan pembelajaran eksperiential. Tanpa bermain, siswa kehilangan kesempatan untuk menjelajah, bereksperimen, dan membuat hubungan. Ketiadaan bermain mengurangi motivasi, rasa ingin tahu, dan kegembiraan dalam pembelajaran, yang mengakibatkan perkembangan kognitif yang terbatas dan performa akademik yang menurun.

2. Peningkatan Stres dan Masalah Kesehatan Mental:

Bermain berfungsi sebagai penenang alami, memungkinkan individu untuk bersantai, mengisi ulang energi, dan menemukan kegembiraan dalam momen saat ini. Tanpa bermain, tingkat stres cenderung meningkat, meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya. Bermain memberikan saluran untuk emosi, mempromosikan relaksasi, dan menjaga kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.

3. Keterampilan Sosial dan Emosional yang Terganggu:

Interaksi bermain menyediakan ruang aman bagi anak-anak dan orang dewasa untuk berlatih dan memperbaiki keterampilan sosial dan emosional mereka. Melalui bermain, individu belajar bagaimana berkomunikasi, bekerja sama, bernegosiasi, dan mengatasi dinamika sosial yang kompleks. Ketidakberadaan bermain menghambat perkembangan keterampilan penting ini, membuat sulit membangun hubungan yang sehat, berempati dengan orang lain, dan secara efektif mengekspresikan emosi.

4. Masalah Kesehatan Fisik:

Bermain melibatkan gerakan fisik, yang mendorong perkembangan keterampilan motorik, koordinasi, dan kebugaran fisik secara keseluruhan. Ketidakberadaan bermain berkontribusi pada gaya hidup yang kurang aktif, menyebabkan masalah kesehatan seperti obesitas, kelemahan otot dan tulang, dan peningkatan risiko kondisi kronis seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.

5. Kekurangan Ketahanan dan Adaptabilitas:

Bermain mengajarkan individu untuk mengambil risiko, menghadapi tantangan, dan belajar dari kegagalan. Ini memupuk ketahanan, adaptabilitas, dan pola pikir pertumbuhan. Tanpa bermain, individu mungkin kesulitan mengatasi rintangan, takut mengambil risiko, dan kurang siap menghadapi ketidakpastian dalam hidup.

Konsekuensi dari ketidakberadaan bermain sangat signifikan dan beragam, kurangnya bermain dapat menghambat kesejahteraan dan pertumbuhan individu secara keseluruhan.

Mengakui peran penting bermain dan mengintegrasikannya dalam pendidikan, lingkungan kerja, dan rutinitas sehari-hari adalah sangat penting untuk memupuk perkembangan holistik, mempromosikan kesehatan mental, keterampilan sosial dan emosional, dan menciptakan kehidupan yang seimbang dan penuh kebahagiaan bagi individu dari segala usia.

Sumber:

Whitebread, David & Basilio, Marisol & Kuvalja, Martina & Verma, Mohini. (2012). The importance of play: A report on the value of children’s play with a series of policy recommendations.

Bermain Adalah Kebutuhan Manusia

Bermain Adalah Kebutuhan Manusia

Illustration by BlueWillow Text to Image

Bukan sekedar aktivitas sepele yang kita lakukan untuk menghabiskan waktu atau melawan kebosanan, bermain adalah aktivitas yang sangat penting karena kita bisa memenuhi kebutuhan kita sebagai manusia.

Salah satu teori paling terkenal di bidang psychology adalah Maslow’s hierarchy of needs, di mana psikolog Abraham Maslow merincikan kebutuhan manusia dari yang paling dasar seperti sandang pangan papan hingga kebutuhan untuk mencapai potensi tertinggi nya.

Memang saat tahap peradaban kita masih primitif, bermain penting untuk belajar bertahan hidup di masa dewasa Tapi memang kita semua tahu, permainan tidak bisa dimakan, digunakan sebagai pakaian, dan melindungi kita dari hujan, dingin, atau panas. Jika ada permainan yang bisa mencukupi kebutuhan dasar ini, tolong kontak Ludenara sekarang juga!

Bermain bukan kebutuhan physiologis, namun psychological. Tapi jangan lupa bahwa kebutuhan psychological ini bukan tidak penting, hanya memang physiologic memiliki prioritas utama.

Banyak penelitian yang menjelaskan bahwa kasus-kasus depresi, melukai diri sendiri, hingga bunuh diri terjadi karena kebutuhan psikologis tidak terpenuhi dan karena itu lah kesehatan mental jatuh. Satu lagi hal yang bisa menerangkan pentingnya psychological needs ini adalah survei mengenai penyesalan manusia di masa hidup (Regrets of the Dying – Bronnie Ware).

Mereka tidak menyesal karena harta (ingin lebih kaya, ingin barang-barang mewah) namun mereka menyesal karena terlalu giat bekerja, tidak menjalin hubungan lebih baik teman-temannya, dan live a happier life.

Alan Gerding seorang professor of psychology dari Cuyahoga Collage telah merincikan kebutuhan-kebutuhan yang sangat cocok untuk di lengkapi dengan bermain. Berikut adalah ringkasan dari seminar publik Greding

 

Social Belonging

Image by Stefan Keller from Pixabay

Yang pertama, kebutuhan dasar psychology adalah social belonging. Kita makhluk sosial yang butuh di cintai di sayangi, di akui kerabat kita. Tentunya kita harus menjalin hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita.

Dari usia dini kita tahu anak-anak melakukan ini dengan bermain dengan temannya atau dengan keluarga, di masa remaja dan dewasa pun kita tahu bahwa bermain sangat lah cocok untuk social bonding.

Dari bermain kita bisa semakin dekat dengan orang-orang disekitar kita.

 

Self Esteem

Di tahap ini menurut Maslow manusia membutuhkan status dan kehormatan dari orang sekitar. Hal-hal seperti ini membutuhkan banyak prestasi dan kesuksesan, di sini lah bermain bisa membantu namun fungsi bermain sebagai alat untuk membantu karir kita adalah topik yang panjang, dan akan di bahas di lain waktu.

Secara singkat premis nya seperti ini; bermain bisa membuat kita menjadi orang yang lebih baik (productive, creative, skillful) hal ini lah akan meningkatkan status sosial kita. 

Picture by: Board Gaming with Education Tuesday Knight Games feat. Alan Gerding – 64

Namun ada hal lain yang ditunjukkan oleh Alan Gerding, ya itu self esteem sebagai nilai kita terhadap diri kita sendiri, atau seberapa bahagiannya diri kita dengan diri sendir,i seberapa bangga nya kita dengan diri sendiri.

Menurut Profesor Gerding disini lah bermain bisa membantu. Banyak sekali macam games dan setiap orang pasti akan menemukan game yang mereka bisa kuasai karena cocok dengan mereka. Memiliki mastery dalam sebuah game bukan hal yang mudah dan pencapaian ini akan meningkatkan self esteem kita.

Self-actualization

Definisi paling singkat dari self-actualization adalah mencapai potensi tertinggi, atau menjadi versi terbaik dari diri kita. Pada TED talk di tahun 2010 Jane McGonigal menyatakan bahwa 

In game world we become the best version of our self

TEDGlobal 2012 – June 25 – 29, 2012, Edinburgh, Scotland. Photo: James Duncan Davidson

Penjelasan McGonigal sangatlah menarik.

Saat di dunia games kita sangat nyaman dengan diri sendiri, kita bisa mengapresiasi segala hal di sekitar kita, kita tidak takut kegagalan, kita bisa belajar dari kesalahan, kita selalu ingin berkolaborasi, kita bisa memimpin, kita bisa memecahkan masalah lagi dan lagi.

 

Hal-hal yang menurut Maslow adalah karakteristik dari seseorang yang sudah self-actualized. Menurut Maslow, terkenal atau tidak dikenal, berpendidikan atau tidak, kaya atau miskin, seseorang yang sudah self-actualized cenderung cocok dengan profil ini.

Photo by Mohamed Nohassi on Unsplash

Ini fungsi bermain, menyediakan jendela untuk melihat bahwa kita sudah self-actualize

 

Sumber: 

Maslow’s hierarchy of needs

Maslow, A.H. (1943). “A theory of human motivation”. Psychological Review. 50 (4): 370–96. CiteSeerX 10.1.1.334.7586. doi:10.1037/h0054346

Self-actualization profile

Coon, Mitterer;”An Introduction to Psychology: Gateways to Mind and Behavior” 2007 p. 479

Alan Gerding, the psychology of why we play

https://www.youtube.com/watch?v=wFtw9D_OjMw

Jane McGonigal TED talk, gaming can make a better world

https://www.youtube.com/watch?v=dE1DuBesGYM&t=233s

Bermain bersama Anak adalah fondasi utama Pendidikan Karakter!

Bermain bersama Anak adalah fondasi utama Pendidikan Karakter!

Kita semua menginginkan Anak-anak memiliki perilaku yang baik, mampu bersosialisasi dengan baik, membangun koneksi teman-teman yang luas, dan pandai bekerja sama dengan orang lain. 

Ini lah mengapa kita tidak lagi menganggap pendidikan hanya sebagai tempat mereka mempelajari ilmu pengetahuan tapi juga tempat dimana mereka bisa mengembangkan karakter yang moral.

Tapi jika kita menginginkan Guru-guru di sekolah yang mendidik karakter mereka, sepertinya kurang benar. Iya mereka memang pendidik, tapi dibandingkan peran Orang tua perna mereka sangat minim.

Faktor utamanya adalah karena kemampuan Anak-anak untuk bertindak prososial saat mereka masuk PAUD sangat menentukan karakter mereka hingga dewasa.

Sekumpulan penelitian menunjukan bahwa semakin prososial (berkarakter moral) Anak-anak di masa balitanya semakin mungkin mereka diterima dalam kelompok Anak-anak yang juga prososial. Lalu bermain bersama lingkungan yang baik ini juga meningkatkan karakteristik prososial mereka, dan ini akan terus terjadi hingga masa dewasa.

Sebaliknya pun sama, jika mereka memiliki karakter yang kurang baik mereka akan cenderung ditolak dari sebuah kelompok permainan. Dan karena mereka tidak memiliki teman bermain mereka tidak mampu mengembangkan kecerdasan sosial dengan baik.

Dari penelitian-penelitian ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa sosialisasi dari Orang tua yang baik dapat mendukung dan meningkatkan karakteristik prososial anak, yang akan mendorong kompetensi sosial mereka dan memperoleh tanggapan positif dari anak-anak lain, yang selanjutnya dapat mendukung perkembangan prososial yang berkelanjutan hingga tahap dewasa (Persson 2005).

Lalu bagaimana cara mengembangkan karakteristik prososial pada anak sejak usia dini?

Jawabanya sudah jelas, banyak-banyak lah bermain dengan mereka. Bermain bersama adalah cara baik Anak-anak berkembang dengan sehat secara sosial, fisik, dan kognitif, selain itu bermain lah yang juga membuat ikatan antara Anak dan Orang tua menjadi kuat (Milteer et al., 2012).

Saat Anak bermain dengan Orang tua, saudara, teman, dan keluarga mereka memiliki banyak kesempatan untuk mengeksplorasi dan bereksperimen dengan berbagai macam perilaku. Setiap tindakan yang mereka perbuat mereka akan mendapatkan reaksi positif atau negatif, dari reaksi-reaksi ini lah mereka mulai bisa memilih tindakan apa yang disenangi oleh orang lain, dan yang mana yang sebaiknya tidak dilakukan karena mendapat konsekuensi negatif dari lingkungan sosialnya. 

Ini lah awal dari terbentuknya karakter yang moral, saat mereka mulai mengenali apa yang baik dan buruk melalui pengalaman mereka berinteraksi dengan orang lain. Semakin banyak pengalaman bermain dengan Orang tua dan keluarga semakin siap Anak-anak untuk berinteraksi dengan baik saat bertemu teman-temannya di sekolah.

Sumber

 

Milteer, R. M., Ginsburg, K. R., & Mulligan, D. A. (2012). The importance of play in promoting healthy child development and maintaining strong parent-child bond: Focus on children in poverty. Pediatrics, 129(1), e204-e213.

 

Persson, G. E. B. (2005). Young children’s prosocial and aggressive behaviors and their experiences of being targeted for similar behaviors by peers. Social Development, 14, 206–228.

Kualitas Hidup Yang Baik (well-being) Menurut Anak-anak

Kualitas Hidup Yang Baik (well-being) Menurut Anak-anak

Photo by Guduru Ajay bhargav on Pexel

Sebagai orang tua ataupun pendidik kita pasti menginginkan anak-anak kita memiliki kesejahteraan (well-being) dan, kualitas hidup yang baik dari berbagai macam aspek, seperti bahagia, soleh, sehat, pintar, makmur, dan lain-lain. 

Tapi pernahkah kita menanyakan pendapat mereka mengenai kualitas hidup yang baik itu seperti apa? 

Padahal dalam sebuah riset, UNICEF menemukan bahwa pengukuran well-being secara object yang biasanya dilihat dari kondisi sosial dan ekonomi keluarga tidak menggambarkan well-being internal anak tersebut. Seperti ada anak yang berada dalam kondisi sosial ekonomi yang kurang baik tapi merasa kualitas hidupnya sangat baik, dan juga sebaliknya.

Nah karena itu UNICEF mengadakan riset yang mengumpulkan anak-anak dari Indonesia, United Kingdom, Albania, Bulgaria, Tunisia, Iraq, Jordan, Tanzania, South Africa, Pakistan, dan Taiwan, untuk berdiskusi bersama mereka mengenai apa itu well-being menurut mereka, dan banyak jawaban yang menarik dan sangat dalam lho!

Berikut adalah aspek-aspek well-being menurut anak-anak beserta salah satu quote dari seorang anak:

Ayo sekalian tebak mana quote-quote yang dari anak-anak Indonesia?

1. Kondisi mental dan emosional yang sehat

“Well-being adalah memiliki ketentraman dalam diri sendiri”

Memiliki emosi positif, terhindar dari emosi negatif, jelas menjadi hal penting dalam hidup yang baik. Tapi lebih mendalamnya lagi ada anak-anak yang merasa hal yang lebih penting adalah memiliki kedamaian dan ketentraman dalam diri, memiliki kemampuan mengendalikan pikiran, dan memiliki rasa syukur dalam hidup.

2. Kebebasan

“Kualitas hidup jadi buruk saat kita sering di suruh-suruh” 

Menurut anak-anak mereka akan merasa kualitasnya hidupnya baik jika mereka merasa mandiri, diberi kebebasan mengambil keputusan sendiri, dan bertindak sesuai apa yang menurutnya baik dan sesuai.

3. Aktualisasi Diri

“Well-being adalah mencintai diri sendiri, menjadi diri sendiri, dan percaya pada diri sendiri”

Menurut literatur pendidikan well-being memiliki dua aspek, yaitu menerima dan mencintai diri sendiri serta memiliki tujuan yang bermakna. Anak-anak yang terlibat dalam riset ini sering bercerita seberapa senangnya mereka ketika berhasil mencapai tujuan yang baik, mereka juga bercerita pentingnya memiliki tujuan baik sepanjang hidup. Hal ini juga diseimbangkan dengan expresi mereka mengenai pentingnya menerima dan mencintai diri sendiri.

4. Merasa aman

“Ketika kita tidak perlu khawatir akan keamanan kita dan tidak harus memikirkan tentang bahaya”

Terhindar dari bahaya secara fisik maupun mental tentu merupakan bagian penting dari well-being. Di sisi lain ternyata merasa aman ini bukan lah hidup tanpa resiko. Banyak juga anak-anak yang merasa melakukan hal-hal yang beresiko menambah keasikan dari permainan itu, dan kepuasan saat berhasil menghindari resiko-resiko itu.

5. Memiliki lingkungan sosial yang baik

“Kualitas hidup saya baik saat saya bisa bermain bersama teman-teman”

Secara menyeluruh anak-anak merasa hubungan sosial merupakan faktor yang paling besar untuk well-being. Menyayangi, disayangi, memiliki hubungan baik dengan teman dan keluarga, merupakan hal-hal yang paling sering diasosiasikan dengan kehidupan yang baik.

6. Kondisi fisik dan keuangan yang baik

“Well-being adalah dikasih uang jajan sama orang tua”

Faktor terakhir ini juga mungkin hal yang paling jelas ya, meskipun kekayaan tidak otomatis berarti kebahagiaan kita tetap membutuhkan kondisi material yang mencukupi. Selain itu kondisi fisik juga meskipun kita tetap bisa memiliki hidup yang berkualitas dengan kondisi fisik yang kurang baik, tapi pasti kita akan jauh lebih bahagia jika kita memiliki fisik yang sehat.

Persepsi anak-anak mengenai kualitas hidup yang baik ini cukup menarik ya, dan wawasan mereka mengenai hal ini sangat mengagumkan. Memang orang dewasa juga bisa belajar dari anak-anak yaa.

Sumber:

https://www.unicef-irc.org/ritec

Bermain adalah proses pembentukan karakter yang baik untuk Anak.

Bermain adalah proses pembentukan karakter yang baik untuk Anak.

Banyak sekali hal yang kita inginkan dari dunia pendidikan yang nampak pada permukaan banyka ornag yang menginginkan pendidikan menambah ilmu pengetahuan anak yang sesuai dengan kurikulum. Ini terlihat dari puluhan tahun sistem pendidikan kita yang sangat mementingkan nilai ujian.

Seiring berkembangnya jaman kita semakin paham bahwa itu mungkin bukan hal yang utama apa lagi dengan adanya internet semua ilmu bisa di kases degan mudah. Lalu pendidikan menjadi sarana agar Anak-anak bisa meningkatkan soft skills mereka, seperti berpikir kritis, kreatif, dan semua 21st century skills lainnya.

Jelas tidak hanya disitu, satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah pendidikan harus mampu membantu Anak mengembangkan karakter yang moral. Sehingga mereka bisa menjadi orang yang mampu bekerja sama, memiliki keinginan untukuk membantu orang lain, dan secara menyeleuruh membuat Indonesia lebih baik.

Dari tujuan-tujuan pendidikan ini kita bisa melihat betapa luarbasanya bermain. Karena dari bermain Anak-anak mengembangkan ketiga hal ini. 

Sudah banyak artikel kita yang membahas bahwa bermain membuat kondisi psikologis sangat optimal untuk membentuk ilmu baru, salah satunya ada penelitan yang menunjukan nilai ujian Anak-anak meningkat lebih tinggi saat belajar menggunakan games.

Pendidikan soft skills apa lagi, saat bermain jika ingin mengikuti alur permainan tentu segala macam soft skills diperlukan dan terasah. Karena ini pula World Economic Forum membanggakan play based learning sebagai sarana mengembangkan 21st century skills.

Nah diartikel ini kita coba membahas sedikit bagaimana saat bermain Anak-anak terdorong untuk mengembangkan karakter yang moral. Pertama yang jelas tidak semua macam bermain bisa ya, main video game sendirian sepertinya tidak ada dampak pada pembentukan karkater yang baik, permainan sosial lah yang dibutuhkan.

Sebuah penelitian di Indonesia menunjukan bahwa banyak nilai-nilai positif yang kita banggakan berkembang secara natural saat Anak-anak bermain, khususnya permainan tradisional. 

Melalui permainan-permainan ini anak-anak belajar berbagai macam nilai-nilai budaya seperti proto demokrasi, kepemimpinan, kebersamaan, tanggung jawab, dan lain-lain (Dharmamulya, 1992).

Kita bisa mempelajari proses berkembangnya moralitas dari bapak psikologis perkembangan, Jean Piaget (1932). Melalui observasinya Jean Piaget melihat bahwa saat Anak-anak bermain dengan teman-temannya banyak sekali hal yang terajdi yang mendorong perkembangan moralitas mereka secara bertahap.

Tahap pertama saat mereka bermain pasti mereka akan mengikuti peraturan yang sudah ditentukan. Mereka juga mulai belajar manfaat dari peraturan yang baik, seperti saat main petak umpet yang mencari harus menutup matanya terlebih dahulu agar yang lain bisa sembunyi. 

Mereka akan mulai sadar konsekuensi dari tidak mengikuti permainan seperti jika ada yang curang mereka mungkin bisa menang tapi mendapatkan reaksi negatif dari teman lainnya. Kalo ada Anak yang terus-terusan tidak mau mengikuti peraturan demi ingin menang Anak itu akan merasakan dampak yang sangat buruk seperti social rejection dan tidak memiliki teman yang mau diajak bermain lagi. 

Ini merupakan tahap yang Piaget sebut memahami moral responsiblity, saat mereka sadar siapa yang pantas dihukum (yang membawa bola dengan tangan saat main sepak bola) dan siapa yang tidak patut di hukum (tanmpa sengaja memegang bola). Ini terjadi usia 6-9 tahun.

Belajar mengikuti peraturan memang merupakan tahap yang baik untuk membentuk karakter. Namun sangat tidak cukup, karena kita sendiri tahu bahwa peraturan tidak selamanya benar dan bisa berubah-ubah demi kepentingan yang lebih tinggi, seperti keamanan, kesejahteraan atau keadilan. 

Banyak permainan seperti permainan tradisional atau saat Anak-anak bebas bermain mereka sering menegosiasi peraturan demi niali-nilai baik seperti kebersamaan. Contohnya saat sekelompok Anak-anak dengan umur berbeda-beda bermain mereka sering meringankan peraturan untuk adik-adik mereka, atau mereka yang memang memiliki disabilitas. 

Seperti saat main benteng-bentengan yang membutuhkan fisik yang kuat dan lincah, mereka bisa memberi dua “nyawa”, atau saat bermain monopoli mereka memberikan uang leibh banyak di awal permainan kepada adik-adik yang jauh lebih kecil agar permainannya tetap seru, kompetitif, dan dalam konteks ini adil.

Fleksibilitas dan negosiasi akan peraturan ini sering terjadi pada anak usia 9 tahun keatas, Piaget menyembut ini Autonomous Morality saat Anak-anak mulai mempikirkan secara dalam apa yang benar dan salah, tanmpa mengandalkan peraturan. 

Disaat ini mereka mulai berkembang diluar egosentrism mereka dan belajar empati, memposisikan diri sebagai orang lain, contohnya sebagai Anak kecil yang belum bisa lari kencang atau berpikir secara kompleks, tapi ingin ikut bermain. 

Sumber:

Dharmamulya, S. et al. (1992). Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.

DeVries, R. (1998). Moral and Intellectual Development Through Play: How to Promote Children’s Development Through Playing Group Games. Web: http://www. uni. edu/coe/regentsctr/moral. html, 27.

Piaget, J. (1932). The moral judgment of the child. London: Kegan, Paul, Trench, Trubner & Co.

Rise of Nations, game seru yang terbukti bisa melatih Kemampuan Kognitif

Rise of Nations, game seru yang terbukti bisa melatih Kemampuan Kognitif

 

Sebagian besar yang main video games adalah anak muda, tapi orang dewasa harus ikutan nih!  Bukan hanya sekedar seru-seruan, video games ternyata sudah banyak diteliti sebagai alat melatih kemampuan kognitif.

 

Memang memainkan video games membutuhkan proses-proses dan fleksibilitas kognitif yang besar, tapi apakah hal ini melatih kemampuan kognitif kita di luar video games?

Nah banyak penelitian-penelitian yang ternyata sudah melihat bukti yang tidak diragukan lagi bahwa melatih kemampuan kognitif di luar video games apalagi untuk orang dewasa dan lansia.

 

Pertama Memang, tidak semua video games sama. Untuk kognitif training, setiap genre games memiliki kekuatannya masing-masing. 

Seperti Real Time Strategy (RTS) games terlihat sangat baik untuk melatih fungsi eksekutif seperti; task switching, working memory, visual short term memory, mental rotation, dan penalaran. Ini terbukti setelah ada penelitian yang menggunakan video game Rise of Nations, sebuah historical RTS games yang memang seru banget!

Tim peneliti dari University of Illinois mengajak 73 subject di usia emas (68-70 tahun) untuk main Rise of Nations selama minggu dengan 23.5 jam total main. Sepanjang penelitian dan di akhir penelitian ini para subject juga diberikan cognitive tests untuk mengukur apakah ada perubahan karena bermain games ini. Test-test adalah 6 executive control task, dan 4 visuospatial tasks. Hasilnya sangat menarik, mereka melihat peningkatan yang substansial di area executive function, memori dan switching task, medium sized effect untuk visual short-term memory, dan reasoning terlihat membaik secara substansial setelah 11 jam bermain. 

Hal lan yang harus kita perhatikan adalah subject training ini mengenai cognitive decline. Di mana pada usia emas ini frontal lobe kita mulai mengecil dan banyak kapasitas-kapasita otak lain yang mengalami penurunan. Ini lah mengapa mereka memilih usia 68-70 sebagai subject penelitian. Terlihat meskipun ini lah usia yang rentan terhadap cognitive decline dampak positif dari memainkan video games tetap terlihat secara substansial.

Sayangnya penelitian ini memiliki kekurangan. Study ini tidak meneliti secara khusus mengapa game ini bisa sangat baik khususnya untuk executive control tasks, jika kita tahu mengapa ilmu ini sangatlah berguna bagi kita yang ingin mendesain game. Untungnya para peneliti memberikan hipotesis mereka mengenai ini.

Jadi pada dasarnya game ini memberikan kita tugas untuk membangun sebuah peradaban, dari peradaban batu sampai modern. Banyak sekali tugas yang harus dilakukan untuk memastikan kesuksesan sebuah peradaban, dari memastikan territory aman dari serangan negara lawan, mengatur dan menambang sumber daya alam, investasi di sains untuk perkembangan teknologi, mengatur strategy perang, memastikan setiap kota di negara kita termaintain dan seterusnya. 

Lalu semua ini terjadi secara real time, sehingga kita tidak punya banyak waktu untuk memikirkan semua strategy, planning,tugas-tugas ini juga sangat penting untuk memenangkan game ini, sehingga mau tidak mau otak kita bekerja dengan keras. Banyak sekali tugas yang harus diselesaikan secara simultan. Bayangkan jika kita lagi asik memanbun kota baru karena lokasinya yang strategis, namun tiba-tiba ibu kota kita diserang, nah switching task ini yang terlihat melatih fungsi eksekutif otak. 

Nah sepertinya diet sehat main video games sangat lah baik untuk memaintain kesehatan otak kita, kebetulan game RTS seperti Rise of Nation ini sangat baik untuk frontal lobe yang bertanggung jawab atas fungsi eksekutif. Video game genre lain sepertinya memiliki keunggulan liannya, tentunya Ludenara akan sharing hasil penelitian lain, kira-kira genre lain bagus untuk apa aja ya?

Sumber:

Basak, C., Boot, W. R., Voss, M. W., & Kramer, A. F. (2008). Can training in a real-time strategy video game attenuate cognitive decline in older adults?. Psychology and aging, 23(4), 765–777. https://doi.org/10.1037/a0013494

Permainan tradisional ampuh untuk penyembuhan trauma dan stress lho!

Permainan tradisional ampuh untuk penyembuhan trauma dan stress lho!

Photo by Tbel Abuseridze on Unsplash

Salah satu hal yang membuat bermain semakin penting adalah kemampuannya untuk mengurangi stress kita. Khususnya dalam mengendalikan stress yang datangnya dari faktor external diluar kendali kita. Dimana meskipun kita tidak bisa berhenti memikirkannya, kita tidak punya pilihan lain selain berdoa, dan menunggu.

Dengan bermain fokus dan pikiran kita teralihkan kepada setiap momen yang berlalu dalam permainan, bukan kepada hal eksternal penyebab stress kita itu. Secara biologis juga ternyata penelitiannya sudah jelas, memang bermain sangat bermanfaat untuk ini.

Seringkali kita memikirkan stress dalam konteks kehidupan sehari-hari, namun ternyata tidak hanya saat situasi sehari-hari. Bermain tetap menjadi sarana pengendalian stress disertasi yang ekstrim! Salah satunya adalah pasca bencana alam untuk para penyintas yang bukan hanya melewati hal yang sangat tragis, sekaligus masih melewati situasi yang pasti penuh stress.

Sebuah penelitian dari Universitas Muhammadiyah Magelang meneliti 10 Paud yang terletak di daerah yang telah terkena bencana untuk melihat penggunaan permainan sebagai terapi penyembuhan trauma.

Penelitian ini menunjukan bahwa bermain merupakan terapi yang paling efektif untuk Anak-anak usia muda karena beberapa hal. Pertama kemampuan mereka untuk mengekspresikan dirinya dan memahami konsep secara verbal masih sangat terbatas. Karena itu kita tidak bisa menggunakan terapi penyembuhan trauma dan stress yang konvensional untuk orang dewasa.

Bermain sendiri merupakan cara mereka untuk mengekspresikan dirinya dan berkomunikasi, karena itu terapi terbaik untuk mereka memang dengan cara bermain. Bermain membantu mereka mencegah, dan menyelesaikan tantangan-tantangan psikologis dan mencapai tumbuhkembang yang optimal.

Anak-anak yang melewati bencana membutuhkan lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan, sebuah lingkungan yang bisa dibangun melalui bermain. Disini lah mereka bisa benar-benar menerima dirinya, mengekspresikan perasaan dan pikirannya dengan nyaman dan dengan cara yang tepat secara simbolis melalui permainan.

Nah dalam penelitian ini mereka menemukan bahwa juga banyak Guru-guru yang menggunakan permainan tradisional sebagai terapinya. Menurut para peneliti, permainan tradisional memang seharusnya lebih efektif karena bukan hanya sesuai dengan mereka secara umurnya, tapi juga secara budaya dan lingkungan mereka.

Permainan-permainan tradisional yang digunakan adalah Gobak sodor, mainan kelereng, engklek, dan Dakok & Bakikak. Asik yaaa!!

Penelitian ini menunjukan bahwa pertama semakin banyak alasan untuk bermain, dan sekarang kita tahu meskipun tingkat stress yang sangat tinggi, bermain tetap menjadi media efektif untuk menanggulanginya. Selain itu semakin banyak alasan mengapa kita harus menjaga agar permainan-permainan tradisional kita tidak punah, karena semakin jarang Anak-anak yang memainkannya, ayo ajarkan Anak-anak kita bermain!

Sumber:

Madyawati, L., & Sulistyaningtyas, R. E. (2020, May). Local Culture Games for Post-Disaster Trauma Healing in Early Childhood. In 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics and Social Sciences (BIS-HESS 2019) (pp. 508-512). Atlantis Press.