Permainan Cilukba: Sebuah Jendela Untuk Melihat Kesatuan Ilahi dalam Neo-Platonisme

Illustraion by Leonardo.ai

Neo-Platonisme telah menjadi salah satu aliran pemikiran yang sangat berpengaruh dalam dunia filsafat. Keindahan dan kebijaksanaan ajaran ini telah merambah berbagai tradisi dan keyakinan, termasuk dalam Islam dan Kekristenan.

Pengaruh Neo-Platonisme dalam konteks pemikiran Islam dapat ditemukan dalam karya-karya para filosof Muslim terkemuka seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Arabi, yang mengintegrasikan elemen-elemen Neo-Platonis dalam kerangka pemahaman Islam mereka. Demikian pula, dalam tradisi Kekristenan, teolog seperti Santo Agustinus mengadopsi Neo-Platonisme dalam pemikirannya.

Dalam pemikiran Neo-Platonisme, di mana realitas tertinggi/terdalam dipahami sebagai The One (Yang Satu), Cilukba dapat digambarkan sebagai metafora filosofis yang memahami hubungan antara jiwa individu dengan sumber transenden dari segala eksistensi.

Jika melihat Cilukba dengan lensa Neo-Platonisme, kita dapat menjelajahi implikasi mendalam dari Cilukba sebagai representasi “tari” kosmik antara jiwa dan The One.

Persembunyian Jiwa: Cilukba dimulai dengan sembunyinya perawat dari sang anak, yang melambangkan pemisahan awal jiwa dari The One. Sang anak, yang masih tidak menyadari kehadiran di luar persepsinya yang terbatas, mengalami kekosongan sesaat karena “menghilangnya” orang yang merawatnya. Ini mencerminkan perjalanan jiwa yang tersembunyi oleh keterbatasan dunia fisik yang sesaat hingga melupakan persatuan bawaannya dengan The One

Kerinduan dan Penemuan: Ketika sang anak merindukan kehadiran orang yang disembunyikan, ia melibatkan proses kerinduan, iya  tapi juga antisipasi. Ini mencerminkan keinginan bawaan dalam setiap jiwa untuk mencari penyatuan dengan The One, kerinduan akan menemukan kebenaran yang tersembunyi. Sebagai respons terhadap kerinduan ini, The One dengan penuh kasih “menunjukan” dirinya, mengingatkan jiwa untuk mengenang hubungan abadi mereka.

Pengenalan dan Pengingatan: Ketika mata sang anak bertemu dengan mata orang yang merawatnya setelah Baaa!!!, terjadi momen pengenalan dan pengingatan. Ini adalah pengenalan mendalam dari persatuan jiwa dengan The One, melampaui ilusi pemisahan. Pengenalan ini mencerminkan pengenalan diri individu yang terjaga akan hakikat sejatinya sebagai emanasi tak terpisahkan dari The One, pemahaman yang sentral dalam filsafat Neo-Platonisme.

Kebahagiaan dan Persatuan: Permainan Cilukba diiringi dengan perasaan kebahagiaan dan ekstase, mencerminkan perpaduan jiwa dengan The One. Dalam tawa dan kegembiraan sang anak, kita melihat ungkapan ekstase murni dan pelepasan ketegangan yang disebabkan oleh pemisahan sementara. Ini mencerminkan kebahagiaan dan ekstase yang dialami oleh jiwa ketika ia bersatu dengan The One, melampaui batasan dunia material.

Perjalanan Jiwa: Seperti halnya anak-anak mengembangkan pemahaman dan kemampuan kognitif melalui permainan, jiwa bergerak dalam perjalanan penemuan diri dan naik menuju The One. Cilukba menjadi metafora perjalanan jiwa yang bertahap, mengarah pada kesadaran yang lebih dalam dan pengetahuan akan asal ilahinya.

Cilukba, ketika dipertimbangkan dalam kerangka Neo-Platonisme, menjadi cerminan mendalam dari hubungan jiwa dengan The One.

Melalui kesederhanaan permainan ini, kita menemukan metafora tarian kosmik antara jiwa dan The One, sebuah undangan untuk mencari penyatuan, pengenalan, dan persatuan ekstatis.

Pada intinya, saat kita main Cilukba, benar-benar main, kita bisa merasakan sendiri betapa tipisnya jarak antara diri dan realita.

Mencermati Cilukba dengan filsafat Neo-Platonisme menjadi sebuah renungan, atau obrolan yang menarik. Setelah ini kita akan membahas Cilukba lagi, tapi dengan kacamata sains yang praktis, kita akan melihat manfaat-manfaat memainkan game ini bagi balita.