Di tahun 387 Sebelum Masehi, Plato mendirikan The Academy sebuah perguruan tinggi yang menurut bukti arkeologi merupakan perguruan tinggi yang paling pertama terbangun di Eropa. Di dalam kampus nya Plato juga mendirikan sebuah kuil yang didedikasikan untuk “The Muses” Sekelompok Dewi-dewi yang menurut Plato adalah pelindung paideia (education) dan paidia (play) (D’Angour 2013)
Secara general bermain dan aktifitas-aktifitas lain yang masuk dalam “lindungan” The Muses (puisi, musik, dansa, drama, komedi) memiliki peran yang sangat besar dalam filsafat Plato secara menyeluruh.
Plato melawan dualitas yang bertentangan antar paidia (play) dan spoude (serious). Pemikiran yang konvensional di jaman itu adalah dualitas diantara kedua ini, dimana bermain dan aktivitas lain yang serius itu bertolak belakang dan tidak bisa disamakan. Namun setiap orang yang membaca Platonic Dialogues pasti menyadari bahwa secara explicit Plato mencampurkan kedua hal ini secara harmonis (Ardley 1967).
Hal ini terangkum dengan sangat singkat di dalam salah satu quote Plato yang mungkin paling populer,
“Life must be lived as play”
-Plato
Dalam bukunya Laws (Book 1) Plato mengobservasi bahwa bermain sangat lah natural untuk Anak, “Saat Anak-anak berkumpul dan bermain bersama, mereka secara spontan mereka menemukan permainan-permainan yang cocok untuk usa mereka.”
Plato mengadvokasikan agar masyarakat menggunakan aktivitas bermain untuk tujuan-tujuan utilitarian. Plato menuliskan, “Belum ada masyarakat yang benar-benar menyadari betapa pentingnya bermain untuk kestabilan sosial, proposal saya adalah kita harus meregulasikan permainan Anak-anak”.
Menurut Plato kita bisa menggunakan games untuk mengarahkan dan melatih Anak agar mereka bisa lebih siap menempati peran nya sebagai orang dewasa di masa depan. Jika Anak-anak ingin menjadi petani yang baik dari kecil dia harus coba mainan-mainan petani dan bermain “role-play” yang mencontoh petani-petani yang baik.
Satu hal lagi dari Plato yang sekarang Ludenara coba terapkan sebaik mungkin adalah pendidikan dimulai dari enjoyment Anak, dan bukan arahan otoriter yang menurut pendidik harus dilakukan oleh sang Anak. Seperti quote ini;
“Do not train a child to learn by force or harshness; but direct them to it by what amuses their minds, so that you may be better able to discover with accuracy the peculiar bent of the genius of each.”
― Plato
Integrasi antara bermain dan pendidikan ini ternyata bukan Plato yang memulai, melainkan ini pembelajaraan yang Plato dapatkan dari guru nya, Socrates. Dalam buku nya The Republic, Plato mendokumentasikan dialog dia bersama guru nya.
Socrates memisahkan antara bermain yang berupa distraksi dari pendidikan, dan permainan yang sejalan dengan pendidikan yang disebut “law-abiding play”, permainan yang mendorong Anak untuk berkontemplasi tentang yang benar dan yang baik.
Dengan pemahaman itu, bermain memiliki beberapa fungsi (Crocco et al., 2016):
- Menunjukan bakat pelajar
- Membantu pendidik melihat hal apa yang paling cocok untuk didalami oleh pelajar
- Membantu pelajar mengingat pelajaran dengan meningkatkan engagement saat belajar
- Meningkatkan fungsi pikiran untuk menganalisa situasi, dan berpikir kritis.
Hal-hal ini menurut Socrates sangat penting untuk Anak-anak yang ingin menjadi filsafat, atau yang ingin menduduki posisi pemimpin.
Semakin menarik saat kita mempelajari cendikiawan-cendikiawan yang telah memikirkan peran bermain dalam masyarakat, ternyata memang sudah banyak yang sudah mengadvokasikan Game Based Learning. Sekarang saat nya bersama kita memaksimalkan hal ini untuk tujuan yang baik.
Sumber:
Alvin W. Gouldner, Enter Plato: Classical Greeces and the Origins of Social Theory (1965)
Ardley, G. (1967). The role of play in the philosophy of Plato. Philosophy, 42(161), 226-244.
Crocco, F., Offenholley, K., & Hernandez, C. (2016). A proof-of-concept study of game-based learning in higher education. Simulation & Gaming, 47(4), 403-422.
D’Angour, A. (2013). Plato and play: Taking education seriously in ancient Greece. American Journal of Play, 5(3), 293-307.