Play Deprivation, ketika kekurangan bermain berakibat fatal!

Image by lisa runnels from Pixabay
Dr Stuart Brown, psychologytoday.com

Bermain adalah kebutuhan, dan seperti kebutuhan lainnya jika tidak dipenuhi akan berakibat fatal. Perilaku anti sosial, tindakan kekerasan, otak dan badan yang tidak berkembang secara maksimal, depresi, kecemasan, gangguan kesehatan fisik dan mental, adalah beberapa dampak negatif yang telah jelas diteliti dan dokumentasi kan sebagai dampak dari play deprivation (Lauer, 2011). Saat anak play deprived mereka kehilangan segala hal esensial yang dibutuhkan untuk perkembangan, sehingga mereka memiliki disabilitas sosial dan biologis (Huges, 2003). Kondisi play deprivation ini memang mengawetkan, hingga Dr. Stuart Brown menyatakan di saat play deprived kita kehilangan segala essence yang membuat kita manusia.

 

Too little play experiences can lead to depression, feelings of hostility, aggression, and
the loss of the things that make us human beings.

Lalu apakah benar, bermain dengan baik bisa mencegah hal-hal seperti stunting otak, mental disorder, hingga tindakan kekerasan dan kriminal? 

Berikut adalah berberapa penlitian dan pendapat dari para ekspert;

Bermain untuk perkembangan otak yang sehat

Ketika membahas perkembangan otak, waktu di kelas mungkin kurang penting daripada waktu di taman bermain. 

“Pengalaman bermain mengubah koneksi neuron di prefrontal cortex Anda,” kata Sergio Pellis, seorang peneliti di University of Lethbridge di Alberta, Kanada. “Dan tanpa pengalaman bermain, neuron-neuron itu tidak berubah,” katanya.

Perubahan-perubahan dalam prefrontal cortex selama masa kanak-kanak itulah yang membantu menghubungkan pusat kendali eksekutif otak, yang memiliki peran penting dalam mengatur emosi, membuat rencana, dan menyelesaikan masalah, kata Pellis. Jadi bermain, adalah apa yang mempersiapkan otak muda untuk hidup, kasih, sayang dan bahkan tugas sekolah.

Bukti bahwa bermain penting untuk kesuksesan akademis ditunjukkan oleh penelitian dari Vanderbilt University. Mereka membandingkan anak-anak lulusan TK yang memberi penekanan pada keterampilan akademis atau calistung, dengan anak-anak yang tidak masuk TK. Memang pada awalnya mereka lebih siap untuk sekolah, tapi sejak kelas 1 tanggapan mereka akan sekolah sudah negatif, mereka menganggap sekolah tempat yang penuh stress. Selain itu di kelas 2 anak-anak yang masuk TK malah memiliki nilai lebih rendah di matematika, literasi, dan bahasa.

Bermain untuk kesehatan mental

Di negara-negara yang mengkompilasi data dengan baik seperti Amerika dan negara-negara Skandinavia, kita bisa melihat seiring dengan berkurangnya waktu, dan tempat bermain anak-anak, penyakit-penyakit mental disorder seperti kecemasan, depresi, hingga menyakiti diri sendiri meningkat. Memang kita semua tahu bahwa correlation is not causation, di American Journal of Play Peter Gray telah mendokumentasikan masalah ini dan menunjukan bukti logis causation yang kuat. Untuk mempelajari detailnya kita sangat rekomendasikan journal ini, namun berikut adalah ringkasan singkat mengapa bermain bisa mencegah kondisi mental yang buruk.

Sense of personal control over their faith.

Dia membahas bahwa jika manusia tidak merasa mengendalikan hidupnya, mereka lebih mungkin mengalami gangguan mental. Manusia yang percaya bahwa mereka adalah korban dari keadaan di luar kendali mereka cenderung lebih sering cemas, dibandingkan manusa yang percaya bawa mereka lah yang bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri.

The Coddling of the American Mind authorsExtrinsic goals vs intrinsic goals

Tujuan hidup yang seharusnya “intrinsic” seperti personal development sekarang bergeser ke hal-hal yang “extrinsic” seperti harta dan penghargaan dari orang lain, maka mereka dengan sangat cepat akan mengalami depresi dan kecemasan. Karena banyak sekali hal extrinsic yang di luar dari kontrol kita dan tidak permanen, menggantungkan kebahagiaan kepada hal yang tidak permanen dan di luar kontrol kita sangat tidak berguna.

Hal inilah yang dapat dicegah dengan bermain, seperti yang dia jelaskan tipe bermain tertentu seperti free play, mengajarkan kita untuk lebih mandiri, menghargai diri sendiri, dan mengontrol hidup kita sendiri. Dari bermain kita juga bisa mencari kebahagiaan tanpa materi yang berlebih, atau faktor eksternal lainnya.

The Coddling of The American Mind, authors

Penulis buku The Coddling of The American Mind, Greg Lukianoff dan Jonathan Haidt menujukan dampak negatif yang terjadi ketika anak-anak tidak diberikan free play yang cukup. Anak-anak ini lah yang menjadi Generasi Z (generasi pelajar universitas sekarang) memiliki mental yang rapuh, mereka sangat tidak sanggup menghadapi masalah dan sering kali mengandalkan orang tua untuk menyelesaikan masalah mereka.

Pencegahan perilaku anti sosial, kekerasan, dan kriminalitas

Image by RichJohnsonPhoto from Pixabay

Tentu untuk mencegah perilaku anti sosial, sosialisasi dari usia dini sangat penting. Bermain pun adalah cara terbaik untuk sosialisasi dengan keluarga, guru dan teman sebaya. Dari teori 

Theory by Mildred Bernice Parten Newhall (August 4, 1902 – May 26, 1970) an American sociologist, a researcher at University of Minnesota’s Institute of Child Development.

Teori social stages of play kita bisa melihat ada tipe permainan yang sangat krusial untuk setiap tahap perkembangan anak.

Selain itu Jean Piaget, the father of development psychology, mengemukakan bahwa karakter moral anak pada dasarnya terbentuk saat mereka bermain. Ketika bermain anak-anak belajar benar dan salah (moral dan immoral), dari melakukan sesuatu immoral mereka melihat dan mendapatkan reaksi negatif dari teman-teman nya, mereka belajar mengikuti peraturan, menyadari mengapa peraturan itu terbentuk, dan konsekuensi dari melanggar peraturan. Level setelah itu adalah saat mereka bisa membentuk peraturan-peraturan sendiri saat bermain untuk memastikan setiap anak bisa bermain dengan adil. Hal ini tidak hanya berlandaskan teori tapi juga bukti empirikal. Cambridge Journal of Education mempublish penelitian, yang menunjukan bahwa bermain mengembangkan empati dan perilaku prososial. Empati dan perilaku prososial ini sangat penting jika kita melihat bahwa menurut teori kognitif sosial kita belajar lebih efektif jika bersama kelompok yang kondusif.

Penelitian hewan juga menunjukan hasil yang menarik. Jaak Panksepp menyatakan: “Fungsi permainan adalah untuk membangun otak pro-sosial, otak sosial yang tahu bagaimana berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang positif.” 

Panksepp telah mempelajari proses ini pada tikus, yang suka bermain dan bahkan menghasilkan suara khas yang disebutnya “tikus tertawa”. Ketika tikus masih muda, bermain muncul untuk memulai perubahan jangka panjang di area otak yang digunakan untuk berpikir dan memproses interaksi sosial, kata Panskepp. Di area study ini juga kita mengetahui bahwa hewan yang tidak bermain di masa mudanya sangat rentan terhadap perilaku anti sosial seperti kekerasan.

Dari semua data di atas kita harus menanyakan para pembaca, apakah bapak/ibu setuju, bahwa bermain bisa mencegah tindakan kriminal?

Sumber:

Play Deprivation

Daunhauer, L. A., & Cermak, S. (2008). Play Occupations and the Experience of Deprivation. Play in Occupational Therapy for Children, 251–261. doi: 10.1016/b978-032302954-4.10008-x

Bermain untuk perkembangan otak yang sehat

Kenneth R. Ginsburg, ; and the Committee on Communications and ; and the Committee on Psychosocial Aspects of Child and Family Health

Pediatrics January 2007, 119 (1) 182-191; DOI: https://doi.org/10.1542/peds.2006-2697

Murid play based kindergarten lebih sukses di SD

Farran, D. C., & Lipsey, M. W. (2016). Evidence for the benefits of state

prekindergarten programs: Myth & misrepresentation. Behavioral

Science & Policy, 2(1), pp. XX–XX.

Bermain untuk kesehatan mental

Lukianoff, G., & Haidt, J. (2019). The coddling of the American mind: how good intentions and bad ideas are setting up a generation for failure. New York City: Penguin Books.

Gray, P. (2011). The Decline of Play and the Rise of Psychopathology in Children and Adolescents. American Journal of Play, 3.

Pencegahan perilaku anti sosial, kekerasan, dan kriminalitas

Wenner, M. (2009). The Serious Need for Play. Scientific American Mind, 20(1), 22–29. doi: 10.1038/scientificamericanmind0209-22