Deeper Learning adalah tujuan-tujuan belajar yang dianggap sangat penting untuk masa depan setiap siswa-siswi. Konsep ini pada awalnya dipopulerkan oleh filsuf Amerika John Dewey, dan terus di kembangkan sampai sekarang. Jika pembelajaran bisa menghasilkan hal-hal ini, makan bisa dianggap pendidikan itu successful, dan tentunya bermain sangat penting untuk menghasilkan Deeper Learning.
Dan berikut adalah hasil spesifikasi yang dirancang oleh Hewlett Foundation di tahun 2012.
1. Content Mastery
Setelah belajar, siswa-siswi diharapkan menguasai materi yang dipelajarinya termasuk fakta-fakta dan teori-teori. Lalu memahami konteks dunia nyata serta aplikasinya.
2. Critical Thinking & Problem Solving
Siswa-siswi akan tahu kapan dan bagaimana menggunakan pengetahuannya dengan menggunakan scientific inquiry untuk bisa memformulasikan hipotesis yang akurat, memberikan penjelasan yang logis, dan juga argumentasi yang tepat. Mereka juga akan bisa merancang solusi-solusi yang inovatif.
3. Collaboration
Tentu siswa-siswi harus bisa bekerja sama. Ini termasuk kemampuan untuk memahami sudut pandang yang berbeda-beda, meresolusi konflik, memimpin, mengatur sebuah proyek dan keterampilan kolaboratif lainnya.
4. Effective Communication
Setelah mencerna data, ilmu, dan teori, siswa-siswi dapat mempresentasikan nya dengan baik Siswa-siswi juga akan bisa mengekspresikan dan menyajikan data, konsep, dan konklusi, khususnya jika sangat penting untuk masyarakat.
5. Learning how to learn
Mungkin ini yang paling penting. Dengan mengerti bagaimana cara belajar yang tepat untuk mereka, siswa-siswa dapat belajar dengan lebih dalam lagi, membutuhkan waktu yang lebih sedikit, dan mendapatkan hasil pembelajaran yang lebih banyak dari setiap sesi belajar.
Bermain adalah aktifitas yang memiliki 5 karakterisitik yang memebuat pembelajaran bisa mencapai Deeper Learning.
Karakteristik bermain ini berdasarkan teori yang digagas oleh Hirsh-Pasek, Zosh, Golinkoff, Gray, Robb, & Kaufman (2015). Dimana mereka membuktikan bahwa untuk menghasilkan Deeper Learning sesi pembelajaran harus memiliki karakteristik-karakteristik ini. Kelima karakteristik tidak dibutuhkan untuk selalu ada selama sesi belajar, tetapi selama sesi belajar siswa-siswi harus mengalami saat-saat; suka dan duka, aktif, engaged, berinteraksi dengan yang lain dan melihat koneksi yang meaningful dari apa yang mereka pelajari dengan dunia nyata.
Setiap karakteristik memiliki pondasi penelitian yang telah dikompilasi oleh Lego Foundation. Dan berikut adalah sebagian kecil dari kompilasi yang di cantum laporan The LEGO Foundation Learning Trough Play, A Review of The Evidence
- Joy
Di developmental research, kegembiraan sering dikaitkan dengan minat atau motivasi. Selama beberapa dekade terakhir, para peneliti telah membuat langkah besar dalam investigasi motivasi melalui konsep-konsep seperti pola pikir (Dweck,2006) dan ketangguhan (Duckworth, 2016), dan bagaimana ini dapat meningkatkan efektifitas pembelajaran. Misalnya, semua orang bisa secara intuitif ingat betapa sulitnya untuk belajar atau menjadi produktif ketika kita sedih karena sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, atau ketika itu kritik batin menelan semua energi mental kita. Ini bukan hanya sebuah kesan.
Penelitian berulang kali menunjukkan hal negatif itu pengalaman hidup memiliki implikasi pada pembelajaran dan perkembangan, sama seperti ketekunan dan Pandangan positif meningkatkan kemampuan kita untuk menangani stres dan tantangan dalam hidup (Donaldson, Dollwet, & Rao, 2015). Oleh karena itu pembelajaran akan jauh lebih efektif jika metodenya menyenangkan, seperti bermain.
2. Meaningful
Meaningful yang dimaksud adalah saat anak-anak menemukan makna dalam pengalaman dengan menghubungkannya dengan sesuatu yang sudah mereka ketahui. Dalam bermain, anak-anak sering mengeksplorasi apa yang mereka miliki, mereka lihat dan mereka mainkan, atau memperhatikan orang lain yang melakukan, sebagai cara memahami artinya. Dengan begitu, mereka bisa berekspresi dan memperluas pemahaman mereka.
Pentingnya meaningfulness tidak bisa diremehkan: seperti Ausubel (1968) Yang menceritakan perbedaan antara pembelajaran hafalan versus bermakna, hingga Chi’s (2009) yang menguraikan makalah terbaru mengenai pentingnya pembangunan aktif pemahaman baru, berdasarkan apa yang sudah diketahui, deeper learning harus melampaui fakta untuk pemahaman konseptual.
Membangun koneksi antara yang familiar dan tidak, membantu otak untuk mempelajari hal-hal yang berat (Luu, Tucker, Stripling, 2007). Pengalaman yang meaningful membantu kita membuat koneksi antara wawasan baru dan mental model yang sudah kita miliki, cara memproses informasi seperti ini membangun saraf otak yang juga digunakan untuk, berpikir analogis, memory, metacognition, motivasi dan penghargaan (e.g., Bunzeck, Doeller, Dolan, & Duzel, 2012; Gerraty, Davidow, Wimmer, Kahn, & Sohomy, 2014; Hobeika, Diard-Detoeuf, Garcin, Levy, & Volle, 2016).
3. Actively Engaging
Belajar berdasarkan bermain membuat anak-anak menjadi aktif dan engaged. Saat anak-anak mendalami aktivitas, yang berbasis kepada usaha sendiri, pikiran yang fokus, dan tidak terganggu, kita bisa melihat langsung hasil dari belajar.
Penelitian (Zosh, Brinster, & Halberda, 2013; Matté-Gagne, Bernier, & Lalonde, 2015) menunjukan bahwa anak-anak belajar lebih efektif ketika mereka diberi peran aktif menyelesaikan masalah dibandingkan mendengarkan instruksi. Penelitian lain menunjukkan bahwa balita semuda 3 bulan lebih mungkin untuk menafsirkan tindakan orang lain sebagai bertujuan kepada sesuatu, jika mereka memiliki pengalaman pribadi yang aktif dengan sesuatu seperti meraih objek sendiri (Sommerville, Woodward, & Needham, 2005), hal-hal itu menunjukkan bahwa sangat penting untuk anak-anak mengadopsi pola pikir yang aktif dan terlibat. Belajar melalui bermain menciptakan pola pikir itu tanpa mendapatkan dari sisi buruk pedagogi berbasis instruksi.
4. Socially Interactive
Meskipun proses belajar bisa dilakukan sendirian, yang membuat manusia begitu spesial adalah ikatan sosial kita. Dan Konteks powerful dari bermain dan belajar adalah interaksi sosial. Pentingnya interaksi sosial untuk perkembangan dan pendidikan anak telah diterangkan oleh Vygotsky (1978) di karya klasik nya sociocultural theory yang berpusat pada pembelajaran terbangun dari partner sosial.
Setelah Vygotsky telah banyak ilmuan-ilmuan lain yang menemukan bukti untuk teori ini. Karena itu sekarang kita tahu bahwa interaksi sosial penting untuk pembelajaran yang kompleks seperti bernalar kritis. Penelitian oleh Gokhale (1995) mendemonstrasikan bahwa kemampuan bernalar kritis lebih sering menunjukan manfaatnya ketika anak-anak bekerja dengan kelompok dibandingkan sendirian. Hubungan positif antara interaksi sosial dengan belajar juga terlihat di area kreativitas, kemampuan berbahasa, dan kemampuan sosial (terlihat sangat jelas meski tanpa bukti) anak-anak (Holmes, Romeo, Ciraola, & Grushko, 2015).
Interaksi sosial yang baik juga merupakan pupuk untuk kemampuan belajar di masa depan. Anak-anak yang sering berinteraksi secara positif memiliki kemampuan untuk mengelola stress yang sering menjadi halangan belajar, ini terjadi karena interaksi sosial ini memabngun konenksi saraf otak yang sehat (Center for the Developing Child at Harvard University, 2016). Interaksi sosial di masa muda juga membantu brain plasticity yang akan memudahkan berbagai macam tugas otak di masa depan seperti belajar hal baru dan kelincahan kognitif (Maier& Watkins, 2010; Nelson, Fox & Zeanah, 2013; Nelson, 2017).
5. Interative
Saat bermain, anak-anak melakukan banyak sekali repetisi. Dari Balita yang mencoba memasukan puzzle sesuai dengan bentuknya, hingga anak kecil yang menemukan bahwa besar kecil nya sudut permukaan yang miring mempengaruhi seberapa jauh kelereng akan meluncur, iteration – mencoba hal-hal baru, merevisi hipotesis, dan mencari pertanyaan selanjutnya mendorong deeper learning. Bermain membuat skenario dimana anak-anak bisa bereksperimen sendiri, ini mendorong aktivitas eksplorasi dan iterasi. Contohnya anak yang bermain membangun lego ataupun balok dengan anak-anak lainnya membuat bangunan yang lebih kompleks dan lebih besar, dibandingkan ketika mereka diberi instruksi oleh orang dewasa (Ramani, 2012).
Dengan latihan, interaksi secara terus menerus membangun saraf otak untuk kreativitas, berpikir secara fleksibel, dan melihat perspektif lain. (Kleibeuker, De Dreu, & Crone, 2016; Kleibeuker et al., 2017; Van Hoeck, Watson, & Barbey, 2015). Selain itu persistensi yang diasosiasikan dengan berpikir iterative sering dihubungkan dengan sistem reward, network memori yang dibutuhkan untuk belajar (Boorman, Behrens, & Rushworth, 2011; Nemmi, Nymberg, Helander, & Klingberg, 2016).
Sumber:
Zosh, J. M., Hopkins, E. J., Jensen, H., Liu, C., Neale, D., Hirsh-Pasek, K., Solis, S. L., & Whitebread, D. (2017). Learning through play: a review of the evidence (whitepaper). The LEGO Foundation, DK.