Business Insider memprediksikan bahwa di tahun 2022 industri eSport akan memiliki pemasukan sebesar 1.8 Triliun Dollar US. Dengan pertumbuhan di sekitar 12-13% per tahun semenjak 2017, seperti nya eSport akan semakin merajalela.
“Aku mau jadi pemain pro eSport!” Tentu di masa depan, ini lah yang orang tua harus hadapi. Untungnya seperti yang kita bahas di artikel sebelumnya, eSport bisa menjadi tempat yang sangat baik untuk pengembangan diri.
Dengan syarat sang anak mendapatkan support yang baik dan benar dari orang tua, maupun guru atau coach. Salah satu hal yang harus kita ketahui untuk menjadi support yang baik adalah mempelajari kondisi psikologi di balik eSport, dan itu yang akan kita bahas.
Aspek psikologis paling utama yang harus kita perhatikan adalah motivasi, atau apa yang diinginkan dari karir eSport.
Motivasi yang baik bisa mendorong anak untuk menjadi diri nya yang terbaik, karena memang dunia eSport mendorong self improvement di bidang intelektual skills, social skills, dan emotional skills yang diolah, dan diperlukan untuk berkompetisi dengan baik.
Sementara motivasi yang destruktif malah bisa membuat berkecimpung di bidang eSports menjadi hal yang sangat merusak bagi anak. Dengan motivasi yang salah bisa banyak emosi negatif yang tidak terkontrol dan merusak mental mereka, atau membawa anak kepada hubungan sosial yang kurang baik.
Pasti yang pertama dipikirkan mayoritas orang adalah pendapatan, dan tidak ada salah nya. Namun yang perlu diketahui bahwa niat ini bisa menghasilkan banyak kerugian.
Pertama tentu jika kalah tentu ini akan menghasilkan banyak emosi negatif, jika sang anak sudah memiliki emotional intelligence yang baik, tentu ini tidak terlalu bermasalah. Namun jika tidak, emosi-emosi negatif ini akan menghasilkan banyak dampak mental yang buruk yang bisa jadi berkepanjangan, apa lagi di anak-anak muda.
Jika menang pun, perlu diketahui bahwa kita tidak akan puas. Jika motivasi utama adalah materi, seberapa banyak nya uang tidak akan memuaskan. Khusus nya kemenangan-kemenangan di awal, hal ini malah bisa menghalangi anak untuk melihat aspek eSport yang luas dimana sang anak itu bisa memulai perjalanan self improvement yang sangat berarti.
Motivasi yang bersifat terlalu mengharapkan imbalan materi lainnya, maupun pengakuan sosial seperti peer pressure juga memiliki sifat yang sama, yaitu bisa menghambat self improvement ini.
Escapism, juga merupakan motivasi yang bersifat sama. Escapism ini adalah ketika sang anak bermain games atau mengikuti eSport karena ingin lari dari kenyataan. Mungkin di games dan eSport mereka bisa melupakan masalah dan tanggung jawab dunia nyata dan mengalihkan perhatian mereka.
Nah mungkin sebaiknya kita merayu anak kita, atau diri kita sendiri untuk memilih motivasi yang lebih konstruktif, agar perjalanan self improvement ini bisa terjadi di industri eSport.
Sebelum kita bahas motivasi yang baik, alangkah baiknya jika kita pelajari apa hal-hal apa yang bisa membuat seseorang sukses di bidang eSport.
Karena dengan mengetahui ini, kita bukan hanya bisa memahami kenapa motivasi yang baik itu penting, tapi kita juga bisa menjadi coach yang lebih baik untuk anak kita yang serius ingin berkecimpung di bidang eSports (Himmelstein et al. 2017).
- Memiliki ilmu yang dalam tentang game yang dipertandingkan
- Berpikir secara strategis dan membuat keputusan dengan pintar dan cepat
- Termotivasi untuk terus berkembang
- Bisa memisahkan dunia personal dengan performa saat bertanding
- Tetap fokus
- Menghadapi bullying
- Memiliki growth mindset
- Beradaptasi dengan cepat
- Berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik
- Melakukan pemanasan mental dan fisik sebelum bertanding.
Dari sini kita bisa melihat motivasi-motivasi yang baik seperti apa.
Pertama yang mungkin paling baik adalah, motivasi untuk meningkatkan keterampilan diri. Game-game eSport membutuhkan keterampilan-keterampilan seperti cognitive agility, critical thinking, collaboration, problem solving dan banyak lain-lain. Seperti nya jika anak memiliki keinginan “Aku pengen jadi pemain eSport paling hebat!” akan sangat baik.
Dengan motivasi ini, sang anak tidak akan terbanjiri emosi negatif saat kalah, bahkan sang anak akan termotivasi untuk berlatih lebih giat lagi, agar bisa mengalahkan lawan nya.
Motivasi karena “challenge” atau “competition” juga bisa menghasilkan hal yang sama seperti motivasi yang pertama. Jika sang anak memang suka berkompetisi dan merasa tertantang dengan eSport mereka dengan giat nya akan berlatih untuk meningkatkan keterampilan mereka agar bisa bertanding di tingkat yang tinggi.
Interaksi sosial juga bisa menjadi motivasi yang baik. Ketika sang anak suka bekerja sama, bermain bersama, mereka akan belajar menjadi tim player yang baik.
Dengan motivasi ini sang anak akan belajar sosial skills yang banyak. Mereka senang saat bekerja sama, berlatih bersama, mendiskusikan strategi bersama, dan juga berkomunikasi dengan cepat di tengah pertandingan yang sengit.
Tentu sebagai orang tau kita juga harus membedakan antara motivasi sosial yang baik, dan peer pressure dimana anak merasa terpaksa ikut tim eSport karena temannya.
Nah tentu teman-teman di sini juga bisa berdiskusi dengan anak-anak akan motivasi apa yang bisa mendorong mereka untuk menjadi orang yang lebih baik melalui kompetisi-kompetisi eSport.
Sumber:
Himmelstein, D., Liu, Y., & Shapiro, J. L. (2017). An exploration of mental skills among competitive League of Legend players. International Journal of Gaming and Computer-Mediated Simulations, 9(2), 1-21.
Bányai, F., Griffiths, M. D., Király, O., & Demetrovics, Z. (2019). The psychology of esports: A systematic literature review. Journal of gambling studies, 35(2), 351-365.