Belajar dari Pasang Surut Montessori: Pentingnya Memahami Filosofi, Bukan Hanya Label

Photo by Photo By: Kaboompics.com

Pada pertengahan 2010-an, konsep pendidikan Montessori tak terhindarkan lagi. Filosofi pendidikan yang sudah berusia lebih dari seabad ini, yang menekankan kemandirian sejak usia dini, berubah menjadi semacam lifestyle brand . Mainan blok dan alat permainan kayu mulai dipasarkan sebagai “mainan Montessori”. Orang tua pun berbondong-bondong tertarik pada pembelajaran luar ruangan, sering kali melibatkan hewan ternak di peternakan, yang kadang disebut “peternakan Montessori”.

“Montessori telah ada sejak lama, dan selalu mengalami pasang surut. Setiap generasi menemukannya kembali dengan interpretasi yang berbeda-beda,” kata Mira Debs, Direktur Studi Pendidikan di Universitas Yale. “Yang menarik adalah bagaimana Montessori terus bertransformasi oleh audiens baru, bergantung pada apa yang mereka cari untuk anak-anaknya.”

Namun dalam lima tahun terakhir—dan khususnya setahun belakangan—peta pendidikan dunia telah berubah drastis. Dengan ekonomi yang tidak stabil, perdebatan tentang program voucher sekolah, serta kebingungan tentang arti sebenarnya dari istilah “Montessori”, apakah metode ini masih menjadi tren utama di kalangan prasekolah?

Pertanyaan ini muncul ketika salah satu rantai sekolah Montessori terbesar di Amerika Serikat, Guidepost Montessori, mengalami penurunan secara cepat.

Naik-Turun Montessori Sepanjang Sejarah

Angeline Lillard mulai mengenal metode Montessori sejak usia tiga tahun saat ia menghadiri sekolah Montessori pada masa kebangkitannya di tahun 1960-an. Kini, sebagai seorang ilmuwan yang menghabiskan dua dekade mempelajari sekolah Montessori, Lillard menyatakan bahwa popularitas Montessori cenderung naik saat ekonomi sedang baik, dan turun saat resesi.

“Setiap sekolah pasti mengalami penurunan saat perekonomian buruk,” ujarnya. “Metode progresif yang berpusat pada anak berkembang pesat sampai Perang Dunia II. Ada siklus di mana kita mundur ke praktik era Depresis besar ketika tantangan muncul.”

Meskipun identik dengan keluarga kaya dan biasanya berkulit putih, beberapa institusi Montessori justru berupaya menjangkau anak-anak dari keluarga kurang mampu. Contohnya adalah Magnolia Montessori for All yang dibuka pada 2014 di East Austin, Texas, sebuah wilayah dengan populasi penduduk berpenghasilan rendah.

Lillard juga percaya bahwa popularitas Montessori meningkat karena adanya gerakan sekolah charter, di mana keluarga memilih sekolah swasta yang didanai negara tetapi dikelola independen, berdasarkan kebutuhan keluarga. Sekolah Montessori yang hanya membuka jenjang prasekolah belum tentu bersaing langsung dengan institusi publik. Namun yang memiliki jenjang SD hingga SMP harus bersaing dengan sekolah negeri K-12.

Hari ini, keluarga bisa mendaftarkan anaknya ke Wildflower Montessori Schools yang memiliki 60 cabang di lebih dari selusin negara bagian. Atau ke Bezos Academy, yang menyebut dirinya sebagai “inspirasi Montessori” dan didukung oleh pendiri Amazon, Jeff Bezos, yang dulunya adalah siswa Montessori di Albuquerque, New Mexico.

Yang paling dikenal adalah Guidepost Montessori, yang muncul pada 2016 dan melejit hingga memiliki lebih dari 130 lokasi di seluruh dunia.

Namun akhir tahun lalu, rantai sekolah yang didukung modal ventura ini mulai menutup banyak lokasi di Virginia dan Ohio, diikuti oleh gelombang penutupan di Colorado, Ohio, Minnesota, dan Iowa pada awal 2025. Rencana pembukaan cabang baru ditunda tanpa batas waktu.

Meski begitu, perusahaan itu belum bangkrut atau mengumumkan penghentian operasi. Co-founder Ray dan Rebecca Girn pun mundur dari perusahaan pada Februari 2025.

“Dalam antusiasme kami menjalankan visi besar misi ini, kami terlalu jauh melangkah, memperluas jaringan sekolah melebihi kemampuan dukungan finansial dan operasional,” tulis perusahaan dalam blog resminya. Mereka menyatakan akan menutup sepertiga dari total sekolahnya.

Namun sejumlah pengamat berpendapat bahwa kemunduran Guidepost bukanlah akhir dari metode Montessori itu sendiri.

“Saya tidak melihat filosofi Montessori keluar dari tren populer,” kata Elliot Haspel, rekan senior di Capita, sebuah lembaga pemikir kebijakan keluarga. “Ada mode-mode tertentu, tapi Guidepost lebih soal rantai komersial yang membuat kesalahan bisnis besar.”

Kurangnya Standar Bikin Bingung

Sulit untuk melacak jumlah murid Montessori karena tidak ada definisi baku atau merek dagang resmi untuk istilah “Montessori”. Jadi, siapa pun bisa menyebut dirinya sebagai “sekolah Montessori” atau menggunakan label “inspirasi Montessori” seperti yang dilakukan Bezos.

Ketidakjelasan ini mirip dengan produk kebersihan yang mencantumkan label “ramah lingkungan” tanpa penjelasan jelas artinya bagi konsumen.

Lillard sendiri sempat menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel Montessori, namun kemudian menyadari adanya ketidakkonsistenan. Anaknya diminta mengisi lembar kerja matematika sebelum diberi kesempatan memilih aktivitas sendiri—sesuatu yang tidak lazim dalam sekolah Montessori sejati.

“Saat saya protes, keluarga bilang ‘Ya itu bukan Montessori.’ Masalahnya, orang tua tidak tahu. Anda pikir itu ‘sekolah Montessori’ tapi isinya sangat bervariasi karena istilah itu tidak dilindungi merek,” katanya.

American Montessori Society tidak memberikan tanggapan atas permintaan wawancara, tetapi situs mereka menyebut ada sekitar 5.000 sekolah Montessori di AS, 4.500 di antaranya adalah sekolah swasta.

Ellen Frede, mantan direktur National Institute for Early Education Research, mengatakan bahwa meskipun Montessori selalu eksis, popularitasnya naik-turun.

“Saya tidak pernah fokus mengamati Montessori, tapi sebagai bagian dari dunia pendidikan, saya sadar akan ada pasang-surut ini. Selalu ada, cuma tidak pernah menjadi program besar,” katanya.

Penyebab potensial penurunan jumlah siswa Montessori adalah jumlah anak yang semakin sedikit secara global, serta minat yang menurun pada program prasekolah di banyak negara bagian di AS.

Ironisnya, kurangnya standarisasi yang membantu menyebarkan filosofi Montessori justru bisa merugikan program Montessori asli. Misalnya, furnitur ukuran anak yang merupakan ciri khas Montessori kini tersebar luas di berbagai sekolah prasekolah.

Dan bagi banyak keluarga, memilih Montessori—atau tidak—tergantung pada aksesibilitas.

“Sebagian besar orang tua memilih berdasarkan apa yang tersedia di sekitar mereka,” kata Haspel. “Saya yakin ada kelompok orang tua yang benar-benar percaya pada Montessori, tapi kebanyakan orang tua memilih apa pun yang bisa diterima anak mereka, bukan karena preferensi ideologis.”

Ancaman Politik dan Dana

Debs menambahkan bahwa sekolah Montessori terkena imbas dari pertarungan politik hari ini, terutama terkait voucher pendidikan yang memindahkan dana negara ke sekolah swasta atau agama.

“Partai Republik mendukung voucher, sementara Demokrat cenderung kembali ke sekolah negeri tradisional. Akibatnya, sekolah charter, termasuk Montessori, sulit berkembang,” kata Debs.

Beberapa distrik sekolah, seperti di Detroit dan Grand Rapids, Michigan, justru membuka sekolah Montessori negeri untuk menarik kembali keluarga yang sebelumnya memilih sekolah charter.

Namun dengan program prasekolah yang didanai negara semakin marak, Montessori bisa saja tertinggal. Program Montessori memerlukan metode pengajaran unik yang dikontrol oleh pemilik mandiri, sehingga sulit menyesuaikan diri dengan sistem negara.

“Itu seperti memasukkan balok persegi ke lubang bulat,” kata Frede. “Gerakan Montessori sulit menyesuaikan diri dengan struktur dana negara.”

Belum lagi dampak dari ekonomi yang lesu. Kebanyakan sekolah Montessori bergantung pada donasi swasta, yang bisa semakin langka jika ekonomi terus memburuk.

“Montessori jarang mendapat donor besar dibanding program intensif lain seperti KIPP,” kata Debs. “Tapi saya rasa ini lebih soal kondisi ekonomi daripada menurunnya minat orang tua terhadap Montessori.”

Sumber artikel:
https://www.edsurge.com/news/2025-06-09-montessori-schools-are-hot-until-they-re-not-what-does-that-mean-about-education