#ngobrolgame: Apa Hubungan Bermain Tetris, Terror, dan Hoaks?

#ngobrolgame: Apa Hubungan Bermain Tetris, Terror, dan Hoaks?

Tetris, sebuah game yang diciptakan oleh Alexey Pajitnov, seorang ahli komputasi dari Rusia pada Juni 1984 mungkin jadi salah satu game yang penting untuk bisa kita mainkan lebih sering. Ketika bermain tetris, kita melakukan analisa terhadap berbagai faktor, dari mulai bentuk kepingan puzzle yang mulai turun, kepingan selanjutnya yang akan muncul, kepingan-kepingan puzzle lain yang sudah tersusun di bagian bawah, lokasi mana yang paling tepat, serta semua keuntungan/risiko yang mungkin muncul dari peletakan kepingan puzzle tersebut.

Semua kita lakukan dalam waktu yang relatif singkat dan berulang kali. Tetris (dan juga berbagai game dengan genre atau puzzle mechanics lain) melatih kita untuk menganalisa, berpikir kritis, mempertimbangkan segala bentuk risiko/keuntungan, dan mengambil keputusan yang tepat dalam waktu singkat/terbatas.

Sayangnya kita sepertinya memang sudah tidak sempat lagi bermain tetris.

Bukan hanya satu dua kali berita terkait teror di berbagai tempat di Indonesia jadi headline selama berhari-hari. Bukan hanya di media resmi, berbagai berita yang tidak jelas sumbernya juga bertebaran melalui sosial media dan aplikasi pesan (messenger) langsung ke perangkat mobile kita.

Sebagian dari kita mungkin langsung membagikan berita-berita tersebut ke saudara, rekan, dan teman tanpa berpikir panjang – hanya karena pengirim sebelumnya adalah saudara/rekan dekat kita. Dalam hitungan menit, berita-berita hoaks tersebar secara luas. Tanpa kita sadar, penyebaran berita tersebut adalah bagian dari strategi teror itu sendiri.

Kenapa kadang kita begitu mudah menyebarkan sebuah berita tanpa memeriksa kembali validitas berita tersebut? Tanpa mempertimbangkan apakah itu hal yang baik atau tidak. Ini bukan kali yang pertama, mungkin sudah jadi bagian keseharian kita.

Kita begitu mudah membagi satu berita hanya dengan pertimbangan suka, sepakat, atau demi banyak like/komentar semata. Dari satu group ke group lainnya, dari satu timeline ke timeline lainnya. Apakah itu pantas atau tidak, fakta atau hoak, benar atau fitnah, kita tidak peduli.

Karena kebiasaan kita tersebut, di negeri ini segelintir oknum bisa membuat gosip bahkan fitnah jadi seakan fakta, tersebar begitu luas, berkali-kali. Kesalahan kita dalam meyebarkan hal itu pun seakan-akan bisa selesai dengan memohon maaf ala kadarnya.

Apakah kebiasaan ini yang akan kita turunkan pada anak-anak kita? membagi berita tanpa tanya? Menyimpulkan tanpa data? Memutuskan tanpa rasa?

Mengasah kemampuan berpikir kritis dan mengambil keputusan dengan lebih bijaksana perlu banyak latihan dan dibiasakan, untuk itu mungkin kita semua perlu lebih serius lagi belajar lewat berbagai game yang ada. Tentu akan lebih baik jika kita juga mulai mengajak anak-anak kita bermain bersama.

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: Anak Tak Perlu Diajarkan Berimajinasi

#ngobrolgame: Anak Tak Perlu Diajarkan Berimajinasi

Satu hari salah satu media nasional mengeluarkan sebuah headline “Daya Imajinasi Siswa Lemah” – hal ini yang kemudian diduga menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia masih saja berada di lapisan bawah dalam penguasaan remaja berusia 15 tahun terhadap keupayaan Sains, membaca, dan Matematika (PISA).

Picasso pernah berkata: Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up. Putra-putri kita –seperti halnya kita semua– terlahir dengan kemampuan imajinasi yang luar biasa, kreatif, penuh rasa ingin tahu, tidak ragu untuk mencoba banyak hal baru. Yang jadi masalah adalah semua kemampuan itu sepertinya pudar ketika mereka (kita) beranjak dewasa. Sir Ken Robinson dalam TED talk-nya (yang telah ditonton lebih dari 50 juta kali) bahkan berargumentasi bahwa we don’ t grow into creativity, we grow out of it. Or rather, we get educated out if it. So why is this?

Ada banyak hal yang memang perlu kita perbaiki sama-sama. Namun kita bisa memulainya dengan mengubah mindset bahwa kewajiban kita (orang tua/guru) bukan MENGAJARKAN. Apalagi, mengajarkan anak untuk berimajinasi dan menjadi lebih kreatif. Imajinasi dan kreativitas adalah sifat anak. Justru kita (orang tua/guru) lah yang perlu BELAJAR bersama anak-anak kita untuk senantiasa berlatih berpikir kreatif, memupuk rasa ingin tahu, dan mengurangi keraguan untuk mencoba banyak hal baru.

Dengan begitu kita bisa hadirkan sebuah lingkungan yang mengapresiasi kreativitas, kemampuan mengeksplorasi, dan persistensi. Sebuah lingkungan yang mendorong kita sadar sepenuhnya bahwa setiap prestasi dan kecukupan materi adalah konsekuensi logis proses belajar yang tidak pernah terhenti – bukan sebaliknya.

Dalam banyak hal, saya percaya game adalah salah satu media terbaik untuk memudahkan kita (orang tua/guru) belajar bersama anak-anak kita. Jika kita terbiasa untuk belajar bersama anak-anak kita serta sungguh-sungguh menikmati setiap prosesnya, mungkin mereka bisa tumbuh menjadi lebih kreatif (grow into creativity) dan mampu mengoptimalkan potensi dirinya untuk bawa perubahan baik bagi sekitarnya.

Sebagai bonus, jika kita terbiasa belajar bersama mereka, kita mungkin akan cukup layak untuk mendapatkan pengakuan sebagai salah satu teman terbaik dari anak-anak kita. Sehingga mereka tidak ragu untuk senantiasa berbagi banyak cerita, hadir menyapa pada saat kita renta, dan membisikkan doa terbaik mereka di kala kita telah tiada. Bukankah itu yang jadi mimpi kita semua?

Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan

 

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]

#ngobrolgame: 5 Langkah Agar “Kecanduan” Game

#ngobrolgame: 5 Langkah Agar “Kecanduan” Game

Bagaimana menghindarkan anak-anak dari kecanduan game? Ada banyak tips dari para ahli untuk menjawab hal tersebut – umumnya menyarankan untuk menjauhkan atau minimal membatasi anak-anak bermain game.

Permasalahannya adalah saat ini game begitu dekat dengan anak-anak kita dan telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Menjauhkan mereka dari game sepertinya bukan pilihan yang bijaksana dan mungkin akan jadi permasalah tersendiri.

Jika pertanyaan itu diajukan pada saya, saya selalu menjawab: orang tuanya harus lebih dulu “kecanduan”. Berikut adalah beberapa langkah sederhana bagi kita para orang tua untuk belajar kecanduan bermain game bersama-sama:

1. Cari tahu judul game yang anak-anak kita suka mainkan.
Sempatkan untuk mencari tahu minimal judul game yang mereka sukai dan coba cari tahu mengapa mereka tertarik memainkannya. Ketertarikan kita akan jadi sinyal bahwa kita peduli dan ini mungkin membuka komunikasi yang menarik dengan anak kita.

2. Baca info terkait game tersebut.
Ketahui beberapa hal dasar dari game tersebut, kontennya, game designer/developernya, serta apa kelebihannya (wikipedia bisa jadi awal yang baik, namun untuk informasi yang lebih komprehensif coba cek commonsensemedia.org).

Hal ini penting untuk menyiapkan mental kita agar bisa lebih tertarik serta bisa memilah apakah game tersebut cocok dengan nilai-nilai keluarga yang coba kita kembangkan. Selain itu, hal ini juga penting untuk memotivasi diri kita agar sungguh-sungguh tertarik dengan game tersebut.

Anak-anak kita akan lebih menghargai jika kita bermain game dengan sungguh-sungguh (karena juga menikmati) dan bukan basa-basi.

3. Pelajari peraturan permainan dari game tersebut.
Investasikan waktu 20-30 menit untuk mempelajari peraturan permainan dari game tersebut. Jika bentuknya board/card game – boardgamegeek.com atau boardgame.id bisa jadi referensi.

Jika digital/mobile game kita bisa mempelajari video walktrough (panduan dasar) dari game tersebut via youtube atau web resminya (cukup googling walktrough “judul game”). Dengan begitu kita memiliki gambaran dasar bagaimana sebuah game dimainkan.

Tidak apa jika kita belum sepenuhnya mengerti, apa yang tidak kita mengerti bisa menjadi bahan diskusi menarik nanti dengan anak-anak kita. Pada titik ini, kita juga bisa menyiapkan diri kita untuk punya peluang menang. Walau bagaimanapun kompetisi dalam bermain game memiliki daya tarik tersendiri.

4. Jadwalkan untuk bermain bersama.
Buat jadwal khusus untuk bermain bersama. Persiapkan acara bermain bersama ini secara sungguh-sungguh dan libatkan sebanyak mungkin anggota keluarga. Sabtu/Minggu sore jam 15 s/d jam 17 bisa jadi waktu yang baik. Awali dengan menyiapkan snack sederhana dan akhiri dengan makan malam bersama. Jadikan waktu bermain ini sebuah aktivitas penting untuk seluruh keluarga.

5. Diskusikan game yang baru saja dimainkan.
Sempatkan untuk membahas berbagai hal yang menarik selama sesi bermain bersama tadi. Siapa yang menang, bagaimana strategi bisa menang, mengapa kalah, apa kesalahan yang dilakukan, apa yang menarik dari game tadi, apa yang jadi latar cerita, dan berbagai hal lain yang menarik untuk diskusi bersama.

Misal ketika gamenya memiliki latar belakang sebuah gurun, kita bisa bahas gurun terbesar di dunia dan apa yang menarik di sana. Jika perlu eksplor lebih jauh dengan membuka buku atau artikel terkait.
Jika berbagai hal tersebut di atas bisa dilakukan secara rutin dan semua keluarga ikut “kecanduan bermain game bersama” – maka kita akan melihat bahwa game punya potensi luar biasa.


Eko Nugroho (Founder Ludenara)
Sumber: Kumparan
 

[pt_view id=”2fc6e77ov3″]