Untuk memiliki sistem pendidikan yang baik, tentu proses penilaian adalah hal yang sangat penting. Proses ini bisa melihat seberapa jauh siswa-siswi telah berkembang selama proses pembelajaran. Disisi lain kita juga bisa melihat seberapa efektifnya sebuah sistem itu sendiri.
Namun masalah yang saat ini kita sering kali alami adalah, sebagian besar sistem penilaian kita (ujian sekolah) sangat sempit (Bhattacharyya, S., Junot, M., & Clark, H. 2013). Kita sangat fokus dalam penghafalan, literasi, dan numerasi. Meskipun tiga hal ini sangat penting untuk masa depan, namun berikut adalah beberapa hal yang menunjukan bahwa sistem ini sangat kurang.
-Di dunia sekarang, masih banyak kompetensi lain yang dibutuhkan untuk kesuksesan yang sering disebut dengan 21st century skills.
-Fokus terhadap nilai ujian memberikan insentif untuk menyontek, bukan memahami sesuai kemampuan masing-masing.
-Ujian juga membuat guru fokus mengajarkan apa yang akan diuji.
-Dan bahasan utama artikel ini. Menilai kemampuan, dan kesuksesan anak dalam belajar melalui nilai ujian sangat tidak adil. Berikut adalah beberapa penyebabnya;
Pertama menyinggung masalah yang sentral dalam konsep keadilan, “consent” (Lovett, 2004). Dimana setiap orang yang berpartisipasi dalam sistem yang adil, ingin ikut berpartisipasi atau, lebih pentingnya tidak dipaksa untuk berpartisipasi. Kita tahu, tidak banyak anak yang suka atau mau mengikuti ujian, sebagian pasti merasa terpaksa.
Kedua, setiap anak yang memiliki learning disability seperti dyslexia, dyscalculia, atau ADHD meskipun ringan, akan tetap memiliki nilai yang burukk
Ketiga bisa dilihat dari quote yang sangat terkenal
Kita tahu setiap anak memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Menilai mereka dengan sistem yang sangat sempit membuat beberapa anak yang memang pandai membaca dan menghitung sangat pintar, dan kelemahannya tidak terlihat. Di sisi lain anak-anak yang memiliki kesulitan belajar di dalam ruang kelas atau sistem yang baku akan terlihat kurang pandai.
Ini lah mengapa Game Based Assessment jauh lebih adil, daripada sistem penilaian yang sering ada di sekolah-sekolah. Game Based Assessment dengan mudahnya memitigasi ketiga hal itu. Namun sebelum kita membahas mengapa sistem ini adil, ada satu peringatan. Hal yang sangat penting dalam menilai progress pembelajaran adalah konsistensi, dan jangka panjang. Meskipun kita menggunakan game yang paling keren, tidak mungkin kita bisa menilai mereka hanya dengan 1 sesi bermain atau dengan 1 game saja.
Consent
Kita pasti tahu, banyak siswa-siswi yang tidak suka dengan ujian, dan mereka merasa terpaksa mengikutinya. Mereka juga secara terpaksa mempelajari soal-soal yang akan keluar di ujian. Meskipun tidak bisa 100% mendapatkan consent mereka, tapi dengan Game Based Assessment siswa-siswi terlihat sangat senang saat di uji (Heinzen, 2014). Selain adil karena mengurangi rasa “terpaksa ingin diuji” ada banyak manfaat lain. Dengan motivasi yang baik, dengan keinginan yang tulus mereka akan melewati ujian sebaik-baiknya. Karena fakta ini, kita juga bisa berspekulasi bahwa Game Based Assessment lebih akurat dalam menilai perkembangan siswa-siswi.
Learning Disabilities
Beberapa penelitian telah melihat efektifitas Game Based Learning (GBL) untuk mengajar anak-anak yang memiliki learning disabilities. Dengan menggunakan GBL para peneliti telah berhasil secara signifikan meningkatkan konsentrasi (García-Redond et al., 2019). Penelitian lain mendemonstrasikan bahwa GBL bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir pada anak-anak yang menderita learning disabilities (Ahmad et al., 2010). Ini terjadi karan games tidak membutuhkan banyak membaca, fitur-fitur games menambahkan retensi konsentrasi mereka, dan mereka bisa belajar memecahkan masalah-masalah di games dengan banyak cara, seperti meniru, memperhatikan, mendengarkan, dan hal-hal lain yang bisa lewati learning disabilities. Meskipun penelitian-penelitian ini meliputi GBL bukan dan bukan Game Based Assessment, fitur-fitur games nya masih sama, dan fitur-fitur games itu lah yang bisa melewati learning disabilities. Dengan learning disabilities terlewati, mereka bisa mengikuti ujian dengan lebih baik.
Everyone is a genius in their own way.
Banyak sekali macam game, dan banyak macam keterampilan yang dibutuhkan untuk melewati 1 game saja. Ini juga mengapa World Economic Forum merekomendasikan GBL untuk mengajarkan dan melatih 21st century skills.
Dengan menggunakan berbagai macam game untuk menguji, kita bisa melihat kekuatan, dan kelemahan setiap siswa. Cooperative games bisa melihat leadership skills. Action games bisa melihat kemampuan-kemampuan kognitif seperti mental rotation, task switching, hand-eye coordination, dan lainya. Strategy games sangat baik untuk melihat executive function, seperti decision making, self-awareness, planning, problem solving, working-memory, dan lainnya. Dengan ini kita bisa melihat, bahwa ada anak-anak yang sangat pandai dalam social skills, yang lain pandai dalam decision making, dan seterusnya.
Sumber:
Lovett, F. (2004). Can justice be based on consent?. Journal of Political Philosophy, 12(1), 79-101.
Heinzen, Thomas. (2014). Game-Based Assessment: Two Practical Justifications. 10.13140/2.1.3251.7441.
Bhattacharyya, S., Junot, M., & Clark, H. (2013). Can you hear us? Voices raised against standardized testing by novice teachers. Creative Education, 4(10), 633.
García-Redondo, P., García, T., Areces, D., Núñez, J. C., & Rodríguez, C. (2019). Serious Games and Their Effect Improving Attention in Students with Learning Disabilities. International journal of environmental research and public health, 16(14), 2480. https://doi.org/10.3390/ijerph16142480
Wan Ahmad, Wan Fatimah & Akhir, Emelia & Azmee, Sarah. (2010). Game-based learning courseware for children with learning disabilities. 1. 1 – 4. 10.1109/ITSIM.2010.5561303.