Merdeka belajar! Itu sebuah motto di dunia pendidikan yang sekarang sering kali kita dengar.
Memang di dunia pendidikan “freedom” sering kali ditunjuk sebagai hal yang kita butuhkan. Bukan hanya dari Mas Menteri Nadiem saja, banyak peneliti, penerap, dan filsafat pendidikan yang menjunjung tinggi hal ini. Contohnya saja 3 tokoh yang mempengaruhi filosofi Bapak Pendidikan Nasional saja, sangat mementingkan kebebasan dalam filosofi pendidikan nya. MIT Educational Arcade pun mengeluarkan teori 4 freedoms of play, 4 kondisi dimana pembelajaran terjadi dengan maksimal. Salah satu alasan mengapa bermain adalah cara belajar yang unggul juga karena freedom adalah elemen utama yang harus ada sehingga sebuah aktifitas bisa didefinisikan sebagai bermain.
Sekarang ayo coba kita pertanyakan, kenapa “freedom”? Seberapa pentingnya kebebasan dalam pendidikan, atau perkembangan anak?
Freedom brings the most optimal psychological condition for learning
Kita bisa mulai dari menjabarkan apa yang bisa membuat proses belajar menjadi efektif, sehingga upaya, dan tenaga yang kita kerahkan akan mendapatkan hasil yang optimal. Sesuai affective learning theory, kondisi psikologis anak harus berada di tempat yang tepat sehingga pembelajaran bisa terjadi dengan baik. Ini termasuk motivasi, emosi, dan minat mereka.
Kita sendiri pasti sering mengalami, ketika kita merasa terpaksa, atau bahkan di paksa untuk belajar, tentu motivasi tidak akan muncul, dan sangat susah untuk kita menjadi tertarik dengan materi yang kita pelajari. Sebalik nya juga benar, ketika kita sendiri yang memilih ingin belajar apa, dan apalagi bebas menentukan tujuan dari pembelajaran kita apa, tentu kita kan termotivasi.
Memang motivasi adalah faktor yang sangat besar, salah satu penelitian mengenai kesuksesan belajar menyimpulkan “Motivasi adalah kunci untuk kegigihan dan pembelajaran yang berkelanjutan.” (Chickering and Kuh, 2005). Jika kita termotivasi untuk belajar, tentu kita akan terus menerus belajar. Begitu juga dengan minat, tentu kita akan belajar lebih banyak, lebih jauh, dan lebih niat jika kita mempelajari hal yang sesuai minat kita. Dan jangan lupa, jika kita senang saat belajar, tentu belajar menjadi sangat ringan dan efektif.
Freedom to reach our fullest potential
Kebebasan lah faktor utama yang bisa membuat kondisi di atas itu ada di saat kita belajar. Di saat kita bukan hanya bebas memilih belajar apa, tapi juga bebas memilih cara belajar kita, di sini lah kita mendapatkan kondisi psikologis yang optimal. Memilih belajar apa ini tidak bisa disepelekan, jika kita setuju bahwa setiap anak berhak meraih potensi maksimal mereka, bagaimana mereka bisa meraih itu jika tidak diberikan kebebasan untuk menemukan bakat mereka dimana, bayangkan jika Ronaldo tidak dibolehkan main bola, atau Albert Einstein tidak dibolehkan bermain dengan fisika teoritis….
Iya kebebasn ini merupakan langkah awal untuk kita meraih potensi kita.
Memang kita tidak bisa memaksakan cuman mau belajar yang aku mau aja.. Kita masih memiliki kewajiban untuk belajar banyak hal lain karena memang penting untuk memiliki pandangan yang luas, namun faktor kebebasan tetap harus ada untuk pembelajaran yang optimal. Di sini kenapa game based learning menjadi penting. Penelitian telah membuktikan bahwa ketertarikan pelajar pada sebuah bidang studi terbentuk setelah mereka memainkan games yang berlandasan topik itu (Miller et al. 2011). Mengetahui ini kita bisa menggunakan GBL dalam mengajarkan topik atau materi yang sebagian besar anak anggap membosankan. Lalu dengan menggunakan games dengan senang hati mereka akan memberikan atensi mereka kepada topik itu.
Diluar dari itu, kebebasan tetap menjadi faktor yang besar dalam efektivitas belajar, ketika kita terpaksa belajar, tidak mungkin kita bisa belajar dengan baik. Mungkin ketika kita belajar hal yang kita benci, motivasi kita cepat pudar, dan ketika kita kita harus memaksakan diri untuk belajar, ini saat nya mencari motivasi itu kembali. Kita bisa mencoba membaca buku yang lain, mencari film dokumenter yang menarik, atau mencari game yang menyinggung topik yang kita ingin pelajari.
Freedom for a more holistic learning
Kita tahu bahwa IQ atau logical intelligence hanyalah satu segmen dari luas nya multiple intelligence yang dimiliki manusia. Namun sayangnya sistem pendidikan yang sangat baku hanya bisa fokus terhadap intelligence ini saja. Mendidik anak harus lebih holistik dimana anak tidak hanya meningkatkan nilai akademis nya saja, tapi juga meningkatkan aspek intelligence yang lain. Kita sendiri tahu bahwa beberapa anak kita yang sering kita mendapatkan nilai ujian yang kurang, atau memang secara keseluruhan performa akademis nya tidak pernah memuaskan memiliki kepintaran lain yang tidak bisa terlihat di dalam sistem dengan pandangan yang sempit.
Memberikan anak kebebasan untuk mencoba berbagai macam aktivitas, dan belajar berbagai macam hal akan memberi anak itu kesempatan lebih besar untuk menemukan intelligence yang dia miliki, yang membuat nya unggul, daripada memaksakan anak itu untuk memiliki kepintaran akademis yang belum tentu juga akan bermanfaat di kehidupannya di masa depan.
Kita juga harus terbuka bahwa multiple intelligence ini tidak sempurna. Dan kita bisa memberi argumen bahwa masih banyak lagi kecerdasan, atau keterampilan manusia yang tidak tercantum di dalam teori multiple intelligence. Contohnya saja 21st century skills, di antaranya ada adaptability, persistence, initiative dan mungkin ada lagi yang tidak tercantum dalam multiple intelligence. Dengan kebebasan untuk mengeksplorasi taleta, minat, mencoba berbagai macam aktivitas yang merangsang rasa ingin tahu anak dan mendorongnya untuk terus mengenali diri nya sendiri lebih dalam tentu semakin mungkin anak itu menemukan hal yang membuat diri nya spesial.
Ini bukan sekedar menemukan intelligence atau skill yang mereka bisa mahiri. Tapi kebebasan membuat pendidikan lebih holistik. Dengan melakukan berbagai macam aktivitas, mempelajari berbagai macam hal, maka segala aspek fungsi manusia akan terasah, dari intelligence, knowledge, dan juga skills. Jika kita belajar dengan cara yang sama terus menerus, maka hanya satu aspek itu yang akan terus terasah dan terlatih.
Freedom, Responsibility, and Independence
Ini mungkin mengagetkan, namun kebebasan lah yang mengajarkan anak-anak tanggung jawab. Setiap keputusan, dan tindakan kita menimbulkan konsekuensi, tidak menginginkan konsekunesi yang berat adalah awal dari tanggung jawab. Pemikiran ini bisa kita dapatkan dari mempelajari lebih dalam filosofi Maria Montessori. Tentu menurutnya anak-anak tidak bisa diberikan kebebasan sepenuhnya, dengan mudah anak itu bisa melukai diri nya, atau pun teman nya. Maria Montessori memiliki konsep “inner freedom” dan ini kebebasan yang ideal menurutnya. Inner freedom membebas kan anak itu dari tindakan impulsif, di mana anak itu di kontrol oleh faktor-faktor internal seperti biologis atau emosi untuk melakukan hal-hal yang kuran baik
Inner freedom ini ada ketika anak memiliki self-control, dan tidak dikendalikan oleh faktor internal itu. Tentu ini memang sulit, bahkan orang dewasa masih banyak yang tidak memiliki inner freedom dan memikirkan ego nya mengontrol perilakunya. Tapi menurut Maria Montessori memberikan kebebasan yang terstruktur pada anak-anak adalah awal yang baik. “Freedom with limits” ini sangat luas pembahasannya, tapi singkat cerita, anak-anak harus diberi kebebasan untuk belajar dan melakukan aktivitas yang diinginkan selama itu tidak menyakiti atau merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
Kebebasan ini juga merupakan aspek yang sangat penting untuk membentuk anak menjadi mandiri, dan mengembangkan kepribadian yang kuat.
Ada satu hal lagi yang penting di dalam konteks kemandirian yang datang dari freedom. Yaitu kemampuan untuk lifelong learning. Lifelong learning sendiri membutuhkan kebebasan dan juga kemampuan untuk mengoptimalkan kebebasan ini. Hal ini bukan lah hal baru, Jean-Jacques Rousseau filsafat dari abad ke-18 di buku nya “Émile, ou De l’éducation” Roussau menulis tentang ini.
Freedom for an egalitarian education
Ada satu hal yang harus selalu diingat oleh pendidik. Bahwa kita juga masih belajar, dan akan terus belajar, dan salah satu guru terbaik yang bisa didapatkan oleh seorang pengajar adalah murid nya. Pendidikan yang baik terjadi secara dua arah, murid belajar dari guru, dan guru belajar dari murid.
Dengan memberikan kebebasan dalam mendidik, sang pendidik akan terus menemukan hal baru, situasi yang baru, melihat kreativitas dan individualitas dari setiap murid nya, tentu banyak yang bisa di pelajari dari sini. Dengan memberikan kebebasan anak untuk memberi opini dan pendapatnya, kita sendiri bisa belajar banyak hal yang baru. Dari sini pendidik akan terus berkembang, dan tidak terjebak di dalam status-quo dimana pendidik hanya mengulang lagi dan lagi apa yang ia ajarkan.
Seperti yang Tagore ajarkan,
Sumber:
Chickering, A., & Kuh, G.D. (2005). Promoting Student Success: Creating Conditions So Every Student Can Learn. Occasional Paper No. 3.
Montessori, M. (2015). The Education of the Individual. NAMTA Journal, 40(2), 15-28.
Miller, L. M., Chang, C. I., Wang, S., Beier, M. E., & Klisch, Y. (2011). Learning and motivational impacts of a multimedia science game. Computers & Education, 57, 1425–1433.
Peckover, C. (2012). Realizing the Natural Self: Rousseau and the Current System of Education. Philosophical Studies in Education, 43, 84-94.