Tipe-tipe permainan yang meningkatkan empati.

Image by Hai Nguyen Tien from Pixabay

Saat melihat tantangan-tantangan rumit yang kita semua sedang hadapi, secara global dan juga nasional, semakin jelas bahwa mengajarkan empati adalah solusi awal dari semua tantangan itu. Untungnya ada cara mudah bagi setiap anak untuk belajar empati.

Nah di artikel ini kita akan membahas cara-cara bagaimana anak-anak bisa mengembangkan empati mereka dengan cara yang sangat natural melalui bermain doong!!

Ternyata ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa ada beberapa tipe permainan yang efektif dalam mengembangkan empati anak.

Imaginative play

Tipe permainan ini banyak disorot sebagai fondasi kuat empati. Rudolf Steiner, dan teori sosiologi menjelaskan bahwa imaginative play memberikan pondasi untuk belajar hidup bermasyarakat secara rukun (Waite & Rees, 2014). 

Meskipun imaginative play ini sedikit sulit untuk didefinisikan, namun kita bisa menggunakan imajinasi kita sendiri, haha. 

Jadi sesuai nama nya permainan ini terjadi saat anak-anak dengan bebas berimajinasi membawa diri mereka ke dunia permainan dimana ada meteor yang sedang jatuh ke bumi, dan mereka harus menciptakan alat yang bisa menghancurkan meteor itu sebelum jatuh. Atau apa skenario-skenario lain yang hanya dibatasi imajinasi mereka, dan tidak terjebak dalam peraturan yang baku.

Inti dari permainan ini adalah eksplorasi dan melatih imajinasi mereka. Secara psikologis hal-hal yang terjadi saat bermain bisa memunculkan reaksi emosi yang sama kuatnya dengan kejadian nyata (Vygotsky, 2003).

Melatih imajinasi ini dibutuhkan untuk eksplorasi berbagai macam emosi. Imajinasi bersama dengan emosi menyediakan landasan untuk perkembangan empati, dimana anak-anak bisa memahami perasaan dan pengalaman orang lain

Free play

Tipe permainan ini sangat mirip dengan imaginative play, dengan perbedaan di penekanan nya. Imaginative play terjadi saat anak-anak asik berimajinasi, free play terjadi saat anak bermain mengikuti minat mereka sendiri tanpa batas peraturan dan perintah dari luar.

Ada sebuah penelitian yang menemukan bahwa anak-anak kecil sangat handal dalam mengapresiasi cara pandang lain, menunjukan kepedulian dan perhatian kepada teman-teman nya tanpa supervisi dari orang dewasa. (Wite & Rees, 2014).

Ini terjadi karena saat bermain anak-anak terlibat dalam momen-momen yang sama secara mental dan emosional. Mengalami irama permainan bersama ini menciptakan perasaan-perasaan dan pemahaman akan kondisi emosional dan niat dari teman bermain nya, ini lah yang menjadi pondasi empati yang kuat (Stern, 2010)

Selain itu free play sendiri ternyata memiliki peran yang sangat besar dalam perekmbangan karakter moral anak. Menurut Jean Piaget bermain memberikan banyak ruang untuk berkembang seara moral.

Saat mereka berperilaku baik mereka akan mendapatkan reaksi positif dari teman-teman. Dari melakukan sesuatu immoral mereka melihat dan mendapatkan reaksi negatif, sehinga memahami tingkah mereka kurang baik. Mereka juga belajar dan mengikuti norma sosial dan peraturan permainan, menyadari mengapa peraturan itu terbentuk, dan konsekuensi dari melanggar peraturan.

Level selanjutnya adalah ketika mereka bisa memodifikasi, membuat peraturan-peraturan bermain bersama agar lingkungan bermain menjadi lebih adil.

Ini semua akan terjadi dengan efektif saat supervisi orang dewasa tidak ada. Dimana mereka mau tidak mau harus belajar bermain dengan akur dengan sendiri nya.

Role-play

Jika diterjemahkan role-play berarti “bermain peran”. Di saat anak-anak Bera pura-pura menjadi orang lain dan memainkan peran itu. Seperti anak yang menjadi seorang permaisuri yang harus menyelamat kan pangeran yang terjebak dalam sihir. Atau yang sangat sederhana seperti berpura-pura menjadi polisi atau dokter.

Secara logika sangat mudah kita pahami kenapa permainan seperti ini sangat baik dalam meningkatkan empati. Karena pada dasar nya empati adalah menempatkan diri menjadi orang lain, dan merasakan apa yang mereka rasakan.

Saat anak-anak berpura-pura dan menjalani peran orang lain dalam situasi-situasi sulit, anak-anak belajar berempati dan merasakan apa yang orang lain rasakan saat dalam merasakan situasi yang sama dalam dunia nyata (Van Ments, 1999). 

Traditional games

Banyak sekali games tradisional yang pastinya setiap orang pernah mainkan di masa kecil. Keren nya sebelum ada sekolah-sekolah formal secara masal, game-game ini lah yang digunakan oleh nenek moyang kita.

Melalui permainan-permainan ini anak-anak belajar berbagai macam nilai-nilai budaya seperti proto demokrasi, kepemimpinan, kebersamaan, tanggung jawab, dan lain-lain (Dharmamulya, 1992).

Ada sebuah penelitian keren dari Indonesia yang mengadakan pre dan post test untuk mengukur apa saja yang dipelajari anak-anak umur 4-6 tahun saat bermain permainan tradisional (seperti cublak-cublak suweng, uri-uri, and engklek) selama 20 menit tiga kali seminggu selama 1 bulan.

Mereka juga melakukan dokumentasi observasi dan interview yang dalam. Tentu hasilnya jauh dari mengagetkan, berdasarkan analisa mereka nilai-nilai karakter yang baik terlihat muncul pada sebagian besar anak-anak di akhir bulan setelah mereka rutin bermain games tradisional ini (Sugiyo & Hong, 2014). 

Sekarang kita bisa berekspektasi bahwa dengan memainkan games tradisional secara konsisten, karakter anak-anak akan terbangun dengan baik.

Sumber:

Dharmamulya, S. et al. (1992). Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.

Pranoto, Y., Sugiyo, S., & Hong, J. (2014). Developing Early Childhood’s Character Through Javanese Traditional Game. Indonesian Journal Of Early Childhood Education Studies, 3(1), 54-58. doi:10.15294/ijeces.v3i1.9477

Stern, D. N. (2010). Forms of Vitality: Exploring Dynamic Experience in Psychology, the Arts, Psychotherapy, and Development. Oxford University Press.

Sue Waite & Sarah Rees (2014) Practising empathy: enacting alternative perspectives through imaginative play, Cambridge Journal of Education, 44:1, 1-18, DOI:10.1080/0305764X.2013.811218

Van Ments, M. (1999). The effective use of role-play: Practical techniques for improving learning. London: Kogan Page.

Vygotsky, L. S. (2003). Imagination and creativity in childhood. Journal of Russian and East European Psychology, 42, 7–97.