Ayo main dan belajar dengan Aquatico!

Ayo main dan belajar dengan Aquatico!

Aquatico adalah salah satu board game yang dimainkan untuk Game Schooling Ludenara. Game yang penuh dengan konten pembelajaran ekosistem perairan, tapi bukan hanya itu yang bisa dipelajari saat kita memainkannya. Banyak hal yang sangat penting untuk masa depan anak-anak yang bisa dilatih saat memainkan game ini. Hal-hal itu merupakan soft skills yang sangat penting untuk kesuksesan di masa dewasa, dan di kehidupan sehari-hari.

  1. Different Perspective/ Big Picture,

Di game ini murid-murid berperan sebagai penanggung jawab ekosistem perairan, dari sini mereka bisa memahami bahwa banyak sudut pandang yang harus mereka lihat. Dari sudut pandang ekosistem mereka sendiri, dan sudut pandang pemain lainnya.

 

  1. Healthy Competition and Presistance

Saat berkompetisi, murid-murid belajar menerima kekalahan serta belajar dari itu, dan karena mereka tetap ingin menang persistence sangat berkembang dengan ini.

 

 

  1. Teamwork, Communication, and Leadership

Saat bermain kooperatif mereka berperan sebagai pemimpin dan pengikut, mereka belajar berkolaborasi untuk mencapai tujuan yang sama. Mereka harus membuat rencana, memastikan setiap anggota melakukan aksi yang sudah disetujui, dan tentunya mereka juga harus belajar berkomunikasi dengan baik.

  1. Initiative and Adaptability

Anak-anak awalnya mengoleksi kartu ekosistem sesuai dengan binatang yang mereka ingin dapatkan, namun setelah mereka sadar itu sangat susah dicapai, atau ekosistem mereka terpolusi, mereka dengan cepat beradaptasi dan mengoleksi ekosistem yang lain untuk mendapatkan binatang yang lain, hal ini juga yang disebut adaptability ketika mereka cepat beradaptasi pada situasi baru.

  1. Critical Thinking, and Creativity

Fasilitator menjelaskan bagaimana cara bermain game, namun cara untuk menang mereka harus mencari tahu sendiri. Dari proses ini mereka mengasah critical thinking, dengan sendirinya mereka kritis akan menemukan cara terbaik untuk menang. Kreatifitas juga sangat berkemang, terilhat ketika mereka bisa menemukan solusi-solusi kreatif pada saat suatu permasalahan muncul.

 

Kebetulan, board game ini lagi discount lhoo!

Dapatkan harga dan diskon spesial hingga Rp. 50.000  sampai tanggal 19 April 2020.

Belanja atau cari tahu informasi selengkapnya tentang Aquatico di @Boardgame.id : bit.ly/aquatico-baru (atau klik tautan di bio)

Kirim DM atau hubungi 0857-4697-0411 (Caca) jika ada pertanyaan.

 

Game Based Learning bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Ini 5 alasannya!

Game Based Learning bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Ini 5 alasannya!

Sekarang setiap orang pasti setuju, bahwa kualitas edukasi Indonesia amat sangat harus tingkatkan. Ini salah satu alasan kenapa organisasi Ludenara dibentuk. Organisasi ini ingin melihatkan sisi bermain yang kadang terlewat sama masyarakat luas, bahwa bermain sangat penting untuk perkembangan anak secara holistic, dari tubuh, otak, mental, dan faktor-faktor lain nya yang bisa membantu setiap anak meraih potensi terbaik mereka.

Lalu bagaimana bermain, atau game based learning bisa meningkatkan kualitas edukasi Indonesia? Untuk ini ada lima landasan utama,bagaimana efektifitas dari setiap sesi pembelajaran bisa meningkat melalui game based learning.

 

Hal pertama yang penting untuk belajar dengan efektif adalah tingkat motivasi murid untuk belajar, karena motivasi adalah aspek kunci dari pembelajaran yang efektif (Garris et al.,2002) Sederhana nya belajar harus gembira dulu. Untuk meningkatkan aspek ini gim sangat lah cocok, fitur-fitur dari gim mendorong motivasi intrinsik, dan meningkatkan ketertarikan siswa kepada topik pembelajaran (Druckman, 95). 

Bukti ilmiah telah mendemonstrasikan bahwa gim menambahkan motivasi untuk belajar topik-topik akademis dan non-akademis seperti matematika (Kebritch et al., 2010), sains (Toprac, 2011), bahasa (Hainey et al., 2011), sejarah (Squire, 2004), software engineering (Papastergiou, 2009) melatih mahasiswa kedokteran (Roubidoux et al., 2002), meningkatkan kesadaran akan isu sensitif (Klopfer, 2008), atau makanan sehat (Serrano 2004). Motivasi ini juga berkelanjutan, sehingga siswa-siswi mau mengerjakan soal-soal lebih banyak (Lee et al., 2004) dan lebih semangat untuk mendalami topik itu.

Landasan kedua adalah pengembangan siswa-siswi terlepas dari materi akademis. Game based learning memiliki banyak manfaat dalam mengasah keterampilan yang mereka butuhkan untuk masa depan (antara lain adalah: kreativitas, kolaborasi,berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berempati, kegigihan, inisiatif dan lain-lain). World Economic Forum merincikan keterampilan-keterampilan ini sebagai 21st Century Skills, di dalam laporan ini World Economic Forum juga merekomendasikan game based learning sebagai cara paling baik untuk mengembangkan dan mengajarkan keterampilan-keterampilan ini.

Ketiga mengenai kesuksesan akademis siswa-siswi. Bila kita memang sangat peduli akan kesuksesan akademis anak, kita harus melihat dua faktor, yaitu kemampuan komunikasi mereka, dan juga kemampuan untuk meregulasi diri sendiri secara emosi, dan proses berpikir. Karena jika digabungkan faktor-faktor ini adalah indikator terbaik untuk memprediksi kesuksesan akademis dan kesejahteraan emosi (Whitebeard, 2011). Dan yang paling krusial untuk mengembangkan dua hal ini adalah bermain (Vygotsky, 1987).

Landasan keempat mencangkupi salah satu tujuan edukasi yang sangat penting, yaitu membentuk karakter yang moral. Menggunakan games mengajarkan karakter moral yang dasar yaitu Anak-anak belajar mengikuti peraturan. Tapi tidak sebatas itu aktifitas bermain sendiri merupakan cara Anak-anak membentuk karakter yang moral secara natural.

Menurut father of developmental psychology, Jean Piaget karakter moral anak pada dasarnya terbentuk saat mereka bermain. Ketika bermain anak-anak belajar benar dan salah (moral dan immoral), dari melakukan sesuatu immoral mereka melihat reaksi negatif dari teman-teman nya, sebaliknya melakukan ketika melakukan hal moral mereka mendapatkan feedback positif seperti di ajak main lagi. Selain itu mereka belajar mengikuti peraturan, menyadari mengapa peraturan itu terbentuk, dan konsekuensi dari melanggar peraturan. Level

setelah itu adalah saat mereka bisa membentuk peraturan-peraturan sendiri saat bermain untuk memastikan setiap anak bisa bermain dengan adil. Hal ini tidak hanya berlandasan teori. Cambridge Journal of Education mempublish penelitian, yang menunjukan bahwa bermain mengembangkan empati dan perilaku prososial. Hal ini sangat penting jika kita melihat bahwa menurut teori kognitif sosial kita belajar lebih efektif jika bersama kelompok yang kondusif.

Selain sangat baik untuk siswa-siswi, berlatih menggunakan game based learning meningkatkan kompetensi guru ini lah landasan ke-lima. Penelitian dari Finnish Institute for Educational Research menemukan empat kompetensi Guru yang terlatih saat menggunakan pendekatan game based learning yaitu; pedagogis, teknologi, kolaboratif dan kreatif. Hasilnya berlaku untuk mengembangkan pendidikan guru, karena kompetensi guru dalam penggunaan game based learning akan terintegrasi dengan pengetahuan profesional, dan portofolio keterampilan guru.

Sumber:

 Felicia, P. (2011). What evidence is there that digital games can contribute to increasing students ‘ motivation to learn ?

 Schunk, D. H. (2020). Learning theories: an educational perspective. Hoboken, NJ: Pearson.

Waite, S., & Rees, S. (2013). Practising empathy: enacting alternative perspectives through imaginative play. Cambridge Journal of Education, 44(1), 1–18. doi: 10.1080/0305764x.2013.811218

Nousiainen, T., Kangas, M., Rikala, J., & Vesisenaho, M. (2018). Teacher competencies in game-based pedagogy. Teaching and Teacher Education, 74, 85–97. doi: 10.1016/j.tate.2018.04.012

 Freitas, S. D., Dunwell, I., & Rebolledo-Mendez, G. (n.d.). Learning as Immersive Experience. Teaching and Learning in 3D Immersive Worlds, 5. doi: 10.4018/978-1-60960-517-9.ch002

Druckman, D. (1995). The educational effectiveness of interactive games. In D. Crookall, & K. Arai (Eds.), Simulation and gaming across disciplines and cultures: ISAGA at a watershed (pp. 178-187). New York: SAGE Publications.

 World Economic Forum. (2015). New vision for education: unlocking the potential of technology. Geneva, Switzerland.

4 Freedoms of Play. Merdeka Belajar versi Ludenara!

4 Freedoms of Play. Merdeka Belajar versi Ludenara!

Photo by Aditya Saxena on Unsplash

 

Massachusetts Institute of Technology (MIT) memiliki program “educational arcade” dimana mereka diberikan banyak ruang untuk bereksperimen dan meneliti pendidikan. Nah, salah satu teori mereka adalah “4 freedoms of play”. Lerner-centered theory  ini memberi wawasan bahwa, jika 4 kondisi ini terpenuhi, pembelajaran akan terjadi dengan efektif.

Berikut adalah 4 kondisi tersebut;

 

  1. Freedom to Explore,
Photo by Jamie Street on Unsplash

Pertama anak-anak akan belajar dengan lebih baik jika mereka dengan sendiri nya yang ingin tahu mengenai topik, atau keterampilan tertentu.  Selain itu anak-anak juga harus diberikan kebebasan untuk memilih cara belajar mereka, mungkin mereka ingin nonton film, menggambar, atau memainkan games mengenai topik ini. Dengan kebebasan ini, maka akan ada motivasi intrinsik, dengan ini mereka akan terus fokus, semangat belajar dan rasa ingin tahu tidak akan pudar. Hal-hal ini lah yang akan terus mendorong mereka untuk menjelajahi dan belajar hal-hal baru. Ini mengapa 4 Freedoms of Play sangat condong ke arah Student Centric.

 

       2. Freedom to Fail,

Photo by Taelynn Christopher on Unsplash

Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari kegagalan, kita bisa merefleksikan hal yang telah terjadi, menanyakan apa yang salah? Dan terus mencari jalan yang benar. Dengan membebaskan anak-anak untuk gagal, mereka akan terus bereksperimen, mereka akan mencari cara baru untuk menyelesaikan masalah, mencari jalan baru untuk mencapai suatu tujuan. 

 

3. Freedom of Identity,

Photo by Steven Libralon on Unsplash

 

Di permainan anak-anak akan mencoba peran-peran yang baru, dengan ini mereka bisa belajar berempati, dengan menempatkan diri mereka di posisi orang lain. Dengan mengidentifikasikan diri sebagai orang lain anak-anak bisa belajar dari pengalaman orang lain, melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan bersama, dan kebahagian orang menjadi kebahagiaan diri mereka juga.

Selai itu kebebasan untuk beridentitas akan mendorong anak-anak untuk menemukan jati diri nya, mereka akan melihat sendiri dimana letak ketertarikan mereka, hal-hal yang mereka tidak sukai, cara belajar yang paling baik untuk mereka dan banyak hal lain yang penting untuk menumbuhkan individual yang kuat.

 

4. Freedom of Effort,

Image by stine moe engelsrud from Pixabay 

 

Kita tidak bisa selalu memaksakan anak untuk selalu rajin, fokus, niat, dan berusaha dengan maksimal. Anak-anak akan lebih produktif di jangka panjang jika mereka bisa memilih kapan mereka ingin berusaha dengan maksimal, dan kapan mereka ingin bersantai-santai. Karena memaksakan anak untuk selalu berusaha keras akan menimbulkan tekanan yang tidak kondusif, dan juga dengan cepat mereka akan merasa letih.

Advokasi Bermain Oleh UNICEF

Advokasi Bermain Oleh UNICEF

image by, UNICEF

Kami berkomitmen untuk bekerja tanpa lelah untuk implementasi penuh Agenda ini pada tahun 2030”

  • Deklarasi komitmen SDG negara-negara anggota PBB, 2015

 

SDG (Social Development Goals) no.4 adalah “promoting lifelong learning for all” tentunya banyak sekali inovasi-inovasi untuk mencapai tujuan ini. 

Sekarang kita lihat usaha dari UNICEF, yang telah di beri support oleh Leggo foundation. Dari kerja sama ini, mereka menyuarakan advokasinya bahwa, “learning through play” memiliki peran yang sangat penting di dalam mencapai target SDG.

 

Lalu bagaimana bermain bisa berperan dalam mencapai SDG ini?

Di jurnal ini UNICEF menjelaskan secara lebar bagaimana “learning through play” ini adalah pondasi yang sangat penting untuk pendidikan setiap anak. Karena lifelong learning sangat membutuhkan perspektif bahwa belajar itu hal yang sangat menyenangkan, agar anak-anak dengan sendiri akan terus belajar.

 

Selain itu banyak hal teknikal lain yang membahas tentang bermain sebagai proses belajar yang alami untuk anak-anak.

image by, UNICEF

 

Satu hal di jurnal ini yang belum banyak kita bahas adalah, tantangan-tantangan menggunakan bermain untuk belajar. Menurut UNICEF ada 5 faktor yang menghambat, yaitu;

 

  1. kurangnya pemahaman tentang nilai permainan sebagai landasan konsep akademik
  2. kesalahpahaman orang tua atau pengasuh tentang bermain
  3. kurikulum atau standar pembelajaran yang tidak membahas permainan
  4. kurangnya pelatihan profesional guru yang berfokus pada pembelajaran melalui permainan
  5. ukuran kelas yang terlalu besar hingga membatasi kebebasan anak-anak untuk bermain

Berikut adalah infografis oleh UNICEF mengenai tantangan ini.

 

Siaga! Boardgame yang lebih dari boardgame

Siaga! Boardgame yang lebih dari boardgame

Dari pengalaman-pengalaman para guru yang telah melewati bencana terlahir lah Siaga!

Setelah survey lokasi bencana Lombok 2018, Mas Eko telah merancang learning kit yang bisa membantu mengajar tanggap bencana untuk murid-murid sekolah, dan juga pembelajaran informal di luar sekolah.

Bersama dengan Lembaga Beasiswa Baznas, Ludenara mengajak lebih dari 40 guru yang telah melewati bencana alam di Lombok dan juga Palu, untuk bermain dan belajar bersama. Bersama guru-guru yang sangat hebat ini, kita menggali potensi Siagai! sebagai learning kit tanggap bencana yang sangat komplit.

Setelah project ini tentu Siaga! akan menjadi alat edukasi yang semakin baik. Kita harapkan tool kit ini bisa membantu guru-guru dan orang tua di seluruh nusantara untuk memberi pembelajaran tanggap bencana yang akan menyelamatkan nyawa.

Learning kita ini membuka pembahasan untuk 3 fase mitigasi bencana. Dari fase persiapan, dimana kita belajar bersama mengenai informasi-informasi yang harus kita pelajari sebelum terjadinya bencana.

Setelah itu, kita juga mengerti pentingnya pelatihan evakuasi di saat terjadinya bencana. Karena se paham-paham nya kita, se hafal-hafal nya kita mengenai teori-teori tanggap bencana, akan sia-sia jika tidak ada latihan, teori sendiri tidak bisa menyelamatkan kita di saat terjadinya bencana.

Dan erakhir adalah fase pasca bencana, saatnya kita saling membantu, bergotong royong dan membangun kembali tempat tinggal kita yang telah terlanda bencana.    

Siaga! juga memberi penekanan pada pentingnya kerja sama di seluruh fase mitigasi bencana. Dengan memainkan board game ini kita bisa mengalami sendiri seberapa fatal nya jika kita gagal saling mengerti. 

Program ini kita jalankan bersama Lembaga Beasiswa Baznas, dengan tujuan untuk memberikan edukasi tanggap bencana kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Dan seperti yang kita ketahui, seluruh masyarakat Indonesia yang berdiri di atas lingkaran api, sangat membutuh kan nya. SIa

Untuk itu, kita masih butuh bantuan yang banyak, untuk mensosialisasikan misi kita, serta support untuk merealisasikan program kita di seluruh Nusantara.

Permintaan Istri Pada Suaminya: Ayah, Mainnya Nanti Aja Ya? [Keluarga Bermain]

Permintaan Istri Pada Suaminya: Ayah, Mainnya Nanti Aja Ya? [Keluarga Bermain]

Ada seorang Ayah kebingungan karena anaknya mulai bertanya-tanya soal sebuah game mobile yang populer.

“Bun,” kata Ayah itu ke istrinya, “kayaknya aku harus belajar game itu deh. Supaya aku tau anak kita main apaan.”

Istrinya mengangguk dan tersenyum. Senang sekali melihat seorang Ayah tertarik dan mau terlibat dengan apa yang dilakukan anaknya. Mungkin ia teringat betapa banyak Ayah di negeri ini yang hanya bisa nyuruh dan ngomel saja.

Apa yang dilakukan Ayah ini mungkin sedikit-banyak sesuai dengan nasihat dari Mas Eko Nugroho dalam kolom Keluarga Bermain sebelumnya yang berjudul Sudah Bermain Apa Saja Hari Ini?

Bermain game, mungkin adalah sebuah proses latihan paling menyenangkan untuk kita (orang tua ataupun guru) agar bisa belajar menghargai anak-anak kita, apa yang mereka pahami, dan apa yang mereka rasakan sepenuhnya. Yang kita perlukan mungkin hanyalah kesungguhan untuk mencoba.

Lalu, bagaimana tanggapan Ayah tersebut soal game tadi?

Ya, permainan itu memang seru, ia menampilkan pertempuran di sebuah arena secara online. Setiap pemain bisa tergabung dalam sebuah tim tertentu, baik dadakan maupun tidak. Lalu, karena online, ia juga jadi ajang bertemu pemain lain dari –mungkin– seluruh dunia.

Sang Ayah pun kepincut. Ia bukan saja memahami game itu, ia juga asyik memainkannya. Bahkan, boleh dibilang, lebih asyik dari anaknya sendiri.

Suatu kali, sang istri baru saja selesai memeriksa tugas anak-anaknya ketika ia tersadar. Kenapa suaminya belum pulang juga? Padahal sudah cukup larut malam.

“Dek,” ia memanggil anaknya yang laki-laki. “Ayah tadi bilang nggak mau ke mana abis dari kantor?”

“Nggak”

“Coba cek di game itu Dek. Online gak dia?”

Tak berapa lama anaknya berseru. “Ada Bun!”

Main Terooos! 

Untungnya itu bukan kejadian di diri saya. Tapi itu kejadian sungguhan di salah satu keluarga teman istri saya. Beneran. Saya bukan cuma ngeles kok! Sumpah!

Begini lho. Saya nggak bisa main mobile game terlalu lama. Jadi nggak mungkin mengalami itu. Tapi bukan berarti saya tidak mengalami hal serupa.

Belum lama ini sebuah permainan kartu populer dunia masuk secara resmi ke Indonesia. Sebutlah Pokemon trading card game (atau collectible card game?) yang sangat populer di berbagai belahan dunia sampai-sampai ada kejuaraan dunianya!

Saya memang tidak keranjingan game online. Tapi sekarang, setiap kali melihat Indomaret saya jadi ada keinginan untuk mampir dan beli satu atau dua booster pack.

Untungnya, anak saya yang laki-laki juga suka memainkan game ini. Bukan pada taraf kompetitif sih. Tapi dia menikmati aksi saling serang monster-monster kecil itu.

Jadi pada waktu-waktu luang tertentu, terutama di akhir pekan, kami akan memainkan versi kami sendiri dari permainan ini. Bagian dari keseruannya bukan hanya ketika kami “beradu Pokemon” tapi ketika sama-sama melakukan pengelompokkan atas Pokemon apa saja yang sudah ada dalam koleksi kami dan apa saja kemampuannya.

Mas Eko Nugroho, dalam sebuah diskusi di grup Chat, menarik kesamaan antara aktivitas dalam game kartu Pokemon dengan aksi mengoleksi perangko atau mata uang asing di masa lalu. Saya pun — setelah merasakan sendiri sensasinya — bisa mengamini hal itu.

Memang game kartu Pokemon ini benar-benar membangun perasaan Gotta Catch ‘Em All. Tapi maaf, saya permisi dulu, mau ke Indomaret.

Artikel ini di tulis untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Wicak Hidayat,
seorang penulis yang tinggal di Depok.

Jauhi Game Untuk Kebaikan Anak! [Keluarga Bermain]

Jauhi Game Untuk Kebaikan Anak! [Keluarga Bermain]

“Kiriya hati-hati!” teriak saya suatu sore sambil Saya berlari mendekati tuan putri dan sepedanya yang tiba-tiba membelok, miring, dan hampir terjatuh. Karena begitu kaget dan khawatir, Saya lalu memutuskan untuk menuntunnya bersepeda, mengatur kecepatannya, dan mengarahkan kemana sepedanya harus melaju.

Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya tuan putri turun dari sepedanya dan memutusan untuk tidak lagi main sepeda sore itu. Ia menjauh dari saya dan menyibukkan dirinya dengan hal lainnya.

Segala khawatiran, ketakutan memang perasaan yang tidak enak. Ketika hal itu terkait anak-anak kita bisa semakin berkali-kali lipat lebih tidak enak. Itu mungkin sebabnya kita sebagai orang tua selalu coba melakukan segala apa yang kita bisa untuk meminimalisir semua perasaan tersebut.

Saya bahkan kadang berdalih menyebutnya “memberikan yang terbaik bagi anak”. Padahal apa yang saya lakukan semata-mata untuk diri saya sendiri, untuk meminimalisir segala bentuk khawatiran dan ketakutan yang saya miliki.

Dalam banyak kesempatan, demi meminimalisir segala bentuk kekhawatiran dan ketakutan itu, kita kemudian tergoda untuk menuntun secara berlebih, mengatur, dan mengarahkan aktivitas anak kita sesuai dengan apa yang kita mau. Ruang empati, rasa percaya, semua hilang seketika. Yang ada mungkin hanya ego bahwa kita (orang tua) adalah yang paling tahu segala (yang terbaik) untuk mereka.

Tidak banyak keluarga seperti keluarga Mas Wicak Hidayat atau rekannya sebagaimana disampaikan dalam artikel “Permintaan Istri Pada Suaminya: Ayah, Mainnya Nanti Aja Ya?” yang memiliki ketertarikan, mengeksplorasi potensi game, dan benar-benar coba menghadirkan proses bermain di tengah keluarga.

Sebagian besar dari kita melihat bermain game sesuatu yang harus diminimalisir, dihilangkan sama sekali jika perlu! Karena kita khawatir, takut, itu akan mengganggu sekolahnya, mengganggu kegiatan belajarnya, mengganggu masa depan (yang kita impikan untuk) anak-anak kita!

Kita tidak memberikan ruang untuk mereka mencoba. Kita bahkan kadang menutup mata atas segala potensi baik yang mungkin ada. Hasilnya, seperti yang tuan putri Kiriya lakukan, anak-anak kita mungkin malah menjauh sama sekali dari kita.

Saat ini industri game dunia bernilai lebih dari 140 milyar dollar, puluhan ribu judul game hadir setiap tahunnya. Pertumbuhan industrinya terus tumbuh positif dan tercatat menjadi salah satu industri yang paling pesat perkembangannya dari tahun ke tahun. Artinya, game akan semakin dekat dengan anak-anak kita dan menjauhkan game dari mereka akan jadi hal yang sangat sulit.

Dari sudut pandang lain, industri game mungkin juga sebuah industri yang sangat menjanjikan untuk masa depan. Seperti halnya industri board game Indonesia yang walaupun baru dimulai 2014 lalu, terbukti terus tumbuh secara signifikan.

Saat ini telah tercatat puluhan judul board game Indonesia dan di Bandung kini sudahi galeri board game indonesia terlengkap. Ketika kita menutup mata dengan segala potensi yang ada, kita mungkin juga menutup kesempatan untuk anak-anak kita bisa berkontribusi dan menikmati segala hal baik dari industri ini.

Tiap kali ada yang mengingatkan “jauhi game, untuk kebaikan anak!” mungkin adalah sebuah pengingat untuk kita semakin semangat belajar memahami, memilih, untuk kemudian menghadirkan game-game terbaik ke rumah kita dan bermain bersama!

Artikel ini ditulis oleh direktur Ludenara Eko Nugroho untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Menunggu Anaknya Bermain, Seorang Ayah Patah Hati [Keluarga Bermain]

Menunggu Anaknya Bermain, Seorang Ayah Patah Hati [Keluarga Bermain]

 

Seorang Ayah menggelar sebuah board game kesukaannya. Sebuah permainan kolaboratif, dengan banyak komponen: miniatur, token, papan aksi, plus balutan narasi yang komplet!

Dikumpulkan keluarganya di meja makan. Lalu mereka mulai bermain. Tak lama, anaknya tampak bosan, melamun, tidak memperhatikan dan ingin segera selesai.

Seorang Ayah mengajak anak-anaknya bermain board game. Baru. Masih kinyis-kinyis, keluar dari plastic wrap. Dikeluarkan dari kotak, digelar di meja.

Anaknya masih asyik dengan perangkat digitalnya, satu lagi menonton televisi sambil ketawa-ketiwi. Ayah menunggu tidak sabar. Ia mulai patah hati.

Seorang Ayah membawa board game dengan penuh semangat. Nilai edukasi game ini, menurut para pakar, sungguh super dan luar biasa.

Digelarnya permainan itu di atas meja. Ia menunggu anak-anaknya untuk datang dan belajar dan bermain bersamanya. Sampai kapan?

Bukannya tidak paham pentingnya bermain. Bukan tidak mau juga. Bahkan ia sudah menyiapkan permainan. Menyajikannya sebaik yang ia bisa.

Hanya situasi kadang memang tidak mendukung. Kadang, patah hati memang tidak bisa dihindari. Ini kejadian nyata. Salah satunya (atau lebih?) benar-benar pernah saya alami.

Jangan Menyerah, Ayah 

Hal paling indah dalam hidup (setidakya buat saya) adalah ketika orang tua bisa bermain dengan anak-anaknya tanpa embel-embel yang memberatkan. Bermain lepas dan saling memahami masing-masing.

Lalu, apa yang salah dengan kejadian di awal tulisan ini?

Saya seperti banyak orang tua di negeri ini. Kadang kebangetan antusias saat mendapati sebuah kiat dan tips yang katanya baik untuk anak-anak.

Tapi, tentunya karena ada kesibukan. Mana sempat mempelajari sungguh-sungguh sebuah kiat? Kenapa tidak pakai cara cepat?

Ke-super-sibuk-an saya sebagai orang tua ini dibarengi dengan egoisme. Ketika memilih sebuah game untuk dimainkan, yang jadi pertimbangan adalah “apa yang saya suka?” atau “apa game yang bermanfaat untuk anak-anak?” bukan “apa yang seru untuk dimainkan bersama?”

Ya. Terus terang, ada momen-momen ketika saya lelah. Keinginan untuk bermain bersama anak selalu ada. Tapi kadang kekecewaan juga membuat saya enggan untuk mulai mengajak. Wajar kan kalau kita berusaha melindungi diri dari patah hati dengan menghindar?

Mas Eko Nugroho, dengan caranya yang khas, selalu menyemangati saya. “Jangan menyerah!”

Jika kita merasa sesuatu itu penting dan perlu, apakah kita akan kemudian menyerah ketika gagal di beberapa percobaan awal?

Eko Nugroho. Pentingnya Bermain untuk Keluarga

Menikmati yang Tidak Disukai 

Setelah berkali-kali mencoba. Membawa game yang ini dan itu. Membeli, bahkan hingga nominal rupiah yang tidak bisa dibilang sedikit, board game baru. Pada akhirnya saya menemukan momen-momen bermain yang menyenangkan.

Kuncinya sederhana: belajar menikmati sesuatu yang biasanya tidak bisa kita nikmati.

Intinya mencoba hal baru dan kompromi. Bermain bersama anak adalah memahami apa yang mereka suka untuk mainkan.

Saya, misalnya, akhirnya bisa menikmati permainan seperti Jenga. Permainan yang sebelumnya mungkin akan saya hindari. Kenapa? Karena anak-anak menikmati permainan itu.

Saya, kemudian, jadi senang dengan sebuah permainan yang dibuat oleh seorang YouTuber tertentu, yang dibeli lewat sebuah kampanye Kickstarter. Sebuah permainan yang simpel dan “berantakan” tapi membuat keluarga kami tertawa terbahak-bahak saat memainkannya bersama-sama. Membuat anak-anak mau main lagi dan lagi.

Game Terbaik di Dunia

Dalam sebuah workshop fotografi, peserta cenderung bertanya hal ini berulang-ulang pada pembicara: “Apa kamera terbaik?”

Jika pembicaranya fotografer kelas atas, ia akan menjawab begini: “Kamera terbaik adalah yang kamu pegang!”

Bukan karena tak mau menyinggung perasaan yang bertanya. Tapi karena fotografi adalah soal menangkap momen dengan kamera. Apapun kamera yang ada di tangan saat sebuah momen perlu “diabadikan” ya itulah kamera terbaik di dunia!

Demikian juga dengan board game. Apa board game terbaik di dunia? Ya, itu adalah game yang sedang kamu mainkan.

Board game yang hanya ngedeprok di rak dan tidak dimainkan bukanlah board game. Itu cuma pajangan.

Nah, board game terbaik di dunia buat saya adalah board game yang sedang saya mainkan bersama orang-orang yang saya cintai. Board game yang saya mainkan bersama keluarga. Atau board game yang saya mainkan bersama teman dan sahabat.

Tak perlu rating atau pakar, tak perlu BGG atau Tom Vassel untuk bilang apa board game paling baik di dunia. Board game terbaik di dunia adalah yang kamu mainkan. Titik!

Artikel ini di tulis untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Wicak Hidayat,
seorang penulis yang tinggal di Depok.

Pentingnya Bermain untuk Orang Tua [Keluarga Bermain]

Pentingnya Bermain untuk Orang Tua [Keluarga Bermain]

“Aku gak mau tidur siang. Nanti mainnya jadi sebentar.” Kata tuan putri siang itu. Beberapa minggu ini, Mamam (panggilan sayang Istri saya di keluarga kami) membuat kelas kecil di depan kantor. Sejak itu, hampir setiap hari banyak teman-teman tuan putri yang mampir untuk main (belajar) sama-sama.”

“Tapi tidur siangnya penting sayang, supaya mainnya gak lemes dan supaya teteh tetep sehat. Klo teteh sehat kan bisa main sering. Klo sakit kan susah buat mainnya.” Jawab saya coba berargumentasi.

“Tapi teteh pengen main dulu. Tidurnya nanti aja abis main ya Pam.” Tuan putri mencoba bertahan

“Tapi teteh kan mainnya sampai sore. Keburu maghrib. Tidurnya kapan?” Saya kembali meyakinkannya untuk tidur.

“Ya pas maghrib Pam, sebentar aja. Nanti bangun sholat, makan, main lagi deh sama Pampam sampai jam sembilan.” timpal tuan putri yang masih semangat bermain.

Sore itu tuan putri mengingatkan saya. Bermain bagi anak-anak kita adalah sebuah hal yang begitu penting. Mereka mau merelakan banyak hal untuk bisa melakukannya, sepenuh hati.

Bermain juga penting untuk kita sebagai orang tua

Sayangnya, Saya sebagai orang tua, selalu saja lupa akan hal itu. Alih-alih terlibat, kita coba menghindarinya. Mencari berbagai alasan untuk meyakinkan (diri kita sendiri) ada banyak hal lain yang lebih penting. Kita lupa penting tidaknya sesuatu, adalah soal rasa dan pemahaman.

Kita sebagai orang tua selalu menuntut anak-anak kita untuk memahami kita, kadang tanpa memberi ruang untuk coba ‘merasa’ (empati) dan memahami mereka seutuhnya. Atas dasar itu bermain mungkin adalah cara terbaik untuk kita berlatih itu semua.

Di lain sisi, banyak dari kita juga lupa, bahwa waktu bermain dengan anak-anak kita sangat terbatas dan pendek. Tiba-tiba mereka tumbuh besar, dan memiliki teman bermain yang lebih mengerti mereka. Kita kemudian baru tersadar ketika mereka tidak lagi bersedia meluangkan waktunya dengan kita.

Saat itu terjadi, kita bisa saja menuntut mereka untuk meluangkan waktunya dengan kita, tapi apakah hal ini adil? Yang harus mulai kita pahami adalah BERMAIN ITU PENTING UNTUK KITA meskipun sudah menjadi orang tua! Agar bisa memberikan bukti pada anak-anak kita bahwa kita juga bisa jadi teman baik untuk mereka.

 

Adakalanya, kita kemudian beralasan bahwa kita sudah menyiapkan waktu, game yang seru, tapi anak-anak malah yang sibuk dan tidak punya waktu. Mungkin masalahnya bukan soal jadwal atau game-nya. Mungkin masalahnya kita yang belum melihat hal itu penting dan perlu. Jika kita merasa sesuatu itu penting dan perlu, apakah kita akan kemudian menyerah ketika gagal di beberapa percobaan awal?

Yang juga perlu disadari, bermain bisa menjadi sebuah proses belajar yang luar biasa. Syaratnya, seperti halnya berbagai proses belajar lainnya, ia harus dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Tanpa persiapan yang baik, sulit menghadirkan proses belajar yang baik, sehebat dan secanggih apapun media yang digunakan. Sialnya, kita kadang berharap bisa menghadirkan proses bermain sebagai proses belajar, tanpa persiapan sedikitpun.

Berbagai kondisi diatas mungkin yang kemudian mendorong di banyak negara (Eropa, dan US) belakangan ini mulai memunculkan berbagai kampanye dan budaya bermain bersama. Di Jerman, budaya bermain board game bersama yang dikenal dengan istilah Spielabend atau malam bermain, telah dikenal sejak lama.

Ya karena bermain menjadi pilihan aktivitas keluarga yang menyenangkan dan bermanfaat. Spielabend bahkan banyak dilakukan oleh kampus, sekolah, dan berbagai perusahaan, karena pelaksanaannya yang sederhana (cukup menyediakan board game dan camilan) namun manfaatnya sungguh luar biasa.

Bayangkan jika hal yang sama bisa kemudian kita hadirkan dan budayakan di Indonesia. Budaya bermain board game bersama hadir di banyak keluarga, di sekolah, di kampus, dan di berbagai perusahaan. Ketika ini terjadi, kita mungkin akan melihat banyak ruang belajar yang tercipta, anak-anak kita akan tumbuh dalam potensi terbaiknya, dan yang terpenting – kita sebagai orang tua, mungkin akan dapat kesempatan untuk bisa bermain bersama anak-anak kita lebih lama.

Bukankah jadi sebuah kebahagiaan tersendiri, jika satu hari, anak-anak kita, bersama anak-anaknya (cucu kita) selalu menyambut dengan gembira untuk bisa bermain bersama orang tuanya? Ini adalah mimpi yang akan saya coba wujudkan, semoga ini juga bagian dari mimpi anda!

 

Artikel ini ditulis oleh direktur Ludenara Eko Nugroho untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Ada manfaatnya, main video games bersama keluarga?

Ada manfaatnya, main video games bersama keluarga?

Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash

 

Bukan sesuatu yang mengagetkan jika ada yang bilang bahwa keluarga yang suka bermain bersama memiliki ikatan yang erat, komunikasi lebih lancar, tingkat saling percaya yang tinggi dan secara keseluruhan lebih bahagia.

 

Telah banyak penelitian dan ekspert yang mensupport konklusi ini. Di buku nya Playful Parenting Lawrence J. Cohen, Ph.D., menuliskan bahwa bermain bersama memberikan kesempatan kepada orang tua untuk memasuki dunia anak, dari bermain anak-anak menunjukan dirinya kepada kita, dan ini lah cara untuk memperkuat koneksi orang tua dengan anak.

 

Ketika mempertimbangkan masa depan anak, sudah banyak bukti bahwa hubungan keluarga yang erat memiliki korelasi positif terhadap kepuasan hidup anak secara keseluruhan.

Professor of pediatrics dari George Washington University Stanley Greenspan, M.D., memberi wawasan bahwa, bermain dengan orang tua membantu anak melatih kecerdasan sosial yang dibutuhkan untuk berhubungan dengan orang lain, ini lah yang memastikan masa depan mereka lebih baik.

 

Nah pertanyaan apakah bermain video game bisa memberikan manfaat yang sama?

Untuk ini University of California merekrut 361 relawan yang sudah berkeluarga untuk melakukan survey.

Survey ini bertujuan untuk memahami dampak dari bermain video game bersama dengan keluarga terhadap hubungan di keluarga, dalam ukuran kedekatan dan kepuasan keluarga.

 

Tentunya setelah di ambil datanya keluarga yang bermain bersama memiliki hubungan yang lebih baik. Degan menghabiskan lebih banyak waktu bersenang-senang bersama anak orang tua bisa mendeskripsikan hubungan keluarga mereka secara sangat positif. Hanya 1 kali seminggu, itu frekuensi rata-rata penjawab survey mereka merasakan hubungan keluarga lebih erat dan kepuasan keluarga meningkat. meski tidak sedang bermain.

 

Namun lebih pentingnya dari survey ini kita bisa tahu video games seperti apa saja yang menimbulkan ini.

  1. Games yang mudah dan bisa dimainkan oleh segala kelompok umur,
  2. Games yang kooperatif, dimana pemain memiliki tujuan yang sama,
  3. Secara general games yang dimainkan di 1 konsol yang sama dipersepsikan lebih baik, dibandingkan memainkan game bersama di gadget yang berbeda.

Beberapa games di namakan secara spesifik, seperti Minecraft, Mario, dan beberapa games olahraga dan musik.

Tentunya video games memiliki banyak limitasi, tidak semua sama baiknya, dan tidak ada peneliti yang bisa mengatakan bahwa bermain di dunia “digital” sama baiknya dengan bermain di dunia “nyata.”

Namun pesan yang paling penting mungkin adalah, bermain video games, jika dilakukan dengan baik, dan bersama-sama memiliki dampak yang positif, dan sangat mungkin menjauhkan kecanduan.

Sumber:

Wang, B., Taylor, L., & Sun, Q. (2018). Families that play together stay together: Investigating family bonding through video games. New Media & Society, 20(11), 4074–4094.

Playful Parenting, by Lawrance J. Cohen, Ph.D., Ballantine, 2002

Building Healthy Minds: The Six Experiences That Create Intelligence and Emotional Growth in Babies and Young Children by Stanley Greenspan, M.D., Perseus Publishing, 2000