Di sore itu Budi sudah tidak sabar untuk pulang.
Dia sudah tidak sabar untuk menceritakan ke-Ibu nya, ada sebuah toko jajanan baru di sekolah nya, yang menjual cemilan yang enak-enak banget!
Dia pun membawakan jajanan untuk Ibu yang menurut dia pasti akan suka, dan juga senang mendengarkan cerita nya tentang toko baru favorit nya itu.
Sesampai nya di rumah, Budi langsung lari menghampiri Ibu nya,
“Ibuuu Ibuuu… Liat ini!”
Sang Ibu pun menoleh, dan dengan senyum bertanya,
“Gimana ujian mu tadi? bisa nggak?”
“Ha? Oh iya, bentar bu, liat ini dulu!”
“Bentar-bentar apa? Awas lho ya kalo nilai nya jelek, Ibu kemarin udah bantuin belajar seharian lho!
Terus besok kamu harus ngumpulin PR juga lho! Ayo sana bersih-bersih, terus kerjain PR nya!”
Mendengar ini, Budi pun sangat kecewa, sambil berjalan ke kamar mandi, dia melewati tong sampah dan melempar jajanan yang dia bawa itu sekuat-kuat nya sambil melepas kekesalan dia.
Sang Ibu pun tanpa sadar kekesalan Budi menambah perintah nya,
“Habis kerjain PR langsung makan ya, habis gitu sholat, terus hari ini kamu les musik ya, bersihin dulu piano nya, biar nggak malu sama pak guru!”
“Terus jangan lupa, minggu depan kamu Ibu ikuti turnamen matematika ya, sempetin belajar matematik tiap hari lho ya!”
Budi pun hanya bisa menggeleng-geleng kan kepala nya.
Familiar dengan tipe parenting ini?
Memang sungguh normal jika orang tua ingin mengontrol semua aspek kehidupan anak. Ya kan mereka cuma anak-anak, mereka tau apa sih tentang masa depan?
Mereka harus banyak belajar, punya prestasi yang bagus, biar bisa masuk ke sekolah favorit, terus masuk universitas yang terkenal, biar nanti bisa dapet kerjaan yang bagus, dan sukses di masa depan!
Yaaa, benar! Menurut orang tua.
Ada 2 hal yang harus dipikirkan dulu, pertama apakah kita benar-benar bisa memprediksi masa depan sehingga kita tahu jalan hidup mereka harus seperti apa?
Contoh nya saja, generasi sebelum kita tidak ada yang kebayang bahwa sekarang kita bisa sukses jadi Social Media Manager, YouTuber, Crypto Trader, Podcaster, dan karir-karir lain yang belum ada di masa lalu.
Seperti itu juga masa depan, karena kita tidak tahu persis masa depan seperti apa, kita juga tidak bisa tahu jalan terbaik untuk mereka seperti apa.
Yang kedua mungkin lebih penting. Apakah jalan hidup yang kita inginkan untuk anak kita itu yang dia inginkan? Karena yang menjalankan hidup itu adalah mereka, sebaiknya mereka yang memilih jalan yang akan membuat mereka bahagia.
Di sini kita harus juga mendeifinisikan sukses dengan benar. Apakah jadi dokter dengan uang yang banyak sukses? Mungkin iya, tapi apakah dia bahagia? Buat apa materi jika tidak bahagia kan?
Tapi mungkin ini hanya spekulasi semata, lalu apa kata penelitian tentang ini?
Tipe parenting dimana orang tua memicromanage semua aspek dari kehidupan anak bisa diklasifikasikan sebagai helicopter parenting. Untung sudah banyak penelitian tentang dampak dari helicopter parenting, khusus nya di tahap kuliah.
Di satu studi mahasiswa yang melaporkan bahwa orang tua nya terlalu mengontrol memiliki kesehatan psikologis yang lebih rendah, bahkan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengkonsumsi medikasi anti-depresan (LeMoyne & Buchanan, 2011).
Studi lain menemukan bahwa mahasiswa yang merasa orang tua terlalu berikut campur di kehidupan mereka memiliki kepuasan dengan keluarga yang rendah (Segrin et al., 2012).
Bahkan motivasi akademis pun menurun jika orang tua terlalu ikut campur. Mereka jadi menghindari pemikiran mengenai tujuan pembelajaran, dan meskipun mereka memiliki motivasi belajar, motivasi ini bersifat ekstrinsik (takut dimarahi kali ya) dan bukan intrinsik yang datang keinginan diri sendiri (Reed, K et al., 2016).
Sebenarnya yang paling berbahaya dari parenting ini adalah rusaknya otonomi anak. Berdasarkan teori Self-Determination. Teori ini menunjukan bahwa manusia membutuhkan 3 hal untuk tumbuh kembang yang baik.
Yang pertama adalah otonomi, dimana seseorang merasa dia bisa membuat keputusan sendiri.
Kedua adalah kebutuhan untuk kompetensi, dan merasa percaya kepada kemahiran diri sendiri.
Terakhir adalah memiliki hubungan mutualisme, dimana dia merasa benar-benar disupport, bukan perintah.
Lalu apa solusi nya, apakah dibiarkan saja?
Tentu sama sekali tidak, yang harus diperhatikan adalah moderasi, antara dibiarkan dan ikut campur.Dan tipe keikutcampuran pun harus diperhatikan. Jangan sampai orang tua mensupport hanya untuk mengingatkan anaknya untuk belajar terus, menuntut prestasi yang baik. Tipe keterlibatan yang baik adalah yang suportif bukan agresif, yang lebih sering mendengarkan daripada berbicara, yang menunjukan bukan mendorong.
Kita juga bisa mempelajari philosophy pendidikan yang tidak otoriter, salah satu nya dari Jean Jacques Rousseau. Menurut Rousseau kita sebaik nya mendidik bukan untuk membonsai anak didik kita sesuai yang kita inginkan.
Namun menunjukan cara nya untuk belajar, untuk mencari kebenaran, agar di suatu hari nanti, dia sendiri yang bisa membuat keputusan yang lebih baik tanpa membutuhkan orang lain.
Sumber:
LeMoyne, T., & Buchanan, T. (2011). Does “hovering” matter? Helicopter parenting and its effect on well-being. Sociological Spectrum, 31, 399-418. doi: 10.1080/02732173.2011.574038
Reed, K., Duncan, J. M., Lucier-Greer, M., Fixelle, C., & Ferraro, A. J. (2016). Helicopter parenting and emerging adult self-efficacy: Implications for mental and physical health. Journal of Child and family Studies, 25(10), 3136-3149.
Schiffrin, H. H., Liss, M., Miles-McLean, H., Geary, K. A., Erchull, M. J., & Tashner, T. (2014). Helping or hovering? The effects of helicopter parenting on college students’ well-being. Journal of Child and Family Studies, 23(3), 548-557.
Segrin, C., Woszidlo, A., Givertz, M., Bauer, A., & Murphy, M. T. (2012). The association between overparenting, parent-child communication, and entitlement and adaptive traits in adult children. Family Relations, 61. 237-252. doi:10.1111/j.1741-3729.2011.00689.x