Main, Bukti, dan Harapan: Di Ruang Belajar Nonformal Indonesia, Game Mengubah Cara Anak Belajar

Di sebuah lingkar belajar kecil di Depok, seorang tutor membagikan setumpuk kartu buatan tangan. Dalam hitungan menit suasana berubah bisik-bisik jadi strategi kilat, anak yang biasanya pendiam mengangkat tangan, dan seseorang berseru, “Bu, besok main lagi?” Pelajaran tidak hilang. Ia ditemukan kembali melalui sebuah game.

Inilah denyut Sekolah Game-Based Learning untuk Pendidik Nonformal, dorongan setahun penuh oleh Ludenara dan LEGO Foundation untuk membantu pendidik non-formal mengubah kelas berdaya rendah menjadi ruang belajar yang riang sekaligus bermakna di Jakarta, Depok, dan Bogor. Taruhannya sederhana sekaligus berani: jika pendidik dibekali untuk mengajar lewat permainan-permainan yang cerdas, terstruktur, dan selaras tujuan maka motivasi serta keterlibatan akan naik, bersama keterampilan abad-21 yang anak butuhkan untuk bertahan dan tumbuh.

Mengapa penting sekarang

Sektor nonformal di Indonesia memikul beban besar mengejar ketertinggalan siswa yang “tergelincir” dari sekolah formal, menyatukan rentang usia (sering 7 sampai 16 tahun dalam satu ruangan), dengan bahan ajar dan waktu yang terbatas. Asesmen kebutuhan awal menunjukkan pola mencolok: banyak siswa belum pernah mengalami pembelajaran lewat bermain di setting mereka saat ini. Tutor menginginkannya—tetapi kekurangan sumber siap pakai, pengetahuan desain, dan komunitas rekan sejawat untuk saling belajar.

Apa yang sebenarnya dilakukan program

Modelnya sangat praktis:

  • Lokakarya hands-on: pendidik memahami “mengapa” bermain, mem-prototype game dengan kit sederhana, dan berlatih fasilitasi.

  • Mentoring bulanan tentang playtesting, desain berbantuan AI, dan mekanika board game.

  • Implementasi di kelas plus pemantauan ringan agar tutor menerima umpan balik dalam konteks nyata.

Hasilnya bukan sekotak mainan. Ini adalah pergeseran kapasitas: tutor mampu merancang, mengadaptasi, dan menjalankan game yang tepat sasaran sesuai murid, mata pelajaran, dan keterbatasan mereka.

Angka-angka awal: motivasi melonjak, keterlibatan membaik

Data tengah program dari survei siswa dan wawancara lapangan di tiga kota menampilkan pola konsisten.

  • Motivasi melesat. Siswa melaporkan kenaikan sangat besar pada motivasi saat sesi berbasis game dibanding pelajaran konvensional sekitar +32% di Jakarta, +44% di Bogor, dan +45% di Depok, dengan effect size yang membuat banyak intervensi iri.

  • Keterlibatan meningkat bermakna. Fokus dan on-task juga naik, dengan kenaikan moderat paling terlihat di Depok (~+16%), dan kenaikan lebih kecil namun positif di Jakarta dan Bogor (sekitar +8%).

  • Preferensi siswa jelas. Ditanya langsung, mayoritas besar menyatakan lebih suka belajar lewat game: ~69% di Jakarta, ~78% di Bogor, ~79% di Depok. Sebagian kecil suka metode game dan konvensional, biasanya saat mereka sudah mencintai topik atau gurunya menandakan nilai pendekatan campuran.

Suara pendidik menegaskan tren ini: “Sebelum disuruh start aja sudah fokus,” kata seorang guru; yang lain menyebut murid “minta diulang materi berbeda,” tanda sekaligus rasa suka dan permintaan untuk lebih banyak sesi.

Di dalam game: apa yang bekerja (dan apa yang tersendat)

Karena tutor merancang dan mengutak-atik materi sendiri, tim melacak hasil per-game untuk belajar cepat.

  • Performa teratas—seperti Kotak Mystery dan paket ringkas 4 Games in One Session—mencapai +64–67% pada motivasi dan +32–36% pada keterlibatan. Ciri umumnya: aturan rapat, umpan balik cepat, kemajuan yang terlihat, dan debrief singkat 30–60 detik agar siswa menamai apa yang dipelajari.

  • Yang masih lemah—seperti versi awal Domino Budaya—tetap mengangkat motivasi (~+16%) tapi hampir tak menggerakkan keterlibatan (~+2%). Penyebabnya? Waktu tunggu panjang, giliran tidak merata, dan tanpa penutup diskusi sehingga sebagian siswa kebingungan atau menganggur.

Lintas kelas, gerak fasilitasi yang konsisten membantu itu ternyata sederhana dan mudah direplikasi: perbanyak materi untuk mematikan waktu tunggu, rotasi peran (navigator, analis, pencatat skor), jalankan debrief 5-10 menit (“Strategimu apa?”, “Terhubung ke pelajaran apa?”), dan beri kesempatan ulang yang rendah risiko untuk membangun “kebebasan untuk gagal”.

Lebih dari skor: keterampilan yang kasat mata

Perubahan paling mencolok sering kali bersifat sosial. Anak yang pendiam mulai mengusulkan ide. Kelompok bernegosiasi soal giliran dan strategi. Saat tensi naik, teman sebaya menenangkan tanpa dorongan orang dewasa. Guru melaporkan tumbuhnya kolaborasi, komunikasi, regulasi diri, dan berpikir strategis—kebiasaan sulit-diajar yang justru muncul alami saat aturan jelas dan taruhannya aman.

Game juga mendorong perilaku literasi: siswa mau membaca instruksi, kosakata, bahkan ayat untuk BTQ karena game menuntutnya. Seorang tutor merangkum: “Mereka lebih cepat menangkap materinya… karena sambil main.”

Riak komunitas (dan alarm lembut untuk orang tua)

Tanda paling jelas gerakan ini menular: tutor di Depok (YMPAI dan jejaring) secara mandiri menggelar Festival Game-Based Learning120 anak, 100 orang tua, 12+ pos permainan—untuk memamerkan belajar yang riang. Mayoritas orang tua sepakat bermain itu penting; namun hanya sekitar separuh yang merasa anaknya mengalami bermain yang benar-benar bermakna atau memecahkan masalah di acara itu. Pengamat melihat sebabnya: pendamping kerap menonton pasif atau menonton ponsel. Pelajaran bagi penyelenggara tajam: jika ingin orang tua jadi sekutu, rancang peran orang tua juga dengan “yang-dicari”, pertanyaan pemandu, dan mini-debrief agar proses belajar tampak jelas.

Tantangan (dan cara tim merespons)

  • Campur usia, campur pondasi. Satu ruangan bisa berisi pembaca kelas 2 SD hingga remaja. Game yang memikat 7–12 tahun bisa kurang menantang bagi 13+. Tim menyiapkan varian dengan otonomi lebih, tantangan bermakna, identitas/narasi, dan kedalaman strategi untuk remaja.

  • Waktu & bahan. Tutor menyeimbangkan kerja dan administrasi; persiapan tak boleh berat. Program mengandalkan desain berbiaya rendah (kardus, printables, stiker) dan sedang menyusun paket siap-main untuk mata pelajaran umum—termasuk materi BTQ.

  • Mengubah motivasi jadi keterlibatan berkelanjutan. Pola tengah program jelas: anak ingin bermain; fasilitasi-lah yang mengubah keinginan jadi perhatian yang tahan lama. Karena itu klinik bulanan menekankan mekanika, pacing, dan debrief, dan klinik desain berbantuan AI membantu tutor iterasi lebih cepat—dengan pagar pengaman.

Semua ini bermuara ke apa

Di titik tengah, program telah menggeser pendidik nonformal dari rasa ingin tahu menuju praktik percaya diri—dan siswa membalasnya dengan gembira, fokus, dan pertumbuhan keterampilan yang terlihat. Jalan ke depan sama pragmatisnya: terus iterasi game berperforma terbaik, sesuaikan desain untuk remaja, jadikan orang tua/pengasuh sebagai mitra, dan publikasikan lebih banyak template siap modifikasi yang bisa dicetak siapa pun dan dimainkan besok pagi.

Di sektor yang terlalu sering meminta guru “melakukan lebih dengan yang kurang”, kerja ini menawarkan undangan berbeda: lakukan yang berbeda dengan apa yang ada. Di ruang-ruang ini, segenggam kartu dan debrief yang jelas bisa membalik naskah—dari lembar kerja pasif menjadi pikiran aktif. Dan ketika seorang anak berkata, “Bu, besok main lagi?”, itu bukan sekadar permintaan. Itu bukti kelas yang hidup kembali.