Praktik Baik Menciptakan Budaya Playful Learning di Sekolah

Praktik Baik Menciptakan Budaya Playful Learning di Sekolah

Stock Photo by Pexels

Salah satu konsep yang sangat menarik dalam buku “Pedagogy of Play” dari dari Project Zero, Harvard Graduate School of Education adalah paradox permainan dan sekolah.

Dimana permainan seringkali dianggap tidak serius dan tidak memiliki tujuan selain yang diinginkan oleh pemainnya, sementara sekolah adalah sesuatu yang sangat serius, dan tujuan pembelajaran ditentukan oleh guru dan sekolah.

Selain itu hal yang sangat penting dalam bermain adalah pilihan, dimana aktivitas hanya akan kita anggap bermain jika kita ingin melakukannya, kita pilih untuk melakukannya. Dalam kata lain jika kita ingin menghadirkan Playful Learning, pembelajaran harus diinginkan oleh anak-anak, dan mereka harus memilih untuk melakukannya.

Nah, bagaimana cara kita bisa menavigasikan paradox ini, tentunya ini tantangan bagi guru-guru dimana saja.

Dalam “Pedagogy of Play” para penulis menceritakan sebuah praktik baik oleh sebuah sekolah dan guru-guru yang berani bereksperimen selama dua minggu untuk menciptakan budaya sekolah yang suportif akan Playful Learning.

Merencanakan Playful Learning

Menyadari ini sekelompok guru dari International Baccalaureate school bereksperimen. Selama dua minggu mereka mencoba membuang semua jadwal pembelajaran, dan membiarkan anak-anak merancang jadwal mereka, tugas-tugas yang akan mereka kerjakan, pedoman untuk membuat timeline tugas mereka, meluangkan banyak waktu untuk membimbing setiap anak.

Reaksi pertama dari anak-anak saat hal ini direncanakan sangat menarik, banyak diantara mereka yang sadar akan kemampuan dan preferensi belajarnya sendiri, dilain sisi mereka juga bisa memprediksi tantangan yang akan mereka hadapi seperti prokrastinasi, stress, dan mungkin mudah terganggu.

Lalu para guru membagikan waktu perencanaan bersama bagi siswa untuk berkoordinasi menjadwalkan dan membuat struktur untuk refleksi harian sehingga mereka dapat memeriksa siswa secara teratur. Para guru memutuskan untuk memberi siswa yang lebih muda lebih banyak waktu untuk merencanakan jadwal mereka dan lebih sedikit tugas dari biasanya. Mereka juga memadukan tingkat kelas dalam kelompok refleksi sehingga siswa lebih tua bisa mendukung yang lebih muda.

Hasil Experimen

Awalnya banyak yang masih bingung, ragu, dan sering meminta bimbingan dari guru. Tapi setelah beberapa hari terbiasa dengan kebebasan anak-anak banyak bereksperimen dengan cara belajar masing-masing, banyak yang sering belajar dengan teman-teman lainnya, dan ada juga yang lebih sering memilih belajar sendiri.

Mereka juga banyak bereksperimen dengan jadwal istirahat, dari yang memotong-motong jam istirahat menjadi brake singkat di antara pembelajaran, dan juga ada yang mencoba memenuhi semua kegiatan pembelajaran lalu setelah itu menikmati jam istirahat yang panjang.

Ada hal yang sangat menarik yang jarang kita lihat di sekolah-sekolah yang sangat terstruktur, yaitu anak-anak banyak mengidentifikasi keterampilan dan ilmu yang mereka sendiri ingin peroleh, banyak juga anak-anak yang membuat projectnya sendiri. Selain itu anak-anak sangat menikmati mengajari teman-teman, dalam tingkat yang jauh lebih tinggi dari ekspektasi guru.

Hal lain yang sangat diapresiasi guru adalah banyaknya waktu untuk membimbing anak-anak secara personal dengan cara yang tidak terlalu formal dimana anak-anak lebih santai dan menikmati proses bimbingan itu, para guru jadi bisa memahami anak-anak secara individu, hal-hal apa yang mereka suka, dan hal-hal apa yang menantang untuk mereka.

Menarik sekali ya teman-teman, sepertinya experimen seperti ini harus lebih sering dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia. Apa lagi jika kita paham betapa uniknya setiap sekolah, dan anak-anak di seluruh Indonesia, dan dengan memberi kebebasan seperti ini keunikan-unikan anak-anak ini lah akan berkembang dengan lebih baik, bukan menyeragamkan semua anak menjadi orang yang sama.

Tidak ada Guru, di Game Schooling Ludenara

Tidak ada Guru, di Game Schooling Ludenara

Yang sangat membedakan pendidikan Ludenara dengan pendidikan tradisional adalah peran guru.

Pendidikan pada umumnya mewajibkan guru untuk membuat dan melaksanakan program pengajaran, menganalisis materi pelajaran, mengisi rapot, dan banyak lagi. Secara singkat guru adalah figur authority yang diberikan tugas untuk menyampaikan ilmu, dan menilai murid sesuai kurikulum.

Namun di cara mengajar, ada pendekatan yang berbeda.  Pendekatan ini berawal dari ahli psikologis Amerika Carl Ransom Rogers, yang mendirikan pendekatan pembelajaran yang fokus pada murid secara individu, atau student-centered learning

Carl Rogers sangat menekankan meaningful learning, menurut dia pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dilihat sebagai berguna dan berarti oleh murid tersebut. Pembelajaran melalui pengalaman yang memiliki relevansi untuk kehidupan murid experiential learning, pembelajaran mencantumkan tidak hanya aspek kognitif tapi juga afektif, kepribadian, sikap dan dievaluasi oleh murid itu sendiri.

Menurut Rogers peran guru di dunia edukasi adalah sebagai fasilitator, dimana guru merancang suasana pembelajaran yang berorientasi terhadap meaningful learning. Fasilitator tidak fokus terhadap membuat lesson plan, fasilitator harus menyediakan sumber-sumber ilmu atau kondisi-kondisi tertentu supaya pembelajaran terjadi dengan sendirinya. 

Singkat nya, berikut adalah fitur-fitur cara mengajar tradisional (declarative) dan cara mengajar seorang fasilitator.

Tentunya setiap pendekatan pengajar memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Untuk itu Ludenara tidak meletakan diri sebagai kritik sistem edukasi yang lain, namun kita hanyalah penyedia sistem edukasi alternatif.