Teacher-centered Vs. Learner-centered

Teacher-centered Vs. Learner-centered

 

Ada dua pendekatan edukasi yang sangat bertolak belakang.

Teacher-centered, dimana seluruh proses pembelajaran difokuskan kepada sang guru. Dimana konsentrasi murid fokus kepada guru, mereka mendengar dan mencatat. Guru yang memutuskan tujuan dan topik pembelajaran. Guru juga yang mengukur tingkat perkembangan murid dengan menyediakan soal untuk murid jawab.

 

 

Learner-centered fokus terhadap interaksi (murid-guru dan murid-murid). Tidak hanya mendengarkan, murid lebih aktif menyelesaikan project, presentasi, dan kerja kelompok. Guru fokus untuk memfasilitasi pemikiran kritis dan penyelidikan lebih lanjut, dari pada hanya mengkomunikasikan fakta. Guru memberikan kesempatan murid untuk merancang proses pembelajaran nya sendiri, dari apa tujuan yang ingin mereka raih, hingga menilai diri sendiri.

Dua pendekatan ini memiliki pro dan kontranya masing-masing, lalu pendekatan mana yang lebih baik?

Tentunya semua memiliki preferensi nya masing-masing, dan ketika kita mengajar dengan pendekatan yang kita suka tentunya pembelajaran akan lebih efektif. Karena kita percaya pendekatan ini yang benar, maka kita lebih bersungguh-sungguh melakukannya di bandingkan memaksakan sesuatu yang tidak nyaman.

Namun kita tidak boleh tertutup pada pendekatan yang bukan preferensi kita. Karena jika kita melihat fitur-fitur setiap pendekatan, kita bisa lihat bahwa setiap pendekatan bisa lebih baik tergantung pada situasi dan kebutuhan. Contohnya, memang learner-approach sangat baik jika setiap murid membutuhkan banyak kebebasan dalam belajar, belajar topik yang mereka inginkan, dengan kecepatan mereka sendiri, dan belajar mengevaluasi diri. Namun tidak semua murid suka dengan kebebasan yang tinggi, dan masih membutuhkan keamanan dan kenyamanan yang dapat diberikan oleh authority. 

Seperti yang dikatakan oleh Carl Rogers (pendiri learner-centered approach) “Kebebasan itu sendiri tidak harus dipaksakan, siswa yang ingin lebih banyak arahan dari guru harus menerimanya”.

Lebih baik juga ketika kita membiasakan belajar menggunakan pendekatan-pendekatan yang baru, dengan ini otak kita terbiasa dengan perubahan dan siap untuk terus belajar!

Permintaan Istri Pada Suaminya: Ayah, Mainnya Nanti Aja Ya? [Keluarga Bermain]

Permintaan Istri Pada Suaminya: Ayah, Mainnya Nanti Aja Ya? [Keluarga Bermain]

Ada seorang Ayah kebingungan karena anaknya mulai bertanya-tanya soal sebuah game mobile yang populer.

“Bun,” kata Ayah itu ke istrinya, “kayaknya aku harus belajar game itu deh. Supaya aku tau anak kita main apaan.”

Istrinya mengangguk dan tersenyum. Senang sekali melihat seorang Ayah tertarik dan mau terlibat dengan apa yang dilakukan anaknya. Mungkin ia teringat betapa banyak Ayah di negeri ini yang hanya bisa nyuruh dan ngomel saja.

Apa yang dilakukan Ayah ini mungkin sedikit-banyak sesuai dengan nasihat dari Mas Eko Nugroho dalam kolom Keluarga Bermain sebelumnya yang berjudul Sudah Bermain Apa Saja Hari Ini?

Bermain game, mungkin adalah sebuah proses latihan paling menyenangkan untuk kita (orang tua ataupun guru) agar bisa belajar menghargai anak-anak kita, apa yang mereka pahami, dan apa yang mereka rasakan sepenuhnya. Yang kita perlukan mungkin hanyalah kesungguhan untuk mencoba.

Lalu, bagaimana tanggapan Ayah tersebut soal game tadi?

Ya, permainan itu memang seru, ia menampilkan pertempuran di sebuah arena secara online. Setiap pemain bisa tergabung dalam sebuah tim tertentu, baik dadakan maupun tidak. Lalu, karena online, ia juga jadi ajang bertemu pemain lain dari –mungkin– seluruh dunia.

Sang Ayah pun kepincut. Ia bukan saja memahami game itu, ia juga asyik memainkannya. Bahkan, boleh dibilang, lebih asyik dari anaknya sendiri.

Suatu kali, sang istri baru saja selesai memeriksa tugas anak-anaknya ketika ia tersadar. Kenapa suaminya belum pulang juga? Padahal sudah cukup larut malam.

“Dek,” ia memanggil anaknya yang laki-laki. “Ayah tadi bilang nggak mau ke mana abis dari kantor?”

“Nggak”

“Coba cek di game itu Dek. Online gak dia?”

Tak berapa lama anaknya berseru. “Ada Bun!”

Main Terooos! 

Untungnya itu bukan kejadian di diri saya. Tapi itu kejadian sungguhan di salah satu keluarga teman istri saya. Beneran. Saya bukan cuma ngeles kok! Sumpah!

Begini lho. Saya nggak bisa main mobile game terlalu lama. Jadi nggak mungkin mengalami itu. Tapi bukan berarti saya tidak mengalami hal serupa.

Belum lama ini sebuah permainan kartu populer dunia masuk secara resmi ke Indonesia. Sebutlah Pokemon trading card game (atau collectible card game?) yang sangat populer di berbagai belahan dunia sampai-sampai ada kejuaraan dunianya!

Saya memang tidak keranjingan game online. Tapi sekarang, setiap kali melihat Indomaret saya jadi ada keinginan untuk mampir dan beli satu atau dua booster pack.

Untungnya, anak saya yang laki-laki juga suka memainkan game ini. Bukan pada taraf kompetitif sih. Tapi dia menikmati aksi saling serang monster-monster kecil itu.

Jadi pada waktu-waktu luang tertentu, terutama di akhir pekan, kami akan memainkan versi kami sendiri dari permainan ini. Bagian dari keseruannya bukan hanya ketika kami “beradu Pokemon” tapi ketika sama-sama melakukan pengelompokkan atas Pokemon apa saja yang sudah ada dalam koleksi kami dan apa saja kemampuannya.

Mas Eko Nugroho, dalam sebuah diskusi di grup Chat, menarik kesamaan antara aktivitas dalam game kartu Pokemon dengan aksi mengoleksi perangko atau mata uang asing di masa lalu. Saya pun — setelah merasakan sendiri sensasinya — bisa mengamini hal itu.

Memang game kartu Pokemon ini benar-benar membangun perasaan Gotta Catch ‘Em All. Tapi maaf, saya permisi dulu, mau ke Indomaret.

Artikel ini di tulis untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Wicak Hidayat,
seorang penulis yang tinggal di Depok.

Jauhi Game Untuk Kebaikan Anak! [Keluarga Bermain]

Jauhi Game Untuk Kebaikan Anak! [Keluarga Bermain]

“Kiriya hati-hati!” teriak saya suatu sore sambil Saya berlari mendekati tuan putri dan sepedanya yang tiba-tiba membelok, miring, dan hampir terjatuh. Karena begitu kaget dan khawatir, Saya lalu memutuskan untuk menuntunnya bersepeda, mengatur kecepatannya, dan mengarahkan kemana sepedanya harus melaju.

Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya tuan putri turun dari sepedanya dan memutusan untuk tidak lagi main sepeda sore itu. Ia menjauh dari saya dan menyibukkan dirinya dengan hal lainnya.

Segala khawatiran, ketakutan memang perasaan yang tidak enak. Ketika hal itu terkait anak-anak kita bisa semakin berkali-kali lipat lebih tidak enak. Itu mungkin sebabnya kita sebagai orang tua selalu coba melakukan segala apa yang kita bisa untuk meminimalisir semua perasaan tersebut.

Saya bahkan kadang berdalih menyebutnya “memberikan yang terbaik bagi anak”. Padahal apa yang saya lakukan semata-mata untuk diri saya sendiri, untuk meminimalisir segala bentuk khawatiran dan ketakutan yang saya miliki.

Dalam banyak kesempatan, demi meminimalisir segala bentuk kekhawatiran dan ketakutan itu, kita kemudian tergoda untuk menuntun secara berlebih, mengatur, dan mengarahkan aktivitas anak kita sesuai dengan apa yang kita mau. Ruang empati, rasa percaya, semua hilang seketika. Yang ada mungkin hanya ego bahwa kita (orang tua) adalah yang paling tahu segala (yang terbaik) untuk mereka.

Tidak banyak keluarga seperti keluarga Mas Wicak Hidayat atau rekannya sebagaimana disampaikan dalam artikel “Permintaan Istri Pada Suaminya: Ayah, Mainnya Nanti Aja Ya?” yang memiliki ketertarikan, mengeksplorasi potensi game, dan benar-benar coba menghadirkan proses bermain di tengah keluarga.

Sebagian besar dari kita melihat bermain game sesuatu yang harus diminimalisir, dihilangkan sama sekali jika perlu! Karena kita khawatir, takut, itu akan mengganggu sekolahnya, mengganggu kegiatan belajarnya, mengganggu masa depan (yang kita impikan untuk) anak-anak kita!

Kita tidak memberikan ruang untuk mereka mencoba. Kita bahkan kadang menutup mata atas segala potensi baik yang mungkin ada. Hasilnya, seperti yang tuan putri Kiriya lakukan, anak-anak kita mungkin malah menjauh sama sekali dari kita.

Saat ini industri game dunia bernilai lebih dari 140 milyar dollar, puluhan ribu judul game hadir setiap tahunnya. Pertumbuhan industrinya terus tumbuh positif dan tercatat menjadi salah satu industri yang paling pesat perkembangannya dari tahun ke tahun. Artinya, game akan semakin dekat dengan anak-anak kita dan menjauhkan game dari mereka akan jadi hal yang sangat sulit.

Dari sudut pandang lain, industri game mungkin juga sebuah industri yang sangat menjanjikan untuk masa depan. Seperti halnya industri board game Indonesia yang walaupun baru dimulai 2014 lalu, terbukti terus tumbuh secara signifikan.

Saat ini telah tercatat puluhan judul board game Indonesia dan di Bandung kini sudahi galeri board game indonesia terlengkap. Ketika kita menutup mata dengan segala potensi yang ada, kita mungkin juga menutup kesempatan untuk anak-anak kita bisa berkontribusi dan menikmati segala hal baik dari industri ini.

Tiap kali ada yang mengingatkan “jauhi game, untuk kebaikan anak!” mungkin adalah sebuah pengingat untuk kita semakin semangat belajar memahami, memilih, untuk kemudian menghadirkan game-game terbaik ke rumah kita dan bermain bersama!

Artikel ini ditulis oleh direktur Ludenara Eko Nugroho untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Main Board Game Juga Baik Untuk Kesehatan Jiwa

Main Board Game Juga Baik Untuk Kesehatan Jiwa

 

Jakarta (28/09/2019). Dalam rangka memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day) yang jatuh pada 10 September 2019, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day) yang jatuh pada 10 Oktober 2019, dan Hari Penyintas Kehilangan Bunuh Diri Internasional (International Survivor of Suicide Loss Day) yang jatuh pada 23 November 2019, Into The Light Indonesia meluncurkan #ReFest, sebuah festival rangkaian acara publik dan penggalangan dana untuk peningkatan kesadaran pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa.

Festival #ReFest atau Suicide Prevention and Mental Health Awareness Festival akan diisi dengan berbagai macam aktivitas yang bersifat menghibur, ramah orang muda, sekaligus edukatif dan inklusif, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa, khususnya bagi kalangan orang muda dan kelompok populasi khusus.

Dengan digelarnya #ReFest kepedulian masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan jiwa diharapkan bisa meningkat, termasuk self-care, dengan menawarkan kegiatan yang lebih ramah dan menyenangkan.

Nah! Salah satu kegiatan menyenangkan yang diusung dalam #ReFest adalah #RePlay. Dalam #RePlay kali ini, Into The Light Indonesia menggunakan Milan Ceramics Gallery di Hayam Wuruk, Jakarta untuk melangsungkan sesi bermain board game sebagai salah satu aktivitas penggalangan dana, sekaligus memperkenalkan board game sebagai salah satu alternatif aktivitas yang dianggap sesuai dengan gaya hidup urban di metropolitan Jakarta.

“Harapannya adalah masyarakat dapat menyadari pentingnya untuk mencari aktivitas positif yang dapat melepas penat dan dapat menjadi cara self-care yang dapat menjaga kesehatan jiwa diri sendiri. Tentunya, caranya tidak harus dengan board game, tetapi board game adalah salah satu alternatif yang bisa ditawarkan.” tutur Fauzia, pemandu lapangan dari tim Into the Light Indonesia.

Belakangan ini, kesadaran manusia urban akan pentingnya self-care terus meningkat. Tingginya beban kerja dan aktivitas yang menguras fisik maupun psikologis, menuntut adanya aktivitas hiburan sebagai salah satu bentuk self-care.

#RePlay diramaikan oleh tim dan volunteer Into the Light Indonesia beserta beberapa peserta yang mayoritas adalah mahasiswa. Sesi main dimulai dari pukul 11 siang dan langsung dibuka dengan memainkan board game Century: Spice Road. Menarik karena kebanyakan belum pernah bermain, tapi kompetisinya terasa nyata, berebut dan saling susul poin.

“It was great, I was anxious, I thought that they’re not welcoming. Turns out they’re so nice. I thought that it will be awkward.” (Sangat menarik. Awalnya saya ragu bahwa orang-orangnya akan kaku. Ternyata peserta dan panitianya pun ramah-ramah dan tidak berkesan aneh), ujar Nicholas seorang mahasiswa yang ikut bermain.

Selanjutnya beralih ke game Betrayal at House on the Hill. Cukup alot, Zia (dari panitia) memainkan skenario di mana salah satu pemain berubah menjadi Frankenstein. Sempat hampir menang, tetapi ternyata Frankenstein kalah di detik-detik terakhir setelah berduel antara Zia dan Andre (pemain terakhir yang masih hidup).

Mereka juga memainkan Carcassonne. Simpel, seru, dan bentuk peta yang lebih abstrak dan berantakan gara-gara dimainkan oleh lima orang sekaligus.

“Seru, menghabiskan akhir pekan dengan bermain board game, bertemu orang baru dan pengalaman baru.” kata Andre yang juga menjadi peserta acara ini.

Artikel ini di tulis untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Teknologi berbahaya! Bermain adalah solusi!

Teknologi berbahaya! Bermain adalah solusi!

Teknologi yang semakin canggih membuat segala aspek kehidupan kita lebih mudah dan nyaman, seperti transportasi, tempat tinggal, dan komunikasi. Selain itu yang mungkin seringkali kita lupakan harapan hidup hingga umur 70 tahun itu sesuatu yang fenomenal, sebagai referensi di era Neolithic harapan hidup manusia hanya sampai umur 30 tahun!

Nah sekarang yang penting meskipun teknologi menambahkan umur kita sebanyak 40 tahun, apakah teknologi menambahkan kualitas kehidupan kita? 

Sama sekali tidak! Mengapa?

Sekarang kita tahu menurut WHO di abad ke 21 ini tingkat depresi dan kecemasan semakin meningkat. Kita harus lihat sejarah betapa buruk nya fakta ini, menurut The Milbank Quarterly depresi adalah sebuah kondisi yang langkah di zaman perang dunia ke-2 dan perang dingin. 

Selain data ini memang sepanjang sejarah tidak ada data mengenai tingkat depresi, ini mungkin karena tidak ada yang mendata. Atau karena ini sebuah sesuatu yang sangat langkah?

Namun setelah kita melihat data bahwa sejak tahun 2009 tingkat depresi meningkat secara stabil mungkin memang depresi seharusnya sesuatu yang langkah. 

Lalu apakah benar teknologi yang membuat manusia semakin depresi?

Banyak sekali data dan penelitian yang mensupport klaim ini, The School of Life telah membuat video yang meringkas klaim ini.

Mental slavery dimana manusia yang semakin menggantungkan kebahagiaan terhadap teknologi harus kita lawan. Bermain lah penyelamat kita yang bisa menghancurkan rantai besi yang mengekang mental kita. 

Psikolog yang merangkum secara jelas peran bermain untuk hal ini adalah Peter Gray Ph.D.  

Artikel yang ditulis di tahun 2010 masih sangat relevan sekarang, bahkan mungkin lebih relevan lagi karena semakin maraknya ketergantungan kita terhadap smartphones kita.

Inti dari artikel ini adalah; bermain (tradisional, dan social play lainnya) lah yang membuat anak-anak berkembang secara sehat, dimana mental dan fisik terbentuk. Bermain juga membantu anak-anak untuk bisa mencari kebahagian di tempat lain selain teknologi, dan masih banyak lagi.

Dengan semua fakta itu kita tidak boleh lupa, bahwa teknologi sangat lah penting dan tidak bisa kita jauhkan anak-anak dari teknologi. Namun yang bahaya adalah ketika anak-anak sangat tergantung kepada teknologi sehingga hilang lah kemandiriannya.

Sumber:

Horwitz, A. V. (2010). How an Age of Anxiety Became an Age of Depression. Milbank Quarterly, 88(1), 112–138. doi: 10.1111/j.1468-0009.2010.00591.x

All-Natural, Positive Steps for Better Mental Health Depression Self Help: Overcoming Depression and Mental Health Disorders without Drugs. (n.d.). PsycEXTRA Dataset. doi: 10.1037/e555712011-001

Menunggu Anaknya Bermain, Seorang Ayah Patah Hati [Keluarga Bermain]

Menunggu Anaknya Bermain, Seorang Ayah Patah Hati [Keluarga Bermain]

 

Seorang Ayah menggelar sebuah board game kesukaannya. Sebuah permainan kolaboratif, dengan banyak komponen: miniatur, token, papan aksi, plus balutan narasi yang komplet!

Dikumpulkan keluarganya di meja makan. Lalu mereka mulai bermain. Tak lama, anaknya tampak bosan, melamun, tidak memperhatikan dan ingin segera selesai.

Seorang Ayah mengajak anak-anaknya bermain board game. Baru. Masih kinyis-kinyis, keluar dari plastic wrap. Dikeluarkan dari kotak, digelar di meja.

Anaknya masih asyik dengan perangkat digitalnya, satu lagi menonton televisi sambil ketawa-ketiwi. Ayah menunggu tidak sabar. Ia mulai patah hati.

Seorang Ayah membawa board game dengan penuh semangat. Nilai edukasi game ini, menurut para pakar, sungguh super dan luar biasa.

Digelarnya permainan itu di atas meja. Ia menunggu anak-anaknya untuk datang dan belajar dan bermain bersamanya. Sampai kapan?

Bukannya tidak paham pentingnya bermain. Bukan tidak mau juga. Bahkan ia sudah menyiapkan permainan. Menyajikannya sebaik yang ia bisa.

Hanya situasi kadang memang tidak mendukung. Kadang, patah hati memang tidak bisa dihindari. Ini kejadian nyata. Salah satunya (atau lebih?) benar-benar pernah saya alami.

Jangan Menyerah, Ayah 

Hal paling indah dalam hidup (setidakya buat saya) adalah ketika orang tua bisa bermain dengan anak-anaknya tanpa embel-embel yang memberatkan. Bermain lepas dan saling memahami masing-masing.

Lalu, apa yang salah dengan kejadian di awal tulisan ini?

Saya seperti banyak orang tua di negeri ini. Kadang kebangetan antusias saat mendapati sebuah kiat dan tips yang katanya baik untuk anak-anak.

Tapi, tentunya karena ada kesibukan. Mana sempat mempelajari sungguh-sungguh sebuah kiat? Kenapa tidak pakai cara cepat?

Ke-super-sibuk-an saya sebagai orang tua ini dibarengi dengan egoisme. Ketika memilih sebuah game untuk dimainkan, yang jadi pertimbangan adalah “apa yang saya suka?” atau “apa game yang bermanfaat untuk anak-anak?” bukan “apa yang seru untuk dimainkan bersama?”

Ya. Terus terang, ada momen-momen ketika saya lelah. Keinginan untuk bermain bersama anak selalu ada. Tapi kadang kekecewaan juga membuat saya enggan untuk mulai mengajak. Wajar kan kalau kita berusaha melindungi diri dari patah hati dengan menghindar?

Mas Eko Nugroho, dengan caranya yang khas, selalu menyemangati saya. “Jangan menyerah!”

Jika kita merasa sesuatu itu penting dan perlu, apakah kita akan kemudian menyerah ketika gagal di beberapa percobaan awal?

Eko Nugroho. Pentingnya Bermain untuk Keluarga

Menikmati yang Tidak Disukai 

Setelah berkali-kali mencoba. Membawa game yang ini dan itu. Membeli, bahkan hingga nominal rupiah yang tidak bisa dibilang sedikit, board game baru. Pada akhirnya saya menemukan momen-momen bermain yang menyenangkan.

Kuncinya sederhana: belajar menikmati sesuatu yang biasanya tidak bisa kita nikmati.

Intinya mencoba hal baru dan kompromi. Bermain bersama anak adalah memahami apa yang mereka suka untuk mainkan.

Saya, misalnya, akhirnya bisa menikmati permainan seperti Jenga. Permainan yang sebelumnya mungkin akan saya hindari. Kenapa? Karena anak-anak menikmati permainan itu.

Saya, kemudian, jadi senang dengan sebuah permainan yang dibuat oleh seorang YouTuber tertentu, yang dibeli lewat sebuah kampanye Kickstarter. Sebuah permainan yang simpel dan “berantakan” tapi membuat keluarga kami tertawa terbahak-bahak saat memainkannya bersama-sama. Membuat anak-anak mau main lagi dan lagi.

Game Terbaik di Dunia

Dalam sebuah workshop fotografi, peserta cenderung bertanya hal ini berulang-ulang pada pembicara: “Apa kamera terbaik?”

Jika pembicaranya fotografer kelas atas, ia akan menjawab begini: “Kamera terbaik adalah yang kamu pegang!”

Bukan karena tak mau menyinggung perasaan yang bertanya. Tapi karena fotografi adalah soal menangkap momen dengan kamera. Apapun kamera yang ada di tangan saat sebuah momen perlu “diabadikan” ya itulah kamera terbaik di dunia!

Demikian juga dengan board game. Apa board game terbaik di dunia? Ya, itu adalah game yang sedang kamu mainkan.

Board game yang hanya ngedeprok di rak dan tidak dimainkan bukanlah board game. Itu cuma pajangan.

Nah, board game terbaik di dunia buat saya adalah board game yang sedang saya mainkan bersama orang-orang yang saya cintai. Board game yang saya mainkan bersama keluarga. Atau board game yang saya mainkan bersama teman dan sahabat.

Tak perlu rating atau pakar, tak perlu BGG atau Tom Vassel untuk bilang apa board game paling baik di dunia. Board game terbaik di dunia adalah yang kamu mainkan. Titik!

Artikel ini di tulis untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Wicak Hidayat,
seorang penulis yang tinggal di Depok.

Pentingnya Bermain untuk Orang Tua [Keluarga Bermain]

Pentingnya Bermain untuk Orang Tua [Keluarga Bermain]

“Aku gak mau tidur siang. Nanti mainnya jadi sebentar.” Kata tuan putri siang itu. Beberapa minggu ini, Mamam (panggilan sayang Istri saya di keluarga kami) membuat kelas kecil di depan kantor. Sejak itu, hampir setiap hari banyak teman-teman tuan putri yang mampir untuk main (belajar) sama-sama.”

“Tapi tidur siangnya penting sayang, supaya mainnya gak lemes dan supaya teteh tetep sehat. Klo teteh sehat kan bisa main sering. Klo sakit kan susah buat mainnya.” Jawab saya coba berargumentasi.

“Tapi teteh pengen main dulu. Tidurnya nanti aja abis main ya Pam.” Tuan putri mencoba bertahan

“Tapi teteh kan mainnya sampai sore. Keburu maghrib. Tidurnya kapan?” Saya kembali meyakinkannya untuk tidur.

“Ya pas maghrib Pam, sebentar aja. Nanti bangun sholat, makan, main lagi deh sama Pampam sampai jam sembilan.” timpal tuan putri yang masih semangat bermain.

Sore itu tuan putri mengingatkan saya. Bermain bagi anak-anak kita adalah sebuah hal yang begitu penting. Mereka mau merelakan banyak hal untuk bisa melakukannya, sepenuh hati.

Bermain juga penting untuk kita sebagai orang tua

Sayangnya, Saya sebagai orang tua, selalu saja lupa akan hal itu. Alih-alih terlibat, kita coba menghindarinya. Mencari berbagai alasan untuk meyakinkan (diri kita sendiri) ada banyak hal lain yang lebih penting. Kita lupa penting tidaknya sesuatu, adalah soal rasa dan pemahaman.

Kita sebagai orang tua selalu menuntut anak-anak kita untuk memahami kita, kadang tanpa memberi ruang untuk coba ‘merasa’ (empati) dan memahami mereka seutuhnya. Atas dasar itu bermain mungkin adalah cara terbaik untuk kita berlatih itu semua.

Di lain sisi, banyak dari kita juga lupa, bahwa waktu bermain dengan anak-anak kita sangat terbatas dan pendek. Tiba-tiba mereka tumbuh besar, dan memiliki teman bermain yang lebih mengerti mereka. Kita kemudian baru tersadar ketika mereka tidak lagi bersedia meluangkan waktunya dengan kita.

Saat itu terjadi, kita bisa saja menuntut mereka untuk meluangkan waktunya dengan kita, tapi apakah hal ini adil? Yang harus mulai kita pahami adalah BERMAIN ITU PENTING UNTUK KITA meskipun sudah menjadi orang tua! Agar bisa memberikan bukti pada anak-anak kita bahwa kita juga bisa jadi teman baik untuk mereka.

 

Adakalanya, kita kemudian beralasan bahwa kita sudah menyiapkan waktu, game yang seru, tapi anak-anak malah yang sibuk dan tidak punya waktu. Mungkin masalahnya bukan soal jadwal atau game-nya. Mungkin masalahnya kita yang belum melihat hal itu penting dan perlu. Jika kita merasa sesuatu itu penting dan perlu, apakah kita akan kemudian menyerah ketika gagal di beberapa percobaan awal?

Yang juga perlu disadari, bermain bisa menjadi sebuah proses belajar yang luar biasa. Syaratnya, seperti halnya berbagai proses belajar lainnya, ia harus dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Tanpa persiapan yang baik, sulit menghadirkan proses belajar yang baik, sehebat dan secanggih apapun media yang digunakan. Sialnya, kita kadang berharap bisa menghadirkan proses bermain sebagai proses belajar, tanpa persiapan sedikitpun.

Berbagai kondisi diatas mungkin yang kemudian mendorong di banyak negara (Eropa, dan US) belakangan ini mulai memunculkan berbagai kampanye dan budaya bermain bersama. Di Jerman, budaya bermain board game bersama yang dikenal dengan istilah Spielabend atau malam bermain, telah dikenal sejak lama.

Ya karena bermain menjadi pilihan aktivitas keluarga yang menyenangkan dan bermanfaat. Spielabend bahkan banyak dilakukan oleh kampus, sekolah, dan berbagai perusahaan, karena pelaksanaannya yang sederhana (cukup menyediakan board game dan camilan) namun manfaatnya sungguh luar biasa.

Bayangkan jika hal yang sama bisa kemudian kita hadirkan dan budayakan di Indonesia. Budaya bermain board game bersama hadir di banyak keluarga, di sekolah, di kampus, dan di berbagai perusahaan. Ketika ini terjadi, kita mungkin akan melihat banyak ruang belajar yang tercipta, anak-anak kita akan tumbuh dalam potensi terbaiknya, dan yang terpenting – kita sebagai orang tua, mungkin akan dapat kesempatan untuk bisa bermain bersama anak-anak kita lebih lama.

Bukankah jadi sebuah kebahagiaan tersendiri, jika satu hari, anak-anak kita, bersama anak-anaknya (cucu kita) selalu menyambut dengan gembira untuk bisa bermain bersama orang tuanya? Ini adalah mimpi yang akan saya coba wujudkan, semoga ini juga bagian dari mimpi anda!

 

Artikel ini ditulis oleh direktur Ludenara Eko Nugroho untuk boardgame.id

Artikel original, serta informasi lain mengenai boardgames di Indonesia dapat di akses di boaridgame.id

Ada manfaatnya, main video games bersama keluarga?

Ada manfaatnya, main video games bersama keluarga?

Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash

 

Bukan sesuatu yang mengagetkan jika ada yang bilang bahwa keluarga yang suka bermain bersama memiliki ikatan yang erat, komunikasi lebih lancar, tingkat saling percaya yang tinggi dan secara keseluruhan lebih bahagia.

 

Telah banyak penelitian dan ekspert yang mensupport konklusi ini. Di buku nya Playful Parenting Lawrence J. Cohen, Ph.D., menuliskan bahwa bermain bersama memberikan kesempatan kepada orang tua untuk memasuki dunia anak, dari bermain anak-anak menunjukan dirinya kepada kita, dan ini lah cara untuk memperkuat koneksi orang tua dengan anak.

 

Ketika mempertimbangkan masa depan anak, sudah banyak bukti bahwa hubungan keluarga yang erat memiliki korelasi positif terhadap kepuasan hidup anak secara keseluruhan.

Professor of pediatrics dari George Washington University Stanley Greenspan, M.D., memberi wawasan bahwa, bermain dengan orang tua membantu anak melatih kecerdasan sosial yang dibutuhkan untuk berhubungan dengan orang lain, ini lah yang memastikan masa depan mereka lebih baik.

 

Nah pertanyaan apakah bermain video game bisa memberikan manfaat yang sama?

Untuk ini University of California merekrut 361 relawan yang sudah berkeluarga untuk melakukan survey.

Survey ini bertujuan untuk memahami dampak dari bermain video game bersama dengan keluarga terhadap hubungan di keluarga, dalam ukuran kedekatan dan kepuasan keluarga.

 

Tentunya setelah di ambil datanya keluarga yang bermain bersama memiliki hubungan yang lebih baik. Degan menghabiskan lebih banyak waktu bersenang-senang bersama anak orang tua bisa mendeskripsikan hubungan keluarga mereka secara sangat positif. Hanya 1 kali seminggu, itu frekuensi rata-rata penjawab survey mereka merasakan hubungan keluarga lebih erat dan kepuasan keluarga meningkat. meski tidak sedang bermain.

 

Namun lebih pentingnya dari survey ini kita bisa tahu video games seperti apa saja yang menimbulkan ini.

  1. Games yang mudah dan bisa dimainkan oleh segala kelompok umur,
  2. Games yang kooperatif, dimana pemain memiliki tujuan yang sama,
  3. Secara general games yang dimainkan di 1 konsol yang sama dipersepsikan lebih baik, dibandingkan memainkan game bersama di gadget yang berbeda.

Beberapa games di namakan secara spesifik, seperti Minecraft, Mario, dan beberapa games olahraga dan musik.

Tentunya video games memiliki banyak limitasi, tidak semua sama baiknya, dan tidak ada peneliti yang bisa mengatakan bahwa bermain di dunia “digital” sama baiknya dengan bermain di dunia “nyata.”

Namun pesan yang paling penting mungkin adalah, bermain video games, jika dilakukan dengan baik, dan bersama-sama memiliki dampak yang positif, dan sangat mungkin menjauhkan kecanduan.

Sumber:

Wang, B., Taylor, L., & Sun, Q. (2018). Families that play together stay together: Investigating family bonding through video games. New Media & Society, 20(11), 4074–4094.

Playful Parenting, by Lawrance J. Cohen, Ph.D., Ballantine, 2002

Building Healthy Minds: The Six Experiences That Create Intelligence and Emotional Growth in Babies and Young Children by Stanley Greenspan, M.D., Perseus Publishing, 2000

Subyek Pelajaran yang Rumit pun Bisa Disederhanakan Jadi Board Game

Subyek Pelajaran yang Rumit pun Bisa Disederhanakan Jadi Board Game

 

Bandung, 25 Agustus 2019. Tidak seperti biasanya, PlaySpace by Boardgame.id sudah ramai dikunjungi sedari pagi. Padahal hari Minggu. Rupanya, rangkaian acara Kelas Game Design yang berlangsung sejak hari sebelumnya masih berlanjut.

 

 

Setelah dibekali dengan materi dan langsung mencoba bermain board game pada kelas hari pertama, peserta diajak untuk menciptakan board gamenya sendiri. Oiya, sebagai penutup sesi hari Sabtu, peserta diminta untuk membuat kerangka board game yang ingin mereka rancang. Mereka menentukan subyek apa yang ingin disampaikan lewat board game, siapa target pemainnya, objektif permainan dan sebagainya.

Di hari kedua, peserta menuangkan segala ide atau dasar-dasar rancangan yang sudah mereka tentukan sebelumnya menjadi prototipe atau purwarupa. Peserta dibagi ke dalam 6 kelompok yang masing-masing berisi tiga peserta.

Alhasil dari Kelas Game Design ini terlahir 6 rancangan board game karya guru dan orang tua dengan beragam tema dan subyek. Ada yang mengambil tema PKN untuk mengajarkan sikap tolong-menolong, ada yang membuat game taat lalu lintas, kepedulian lingkungan sampai subyek matematika tentang pecahan.

Dipandu oleh beberapa fasilitator, setiap tim mengembangkan rancangannya, mencobanya dan memperbaikinya lewat proses rapid prototyping. Menjelang sore hari, prototipe dari setiap tim diuji coba oleh tim yang lain. Mereka pun mendapat feedback dari karya mereka.

Di akhir sesi, setiap tim akan memberikan poin voting untuk rancangan yang menurut mereka paling menarik. Terpilihlah rancangan berjudul Piring Kosong yang mendapat 7 poin suara dan otomatis berhasil menjadi board game terfavorit hari itu.

Piring Kosong mengajak pemainnya untuk meletakkan kartu bergambar sebuah bidang yang di dalamnya memiliki beberapa bagian, sebagiannya diarsir dan sebagian lagi kosong. Nah! Tugas pemain adalah mencari gambar yang cocok dan meletakkannya di piring kosong dengan angka pecahannya sesuai dengan nilai pecahan pada kartu gambar yang diambil. Misalnya ada kartu segi lima, dua bagiannya diarsir. Artinya, gambar tersebut bernilai dua seperlima, pemain harusnya meletakkan kartu tersebut ke piring yang bernilai sama.

 

Para perancangnya yang merupakan guru SD dan SMP Nurul Fikri, Depok, ingin murid-muridnya lebih paham tentang pecahan karena pelajaran ini yang susah ditangkap oleh mereka. Dengan bermain dan mencocokkan gambar dengan nilai pecahan, mereka berharap belajar pecahan jadi makin mudah dan menyenangkan.

Pada Kelas Game Design sebelumnya, board game terfavoritnya mengambil tema sains, yaitu rantai makanan. Kini board game tersebut terus disempurnakan dan menjadi board game yang dimainkan pada hari pertama.

Wah seru ya! Ternyata tema board game bisa apa saja, bahkan dengan subyek yang cukup rumit seperti pecahan dalam matematika bisa diajarkan dengan cara yang seru dan mudah lewat board game. Bagaimana kalau subyek atau mata pelajaran lain juga dibuat board gamenya, pasti murid-murid jadi makin semangat belajar. Tidak perlu membuatnya sendirian, guru-guru dengan bidang ajar yang berbeda juga bisa saling berkolaborasi untuk membuat board game lho.

Artikel ini di tulis oleh Isa Rachmad Akbar dan sudah di publikasikan di boardgame.id

Kamu juga bisa lihat acara-acara seru & menarik lainnya yang diselenggarakan di PlaySpace by Boardgame.id, Jalan Sukanagara no. 31, Antapani, Bandung dengan mengunjungi boardgame.id

 

Kelas Game Design: Materi Bermanfaat Untuk Rancang Game Impian

Kelas Game Design: Materi Bermanfaat Untuk Rancang Game Impian

Bandung (24/8). Suasana ramai mendadak memenuhi PlaySpace by Boardgame.id yang bertempat di Jalan Sukanagara no. 31, Antapani, Bandung. Sejak pagi, banyak pengunjung berdatangan dari berbagai daerah. Rupanya mereka adalah peserta Kelas Game Design yang diadakan oleh Ludenara, lembaga non-profit yang fokus pada pendidikan.

Ya, meskipun selama ini game kerap diartikan hanya sebagai media hiburan yang cenderung adiktif, menariknya kelas ini justru mengajak pesertanya untuk belajar membuat game sendiri. Diadakan selama dua hari, sesi ini didesain untuk membantu orang tua dan guru untuk mempu mengembangkan game sesuai dengan kebutuhan serta berbagai potensi yang dimiliki.

 

Membuka kelas hari pertama, acara dibuka dengan sambutan dari Novie, Program Coordinator Ludenara dan Isa Akbar dari PlaySpace by. Boardgame.id. Dilanjutkan dengan materi berupa pemahaman tentang game serta seluk-beluk game design oleh pakar game based-learning sekaligus CEO Kummara Studio, Eko Nugroho.

Berlanjut setelah coffee break, masuk ke sesi presentasi oleh para peserta. Di sini peserta diminta untuk menceritakan berbagai game yang umum, serta melakukan modifikasi sederhana berdasarkan komponen game yang mereka ketahui tersebut. Dibagi dalam beberapa kelompok, peserta diajak mengembangkan ide mereka menjadi kerangka sebuah game baru.

 

Setelah makan siang, acara masuk pada sesi interaktif yaitu peserta mencoba card game berjudul Rantai Makanan. Game yang membantu anak-anak belajar ilmu biologi ini merupakan hasil rancangan para guru dari Kelas Game Design sesi sebelumnya lho. Setelah itu peserta mulai membuat konsep game yang ingin dikembangkan sebagai bekal untuk kelas di hari kedua.

 

 

 

 

 

 

Ditanya tentang keseruan acara ini, sebagian besar mengaku sudah menunggu-nunggu Kelas Game Design ini dibuka. Tak heran jika acara ini didatangi guru dan orang tua dari bermacam kota di Indonesia, mulai dari Bandung, Depok, Bogor, hingga Malang Jawa Timur!

Demikian liputan keseruan acara di hari pertama. Tenang, masih ada hari kedua yang lebih fokus pada pengembangan prototype dari konsep yang peserta buat.

Artikel ini di tulis oleh Isa Rachmad Akbar dan sudah di publikasikan di boardgame.id

Kamu juga bisa lihat acara-acara seru & menarik lainnya yang diselenggarakan di PlaySpace by Boardgame.id, Jalan Sukanagara no. 31, Antapani, Bandung dengan mengunjungi boardgame.id