FGD persiapan Nusantara Bermain Bermakna

FGD persiapan Nusantara Bermain Bermakna

Kamis, 14 Oktober Ludenara mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tujuan mencermati pengalaman para narasumber 2dalam dunia pendidikan yang mungkin bisa menjadi wawasan penting untuk mengembangkan program intervensi dalam dunia pendidikan khususnya salam peningkatan kualitas pengajar.

Dalam FGD ini kami mengundang 3 narasumber eksternal yang masing-masing memiliki peran yang berbeda dan bisa berkontribusi dalam diskusi ini dengan cara pandang masing-masing. Kami juga mengundang narasumber internal yang merupakan pelaksana program Nusantara Bermain Bermakna bagian POP. Mereka juga masing-masing memiliki cara pandang menarik mengenai perkembangan dan tantangan dunia pendidikan.

Narasumber external pertama adalah Ibu Siti Syahwali sekarang berprofesi sebagai konsultan bersama CEVA Bali. Ibu Siti juga merupakan contoh baik dari yang sering kita sebut “life long learner” dan sekarang Ibu Siti sedang kuliah Executive Master in International Trade IE University, di Spanyol yang diambil secara blended, online dan ofline. Dengan posisi ini Ibu Siti sanggup memberikan cara pandang dunia pendidikan secara global. 

Menurut Ibu Siti tantangan utama dalam pendidikan dalam 1 tahun terakhir ini adalah membangun engagement, atau keterlibatan siswa dalam kelas belajar. Dengan kelas PJJ Siswa-siswi akan mendapatkan kesulitan merasa terlibat dalam pembelajaran karena tidak adanya presensi fisik dari Guru dan teman-teman yang juga sedang belajar. 

Turunnya tingkat keterlibatan Siswa-siswi saat pembelajaran ini lah yang mengakibatkan learning loss, karena saat pembelajaran tidak adanya engagement mengakibatkan tidak belajar.

Menurut Ibu Siti meskipun meningkatkan keterlibatan dalam PJJ itu berat ada beberapa cara meningkatkannya. Salah satunya adalah Game Based Learning yang menurutnya sebagai fasilitator dan juga pelajar sangat baik dalam menarik perhatian pelajar dan meningkatkan keterlibatan secara langsung. Dalam pengalaman belajarnya Ibu Siti juga merasa mewajibkan keterlibatan adalah cara efektif, seperti saat pembelajaran online setiap Siswa-siswi wajib membuat 3 pertanyaan atau komentar.

Selain kedua teknik ini menurut Ibu Siti faktor utama yang bisa meningkatkan engagement dan motivasi belajar adalah Guru yang inspiratif, yang membuat memberi contoh baik agar memberi pemikiran kepada pelajar “aku harus bisa kayak gitu!”. Belajar juga merupakan proses sosial, di mana kondisi sosial seperti ini sangat penting. Karena itu juga adanya komunitas, atau kelompok belajar bersama yang saling menyemangati dan menginspirasi juga faktor penting dalam pendidikan yang berkualitas.

Tapi memang presensi Guru dan teman belajar secara fisik tidak bisa tergantikan. Karena itu untuk tren yang akan datang menurut Ibu Siti kita akan mengalami banyak blended learning, di mana proses belajar diterapkan secara online dan offline. Adanya blended secara synchronous dan asynchronous juga sangat penting. Karena ini akan memberikan fleksibilitas bagi pelajar untuk belajar dalam situasi di mana ia mampu belajar dengan sesungguhnya.

Dari narsum pertama kami mendapatkan perspektif yang luas, secara global, dan selanjutnya kami mendapatkan perspektif yang fokus dan mendalam. Narasumber selanjutnya adalah Bapak Wahyu Kurnia, seorang Guru di SMPN 2 Pekalongan. Sebagai Guru Pak Wahyu melihat ada 2 tantangan utama dalam pendidikan kita. Yang pertama adalah karakter pelajar itu sendiri, menurutnya banyak Siswa-siswi kita yang memang pada dasarnya tidak suka belajar, dan susah mendapatkan motivasi untuk belajar. 

Yang menarik adalah Game Based Learning juga merupakan solusi praktis yang sudah diterapkan oleh Pak Wahyu. Namun ada tambahan menarik darinya, saat menghadapi Siswa-siswi yang tidak termotivasi belajar sebaiknya Game Based Learning difokuskan bukan untuk pemahaman materi, namun mengubah manset mereka bahwa sebenarnya belajar itu menyenangkan. Dari situ segala proses belajar setelahnya akan lebih mudah.

Tantangan lain yang menurut Pak Wahyu masih sering dihadapi adalah infrastruktur yang tidak memadai untuk PJJ, hal ini ditambah dengan sebagian Guru masih kurang mampu beradaptasi dengan cepat mengakibatkan pembelajaran yang tidak efektif. Sepertinya satu tantangan ini yang tidak ada solusi kreatifnya, selain berinvestasi terhadap struktur digital, dan pelatihan Guru.

Setelah itu narasumber external yang terakhir adalah Ibu Lala Tansah yang sekarang menjadi Principal Mutiara Bunda Group of Schools. Sebagai kepala manajemen sekolah Ibu Lala juga memberikan pendapat yang sangat penting untuk kami pelajari. Dalam pelaksanaan pendidikan ada 3 pihak yang harus sangat diperhatikan, yaitu Siswa, Guru dan Orang tua. Setiap pihak memiliki peran yang sangat besar dan mengalami tantangan-tantangan sendiri dalam keberlangsungan pembelajaran yang efektif.

Selain yang sudah disampaikan oleh para narsum sebelumnya menurut Ibu Lala kesehatan mental Siswa-siswi adalah hal yang sangat harus kita perhatikan, bukan hanya untuk pembelajaran yang efektif tapi juga agar mereka bisa tumbuh kembang dengan baik. Untuk para Guru saran Ibu Lala dalam menghadapi tantangan-tantangan PJJ mereka harus terus agile, mampu beradaptasi dan belajar dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang terus berubah.

Selain dari nara sumber external ini, para tim pelaksana Nusantara Bermain Bermakna juga menyampaikan berbagai macam pendapat penting yang harus kami perhatikan agar program kita bisa benar-benar berdampak baik terhadap pendidikan Indonesia. Memang banyak sekali yang tim Ludenara harus pelajari dari FGD ini, dan semoga kami bisa benar-benar memanfaatkan ilmu ini dengan baik, demi kebaikan pendidikan Indonesia.

Rapat Koordinasi POP Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara.

Rapat Koordinasi POP Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara.

Rabu, 13 Oktober Ludenara mendapatkan kesempatan untuk bertemu via Zoom dengan Bapak Ibu Guru dan Kepala sekolah dari  Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara. Pertemuan ini merupakan rapat koordinasi awal dari Nusantara Bermain Bermakna. Sebuah program inisiasi Ludenara yang didukung oleh Program Organisasi Penggera oleh Kemendikbud. Rapat ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Disdik masing-masing kota yang menunjukkan sepenuhnya menunjukkan sport mereka untuk keberlangsungan dan kesuksesan.

Rapat ini kita manfaatkan untuk mensosialisasikan detail program kami, seperti jadwal pelaksanaan, detail kegiatan program, dan apa saja yang akan dipelajari oleh peserta. Kami juga mendapatkan kesempatan untuk menganalkan diri kita sebagai organisasi dan menjelaskan pemikiran kita bahwa bermain adalah proses belajar yang luar biasa, dan pentingnya bahagia saat belajar.

Dari pemikiran ini lah kita merancang Nusantara Bermain Bermakna, dimana para peserta Guru pada akhirnya bisa mengimplementasikan pendekatan Game Based Learning, dimana Guru-guru bisa memilih game-game yang sudah ada dan menghadirkan pembelajaran yang interaktif, asik, dan bermakna. Kami pun juga akan melaksanakan kelas Game Design, dimana Guru-guru dapat mendesain sendiri game yang sesuai dengan kebutuhan mengajar mereka.

Seperti rapat koordinasi yang sebelumnya sepertinya banyak Bapak & Ibu Guru yang sangat tertarik dengan konsep ini, dan banyak menanyakan tentang penggunaan games sebagai media belajar. Ludenara pun semangat, dan sudah tidak sabar untuk belajar bersama Guru-guru dan mengeksplorasi bersama potensi game untuk media belajar.

Semoga Nusantara Bermain Bermakna akan menghadirkan banyak hal baik bukan hanya untuk para peserta, namun untuk pendidikan Indonesia secara menyeluruh. Kami ingin berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada Sekolah-sekolah dan Disdik, Bandung, Bogor,  Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara tentunya juga kepada Kemendikbudristek yang sudah memberikan kepercayaan dan dukungannya!

Rapat Koordiansi POP, Bandung dan Bogor

Rapat Koordiansi POP, Bandung dan Bogor

Selasa, 12 Oktober Ludenara mengadakan rapat koordinasi Program Organisasi Penggerak (POP) bersama dengan 27 SMP dari Bandung dan Bogor yang diwakili oleh beberapa Guru dan Kepala sekolah masing-masing sekolah. Rapat ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Disdik masing-masing kota yang menunjukkan sepenuhnya menunjukkan sport mereka untuk keberlangsungan dan kesuksesan.

Dalam rapat ini kami mendapatkan kesempatan utnuk menganalkan diri kita sebagai organisasi dan misi kita untuk menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan, interaktif, dan bermakna. Hal ini yang kita yakini bisa menjadi landasan awal dari meningkatnya kualitas pendidikan kita secara berkelanjutan. Alasannya sangat sederhana, ketika Siswa-siswi kita senang belajar tentu mereka akan terus menerus belajar dengan senang hati tanpa disuruh, dan karena mereka menikmati proses ini setiap detik proses pembelajaran itu akan memberi makna, karena segala sesuatu yang kita kerjakan dengan senang pasti akan lebih baik. Maka POP Ludenara ini kita beri judul, Nusantara Bermain Bermakna

Hal ini sepertinya menarik Bapak dan Ibu yang mengikuti rapat ini, dan mereka pun banyak melontarkan pertanyaan yang libatkan bagaimana cara menghadirkan proses belajar yang menyenakkan, seperti bagai mana cara menggunakan games di kelas? Games apa yang bisa digunakan? Bagaimana membuat Anak-anak semangat belajar?

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan ketertarikan mereka akan konsep “belajar sebaiknya menyenangkan” dan merupakan awal baik dari program ini. Kami pun mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan singkat dan sebaik-baiknya, namun memang pertanyaan-pertanyaan ini lah yang akan kita eksplorasi bersama selama 2 semester di tahun 2022 nanti.

Hal yang menarik juga adalah banyak Bapak Ibu Guru yang sudah menerapkan pembelajaran dengan menggunakan games, dan aplikasi populer seperti Kahoot! Quizizz dan lainnya. Sepertinya memang sudah banyak yang peka bahwa games memiliki potensi edukasi, dan sebaiknya proses belajar itu membahagiakan. Dengan kesempatan POP ini tentu Ludenara akan mengeksplorasi lagi secara dalam lagi mengenai penggunaan games sebagai media belajar, dan semoga banyak hal baik yang akan kita capai dari program ini.

Squid Game, when a Game is no longer a Play

Squid Game, when a Game is no longer a Play

Available on Netflix

Tenang, Ludenara gak akan membahas brutalitas dan kekerasan laah.. dan artikel ini gak ada spoilersnya kok hehe..

Ada pelajaran penting untuk para pendidik yang penasaran dengan Plaful Learning, atau Game Based Learning yang bisa kita pelajari dari serial Netflix ini, dan film-film yang semacamnya.

Pasti semua yang tertarik akan penggunaan Game Based Learnign sudah paham mengenai segala macam manfaatnya, nah sebagian besar manfaat-manfaat dari pendekatan ini datang dari 1 hal, yaitu Playfulness. Kondisi dimana kita nyaman, senang, tentram tapi juga fokus dan waspada. Kondisi ini lah yang bisa membuat kita bisa mempelajari apa pun dengan lebih mudah.

Nah sering kali Game Based Learning menjadi kurang efektif ketia para pemainnya sudah tidak lagi bermain, tidak senang, dan tidak lagi menikmati proses belajaranya. Dari mempelajari Squid Game dan film-film semacamnya kita bisa melihat contoh di mana sebuah games tidak lagi “dimainkan”.

Untuk mempelajari bagaimana sebuah game bisa kehilangan playfulnessnya kita bisa menggunakan sebuah mahakarya yang ditulis oleh Johan Huizinga, Homo Ludens. Karya ini sangat penting karena berhasil menemukan karakteristik dari bermain, dengan ini kita bisa membedakan aktifitas bermain dan yang bukan.

Diantara 5 karakteristik bermain Homo Ludens, ada 2 yang tidak dicapai oleh game-game dalam Squid Games. Yaitu mengenai Freedom dan Motivation.

Hal yang sangat sederhana adalah mengenai Motivation, menurut Huizinga motiviasi bermain adalah motivasi intrinsik di mana kita tidak menginginkan apa pun selain bermain itu sendiri. Saat kita melakukan aktifitas demi mendapatkan suatu hasil ini sudah tidak lagi bisa dianggap bermain yang murni, dan manfaat psikologisnya pun sudah tidak banyak.

Dalam Squid Game para peserta tidak bermain karena ingin bermain dan menikmati proses bermain itu, tapi mereka disitu karena ingin membayar hutang yang menumpuk. Motivasi mereka tidak lagi intrinsik melainkan extrinsik.

Ketika hal ini terjadi dalam proses Game Based Learning, Anak-anak tidak lagi fokus dalam setiap momen mereka bermain dan pikiran dan atensinya terletak dalam hasil apa yang mereka ingin raih dari aktifitas itu, mereka tidak lagi bisa belajar secara dalam.

Karakteristik satu lagi yang dilangar secara brutal oleh Squid Games adalah Freedom, padahal menurut Huizinga dan Play scolars lainya Freedom ini karakteristik utama yang harus ada jika sebuah aktifitas ingin diklasifikasikan sebagai bermain.

Tentu setiap games memiliki peraturan dan batasan, tidak berarti bermain game kita memiliki kebebasan tanmpa batas. Namun bermain games dan mengikuti peraturan tetap bisa dianggap Freedom jika, pemain memberi “consent” dan bisa berhenti bermain saat mereka tidak lagi ingin bermain.

Concent adalah ketika mereka dengan suka rela mengikuti peraturan dan batasan yang ada. Memang dalam adegan sebelum bermai, para peserta Squid Game menandatangani Consent Form, yang diangap sebagai mereka suka rela mengikuti peraturan Squid Game, namun ini sangat manipulatif dan tidak memenuhi sarat consent yang benar.

Yang dimaksud dengan concent adalah ketika kita sepenuhnya memahami aktifitas apa yang kita ikuti, konsekuensi dari mengikutinya, tugas dan hak kita, dan semua informasi relefan lainnya tentang aktifitas yang kita consent untuk ikuti.

Consent ini yang membedakan Anak-anak main gelut-geluttan dan bullying. Ketika satu pihak tidak setuju mengikuti aktifitas ini, tapi dipaksa untuk berpartisipasi dan hasilnya kebahagiaan di satu sisi, dan sisilainnya penderitaan.

Kita lihat dalam Squid Game ada sekolompok orang bertopeng dibalik layar yang sepenuhnya menikmati game ini, dan para partisipan mengalami stress dan penderitaan yang tinggi. Jadi sepertinya judulnya lebih akurat Squid Bullying bukan Squid Game.

Nah karena itu saat kita mau menerpakan berbagai macam Playful Learning, seperti Game Based Learning hal yang sangat penting adalah kebebasan para Siswa-siswi kita. Saat mereka memang ingin bermain tanmpa paksaan mereka akan belajar lebih baik, dan saat mereka memiliki kebebasan dalam proses belajarnya mereka akan belajar lebih baik.

Bermain adalah proses pembentukan karakter yang baik untuk Anak.

Bermain adalah proses pembentukan karakter yang baik untuk Anak.

Banyak sekali hal yang kita inginkan dari dunia pendidikan yang nampak pada permukaan banyka ornag yang menginginkan pendidikan menambah ilmu pengetahuan anak yang sesuai dengan kurikulum. Ini terlihat dari puluhan tahun sistem pendidikan kita yang sangat mementingkan nilai ujian.

Seiring berkembangnya jaman kita semakin paham bahwa itu mungkin bukan hal yang utama apa lagi dengan adanya internet semua ilmu bisa di kases degan mudah. Lalu pendidikan menjadi sarana agar Anak-anak bisa meningkatkan soft skills mereka, seperti berpikir kritis, kreatif, dan semua 21st century skills lainnya.

Jelas tidak hanya disitu, satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah pendidikan harus mampu membantu Anak mengembangkan karakter yang moral. Sehingga mereka bisa menjadi orang yang mampu bekerja sama, memiliki keinginan untukuk membantu orang lain, dan secara menyeleuruh membuat Indonesia lebih baik.

Dari tujuan-tujuan pendidikan ini kita bisa melihat betapa luarbasanya bermain. Karena dari bermain Anak-anak mengembangkan ketiga hal ini. 

Sudah banyak artikel kita yang membahas bahwa bermain membuat kondisi psikologis sangat optimal untuk membentuk ilmu baru, salah satunya ada penelitan yang menunjukan nilai ujian Anak-anak meningkat lebih tinggi saat belajar menggunakan games.

Pendidikan soft skills apa lagi, saat bermain jika ingin mengikuti alur permainan tentu segala macam soft skills diperlukan dan terasah. Karena ini pula World Economic Forum membanggakan play based learning sebagai sarana mengembangkan 21st century skills.

Nah diartikel ini kita coba membahas sedikit bagaimana saat bermain Anak-anak terdorong untuk mengembangkan karakter yang moral. Pertama yang jelas tidak semua macam bermain bisa ya, main video game sendirian sepertinya tidak ada dampak pada pembentukan karkater yang baik, permainan sosial lah yang dibutuhkan.

Sebuah penelitian di Indonesia menunjukan bahwa banyak nilai-nilai positif yang kita banggakan berkembang secara natural saat Anak-anak bermain, khususnya permainan tradisional. 

Melalui permainan-permainan ini anak-anak belajar berbagai macam nilai-nilai budaya seperti proto demokrasi, kepemimpinan, kebersamaan, tanggung jawab, dan lain-lain (Dharmamulya, 1992).

Kita bisa mempelajari proses berkembangnya moralitas dari bapak psikologis perkembangan, Jean Piaget (1932). Melalui observasinya Jean Piaget melihat bahwa saat Anak-anak bermain dengan teman-temannya banyak sekali hal yang terajdi yang mendorong perkembangan moralitas mereka secara bertahap.

Tahap pertama saat mereka bermain pasti mereka akan mengikuti peraturan yang sudah ditentukan. Mereka juga mulai belajar manfaat dari peraturan yang baik, seperti saat main petak umpet yang mencari harus menutup matanya terlebih dahulu agar yang lain bisa sembunyi. 

Mereka akan mulai sadar konsekuensi dari tidak mengikuti permainan seperti jika ada yang curang mereka mungkin bisa menang tapi mendapatkan reaksi negatif dari teman lainnya. Kalo ada Anak yang terus-terusan tidak mau mengikuti peraturan demi ingin menang Anak itu akan merasakan dampak yang sangat buruk seperti social rejection dan tidak memiliki teman yang mau diajak bermain lagi. 

Ini merupakan tahap yang Piaget sebut memahami moral responsiblity, saat mereka sadar siapa yang pantas dihukum (yang membawa bola dengan tangan saat main sepak bola) dan siapa yang tidak patut di hukum (tanmpa sengaja memegang bola). Ini terjadi usia 6-9 tahun.

Belajar mengikuti peraturan memang merupakan tahap yang baik untuk membentuk karakter. Namun sangat tidak cukup, karena kita sendiri tahu bahwa peraturan tidak selamanya benar dan bisa berubah-ubah demi kepentingan yang lebih tinggi, seperti keamanan, kesejahteraan atau keadilan. 

Banyak permainan seperti permainan tradisional atau saat Anak-anak bebas bermain mereka sering menegosiasi peraturan demi niali-nilai baik seperti kebersamaan. Contohnya saat sekelompok Anak-anak dengan umur berbeda-beda bermain mereka sering meringankan peraturan untuk adik-adik mereka, atau mereka yang memang memiliki disabilitas. 

Seperti saat main benteng-bentengan yang membutuhkan fisik yang kuat dan lincah, mereka bisa memberi dua “nyawa”, atau saat bermain monopoli mereka memberikan uang leibh banyak di awal permainan kepada adik-adik yang jauh lebih kecil agar permainannya tetap seru, kompetitif, dan dalam konteks ini adil.

Fleksibilitas dan negosiasi akan peraturan ini sering terjadi pada anak usia 9 tahun keatas, Piaget menyembut ini Autonomous Morality saat Anak-anak mulai mempikirkan secara dalam apa yang benar dan salah, tanmpa mengandalkan peraturan. 

Disaat ini mereka mulai berkembang diluar egosentrism mereka dan belajar empati, memposisikan diri sebagai orang lain, contohnya sebagai Anak kecil yang belum bisa lari kencang atau berpikir secara kompleks, tapi ingin ikut bermain. 

Sumber:

Dharmamulya, S. et al. (1992). Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.

DeVries, R. (1998). Moral and Intellectual Development Through Play: How to Promote Children’s Development Through Playing Group Games. Web: http://www. uni. edu/coe/regentsctr/moral. html, 27.

Piaget, J. (1932). The moral judgment of the child. London: Kegan, Paul, Trench, Trubner & Co.

Rise of Nations, game seru yang terbukti bisa melatih Kemampuan Kognitif

Rise of Nations, game seru yang terbukti bisa melatih Kemampuan Kognitif

 

Sebagian besar yang main video games adalah anak muda, tapi orang dewasa harus ikutan nih!  Bukan hanya sekedar seru-seruan, video games ternyata sudah banyak diteliti sebagai alat melatih kemampuan kognitif.

 

Memang memainkan video games membutuhkan proses-proses dan fleksibilitas kognitif yang besar, tapi apakah hal ini melatih kemampuan kognitif kita di luar video games?

Nah banyak penelitian-penelitian yang ternyata sudah melihat bukti yang tidak diragukan lagi bahwa melatih kemampuan kognitif di luar video games apalagi untuk orang dewasa dan lansia.

 

Pertama Memang, tidak semua video games sama. Untuk kognitif training, setiap genre games memiliki kekuatannya masing-masing. 

Seperti Real Time Strategy (RTS) games terlihat sangat baik untuk melatih fungsi eksekutif seperti; task switching, working memory, visual short term memory, mental rotation, dan penalaran. Ini terbukti setelah ada penelitian yang menggunakan video game Rise of Nations, sebuah historical RTS games yang memang seru banget!

Tim peneliti dari University of Illinois mengajak 73 subject di usia emas (68-70 tahun) untuk main Rise of Nations selama minggu dengan 23.5 jam total main. Sepanjang penelitian dan di akhir penelitian ini para subject juga diberikan cognitive tests untuk mengukur apakah ada perubahan karena bermain games ini. Test-test adalah 6 executive control task, dan 4 visuospatial tasks. Hasilnya sangat menarik, mereka melihat peningkatan yang substansial di area executive function, memori dan switching task, medium sized effect untuk visual short-term memory, dan reasoning terlihat membaik secara substansial setelah 11 jam bermain. 

Hal lan yang harus kita perhatikan adalah subject training ini mengenai cognitive decline. Di mana pada usia emas ini frontal lobe kita mulai mengecil dan banyak kapasitas-kapasita otak lain yang mengalami penurunan. Ini lah mengapa mereka memilih usia 68-70 sebagai subject penelitian. Terlihat meskipun ini lah usia yang rentan terhadap cognitive decline dampak positif dari memainkan video games tetap terlihat secara substansial.

Sayangnya penelitian ini memiliki kekurangan. Study ini tidak meneliti secara khusus mengapa game ini bisa sangat baik khususnya untuk executive control tasks, jika kita tahu mengapa ilmu ini sangatlah berguna bagi kita yang ingin mendesain game. Untungnya para peneliti memberikan hipotesis mereka mengenai ini.

Jadi pada dasarnya game ini memberikan kita tugas untuk membangun sebuah peradaban, dari peradaban batu sampai modern. Banyak sekali tugas yang harus dilakukan untuk memastikan kesuksesan sebuah peradaban, dari memastikan territory aman dari serangan negara lawan, mengatur dan menambang sumber daya alam, investasi di sains untuk perkembangan teknologi, mengatur strategy perang, memastikan setiap kota di negara kita termaintain dan seterusnya. 

Lalu semua ini terjadi secara real time, sehingga kita tidak punya banyak waktu untuk memikirkan semua strategy, planning,tugas-tugas ini juga sangat penting untuk memenangkan game ini, sehingga mau tidak mau otak kita bekerja dengan keras. Banyak sekali tugas yang harus diselesaikan secara simultan. Bayangkan jika kita lagi asik memanbun kota baru karena lokasinya yang strategis, namun tiba-tiba ibu kota kita diserang, nah switching task ini yang terlihat melatih fungsi eksekutif otak. 

Nah sepertinya diet sehat main video games sangat lah baik untuk memaintain kesehatan otak kita, kebetulan game RTS seperti Rise of Nation ini sangat baik untuk frontal lobe yang bertanggung jawab atas fungsi eksekutif. Video game genre lain sepertinya memiliki keunggulan liannya, tentunya Ludenara akan sharing hasil penelitian lain, kira-kira genre lain bagus untuk apa aja ya?

Sumber:

Basak, C., Boot, W. R., Voss, M. W., & Kramer, A. F. (2008). Can training in a real-time strategy video game attenuate cognitive decline in older adults?. Psychology and aging, 23(4), 765–777. https://doi.org/10.1037/a0013494

Permainan tradisional ampuh untuk penyembuhan trauma dan stress lho!

Permainan tradisional ampuh untuk penyembuhan trauma dan stress lho!

Photo by Tbel Abuseridze on Unsplash

Salah satu hal yang membuat bermain semakin penting adalah kemampuannya untuk mengurangi stress kita. Khususnya dalam mengendalikan stress yang datangnya dari faktor external diluar kendali kita. Dimana meskipun kita tidak bisa berhenti memikirkannya, kita tidak punya pilihan lain selain berdoa, dan menunggu.

Dengan bermain fokus dan pikiran kita teralihkan kepada setiap momen yang berlalu dalam permainan, bukan kepada hal eksternal penyebab stress kita itu. Secara biologis juga ternyata penelitiannya sudah jelas, memang bermain sangat bermanfaat untuk ini.

Seringkali kita memikirkan stress dalam konteks kehidupan sehari-hari, namun ternyata tidak hanya saat situasi sehari-hari. Bermain tetap menjadi sarana pengendalian stress disertasi yang ekstrim! Salah satunya adalah pasca bencana alam untuk para penyintas yang bukan hanya melewati hal yang sangat tragis, sekaligus masih melewati situasi yang pasti penuh stress.

Sebuah penelitian dari Universitas Muhammadiyah Magelang meneliti 10 Paud yang terletak di daerah yang telah terkena bencana untuk melihat penggunaan permainan sebagai terapi penyembuhan trauma.

Penelitian ini menunjukan bahwa bermain merupakan terapi yang paling efektif untuk Anak-anak usia muda karena beberapa hal. Pertama kemampuan mereka untuk mengekspresikan dirinya dan memahami konsep secara verbal masih sangat terbatas. Karena itu kita tidak bisa menggunakan terapi penyembuhan trauma dan stress yang konvensional untuk orang dewasa.

Bermain sendiri merupakan cara mereka untuk mengekspresikan dirinya dan berkomunikasi, karena itu terapi terbaik untuk mereka memang dengan cara bermain. Bermain membantu mereka mencegah, dan menyelesaikan tantangan-tantangan psikologis dan mencapai tumbuhkembang yang optimal.

Anak-anak yang melewati bencana membutuhkan lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan, sebuah lingkungan yang bisa dibangun melalui bermain. Disini lah mereka bisa benar-benar menerima dirinya, mengekspresikan perasaan dan pikirannya dengan nyaman dan dengan cara yang tepat secara simbolis melalui permainan.

Nah dalam penelitian ini mereka menemukan bahwa juga banyak Guru-guru yang menggunakan permainan tradisional sebagai terapinya. Menurut para peneliti, permainan tradisional memang seharusnya lebih efektif karena bukan hanya sesuai dengan mereka secara umurnya, tapi juga secara budaya dan lingkungan mereka.

Permainan-permainan tradisional yang digunakan adalah Gobak sodor, mainan kelereng, engklek, dan Dakok & Bakikak. Asik yaaa!!

Penelitian ini menunjukan bahwa pertama semakin banyak alasan untuk bermain, dan sekarang kita tahu meskipun tingkat stress yang sangat tinggi, bermain tetap menjadi media efektif untuk menanggulanginya. Selain itu semakin banyak alasan mengapa kita harus menjaga agar permainan-permainan tradisional kita tidak punah, karena semakin jarang Anak-anak yang memainkannya, ayo ajarkan Anak-anak kita bermain!

Sumber:

Madyawati, L., & Sulistyaningtyas, R. E. (2020, May). Local Culture Games for Post-Disaster Trauma Healing in Early Childhood. In 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics and Social Sciences (BIS-HESS 2019) (pp. 508-512). Atlantis Press.

Fungsi bermain untuk mengurangi stress secara neuroscience dan biologi.

Fungsi bermain untuk mengurangi stress secara neuroscience dan biologi.

Image by Myriams-Fotos from Pixabay

Belakangan ini mengelola stress jadi semakin penting yaaa.. Selain stressnya itu sendiri nyebelin, mayoritas orang juga sudah paham pengaruhnya stress terhadap imun tubuh kita.

Ini lah kenapa pandemi ini sangat menjengkelkan. Kita harus menjaga stress kita agar terus sehat tapi kondisi pandemi membawa semakin banyak hal yang membuat kita stress.

Untungnya solusinya gak repot yaitu, bermain!

Segala macam bentuk dari aktivitas bermain ini sangat baik untuk mengurangi stress. Bahkan bermain video games pun yang seringkali dikritik memiliki banyak dampak negatif tetap baik dalam konteks mengurangi stress.

Bahkan WHO pun mengadvokasikan video game sebagai aktivitas yang mengurangi stress saat terpaksa di rumah aja, dengan kampanye mereka yang berjudul “Play Apart Together”.

Nah pasti kita sendiri juga sering merasakan manfaatnya. Seringkali stress kita muncul karena terus menerus memikirkan hal-hal negatif, apa lagi yang diluar kendali kita. Untuk hal yang dalam kendali kita, tentu cara mengurangi stress terbaik adalah berusaha untuk membuat kondisi lebih baik.

Tapi masalahnya adalah hal-hal yang diluar kendali kita tapi kita tidak bisa berhenti memikirkannya. Nah saat kita main atau melakukan hal yang memang kita senangi, pasti fokus kita teralih dari hal-hal yang diluar sana kepada kepada “the present moment” saat kita bermain. Dan stress kita pun hilang.

Fenomena bahwa bermain mengurangi stress juga tampak sangat jelas saat melihat proses biologis dan neurologis memunculkan dan meredam stress. 

Secara biologis sebuah organisme mendorong dirinya untuk melakukan hal penting untuk pertahanan hidup dengan memunculkan rasa “enak”, yang akan mendorong organisme itu untuk melakukannya lagi dan lagi. Seperti makan makanan berkalori/energi tinggi.

Bermain adalah kebutuhan setiap organisme kompleks yang butuh belajar dan berkembang. Dari kecil setiap hewan terdorong untuk bermain setiap kali mereka memiliki waktunya. Aktivitas ini membantu mereka berkembang secara sosial, fisik, dan menyiapkan mereka untuk kehidupan dewasanya.

Karena bermain sangat penting untuk keberlangsungan spesies, secara biologis kita dan hampir semua spesies hewan terdorong untuk bermain. Otak hewan dan manusia memberi banyak sekali hadiah berupa neurotransmitter dan hormon yang membuat kita merasa senang saat kita bermain, lalu membuat kita ingin bermain lagi dan lagi. Rasa enak ini pula yang membuat stress bisa terkontrol.

Bermain mengaktivasi neurotransmitter seperti dopamine, dan norepinephrine. Fungsi utama dopamine adalah memberi sinyal kepada kita bahwa aktivitas yang kita lakukan patut diingat dan dilakukan lagi.

Sementara norepinephrine memiliki fungsi yang sangat menarik, yaitu meningkatkan kemampuan kita untuk belajar dengan meningkatkan atensi, memotivasi aksi, dan mendorong plastisitas otak.

Yang lebih menarik lagi cortisol, hormon yang sering diasosiasikan dengan stress tidak meningkat selama bermain. Meskipun saat bermain kita harus melewati tantangan yang mungkin bisa dianggap sebagai stress ternyata tingkat cortisol kita tidak meningkat saat melewati tantangan dalam konteks game.

Sepertinya memang segala macam bermain bisa mengurangi stress. Tapi kita tetap menyarankan agar tidak terlalu sering memainkan satu macam permainan saja, dan bermain seperti itu lagi dan lagi.

Karena diluar konteks stress setiap macam bermain memiliki manfaatnya sendiri-sendiri, memiliki nilai edukatif sendiri-sendiri. Jadi alangkah baiknya jika kita juga mencoba berbagai macam games dan permainan. Agar kita bisa mendapatkan manfaat bermain sebaik-baiknya.

Sumber: 

Wang, S., & Aamodt, S. (2012, September). Play, stress, and the learning brain. In Cerebrum: the Dana forum on brain science (Vol. 2012). Dana Foundation.

Keunggulan Role-play dalam mengajarkan Emotional Intelligence

Keunggulan Role-play dalam mengajarkan Emotional Intelligence

Photo by Steven Libralon on Unsplash

Sering kali kita menemukan anak-anak yang memiliki kecerdasan dan IQ yang tinggi tapi tidak berhasil meraih prestasi akademis yang sesuai. Sebaliknya juga kita tahu bahwa ada anak-anak yang memiliki prestasi akademis yang baik meskipun tingkat kecerdasan mereka tidak terlalu tinggi. Hal ini terjadi karena kecerdasan bukan lah satu-satu nya faktor untuk prestasi akademis (Aisha, Hamzah, & Farial, 2017). 

Dalam mengukur kontribusi kesuksesan di bukunya Revolusi Kecerdasan Abad 21 (2005) Agus Efendi memberikan angka 80% untuk kontribusi EQ, dan hanya 20% untuk IQ. Ini menunjukan bahawa pembelajaran untuk kecerdasan emosional sangat lah penting. 

Lalu apa metode pembelajaran untuk meningkatkan kecerdasan emosional yang efektif? Pertama kita tidak boleh lupa cara agar kecerdasan emosional berkembangan adalah, membiarkan mereka bermain dengan teman-teman nya. Nah setelah itu, untuk aktivitas bermain yang lebih tersktur seperti Game Based Learning, Role-Playing terlihat sangat ampuh dalam mengembangkan kecerdasan emosional.

Role-playing sendiri sederhana nya adalah bermain drama. Di mana anak-anak bisa memainkan peran apapun, dan di dalam skenario se-imajinatif apapun. Nah jika digunakan untuk pendidikan kecerdasan emosional, guru bisa menulis skenario terbuka dimana anak-anak harus menjalankan konflik berdasarkan emosi, dan biarkan mereka bereaksi sesuai dengan yang mereka inginkan, dan lalu bisa pelan-pelan diperbaiki oleh sang guru. 

Skenario ini bisa berupa konflik antar dua pangeran yang saling memperebutkan tahta, dimana anak-anak harus belajar resolusi konflik dengan temannya. Atau pendekar yang dikhianati oleh temannya sendiri, di sini anak-anak bisa belajar memaafkan, dan cara memberi moral yang baik kepada temannya sendiri. Dan tentunya masih banyak lagi yang bisa diulik, asalkan konflik-konflik ini melibatkan banyak emosi, dimana anak itu harus bisa menganalisa diri nya dan temannya, mengekspresikan emosi, mengendalikan emosi dengan baik, dan mengatur perilaku diri yang baik.

Tentunya sangat baik jika disesuaikan dengan keterampilan emosional apa yang kita ingin ajarkan kepada siswa kita (Herlina, 2015).

Role-playing sendiri memiliki beberapa fitur yang sangat membantu anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional. 

1) Melihat banyak perspektif

2) Menganalisis perilaku dan emosi diri, bersama dampingan guru

3) Banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri

4) Motivasi, dan sesi belajar yang fun!

Sumber:

Aisyah, S., Hamzah, & Farial. (2017). Efektivitas Layanan Penguasaan Konten Melalui Metode Pembelajaran Simulasi Dengan Teknik Sosiodrama Untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional Siswa Pada Kelas Vii Di Mts Al-Azhar Kec.Alalak Kab.Batola Tahun Ajaran 2017/2018. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia, ISSN. 2460-9722 , 26-32.

Efendi, A. (2005). Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesfull Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta.

Herlina, U. (2015). Teknik Role Playing dalam Konseling Kelompok. SOSIAL HORIZON: Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 2, No 1, Juni 2015. ISSN 2407-5299 , 94-107

Emotional Intelligence adalah kunci kesuksesan, di sini lah “main” berperan penting!

Emotional Intelligence adalah kunci kesuksesan, di sini lah “main” berperan penting!

Photo by Tengyart on Unsplash

Perusahaan-perusahaan kapitalis tidak pernah pelit dalam investasi dan penelitian mengenai sumber daya manusia. Tidak mengherankan jika kita berada di dalam dunia yang sangat kompetitif tentu kita membutuhkan tenaga ahli yang bisa memberikan keunggulan kompetitif, sehingga mendapatkan customer yang lebih banyak.

Pengetahuan mereka mengenai “what does it take to succeed” tentu sangat penting untuk para pendidik perhatikan. Di sini kita juga bisa lihat bahwa bermain memiliki peran yang penting dalam mengembangkan Emotional Intelligence. Dan menambahkan logika mengapa bermain adalah aktivitas yang sangat penting dalam pendidikan anak.

Satu hal yang sangat menarik adalah mengenai Emotional Intelligence “satu-satunya prediktor terbesar dari kinerja dan pendorong terkuat dari kepemimpinan dan keunggulan pribadi” (Bradberry & Greaves, 2009). Hubungan antara Emotional Intelligence dengan pendapatan juga tinggi lho, secara rata-rata orang dewasa yang memiliki Emotional Intelligence yang tinggi memiliki pendapatan $29,000 lebih banyak per tahun di banding kan dengan orang-orang yang Emotional Intelligence nya lebih rendah (Forbes).

Wah ternyata penting banget ya! Jadi penasaran nih sebenarnya Emotional Intelligence itu apa, dan kok bisa satu hal ini menjadi faktor yang sangat besar dalam kesuksesan di dunia kerja?

Dalam buku The emotionally intelligent workplace, Emotional Intelligence didefinisikan sebagai, Serangkaian pengetahuan dan kemampuan emosional dan sosial yang mempengaruhi kemampuan kita untuk menghadapi tuntutan lingkungan, susunan ini mencangkup

  1. Kemampuan untuk mengetahui, memahami dan mengekspresikan diri sendiri (Self-awareness)
  2. Kemampuan untuk mengetahui, memahami dan berhubungan dengan orang lain (Social-awareness)
  3. Kemampuan untuk mengatur emosi yang kuat dan mengontrol impuls diri sendiri (Self-management)
  4. Kemampuan untuk beradaptasi dan memecahkan permasalahan personal (Relationship management)

Lalu apa peran bermain dalam perkembangan Emotional Intelligence?

Emotional Intelligence dan aktivitas bermain berkembang secara bersamaan, karena skill yang dibutuhkan(Hohlbein, 2015). Sederhananya, semakin manusia berkembang semakin kompleks permainan yang dimainkan, semakin berkembang juga Emotional Intelligence kita.

Dari masa kecil, anak-anak yang bermain bersama teman-temannya selalu berkomunikasi, mengekspresikan diri dan saling mengenal. Saat bermain mereka juga harus memperhatikan orang lain, sehingga egosentrisme anak-anak berkurang dengan sehat, bermain meningkatkan kemampuan sosial, tanggung jawab, menghormati teman dan lawan bermain. 

Mereka belajar sikap sportif seperti menerima kekalahan dan belajar dari itu, serta menang secara hormat. Belajar banyak peraturan sosial yang tidak tertulis saat mereka melakukan hal yang anti sosial seperti curang, atau membohongi di dunia permainan pun mereka akan dapat reaksi negatif, dan sebaliknya juga saat mereka melakukan hal yang prososial.

Yang lebih menarik lagi, keterampilan-keterampilan yang kita butuhkan untuk unggul di jangka panjang di sebuah permainan yang berkelanjutan sangat paralel dengan keterampilan-keterampilan Emotional Intelligence

Self Awareness

Dalam permainan tentu kita harus memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Dengan ini kita bisa mengoptimalkan kekuatan kita untuk mencapai keunggulan dan mencoba menghindari hal-hal yang mungkin bukan kemahiran kita. Ini juga tahap awal teamwork, dimana tim yang baik perlu anggota yang saling menyadari kekuatan dan kelemahan sehingga bisa saling melengkapi.

Self Management

Dikarenakan banyak sekali permainan yang sangat sosial mau itu kompetitif atau kooperatif. Pemain yang baik tentu harus bisa mengendalikan, bahkan memanipulasi emosi sendiri untuk mendapatkan keunggulan dalam berkompetisi, dan menjadi anggota tim yang baik. Kita juga harus memiliki sikap sportif agar terus di ajak bermain bersama.

Social Awareness

Dalam permainan kita harus sensitif terhadap kondisi emosional lawan dan tim kita. Kita harus bisa merangkul tim agar lebih efektif, dan bisa merubah kompetisi menjadi sebuah hal yang sangat produktif untuk setiap kompetitor.

Relationship Management

Pemain yang baik juga merupakan anggota masyarakat yang baik. Pemain belajar menjalin hubungan yang baik dengan pemain lain. Belajar bisa menjadi pendengar yang baik dan sanggup memahami orang lain, dan belajar berbicara sehingga ide-ide kita bisa didengar dengan baik.

Sumber:

Astuti, Yuni & Prajana, Andika & Damrah, & Erianti, & Pitnawati,. (2019). DEVELOPING SOCIAL EMOTIONAL INTELLIGENCE THROUGH PLAYING ACTIVITIES FOR EARLY CHILDHOOD. Humanities & Social Sciences Reviews. 7. 946-950. 10.18510/hssr.2019.75123. 

Bradberry, T., & Greaves, J. (2009). Emotional intelligence 2.0. San Diego, CA: TalentSmart

Cherniss, C., & Goleman, D. (2001). The emotionally intelligent workplace. San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Carroll, K. (2009). The red rubber ball at work: Elevate your game through the hidden power of play. New York, NY: McGraw-Hill.

Hohlbein, Patricia J., “The power of play in developing emotional intelligence impacting leadership success: a study of the leadership team in a Midwest private, liberal arts university” (2015). Theses and Dissertations. 595. https://digitalcommons.pepperdine.edu/etd/595

Goleman, D., & Boyatzis, R. (2008). Social intelligence and the biology of leadership. Harvard Business Review, 86(9), 74-81. Retrieved from http://www.hbr.org