Game Digital Atau Non-Digital, Mana Yang Lebih Efefektif Untuk Belajar?

Game Digital Atau Non-Digital, Mana Yang Lebih Efefektif Untuk Belajar?

Photo by cottonbro on Pexels

Sejak pergantian millennium, di tahun 2000 efektivitas Game Based Learning telah terdokumentasikan dengan baik dan terbukti memiliki dampak yang baik untuk pencapaian akademik siswa-siswi (Karakoç et al., 2020). Selain meningkatkan efektivitas sistem pendidikan, Game Based Learning juga memiliki manfaat yang sangat menarik, saat bermain games dan melewati tantangan-tantangannya pemain secara langsung melatih keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk kesuksesan di abad 21 yang sangat dinamis (Soffel, 2016).

Game memang sering dikaitkan dengan game-game digital meskipun banyak sekali macam game yang juga sering diaplikasikan dalam Game Based Learning, khususnya board game. Nah sekarang saatnya kita menjawab pertanyaan yang tertulis di judul artikel ini. Versi game yang mana yang lebih efektif ya?

Untungnya ada penelitian yang secara langsung menanyakan hal yang sama (Kaufman et al., 2016). Untuk menjawab pertanyaan ini mereka menggunakan game yang ada versi digital dan fisik, lalu mereka mengumpulkan anak-anak dengan usia 11-14 tahun dan dibagi menjadi 3 kelompok, 1 memainkan versi digital menggunakan iPad, 1 memainkan versi fisiknya yang berbentuk papan, dan 1 lagi kelompok kontrol (mendapatkan pembelajaran metode didactic). 

Gamenya berjudul Save the People, yang dirancang untuk mengajarkan pemain mengenai cara mencegah penyebaran penyakit. Dalam game ini membagi sekelompok masyarakat dengan anggota-anggota yang memiliki status kesehatan berbeda-beda (sehat, tidak bisa di vaccine, dan terinfeksi). Dalam game ini pemain harus mencegah penyebaran virus dengan berbagai macam cara, seperti mencoba vaksinasi maSsal, atau mengutamakan mengobati yang sudah sakit. Game ini dimainkan secara berkelompok dari 2-3 orang di 1 kelompok bermain

Lalu para peneliti mendokumentasi berbagai macam aspek dari saat bermain diskusi para pemain direkam dan ditranskripsi agar bisa dianalisis lebih dalam, dan para pemain juga diberikan pre dan post tes yang mengukur kemampuan systems thinking dan pemahaman mengenai peran vaccine dalam memitigasi penyebaran penyakit.

Selisih dari hasil post tes mereka mengenai systems thinking pun sangat berbeda, dengan kelompok board game mendapatkan nilai rata-rata 2,58/4, kelompok digital game mendapatkan 2,14/4 dan para peserta di kelompok kontrol mendapatkan skor 1,58/4.

Yang menarik dari penelitian ini adalah penjelasan mereka mengapa board game menjadi metode yang lebih efektif meskipun gamenya persis sama. Mereka melihat bahwa tipe permainan digital dan non-digital memberikan kecenderungan perilaku yang berbeda.

Pertama yang terlihat jelas adalah frekuensi dan durasi diskusi setiap pemain, kelompok board game rata-rata mengucapkan 157 kata per ronde permainan, dan kelompok digital hanya 79,3. 

Selain itu tipe diskusinya juga berbeda, dalam kelompok digital yang lebih sering terjadi adalah persetujuan, dengan kata paling sering muncul adalah “iya” dan “oke”. Sedangkan dalam kelompok board game, lebih sering terjadi diskusi di mana setiap pemain memberikan pendapatnya dan mereka saling berpikir strategi siapa, atau kombinasi antara kedua strategi bisa yang menghasilkan langkah yang lebih baik dalam permainan.

Selain itu tindakan menggerakan bidak-bidak permainan itu sendiri membuat pemain lebih merasakan implementasi strategi mereka, hal ini mendorong proses berpikir yang lebih dalam, dan membuka ruang diskusi yang lebih luas.

Penelitian ini sangat menarik, karena dalam dekade terakhir ini dunia Game Based Learning makin didominasi dengan teknologi digital, sementara sering kita terlupa potensi game fisik, seperti permainan papan dan kartu. Hal ini juga mengapa Ludenara memutuskan untuk fokus dengan pendekatan Game Based Learning fisik, yang juga lebih terjangkau untuk sekolah-sekolah Indonesia karena tidak membutuhkan infrastruktur digital dan teknologi.

 

Sumber:

Kaufman, G. F., Flanagan, M., & Belman, J. (2016). Playing the System: Comparing the Efficacy and Impact of Digital and Non-Digital Versions of a Collaborative Strategy Game. In DiGRA/FDG

Karakoç, B., Eryılmaz, K., Özpolat, E. T., & Yıldırım, İ. (2020). The effect of game-based learning on student achievement: A meta-analysis study. Technology, Knowledge and Learning, 1-16.

Soffel, J. (2016, March). What are the 21st-century skills every student needs. In World Economic Forum (Vol. 10).

Menggunakan Mekanik Games Untuk Memotivasi Belajar

Menggunakan Mekanik Games Untuk Memotivasi Belajar

Photo by Kuanish Reymbaev on Unsplash

Saat digunakan sebagai media pembelajaran games sangat ampuh memotivasi belajar, ini dikarenakan games memiliki mekanik-mekanik tertentu yang juga bisa kita ambil dan diaplikasikan dalam pendidikan formal.

Pasti sering kan kita sebagai orang tua atau guru melihat betapa asyik, niat, semangat, dan seriusnya anak-anak saat memainkan games yang mereka sukai. Bukan saat bermainnya aja, bahkan selesai main games yang mereka obrolkan dengan teman-temannya adalah tentang game itu, dan betapa inginnya mereka main lagi, sungguh motivasi yang luar biasa ya!

Bayangkan jika semangat, niat, dan keseriusan itu mereka miliki saat belajar, bayangkan jika mereka termotivasi untuk belajar seperti termotivasi untuk bermain. Ini lah mengapa teknik-teknik dan teknologi playful learning seperti game based learning dan gamifikasi menjadi sangat trending di dunia pendidikan dan bahkan untuk orang dewasa dalam pelatihan dalam perusahaan.

Telah banyak penelitian dan teori yang menjelaskan alasan mengapa games bisa memotivasi pemain untuk terus bermain, salah satu penjelasan yang menarik datang dari kacamata teori motivasi self determination theory (SDT), yang menunjukkan bahwa games memiliki mekanik-mekanik yang mendorong motivasi.

Nah jika kita ambil mekanik-mekanik ini dan diterapkan dalam proses pembelajaran sepertinya juga akan memotivasi siswa-siswi!
SDT menjelaskan bahwa siswa-siswi akan merasakan motivasi intrinsik dan bisa terus berkembang jika lingkungan belajar memenuhi beberapa kebutuhannya (Ryan & Deci, 2017).

1. Siswa-siswi haru merasa koneksi sosial dan diterima oleh lingkungan sosial belajarnya
2. Merasa dirinya terus berkembang dari segi mendapatkan dan menerapkan ilmu dan keterampilan baru.
3. Otonomi, dalam konteks pelajar yaitu saat mereka diberikan kepercayaan untuk mengendalikan proses pembelajarannya sendiri tanpa kontrol dari pihak external seperti orang tua, guru atau bahkan sistem. Dalam konteks yang lebih general otonomi ini kita dapatkan saat kita terbebas berperilaku sesuai dengan apa yang menurut kita baik dan benar, dan bisa merasakan hasil dari upaya kita itu sendiri.

Lalu dari kacamata SDT ini kita bisa melihat bahwa mekanik-mekanik dalam game ada yang mendorong motivasi extrinsic, dan intrinsik (Proulx et al., 2017). Berikut adalah penyederhanaanya;
Jika kita mengingat rasanya bermain game yang seru banget, kita bisa introspeksi juga dari kacamata SDT mengapa game bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita.
  • Saat bermain bersama kita dengan mudah diterima oleh kelompok kita dengan berinteraksi dan bermain dengan benar. Di sini kita mendapatkan koneksi sosial yang dibutuhkan
  • Saat bermain game kita merasakan sendiri makin kita bermain, mencoba-coba, dan mengeksplorasi kita makin mahir menavigasi dunia game. Tingkat kesulitan tantangan-tantangan juga terus meningkat sesuai dengan kemampuan kita sehingga kita merasakan langsung meningkatnya keterampilan-keterampilan yang kita miliki.
  • Dalam game kita dengan bebas mencoba-coba, berkreasi, dan melakukan apa pun yang menurut kita tepat untuk dilakukan. Setelah itu secara langsung kita merasakan hasil dari percobaan dan semua upaya kita yang berupa perubahan-perubahan dalam dunia game tersebut.
Sepertinya tidak ada salahnya menggunakan mekanik-mekanik yang menimbulkan motivasi ekstrinsik karena seiring berjalanya permainan motivasi-motivasi intrinsik ini akan lebih mendominasi. Saat permainan makin “panas” pemain tambah semangat, kompetitif, dan mereka mulai merasakan dampak yang mereka dan pemain lain dalam dunia game.
Tentu informasi ini sangata bermanfaat bagi guru atau orang tau yang ingin merancang atau memilih game untuk mengajarkan hal-hal tertentu kepada anak atau siswa-siswinya.
Namun tidak perlu menggunakan game secara langsug, bisa saja kita mengambil mekanik-meknaik ini dan ktia terapkan dalam proses pembelajaran formal, seperti memberikan lebih banyak interaksi, mengadakan kompetisi dan kolaborasi, atau memberikan otonomi yang lebih banyak kepada pelajar. Selamat mencoba!
Sumber:
Proulx, J. N., Romero, M., & Arnab, S. (2017). Learning mechanics and game mechanics under the perspective of self-determination theory to foster motivation in digital game based learning. Simulation & Gaming, 48(1), 81-97.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2017). Self-determination theory: Basic psychological needs in motivation, development, and wellness. Guilford Publications.
Games Ampuh Meningkatkan Keterlibatan Siswa (Student Engagement).

Games Ampuh Meningkatkan Keterlibatan Siswa (Student Engagement).

Pernah gak, menghabiskan waktu berjam-jam belajar di kelas terus pas kelas itu beres bingung, tadi belajar apa ya?

Kalo gak pernah kayak gini, hebat anda murid teladan tapi sayangnya gak semua seperti itu. Bagi yang pernah mengalami itu, alasanya adalah pelajar tidak terlibat dalam proses belajarnya, atau tingkat student engagement nya rendah.

Student engagement ini didefinisikan sebagai, keterlibatan siswa diukur dengan tingkat perhatian, keingintahuan, minat, optimisme, dan semangat yang ditunjukkan Siswa ketika mereka belajar. Dari sini sudah jelas bahwa setiap pendidik dan pelajar merasakan pentingnya engagement setiap Siswa di kelas.

Banyak sekali faktor yang bisa meningkatkan keterlibatan Siswa, seperti Guru yang inspiratif, teman belajar yang saling mendukung, materi pelajaran yang sesuai dengan minat, atau cara belajar yang asik!

Kan untuk jadi Guru inspiratif susah kalo yang sudah ,hebat! Bergantung kepada Siswa-siswi lain untuk menyemangati temannya sangat tidak bisa diandalkan, memang kita bisa mengajar materi yang sesuai minat mereka, tapi tidak selamanya bisa begitu. Nah sepertinya cara yang paling praktis dan semua Guru bisa terapkan adalah mengubah metode belajar menjadi asik!

Hal ini sangat mudah dengan menggunakan games, selain itu Game Based Learning sudah terbukti secara ilmiah ampuh meningkatkan keterlibatan siswa karena berbagai hal. Berikut adalah beberapa fitur dalam game yang meningkatkan keterlibatan siswa menurut literatur yang mengkaji penelitian dari tahun 2008-2018 (Shu & Liu, 2019).

 

Relatedness

Yang pertama adalah relatedness biasanya games memiliki tokoh yang harus dimainkan, dan sering kali Siswa-siswi akan merasa terhubung dengan tokoh yang dimainkan. Seperti misalnya dalam game Monopoly kita memainkan seorang pengusaha yang ingin menguasai dunia properti dengan hotel-hotel dan rumah-rumah. 

Siswa-siswi akan merasa “oh iya aku juga pengen jadi pengusaha.” dengan merasa terhubung dengan tokoh seperti ini mereka akan lebih terlibat dalam proses pembelajaran. 

 

Social Interaction

Game yang dimainkan bersama akan mendorong interaksi sosial dengan teman-temannya secara kompetitif dan kooperatif dengan ini pasti mereka lebih terlibat dalam proses belajarnya. 

Yang menarik, interaksi sosial ini juga merupakan proses belajar sendiri. Dari mengobservasi orang lain kita bisa membentuk ilmu, peraturan, keterampilan, kepercayaan dan kebiasaan baru. Ini ditambah dengan belajar dari konsekuensi dan tindakan kita sendiri memungkinkan kita belajar ilmu dan keterampilan yang kompleks (Schunk, 2012).

 

Enjoyment

Bermain adalah aktivitas yang memang sangat bisa dinikmati. Dengan proses Game Based Learning yang kita lakukan adalah bermain sambil belajar. Jadi Siswa-siswi dengan menikmati proses belajarnya mereka pasti akan lebih terlibat!

Menikmati sebuah proses juga akan menambahkan manfaat yang kita dapatkan saat mengerjakan proses itu sendiri. Coba kita mengingat pengalaman kita sendiri, pasti segala sesuatu yang kita lakukan dengan senang hati akan memberi lebih banyak manfaat daripada melakukan sesuatu karena dipaksa.

 

Fantasy

Fitur ini sangat berhubungan dengan enjoyment. Dengan adanya sebuah cerita, narasi, keadaan, dan tokoh-tokoh yang menarik permainan akan lebih menarik lagi!

Ada berberapa game yang mungkin aspek fantasynya belum kuat, atau kurang cocok dengan Siswa-siswi. Hal ini dengan mudah bisa diubah dan mengarang sebuah dubai fantasy yang lebih sesuai. Saat sebelum memulai, selama bermain, dan saat akhir permainan kita bisa mengajak Siswa-siswi masuk kedalam dunia yang kita karang agar mereka semakin terlibat.

 

Self-efficacy

Efikasi Diri adalah suatu kepercayaan diri terhadap kemampuan dirinya dalam melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan. Dalam konteks ini seberapa PADnya kita akan kemampuan diri untuk belajar, memecahkan masalah, atau mencapai sebuah tujuan. Efikasi Diri ini sangat penting untuk efektivitas proses pembelajaran, dan semakin Siswa PD bahawa “Aku bisa memahami ini” semakin terlibat mereka dengan proses belajarnya.

Game Based Learning adalah media yang cocok untuk meningkatkan Efikasi Diri Siswa-siswi. Ada beberapa penelitian yang menunjukan playfulness yang dialami oleh Siswa-siswi saat bermain game meningkatkan Efikasi Diri mereka dalam bidang akademik (Potosky, 2002). Hal ini terlihat saat Anak-anak main games, mereka sangat pandai dan cepat sekali memahami konten dan struktur game. Karena ini juga mereka menjadi semakin PD akan kemampuan mereka untuk belajar.

 

Challenge/Skill Balance 

Tantangan adalah hal penting yang membuat Games menjadi menarik. Pemain merasa tertantang untuk naik level, mengalahkan musuh, atau menyelesaikan masalah.

Tentu tantangan ini harus diseimbangkan dengan keterampilan yang mereka miliki. Game yang terlalu mudah akan membosankan, game yang terlalu sulit akan membuat pemain frustasi. Games yang menyediakan kesulitan yang pantas untuk keterampilan akan membuat mereka sangat terlibat dalam permainan itu.

 

Sumber:

Schunk, D. H. (2012). Learning theories: An educational perspective. Boston, MA: Pearson.

Shu, L. & Liu, M. (2019). Student Engagement in Game-Based Learning: A Literature Review from 2008 to 2018. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 28(2), 193-215. Waynesville, NC USA: Association for the Advancement of Computing in Education (AACE). Retrieved October 26, 2021 from https://www.learntechlib.org/primary/p/183934/.

Potosky, D. (2002). A field study of computer efficacy beliefs as an outcome of training: the role of computer playfulness, computer knowledge, and performance during training. Computers in Human Behavior, 18(3), 241–255. doi:10.1016/S0747-5632(01)00050-4

FGD persiapan Nusantara Bermain Bermakna

FGD persiapan Nusantara Bermain Bermakna

Kamis, 14 Oktober Ludenara mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tujuan mencermati pengalaman para narasumber 2dalam dunia pendidikan yang mungkin bisa menjadi wawasan penting untuk mengembangkan program intervensi dalam dunia pendidikan khususnya salam peningkatan kualitas pengajar.

Dalam FGD ini kami mengundang 3 narasumber eksternal yang masing-masing memiliki peran yang berbeda dan bisa berkontribusi dalam diskusi ini dengan cara pandang masing-masing. Kami juga mengundang narasumber internal yang merupakan pelaksana program Nusantara Bermain Bermakna bagian POP. Mereka juga masing-masing memiliki cara pandang menarik mengenai perkembangan dan tantangan dunia pendidikan.

Narasumber external pertama adalah Ibu Siti Syahwali sekarang berprofesi sebagai konsultan bersama CEVA Bali. Ibu Siti juga merupakan contoh baik dari yang sering kita sebut “life long learner” dan sekarang Ibu Siti sedang kuliah Executive Master in International Trade IE University, di Spanyol yang diambil secara blended, online dan ofline. Dengan posisi ini Ibu Siti sanggup memberikan cara pandang dunia pendidikan secara global. 

Menurut Ibu Siti tantangan utama dalam pendidikan dalam 1 tahun terakhir ini adalah membangun engagement, atau keterlibatan siswa dalam kelas belajar. Dengan kelas PJJ Siswa-siswi akan mendapatkan kesulitan merasa terlibat dalam pembelajaran karena tidak adanya presensi fisik dari Guru dan teman-teman yang juga sedang belajar. 

Turunnya tingkat keterlibatan Siswa-siswi saat pembelajaran ini lah yang mengakibatkan learning loss, karena saat pembelajaran tidak adanya engagement mengakibatkan tidak belajar.

Menurut Ibu Siti meskipun meningkatkan keterlibatan dalam PJJ itu berat ada beberapa cara meningkatkannya. Salah satunya adalah Game Based Learning yang menurutnya sebagai fasilitator dan juga pelajar sangat baik dalam menarik perhatian pelajar dan meningkatkan keterlibatan secara langsung. Dalam pengalaman belajarnya Ibu Siti juga merasa mewajibkan keterlibatan adalah cara efektif, seperti saat pembelajaran online setiap Siswa-siswi wajib membuat 3 pertanyaan atau komentar.

Selain kedua teknik ini menurut Ibu Siti faktor utama yang bisa meningkatkan engagement dan motivasi belajar adalah Guru yang inspiratif, yang membuat memberi contoh baik agar memberi pemikiran kepada pelajar “aku harus bisa kayak gitu!”. Belajar juga merupakan proses sosial, di mana kondisi sosial seperti ini sangat penting. Karena itu juga adanya komunitas, atau kelompok belajar bersama yang saling menyemangati dan menginspirasi juga faktor penting dalam pendidikan yang berkualitas.

Tapi memang presensi Guru dan teman belajar secara fisik tidak bisa tergantikan. Karena itu untuk tren yang akan datang menurut Ibu Siti kita akan mengalami banyak blended learning, di mana proses belajar diterapkan secara online dan offline. Adanya blended secara synchronous dan asynchronous juga sangat penting. Karena ini akan memberikan fleksibilitas bagi pelajar untuk belajar dalam situasi di mana ia mampu belajar dengan sesungguhnya.

Dari narsum pertama kami mendapatkan perspektif yang luas, secara global, dan selanjutnya kami mendapatkan perspektif yang fokus dan mendalam. Narasumber selanjutnya adalah Bapak Wahyu Kurnia, seorang Guru di SMPN 2 Pekalongan. Sebagai Guru Pak Wahyu melihat ada 2 tantangan utama dalam pendidikan kita. Yang pertama adalah karakter pelajar itu sendiri, menurutnya banyak Siswa-siswi kita yang memang pada dasarnya tidak suka belajar, dan susah mendapatkan motivasi untuk belajar. 

Yang menarik adalah Game Based Learning juga merupakan solusi praktis yang sudah diterapkan oleh Pak Wahyu. Namun ada tambahan menarik darinya, saat menghadapi Siswa-siswi yang tidak termotivasi belajar sebaiknya Game Based Learning difokuskan bukan untuk pemahaman materi, namun mengubah manset mereka bahwa sebenarnya belajar itu menyenangkan. Dari situ segala proses belajar setelahnya akan lebih mudah.

Tantangan lain yang menurut Pak Wahyu masih sering dihadapi adalah infrastruktur yang tidak memadai untuk PJJ, hal ini ditambah dengan sebagian Guru masih kurang mampu beradaptasi dengan cepat mengakibatkan pembelajaran yang tidak efektif. Sepertinya satu tantangan ini yang tidak ada solusi kreatifnya, selain berinvestasi terhadap struktur digital, dan pelatihan Guru.

Setelah itu narasumber external yang terakhir adalah Ibu Lala Tansah yang sekarang menjadi Principal Mutiara Bunda Group of Schools. Sebagai kepala manajemen sekolah Ibu Lala juga memberikan pendapat yang sangat penting untuk kami pelajari. Dalam pelaksanaan pendidikan ada 3 pihak yang harus sangat diperhatikan, yaitu Siswa, Guru dan Orang tua. Setiap pihak memiliki peran yang sangat besar dan mengalami tantangan-tantangan sendiri dalam keberlangsungan pembelajaran yang efektif.

Selain yang sudah disampaikan oleh para narsum sebelumnya menurut Ibu Lala kesehatan mental Siswa-siswi adalah hal yang sangat harus kita perhatikan, bukan hanya untuk pembelajaran yang efektif tapi juga agar mereka bisa tumbuh kembang dengan baik. Untuk para Guru saran Ibu Lala dalam menghadapi tantangan-tantangan PJJ mereka harus terus agile, mampu beradaptasi dan belajar dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang terus berubah.

Selain dari nara sumber external ini, para tim pelaksana Nusantara Bermain Bermakna juga menyampaikan berbagai macam pendapat penting yang harus kami perhatikan agar program kita bisa benar-benar berdampak baik terhadap pendidikan Indonesia. Memang banyak sekali yang tim Ludenara harus pelajari dari FGD ini, dan semoga kami bisa benar-benar memanfaatkan ilmu ini dengan baik, demi kebaikan pendidikan Indonesia.

Rapat Koordinasi POP Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara.

Rapat Koordinasi POP Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara.

Rabu, 13 Oktober Ludenara mendapatkan kesempatan untuk bertemu via Zoom dengan Bapak Ibu Guru dan Kepala sekolah dari  Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara. Pertemuan ini merupakan rapat koordinasi awal dari Nusantara Bermain Bermakna. Sebuah program inisiasi Ludenara yang didukung oleh Program Organisasi Penggera oleh Kemendikbud. Rapat ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Disdik masing-masing kota yang menunjukkan sepenuhnya menunjukkan sport mereka untuk keberlangsungan dan kesuksesan.

Rapat ini kita manfaatkan untuk mensosialisasikan detail program kami, seperti jadwal pelaksanaan, detail kegiatan program, dan apa saja yang akan dipelajari oleh peserta. Kami juga mendapatkan kesempatan untuk menganalkan diri kita sebagai organisasi dan menjelaskan pemikiran kita bahwa bermain adalah proses belajar yang luar biasa, dan pentingnya bahagia saat belajar.

Dari pemikiran ini lah kita merancang Nusantara Bermain Bermakna, dimana para peserta Guru pada akhirnya bisa mengimplementasikan pendekatan Game Based Learning, dimana Guru-guru bisa memilih game-game yang sudah ada dan menghadirkan pembelajaran yang interaktif, asik, dan bermakna. Kami pun juga akan melaksanakan kelas Game Design, dimana Guru-guru dapat mendesain sendiri game yang sesuai dengan kebutuhan mengajar mereka.

Seperti rapat koordinasi yang sebelumnya sepertinya banyak Bapak & Ibu Guru yang sangat tertarik dengan konsep ini, dan banyak menanyakan tentang penggunaan games sebagai media belajar. Ludenara pun semangat, dan sudah tidak sabar untuk belajar bersama Guru-guru dan mengeksplorasi bersama potensi game untuk media belajar.

Semoga Nusantara Bermain Bermakna akan menghadirkan banyak hal baik bukan hanya untuk para peserta, namun untuk pendidikan Indonesia secara menyeluruh. Kami ingin berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada Sekolah-sekolah dan Disdik, Bandung, Bogor,  Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara tentunya juga kepada Kemendikbudristek yang sudah memberikan kepercayaan dan dukungannya!

Rapat Koordiansi POP, Bandung dan Bogor

Rapat Koordiansi POP, Bandung dan Bogor

Selasa, 12 Oktober Ludenara mengadakan rapat koordinasi Program Organisasi Penggerak (POP) bersama dengan 27 SMP dari Bandung dan Bogor yang diwakili oleh beberapa Guru dan Kepala sekolah masing-masing sekolah. Rapat ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Disdik masing-masing kota yang menunjukkan sepenuhnya menunjukkan sport mereka untuk keberlangsungan dan kesuksesan.

Dalam rapat ini kami mendapatkan kesempatan utnuk menganalkan diri kita sebagai organisasi dan misi kita untuk menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan, interaktif, dan bermakna. Hal ini yang kita yakini bisa menjadi landasan awal dari meningkatnya kualitas pendidikan kita secara berkelanjutan. Alasannya sangat sederhana, ketika Siswa-siswi kita senang belajar tentu mereka akan terus menerus belajar dengan senang hati tanpa disuruh, dan karena mereka menikmati proses ini setiap detik proses pembelajaran itu akan memberi makna, karena segala sesuatu yang kita kerjakan dengan senang pasti akan lebih baik. Maka POP Ludenara ini kita beri judul, Nusantara Bermain Bermakna

Hal ini sepertinya menarik Bapak dan Ibu yang mengikuti rapat ini, dan mereka pun banyak melontarkan pertanyaan yang libatkan bagaimana cara menghadirkan proses belajar yang menyenakkan, seperti bagai mana cara menggunakan games di kelas? Games apa yang bisa digunakan? Bagaimana membuat Anak-anak semangat belajar?

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan ketertarikan mereka akan konsep “belajar sebaiknya menyenangkan” dan merupakan awal baik dari program ini. Kami pun mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan singkat dan sebaik-baiknya, namun memang pertanyaan-pertanyaan ini lah yang akan kita eksplorasi bersama selama 2 semester di tahun 2022 nanti.

Hal yang menarik juga adalah banyak Bapak Ibu Guru yang sudah menerapkan pembelajaran dengan menggunakan games, dan aplikasi populer seperti Kahoot! Quizizz dan lainnya. Sepertinya memang sudah banyak yang peka bahwa games memiliki potensi edukasi, dan sebaiknya proses belajar itu membahagiakan. Dengan kesempatan POP ini tentu Ludenara akan mengeksplorasi lagi secara dalam lagi mengenai penggunaan games sebagai media belajar, dan semoga banyak hal baik yang akan kita capai dari program ini.

Squid Game, when a Game is no longer a Play

Squid Game, when a Game is no longer a Play

Available on Netflix

Tenang, Ludenara gak akan membahas brutalitas dan kekerasan laah.. dan artikel ini gak ada spoilersnya kok hehe..

Ada pelajaran penting untuk para pendidik yang penasaran dengan Plaful Learning, atau Game Based Learning yang bisa kita pelajari dari serial Netflix ini, dan film-film yang semacamnya.

Pasti semua yang tertarik akan penggunaan Game Based Learnign sudah paham mengenai segala macam manfaatnya, nah sebagian besar manfaat-manfaat dari pendekatan ini datang dari 1 hal, yaitu Playfulness. Kondisi dimana kita nyaman, senang, tentram tapi juga fokus dan waspada. Kondisi ini lah yang bisa membuat kita bisa mempelajari apa pun dengan lebih mudah.

Nah sering kali Game Based Learning menjadi kurang efektif ketia para pemainnya sudah tidak lagi bermain, tidak senang, dan tidak lagi menikmati proses belajaranya. Dari mempelajari Squid Game dan film-film semacamnya kita bisa melihat contoh di mana sebuah games tidak lagi “dimainkan”.

Untuk mempelajari bagaimana sebuah game bisa kehilangan playfulnessnya kita bisa menggunakan sebuah mahakarya yang ditulis oleh Johan Huizinga, Homo Ludens. Karya ini sangat penting karena berhasil menemukan karakteristik dari bermain, dengan ini kita bisa membedakan aktifitas bermain dan yang bukan.

Diantara 5 karakteristik bermain Homo Ludens, ada 2 yang tidak dicapai oleh game-game dalam Squid Games. Yaitu mengenai Freedom dan Motivation.

Hal yang sangat sederhana adalah mengenai Motivation, menurut Huizinga motiviasi bermain adalah motivasi intrinsik di mana kita tidak menginginkan apa pun selain bermain itu sendiri. Saat kita melakukan aktifitas demi mendapatkan suatu hasil ini sudah tidak lagi bisa dianggap bermain yang murni, dan manfaat psikologisnya pun sudah tidak banyak.

Dalam Squid Game para peserta tidak bermain karena ingin bermain dan menikmati proses bermain itu, tapi mereka disitu karena ingin membayar hutang yang menumpuk. Motivasi mereka tidak lagi intrinsik melainkan extrinsik.

Ketika hal ini terjadi dalam proses Game Based Learning, Anak-anak tidak lagi fokus dalam setiap momen mereka bermain dan pikiran dan atensinya terletak dalam hasil apa yang mereka ingin raih dari aktifitas itu, mereka tidak lagi bisa belajar secara dalam.

Karakteristik satu lagi yang dilangar secara brutal oleh Squid Games adalah Freedom, padahal menurut Huizinga dan Play scolars lainya Freedom ini karakteristik utama yang harus ada jika sebuah aktifitas ingin diklasifikasikan sebagai bermain.

Tentu setiap games memiliki peraturan dan batasan, tidak berarti bermain game kita memiliki kebebasan tanmpa batas. Namun bermain games dan mengikuti peraturan tetap bisa dianggap Freedom jika, pemain memberi “consent” dan bisa berhenti bermain saat mereka tidak lagi ingin bermain.

Concent adalah ketika mereka dengan suka rela mengikuti peraturan dan batasan yang ada. Memang dalam adegan sebelum bermai, para peserta Squid Game menandatangani Consent Form, yang diangap sebagai mereka suka rela mengikuti peraturan Squid Game, namun ini sangat manipulatif dan tidak memenuhi sarat consent yang benar.

Yang dimaksud dengan concent adalah ketika kita sepenuhnya memahami aktifitas apa yang kita ikuti, konsekuensi dari mengikutinya, tugas dan hak kita, dan semua informasi relefan lainnya tentang aktifitas yang kita consent untuk ikuti.

Consent ini yang membedakan Anak-anak main gelut-geluttan dan bullying. Ketika satu pihak tidak setuju mengikuti aktifitas ini, tapi dipaksa untuk berpartisipasi dan hasilnya kebahagiaan di satu sisi, dan sisilainnya penderitaan.

Kita lihat dalam Squid Game ada sekolompok orang bertopeng dibalik layar yang sepenuhnya menikmati game ini, dan para partisipan mengalami stress dan penderitaan yang tinggi. Jadi sepertinya judulnya lebih akurat Squid Bullying bukan Squid Game.

Nah karena itu saat kita mau menerpakan berbagai macam Playful Learning, seperti Game Based Learning hal yang sangat penting adalah kebebasan para Siswa-siswi kita. Saat mereka memang ingin bermain tanmpa paksaan mereka akan belajar lebih baik, dan saat mereka memiliki kebebasan dalam proses belajarnya mereka akan belajar lebih baik.

Bermain adalah proses pembentukan karakter yang baik untuk Anak.

Bermain adalah proses pembentukan karakter yang baik untuk Anak.

Banyak sekali hal yang kita inginkan dari dunia pendidikan yang nampak pada permukaan banyka ornag yang menginginkan pendidikan menambah ilmu pengetahuan anak yang sesuai dengan kurikulum. Ini terlihat dari puluhan tahun sistem pendidikan kita yang sangat mementingkan nilai ujian.

Seiring berkembangnya jaman kita semakin paham bahwa itu mungkin bukan hal yang utama apa lagi dengan adanya internet semua ilmu bisa di kases degan mudah. Lalu pendidikan menjadi sarana agar Anak-anak bisa meningkatkan soft skills mereka, seperti berpikir kritis, kreatif, dan semua 21st century skills lainnya.

Jelas tidak hanya disitu, satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah pendidikan harus mampu membantu Anak mengembangkan karakter yang moral. Sehingga mereka bisa menjadi orang yang mampu bekerja sama, memiliki keinginan untukuk membantu orang lain, dan secara menyeleuruh membuat Indonesia lebih baik.

Dari tujuan-tujuan pendidikan ini kita bisa melihat betapa luarbasanya bermain. Karena dari bermain Anak-anak mengembangkan ketiga hal ini. 

Sudah banyak artikel kita yang membahas bahwa bermain membuat kondisi psikologis sangat optimal untuk membentuk ilmu baru, salah satunya ada penelitan yang menunjukan nilai ujian Anak-anak meningkat lebih tinggi saat belajar menggunakan games.

Pendidikan soft skills apa lagi, saat bermain jika ingin mengikuti alur permainan tentu segala macam soft skills diperlukan dan terasah. Karena ini pula World Economic Forum membanggakan play based learning sebagai sarana mengembangkan 21st century skills.

Nah diartikel ini kita coba membahas sedikit bagaimana saat bermain Anak-anak terdorong untuk mengembangkan karakter yang moral. Pertama yang jelas tidak semua macam bermain bisa ya, main video game sendirian sepertinya tidak ada dampak pada pembentukan karkater yang baik, permainan sosial lah yang dibutuhkan.

Sebuah penelitian di Indonesia menunjukan bahwa banyak nilai-nilai positif yang kita banggakan berkembang secara natural saat Anak-anak bermain, khususnya permainan tradisional. 

Melalui permainan-permainan ini anak-anak belajar berbagai macam nilai-nilai budaya seperti proto demokrasi, kepemimpinan, kebersamaan, tanggung jawab, dan lain-lain (Dharmamulya, 1992).

Kita bisa mempelajari proses berkembangnya moralitas dari bapak psikologis perkembangan, Jean Piaget (1932). Melalui observasinya Jean Piaget melihat bahwa saat Anak-anak bermain dengan teman-temannya banyak sekali hal yang terajdi yang mendorong perkembangan moralitas mereka secara bertahap.

Tahap pertama saat mereka bermain pasti mereka akan mengikuti peraturan yang sudah ditentukan. Mereka juga mulai belajar manfaat dari peraturan yang baik, seperti saat main petak umpet yang mencari harus menutup matanya terlebih dahulu agar yang lain bisa sembunyi. 

Mereka akan mulai sadar konsekuensi dari tidak mengikuti permainan seperti jika ada yang curang mereka mungkin bisa menang tapi mendapatkan reaksi negatif dari teman lainnya. Kalo ada Anak yang terus-terusan tidak mau mengikuti peraturan demi ingin menang Anak itu akan merasakan dampak yang sangat buruk seperti social rejection dan tidak memiliki teman yang mau diajak bermain lagi. 

Ini merupakan tahap yang Piaget sebut memahami moral responsiblity, saat mereka sadar siapa yang pantas dihukum (yang membawa bola dengan tangan saat main sepak bola) dan siapa yang tidak patut di hukum (tanmpa sengaja memegang bola). Ini terjadi usia 6-9 tahun.

Belajar mengikuti peraturan memang merupakan tahap yang baik untuk membentuk karakter. Namun sangat tidak cukup, karena kita sendiri tahu bahwa peraturan tidak selamanya benar dan bisa berubah-ubah demi kepentingan yang lebih tinggi, seperti keamanan, kesejahteraan atau keadilan. 

Banyak permainan seperti permainan tradisional atau saat Anak-anak bebas bermain mereka sering menegosiasi peraturan demi niali-nilai baik seperti kebersamaan. Contohnya saat sekelompok Anak-anak dengan umur berbeda-beda bermain mereka sering meringankan peraturan untuk adik-adik mereka, atau mereka yang memang memiliki disabilitas. 

Seperti saat main benteng-bentengan yang membutuhkan fisik yang kuat dan lincah, mereka bisa memberi dua “nyawa”, atau saat bermain monopoli mereka memberikan uang leibh banyak di awal permainan kepada adik-adik yang jauh lebih kecil agar permainannya tetap seru, kompetitif, dan dalam konteks ini adil.

Fleksibilitas dan negosiasi akan peraturan ini sering terjadi pada anak usia 9 tahun keatas, Piaget menyembut ini Autonomous Morality saat Anak-anak mulai mempikirkan secara dalam apa yang benar dan salah, tanmpa mengandalkan peraturan. 

Disaat ini mereka mulai berkembang diluar egosentrism mereka dan belajar empati, memposisikan diri sebagai orang lain, contohnya sebagai Anak kecil yang belum bisa lari kencang atau berpikir secara kompleks, tapi ingin ikut bermain. 

Sumber:

Dharmamulya, S. et al. (1992). Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.

DeVries, R. (1998). Moral and Intellectual Development Through Play: How to Promote Children’s Development Through Playing Group Games. Web: http://www. uni. edu/coe/regentsctr/moral. html, 27.

Piaget, J. (1932). The moral judgment of the child. London: Kegan, Paul, Trench, Trubner & Co.

Rise of Nations, game seru yang terbukti bisa melatih Kemampuan Kognitif

Rise of Nations, game seru yang terbukti bisa melatih Kemampuan Kognitif

 

Sebagian besar yang main video games adalah anak muda, tapi orang dewasa harus ikutan nih!  Bukan hanya sekedar seru-seruan, video games ternyata sudah banyak diteliti sebagai alat melatih kemampuan kognitif.

 

Memang memainkan video games membutuhkan proses-proses dan fleksibilitas kognitif yang besar, tapi apakah hal ini melatih kemampuan kognitif kita di luar video games?

Nah banyak penelitian-penelitian yang ternyata sudah melihat bukti yang tidak diragukan lagi bahwa melatih kemampuan kognitif di luar video games apalagi untuk orang dewasa dan lansia.

 

Pertama Memang, tidak semua video games sama. Untuk kognitif training, setiap genre games memiliki kekuatannya masing-masing. 

Seperti Real Time Strategy (RTS) games terlihat sangat baik untuk melatih fungsi eksekutif seperti; task switching, working memory, visual short term memory, mental rotation, dan penalaran. Ini terbukti setelah ada penelitian yang menggunakan video game Rise of Nations, sebuah historical RTS games yang memang seru banget!

Tim peneliti dari University of Illinois mengajak 73 subject di usia emas (68-70 tahun) untuk main Rise of Nations selama minggu dengan 23.5 jam total main. Sepanjang penelitian dan di akhir penelitian ini para subject juga diberikan cognitive tests untuk mengukur apakah ada perubahan karena bermain games ini. Test-test adalah 6 executive control task, dan 4 visuospatial tasks. Hasilnya sangat menarik, mereka melihat peningkatan yang substansial di area executive function, memori dan switching task, medium sized effect untuk visual short-term memory, dan reasoning terlihat membaik secara substansial setelah 11 jam bermain. 

Hal lan yang harus kita perhatikan adalah subject training ini mengenai cognitive decline. Di mana pada usia emas ini frontal lobe kita mulai mengecil dan banyak kapasitas-kapasita otak lain yang mengalami penurunan. Ini lah mengapa mereka memilih usia 68-70 sebagai subject penelitian. Terlihat meskipun ini lah usia yang rentan terhadap cognitive decline dampak positif dari memainkan video games tetap terlihat secara substansial.

Sayangnya penelitian ini memiliki kekurangan. Study ini tidak meneliti secara khusus mengapa game ini bisa sangat baik khususnya untuk executive control tasks, jika kita tahu mengapa ilmu ini sangatlah berguna bagi kita yang ingin mendesain game. Untungnya para peneliti memberikan hipotesis mereka mengenai ini.

Jadi pada dasarnya game ini memberikan kita tugas untuk membangun sebuah peradaban, dari peradaban batu sampai modern. Banyak sekali tugas yang harus dilakukan untuk memastikan kesuksesan sebuah peradaban, dari memastikan territory aman dari serangan negara lawan, mengatur dan menambang sumber daya alam, investasi di sains untuk perkembangan teknologi, mengatur strategy perang, memastikan setiap kota di negara kita termaintain dan seterusnya. 

Lalu semua ini terjadi secara real time, sehingga kita tidak punya banyak waktu untuk memikirkan semua strategy, planning,tugas-tugas ini juga sangat penting untuk memenangkan game ini, sehingga mau tidak mau otak kita bekerja dengan keras. Banyak sekali tugas yang harus diselesaikan secara simultan. Bayangkan jika kita lagi asik memanbun kota baru karena lokasinya yang strategis, namun tiba-tiba ibu kota kita diserang, nah switching task ini yang terlihat melatih fungsi eksekutif otak. 

Nah sepertinya diet sehat main video games sangat lah baik untuk memaintain kesehatan otak kita, kebetulan game RTS seperti Rise of Nation ini sangat baik untuk frontal lobe yang bertanggung jawab atas fungsi eksekutif. Video game genre lain sepertinya memiliki keunggulan liannya, tentunya Ludenara akan sharing hasil penelitian lain, kira-kira genre lain bagus untuk apa aja ya?

Sumber:

Basak, C., Boot, W. R., Voss, M. W., & Kramer, A. F. (2008). Can training in a real-time strategy video game attenuate cognitive decline in older adults?. Psychology and aging, 23(4), 765–777. https://doi.org/10.1037/a0013494

Permainan tradisional ampuh untuk penyembuhan trauma dan stress lho!

Permainan tradisional ampuh untuk penyembuhan trauma dan stress lho!

Photo by Tbel Abuseridze on Unsplash

Salah satu hal yang membuat bermain semakin penting adalah kemampuannya untuk mengurangi stress kita. Khususnya dalam mengendalikan stress yang datangnya dari faktor external diluar kendali kita. Dimana meskipun kita tidak bisa berhenti memikirkannya, kita tidak punya pilihan lain selain berdoa, dan menunggu.

Dengan bermain fokus dan pikiran kita teralihkan kepada setiap momen yang berlalu dalam permainan, bukan kepada hal eksternal penyebab stress kita itu. Secara biologis juga ternyata penelitiannya sudah jelas, memang bermain sangat bermanfaat untuk ini.

Seringkali kita memikirkan stress dalam konteks kehidupan sehari-hari, namun ternyata tidak hanya saat situasi sehari-hari. Bermain tetap menjadi sarana pengendalian stress disertasi yang ekstrim! Salah satunya adalah pasca bencana alam untuk para penyintas yang bukan hanya melewati hal yang sangat tragis, sekaligus masih melewati situasi yang pasti penuh stress.

Sebuah penelitian dari Universitas Muhammadiyah Magelang meneliti 10 Paud yang terletak di daerah yang telah terkena bencana untuk melihat penggunaan permainan sebagai terapi penyembuhan trauma.

Penelitian ini menunjukan bahwa bermain merupakan terapi yang paling efektif untuk Anak-anak usia muda karena beberapa hal. Pertama kemampuan mereka untuk mengekspresikan dirinya dan memahami konsep secara verbal masih sangat terbatas. Karena itu kita tidak bisa menggunakan terapi penyembuhan trauma dan stress yang konvensional untuk orang dewasa.

Bermain sendiri merupakan cara mereka untuk mengekspresikan dirinya dan berkomunikasi, karena itu terapi terbaik untuk mereka memang dengan cara bermain. Bermain membantu mereka mencegah, dan menyelesaikan tantangan-tantangan psikologis dan mencapai tumbuhkembang yang optimal.

Anak-anak yang melewati bencana membutuhkan lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan, sebuah lingkungan yang bisa dibangun melalui bermain. Disini lah mereka bisa benar-benar menerima dirinya, mengekspresikan perasaan dan pikirannya dengan nyaman dan dengan cara yang tepat secara simbolis melalui permainan.

Nah dalam penelitian ini mereka menemukan bahwa juga banyak Guru-guru yang menggunakan permainan tradisional sebagai terapinya. Menurut para peneliti, permainan tradisional memang seharusnya lebih efektif karena bukan hanya sesuai dengan mereka secara umurnya, tapi juga secara budaya dan lingkungan mereka.

Permainan-permainan tradisional yang digunakan adalah Gobak sodor, mainan kelereng, engklek, dan Dakok & Bakikak. Asik yaaa!!

Penelitian ini menunjukan bahwa pertama semakin banyak alasan untuk bermain, dan sekarang kita tahu meskipun tingkat stress yang sangat tinggi, bermain tetap menjadi media efektif untuk menanggulanginya. Selain itu semakin banyak alasan mengapa kita harus menjaga agar permainan-permainan tradisional kita tidak punah, karena semakin jarang Anak-anak yang memainkannya, ayo ajarkan Anak-anak kita bermain!

Sumber:

Madyawati, L., & Sulistyaningtyas, R. E. (2020, May). Local Culture Games for Post-Disaster Trauma Healing in Early Childhood. In 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics and Social Sciences (BIS-HESS 2019) (pp. 508-512). Atlantis Press.