Pembelajaran tidak akan bisa terjadi tanpa interaksi, mau itu interaksi antar murid,interaksi antar murid dengan materi atau guru, ke-tiga macam interaksi ini dibutuhkan. Di artikel Ludenara sebelumnya kita membahas tentang interaksi antara murid, dan bagaimana kita harus menyediakan tipe interaksi ini lebih banyak lagi karena pentingnya untuk prestasi pendidikan mereka.
Salah satu alasan mengapa interaksi ini bisa sangat bermanfaat adalah unsur playfulness yang sering kali muncul ketika interaksi natar murid terjadi. Playfulness ini jika terjadi di ke-dua macam interaksi yang lain juga bisa meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang terjadi.
Nah, selain playfulness ini ada beberapa macam hal yang bisa kita rancang agar interaksi lebih baik dan memberikan hasil pembelajaran yang lebih bermanfaat.
Memberi struktur interaksi dengan Goals
Ada 3 macam goals yang bisa dirancang dalam proses pembelajaran; kompetitif, kooperatif, individual.
Setiap macam gol akan ada di sebuah kelas yang ideal, dimana murid bisa belajar bekerjasama, berkompetisi dengan senang hati, dan memiliki tujuan pembelajaran sendiri yang tidak berhubungan dengan teman-teman nya. Setiap macam gol akan memberikan pola interaksi yang berbeda, dan memberikan hasil yang berbeda juga.
Dari melihat meta analisis yang membandingkan hasil pembelajaran antar ke-3 macam goals ini ternyata memang terlihat bahwa kooperatif memberikan hasil yang lebih baik, dari segi usaha setiap murid, produktivitas dan prestasi akademik (Johnson, et al,. 1981).
Gol-gol kooperatif mendorong komunikasi efektif, pertukaran informasi dan ide, menambahkan tingkat kepercayaan antar murid, mengurangi rasa takut akan kegagalan, mendorong murid untuk saling belajar di antar mereka. Secara keseluruhan hubungan antar murid lebih positif, mereka leibh peduli dan saling menolong.
Mengelola konflik
Dalam proses pembelajaran pasti akan ada ide dan opini siswa-siswi yang saling bentrok. Konflik ini bisa menjadi kekuatan konstruktif atau destruktif tergantung bagaimana konflik ini dikelola. Ketika konflik antar murid dikelola dengan baik ini bisa menjadi pengalaman pembelajaran yang baik untuk mereka.
Dalam penelitian mengenai interaksi antar murid Johnson juga menemukan beberapa kondisi-kondisi yang dibutuhkan agar konflik bisa menjadi konstruktif;
Konflik lebih mudah menjadi konstruktif saat terjadi di dalam konteks kooperatif. Saat mereka bekerja sama kedua pihak yang bentrok memiliki tujuan yang sama, selain itu informasi akan lebih akurat dan utuh dan komunikasi akan lebih akurat. Iklim lingkungan belajar seperti ini memungkinkan konflik menjadi sangat konstruktif.
Segala informasi mengenai tema perdebatan harus jelas dan mudah di akses. Dengan kejelasan informasi semakin banyak kesempatan agar diskusi bisa menghasilkan konklusi-konklusi yang bisa disetujui bersama. Jika informasi tidak tersedia tentu banyak potensi konflik yang sia-sia.
Kemampuan melihat perspektif yang berbeda-beda. Konflik akan teresolusi saat setiap pihak mendapatkan hasil, konklusi, perspektif, atau ide yang tersintesis dari tesis, dan antitesis. Untuk mempercepat proses ini setiap pihak bisa diminta untuk melakukan “steelmanning” dimana setiap pihak menyimpulkan perspektif, atau ide seakurat, dan sebagus mungkin. Dengan itu diskusi akan cepat berprogres.
Jika kita ingin menerapkan semua ini dengan mudah, maka kita usulkan Game-based learning. Karena dengan game-based learning goals pembelajaran telah terstruktur dalam setiap game. Dengan menggunakan game-game kooperatif kita juga tetap bisa mendorong interaksi kompetitif yang sehat dengan cara mengadukan setiap kelompok murid. Game-based learning juga memudahkan kita untuk mengelola konflik karena setiap game telah memberikan struktur agar bisa menampung konflik.
Coba bayangkan cara kita belajar di ruang kelas sekarang saat daring atau pun kemarin sebelum pandemi. Di sini murid duduk manis memperhatikan guru, atau mengerjakan tugas, atau mendengarkan guru lewat gadget.
Di sini, kita bisa melihat bahwa interaksi yang terjadi hanya ada antara guru dan murid dengan materi pelajaran, dan selain kerja kelompok, jam istirahat, atau yang nakal-nakal asik sendiri di belakang interaksi antar murid hampir tidak ada.
Padahal ternyata interaksi antar murid ini sangat baik untuk progress pendidikan mereka. Interaksi yang konstruktif adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi untuk prestasi akademis maksimal, sosialisasi dan perkembangan yang sehat.
Berikut adalah beberapa cara interaksi konstruktif antar murid berkontribusi kepada prestasi pendidikan mereka:
Aspirasi Pendidikan
Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar terhadap cita-cita dan aspirasi murid. Khusus nya di masa muda dan jika mereka belum memiliki keterampilan belajar yang baik, memiliki teman sebaya yang termotivasi akan masa depan yang cerah adalah pengaruh yang baik. Berada di dalam lingkungan yang menerima dan mensupport bisa membantu mereka untuk bisa memanfaatkan kemampuan belajar dan mencapai prestasi pendidikan yang lebih tinggi.
Kesehatan Psikologis
Kemampuan untuk menjaga hubungan kooperatif yang erat adalah indikasi utama kesehatan psikologis yang baik. Maka dari itu tidak mengejutkan bahwa gangguan psikologis di masa SMP bisa diprediksi dari hubungan antar teman yang buruk masa SD, dan hubungan buruk di masa sekolah bisa memprediksi penyakit psikologis di masa dewasa. Ketika anak merasa di asing kan di sekolah nya mereka akan sering cemas, memiliki percaya diri dan keterampilan sosial yang rendah, dan kesehatan emosional yang buruk.
Keterampilan Sosial
Penelitian mengenai keterampilan sosial anak-anak menyimpulkan “Perkembangan keterampilan sosial merupakan pondasi kritikal untuk kesuksesan akademis dan pembentukan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja” (McClelland & Morrison, 2003).
Interaksi dengan teman sebaya adalah cara belajar keterampilan sosial yang baik. Dari bermain dan belajar bersama, mereka belajar berkomunikasi, bekerja sama, bahkan berkompetisi dengan baik. Selain penting untuk kesuksesan akademis, keterampilan sosial juga sangat dibutuhkan di dunia kerja.
Melihat Berbagai Macam Prespektif
Anak-anak bisa belajar banyak dari pengalaman orang lain seperti masalah yang dipecahkan atau situasi yang mereka dialami. Melalui interaksi lah anak-anak belajar melihat dunia dari cara pandang orang lain.
Semua manfaat ini membutuhkan lingkungan dan interaksi yang baik, dan pasti pertanyaan selanjut nya adalah, lingkungan dan interaksi seperti apa yang baik ini?
Ada penelitian yang menjawab ini secara detail, tapi kalo di bahas sekarang kurang asik nih, mending dijadiin artikel sendiri. Tapi ada contoh cara baik yang bisa menghadirkan interaksi dan lingkungan yang positif untuk pembelajaran, yaitu proses game atau play based learning.
Di dalam konteks game, anak-anak dapat bekerja sama untuk menyelesaikan sebuah tantangan di situ mereka bisa bereksperimen dengan berbagai macam cara untuk berkolaborasi, seperti membagi tugas, mendefinisikan peran masing-masing, atau menyatukan tujuan bersama.
Berkompetisi di dalam konteks game juga sangat baik. Di dalam game mereka bisa belajar menerima kekalahan dengan hormat, belajar dari kekalahan itu, dan juga merasa bangga saat menang tanpa menyombongkan itu.
Terakhir dalam proses game based learning ini mereka akan mendapatkan banyak interaksi positif dari berdiskusi bersama mengenai strategi apa yang mereka gunakan untuk menang, cara kerja sama yang baik, dan tentu nya hal apa saja yang dipelajari selama proses bermain.
Nah Ludenara punya banyak informasi, dan materi gratis tentang proses belajar sambil bermain ini di link ini http://ludenara.org/belajarasik/
Silahkan diakses kapan saja, dan dimana saja pasti banyak yang bisa di pelajari di sini.
Sumber:
McClelland, M.M., & Morrison, F.J. (2003). The emergence of learning related social skills in preschool children. Early Childhood Research Quarterly, 18(2), 206-224.
Johnson, D. W. (1981). Student-student interaction: The neglected variable in education. Educational researcher, 10(1), 5-10.
Ada satu cerita yang mungkin kita semua masih ingat. Tentang seorang gadis yang baik hati, dan saudara tiri nya yang…. kebalikan nya. Setiap kali ada hal baik yang terjadi pada sang gadis itu, saudara tiri nya pasti gak mau terima, dan ingin mendapatkan yang lebih baik.
Hingga suatu hari sang gadis mendapatkan labu berisi emas dari seorang penyihir. Seperti biasa, saudara tiri nya iri dan tidak mau kalah, dan meminta labu kepada penyihir itu juga. Tapi ternyata isi labu yang dia ambil dengan dengki itu berisi ular berbisa!
Kita pasti tau ini cerita apa. Meskipun cerita rakyat ini berasal dari Riau, setiap orang Indonesia pasti mengenal nya, Bawang Merah dan Bawang Putih.
Cerita ini, seperti banyak cerita lain nya memiliki pesan moral, yang dapat dipahami dengan mudah oleh orang-orang, apalagi anak-anak. Saat anak-anak di ceritakan Bawang Merah, Bawang Putih mereka belajar berempati dengan karakter-karakter nya. Mereka bisa memahami bahwa iri, dengki adalah sifat-sifat yang memberikan hasil yang buruk, dan sifat-sifat baik hati nya Bawang Putih patut untuk di contoh.
Nah, bayangkan jika anak-anak tidak diceritakan ini, tapi malah di ceramahin, “Hey anak-anak, kalian jangan gampang iri ya! Jangan dengki juga!”
Kira-kira cara mana yang lebih ampuh?
Proses belajar mengajar ini adalah hal yang membuat manusia bisa menjadi makhluk yang berhasil mendominasi dunia ini bahkan suatu saat, luar angkasa. Dan sebelum ada nya institusi pendidikan, nenek moyang kita tetap harus bisa mengajarkan hal-hal penting kepada anak-anak nya agar mereka bisa bertahan hidup, dan melanjutkan spesies manusia.
Mereka memiliki berbagai macam cara, salah satu nya tentu adalah bermain. Tapi ada satu cara lain, yang mungkin sudah diteliti lebih dalam lagi adalah storytelling (Rossiter, 2002). Penggunaan narasi di dalam pendidikan memang sudah sangat populer, bahkan sudah ada ratusan buku mengenai pendidikan dan narasi.
Di antara guru-guru kreatif di sini pasti sudah banyak yang menerapkan. Tapi tidak ada salah nya kita mempelajari bersama, kenapa nasi bisa efektif untuk mengajar. Tentu mempelajari ini akan memberikan kita wawasan lebih dalam mengenai penggunaan cerita dalam mendidik.
Image by Comfreak from Pixabay
Perhatian Murid
Untuk memastikan sesi belajar bisa mewujudkan hasil yang bermakna ada hal yang harus diperhatikan sebelum belajar. Yaitu kondisi psikologis murid-mudi, apakah mereka siap belajar? Apakah mereka sanggup memberikan perhatian sepenuhnya kepada materi pembelajaran?
Di sini letak manfaat penggunaan narasi untuk mengajar. Manusia terbiasa memberikan perhatian yang tinggi saat sebuah informasi disampaikan melalui cerita. (Rijinja & Van der Jagt, 2004). Jika orang dewasa saja lebih senang mendengarkan cerita di banding ceramah, apalagi anak-anak.
Salah satu tantangan pendidikan adalah motivasi pelajar. Kita tahu bahwa masih banyak anak-anak kita yang tidak suka belajar. Mungkin di sini narasi bisa menjadi solusi nya, kita bisa mencoba membuat materi-materi pembelajaran menjadi menarik dengan ada nya narasi di kelas kita, tentu nya agar mereka lebih semangat belajar.
Meningkatkan daya ingat
Ada konsensus dalam literatur bahwa storytelling adalah sarana yang sangat alami dan powerfull untuk menyampaikan, mempelajari, dan menyimpan informasi (Eck, 2006) sederhana nya, apa pun yang kita pelajari lewat cerita lebih mudah teringat oleh kita.
Salah satu alasan nya adalah faktor emosi. Bahwa di sebuah cerita kita tidak hanya mengkonsumsi informasi, tapi cerita juga mengeluarkan emosi yang kuat. Di saat emosi ini ada bagian kognitif otak aktif dan sanggup menyimpan informasi baru (Perry, 2005)
Jika kita bisa bercerita dengan baik, dan mengajak murid kita naik emotional roller coaster bersama, sesi pembelajaran pasti menjadi sangat mengesankan.
Wawasan yang luas
Sebuah cerita memiliki berbagai macam tokoh, dengan motivasi, tantangan dan keinginan yang berbeda-beda, dan mengalami perjalanan yang penuh arti. Dari sebuah cerita manusia belajar memahami berbagai macam pandangan dunia, dan pengalaman hidup (Rossiter, 2002).
Seperti yang kita lihat di contoh cerita Bawang Merah, Bawang Putih anak-anak bisa mempelajari karakter yang baik dan buruk dari sebuah cerita. Belajar dari cerita memberi kita kesempatan untuk belajar dari pengalaman tokoh itu, atau orang lain ketika cerita itu sebuah kisah nyata.
Dalam kata lain, cerita memungkinkan kita untuk menghidupi ratusan kehidupan lain, dan belajar dari setiap kehidupan itu. Dari sini, karakter dan moralitas kita akan terbentuk dengan baik, sehingga kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.
Sumber:
Eck, J. E. (2006). An Analysis of the Effectiveness of Storytelling with Adult Learners in Supervisory Management (Doctoral dissertation, University of Wisconsin-Stout).
Rijnja, R. van der Jagt. (2004) Storytelling: the power of stories in communication, Kluwer, Alphen aan de Rijn, 2004.
Perry, B. (2005). How the brain learns best. Scholastic Inc, 11 O(4). Retrieved June 1,2005 from the Ebsco Host database. Psychological foundations of organizational behavior
Rossiter, M. (2002). Narrative and Stories in Adult Teaching and Learning. ERIC Digest.
Ini mungkin yang bisa disetujui bersama, pertama bahwa semangat belajar memang sangat penting, kedua bahwa masih banyak murid-murid kita yang tidak suka belajar. Untuk mereka belajar itu merupakan tanggung jawab yang berat, dan pelajaran-pelajaran yang seharus nya sangat menarik malah menjadi membosankan untuk mereka.
Di sini kita akan menjelaskan kenapa playful learning sangat penting untuk hasil pembelajaran yang maksimal.
Sebelum kita beranjak kepada playful learning, sebaik nya kita menyetujui apa yang kita maksud dari meningkatkan kualitas pendidikan. Lebih khususnya dimana letak kekurangan atau kelemahan sistem pendidikan kita sekarang yang bisa diperbaiki dengan playful learning.
Setiap orang tentu memiliki prioritas sendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mungkin ada yang berpendapat bahwa yang paling penting adalah kualitas pendidik, buku, infrastruktur, teknologi, kurikulum, atau lain nya.
Sekarang Ludenara fokus nya dimana?
Di Ludenara sendiri kita memikirkan bahwa ada satu hal yang mungkin lebih penting dari itu semua, yaitu semangat dan motivasi belajar murid. Kita ingin mengubah mindset mereka sehingga belajar menjadi suatu aktivitas yang di nanti-nanti, dimana mereka bisa bersenang-senang sambil menambah ilmu dan keterampilan baru, ini sumber dari semangat semangat belajar yang tidak mudah pudar. Kita ingin mengingatkan mereka bahwa mata-mata pelajaran akademis itu penuh dengan ilmu yang sangat menarik sehingga mereka tidak sabar untuk mempelajari lebih dalam lagi.
Kemampuan menumbuhkan dan memaksimalkan semangat belajar ini lah yang kita percaya sebagai pondasi kualitas pendidikan yang baik. Semangat yang akan terus mendorong mereka untuk belajar meskipun segala fasilitas pendukung kurang memadai, semangat yang akan mendorong kreativitas mereka untuk mencari cara belajar lain, atau bahkan mencari hal lain yang bisa dipelajari. Kita menginginkan semangat belajar ini selalu ada hingga di masa depan anak-anak kita, dengan itu mereka akan terus menerus meningkatkan kualitas individual mereka sepanjang umur nya sebagai life-long playful learner.
Ada pengalaman Mas Nuno yang bisa melihatkan kita bahwa dengan ada semangat dan motivasi, anak-anak sangat sanggup untuk belajar sendiri secara efektif meskipun pandemi Covid-19 sedang marak dan menghalangi proses pembelajaran.
Tidak hanya sekedar belajar, murid Mas Nuno juga bisa menerapkan ilmu yang di pelajari sehingga menjadi beramnfaat bagi teman-teman sekitar nya.
Pemikiran bahwa motivasi sebagai kunci pendidikan yang baik bukan lah pemikiran yang asing, dan memiliki pondasi ilmiah yang kuat. Salah satu contoh nya adalah sebuah penelitian nasional di Amerika menemukan bahwa, motivasi adalah kunci untuk kegigihan dan pembelajaran yang berkelanjutan. Tantangan nya adalah membantu setiap murid mengklarifikasi tujuan nya dan kemudian menemukan, atau menciptakan, pengalaman belajar yang mengarah pada hasil yang diinginkan (Chickering & Kuh, 2005).
Jika kita bisa membuat belajar sebagai aktivitas yang asyik, seru, menyenangkan, membahagiakan, menggembirakan, dan sinonim lain nya, pasti kualitas siswa-siswi kita sebagai pembelajar akan meningkat. Jadi, karena mereka lebih giat belajar mereka akan lebih sering belajar, dan setiap kali mereka belajar akan lebih efektif pasti nya kemungkinan mereka untuk meraih kesuksesan pun akan melambung.
Perjalanan menuju kesuksesan lewat playful learning ini bisa dilihat melalui 4E (Enjoy, Easy, Expert, Earn)
Made with slidesgo
Enjoy → Easy
Ini kunci pertama dari kesuksesan pendidikan anak-anak kita. Jika mereka tidak menikmati pendidikan, dan merasa belajar adalah beban yang berat tentu pendidikan tidak akan memberi hasil yang baik, malah membuat anak-anak stress dan merusak kesehatan mental mereka. Selanjut nya kita harus bertanya, apakah benar enjoyment ini bisa meningkatkan efektifitas belajar?
Kita memang bisa berintrospeksi dari pengalaman sendiri, ketika kita mempelajari apa pun dengan senang hati, pasti lebih cepat kita mempelajarinya, dan kita bisa terus belajar sebanyak apapun yang harus dipelajari, karena kita mendapatkan kebahagiaan dari situ. Tapi untuk lebih pasti, kita juga bisa melihat penelitian di bidang pendidikan. Hasil penelitian sekolah-sekolah Amerika dan Inggris mengusulkan bahwa ketiadaan enjoyment adalah salah satu alasan mendasar mengapa anak-anak gagal mencapai potensi mereka (Goetz et al. 2006; Shernoff et al. 2003). Sebuah analisa mengenai hubungan antara enjoyment dan hasil pembelajaran, menunjukkan bahwa enjoyment menghasilkan flow state, mengurangi kecemasan, dan membuat murid menjadi nyaman, sehingga belajar menjadi lebih mudah (Lumby, 2011).
Easy → Expert
Tentu saat suatu materi pelajaran atau bahkan bidang ilmiah dengan mudah bisa anak-anak pelajari, ditambah dengan semangat belajar anak terus ada pasti dengan sendiri nya dia anak bisa memahami sebuah bidang itu. Ini prinsip dasar mengapa playful learning bisa membantu anak-anak kita.
Playful learning berada di dalam teori pembelajaran constructivism (Rice, 2009) dimana teori ini menjelaskan dengan baik kenapa belajar secara aktif seperti bermain bisa memberikan hasil pembelajaran yang baik. Playful learning tidak hanya membuat pembelajaran menjadi lebih mudah, namun teori ini juga menjelaskan bahwa kita mempelajari sesuai akan lebih dalam, dimana murid tidak hanya secara pasif mengkonsumsi materi, namun secara aktif membangun ilmu atau keterampilan baru.
Teori ini menjelaskan bahwa ilmu terbentuk saat individu merangkai nya dari interpretasi pengalaman yang didapatkan (Gagnon and Collay, 2006). Menurut teori ini kita bisa belajar lebih mendalam karena makna pembelajaran tidak bisa diberi atau diajarkan oleh guru kepada murid, tapi harus dikonstruksikan oleh seorang murid itu sendiri berdasarkan pengalaman yang mereka lewati (Biggs, 1999).
Expert → Earn
Menurut kita playful learning ini lah suatu metode belajar yang bisa meluncurkan anak-anak kita agar mereka menjadi ahli-ahli yang bisa berkontribusi dengan baik kepada masyarakat. Ahli yang kita harapkan sendiri berbeda dari sekedar sukses, kompeten dan mahir pada bidang nya, tapi juga kreatif. Sampai tahap ini pun, playful learning tetap sangat relevan. Dengan playful learning kita mencoba merubah mindset bahwa belajar itu bermain, karena ini bagian besar dari kreativitas. Bermain bisa menjadi pendekatan yang merangsang, mendorong ilmu untuk terangkai dan juga mendorong kreativitas dan imajinasi secara bersamaan (Lieberman, 1977)
Kreativitas dan inovasi sangat dibutuhkan negara kita, selain Indonesia masih sering kalah di dalam persaingan global, kreativitas dan inovasi ini merupakan hal yang sangat bisa mendorong ekonomi Indonesia sehingga kita sebagai rakyat bisa merasakan hasil nya langsung, dan berkembang bersama.
Terlepas dari itu, belajar seperti ini sangat memungkinkan mereka untuk memiliki kualitas lifelong playful learner yang terus meningkatkan kualitas diri nya sebagai individu. Ini lah yang kita inginkan, agar anak-anak kita bisa menjadi expert kreatif yang tidak pernah berhenti berkembang. Semua ini awal nya dari playful learning.
Sumber:
Biggs, J. (1999). Teaching for quality learning at university. Buckingham: Open University Press
Chickering, A. W., & Kuh, G.D. (2005). Promoting student success: Creating conditions so every student can learn.
Lieberman, J. N. (1977). Playfulness: Its relationship to imagination and creativity. New York: Academic Press.
Louis Rice (2009) Playful Learning, Journal for Education in the Built Environment, 4:2, 94-108, DOI: 10.11120/jebe.2009.04020094
Lumby, J. (2011). Enjoyment and learning: Policy and secondary school learners’ experience in England. British Educational Research Journal, 37(2), 247-264.
Gagnon, G. W. & Collay, M. (2006). Constructivist learning design: Key questions for teaching to standards. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Goetz, T., Nathan C., Hall, B., Anne, C., Frenzel, A., & Pekrun, R. (2006). A hierarchical conceptualization of enjoyment in students. Learning and Instruction, 16, 323-338.
Shernoff, D.J., Csikszentmihalyi, M., Schneider, B., & Shernoff, E.S. (2003). Student engagement in high school classrooms from the perspective of flow theory. School Psychology Quarterly, 18(2), 158-176.
Merdeka belajar! Itu sebuah motto di dunia pendidikan yang sekarang sering kali kita dengar.
Memang di dunia pendidikan “freedom” sering kali ditunjuk sebagai hal yang kita butuhkan. Bukan hanya dari Mas Menteri Nadiem saja, banyak peneliti, penerap, dan filsafat pendidikan yang menjunjung tinggi hal ini. Contohnya saja 3 tokoh yang mempengaruhi filosofi Bapak Pendidikan Nasional saja, sangat mementingkan kebebasan dalam filosofi pendidikan nya. MIT Educational Arcade pun mengeluarkan teori 4 freedoms of play, 4 kondisi dimana pembelajaran terjadi dengan maksimal. Salah satu alasan mengapa bermain adalah cara belajar yang unggul juga karena freedom adalah elemen utama yang harus ada sehingga sebuah aktifitas bisa didefinisikan sebagai bermain.
Sekarang ayo coba kita pertanyakan, kenapa “freedom”? Seberapa pentingnya kebebasan dalam pendidikan, atau perkembangan anak?
Freedom brings the most optimal psychological condition for learning
Image by Free-Photos from Pixabay
Kita bisa mulai dari menjabarkan apa yang bisa membuat proses belajar menjadi efektif, sehingga upaya, dan tenaga yang kita kerahkan akan mendapatkan hasil yang optimal. Sesuai affective learning theory, kondisi psikologis anak harus berada di tempat yang tepat sehingga pembelajaran bisa terjadi dengan baik. Ini termasuk motivasi, emosi, dan minat mereka.
Kita sendiri pasti sering mengalami, ketika kita merasa terpaksa, atau bahkan di paksa untuk belajar, tentu motivasi tidak akan muncul, dan sangat susah untuk kita menjadi tertarik dengan materi yang kita pelajari. Sebalik nya juga benar, ketika kita sendiri yang memilih ingin belajar apa, dan apalagi bebas menentukan tujuan dari pembelajaran kita apa, tentu kita kan termotivasi.
Memang motivasi adalah faktor yang sangat besar, salah satu penelitian mengenai kesuksesan belajar menyimpulkan “Motivasi adalah kunci untuk kegigihan dan pembelajaran yang berkelanjutan.” (Chickering and Kuh, 2005). Jika kita termotivasi untuk belajar, tentu kita akan terus menerus belajar. Begitu juga dengan minat, tentu kita akan belajar lebih banyak, lebih jauh, dan lebih niat jika kita mempelajari hal yang sesuai minat kita. Dan jangan lupa, jika kita senang saat belajar, tentu belajar menjadi sangat ringan dan efektif.
Freedom to reach our fullest potential
Photo by Pablo Heimplatz on Unsplash
Kebebasan lah faktor utama yang bisa membuat kondisi di atas itu ada di saat kita belajar. Di saat kita bukan hanya bebas memilih belajar apa, tapi juga bebas memilih cara belajar kita, di sini lah kita mendapatkan kondisi psikologis yang optimal. Memilih belajar apa ini tidak bisa disepelekan, jika kita setuju bahwa setiap anak berhak meraih potensi maksimal mereka, bagaimana mereka bisa meraih itu jika tidak diberikan kebebasan untuk menemukan bakat mereka dimana, bayangkan jika Ronaldo tidak dibolehkan main bola, atau Albert Einstein tidak dibolehkan bermain dengan fisika teoritis….
Iya kebebasn ini merupakan langkah awal untuk kita meraih potensi kita.
Memang kita tidak bisa memaksakan cuman mau belajar yang aku mau aja.. Kita masih memiliki kewajiban untuk belajar banyak hal lain karena memang penting untuk memiliki pandangan yang luas, namun faktor kebebasan tetap harus ada untuk pembelajaran yang optimal. Di sini kenapa game based learning menjadi penting. Penelitian telah membuktikan bahwa ketertarikan pelajar pada sebuah bidang studi terbentuk setelah mereka memainkan games yang berlandasan topik itu (Miller et al. 2011). Mengetahui ini kita bisa menggunakan GBL dalam mengajarkan topik atau materi yang sebagian besar anak anggap membosankan. Lalu dengan menggunakan games dengan senang hati mereka akan memberikan atensi mereka kepada topik itu.
Diluar dari itu, kebebasan tetap menjadi faktor yang besar dalam efektivitas belajar, ketika kita terpaksa belajar, tidak mungkin kita bisa belajar dengan baik. Mungkin ketika kita belajar hal yang kita benci, motivasi kita cepat pudar, dan ketika kita kita harus memaksakan diri untuk belajar, ini saat nya mencari motivasi itu kembali. Kita bisa mencoba membaca buku yang lain, mencari film dokumenter yang menarik, atau mencari game yang menyinggung topik yang kita ingin pelajari.
Freedom for a more holistic learning
Kita tahu bahwa IQ atau logical intelligence hanyalah satu segmen dari luas nya multiple intelligence yang dimiliki manusia. Namun sayangnya sistem pendidikan yang sangat baku hanya bisa fokus terhadap intelligence ini saja. Mendidik anak harus lebih holistik dimana anak tidak hanya meningkatkan nilai akademis nya saja, tapi juga meningkatkan aspek intelligence yang lain. Kita sendiri tahu bahwa beberapa anak kita yang sering kita mendapatkan nilai ujian yang kurang, atau memang secara keseluruhan performa akademis nya tidak pernah memuaskan memiliki kepintaran lain yang tidak bisa terlihat di dalam sistem dengan pandangan yang sempit.
Memberikan anak kebebasan untuk mencoba berbagai macam aktivitas, dan belajar berbagai macam hal akan memberi anak itu kesempatan lebih besar untuk menemukan intelligence yang dia miliki, yang membuat nya unggul, daripada memaksakan anak itu untuk memiliki kepintaran akademis yang belum tentu juga akan bermanfaat di kehidupannya di masa depan.
Kita juga harus terbuka bahwa multiple intelligence ini tidak sempurna. Dan kita bisa memberi argumen bahwa masih banyak lagi kecerdasan, atau keterampilan manusia yang tidak tercantum di dalam teori multiple intelligence. Contohnya saja 21st century skills, di antaranya ada adaptability, persistence, initiative dan mungkin ada lagi yang tidak tercantum dalam multiple intelligence. Dengan kebebasan untuk mengeksplorasi taleta, minat, mencoba berbagai macam aktivitas yang merangsang rasa ingin tahu anak dan mendorongnya untuk terus mengenali diri nya sendiri lebih dalam tentu semakin mungkin anak itu menemukan hal yang membuat diri nya spesial.
Ini bukan sekedar menemukan intelligence atau skill yang mereka bisa mahiri. Tapi kebebasan membuat pendidikan lebih holistik. Dengan melakukan berbagai macam aktivitas, mempelajari berbagai macam hal, maka segala aspek fungsi manusia akan terasah, dari intelligence, knowledge, dan juga skills. Jika kita belajar dengan cara yang sama terus menerus, maka hanya satu aspek itu yang akan terus terasah dan terlatih.
Freedom, Responsibility, and Independence
Ini mungkin mengagetkan, namun kebebasan lah yang mengajarkan anak-anak tanggung jawab. Setiap keputusan, dan tindakan kita menimbulkan konsekuensi, tidak menginginkan konsekunesi yang berat adalah awal dari tanggung jawab. Pemikiran ini bisa kita dapatkan dari mempelajari lebih dalam filosofi Maria Montessori. Tentu menurutnya anak-anak tidak bisa diberikan kebebasan sepenuhnya, dengan mudah anak itu bisa melukai diri nya, atau pun teman nya. Maria Montessori memiliki konsep “inner freedom” dan ini kebebasan yang ideal menurutnya. Inner freedom membebas kan anak itu dari tindakan impulsif, di mana anak itu di kontrol oleh faktor-faktor internal seperti biologis atau emosi untuk melakukan hal-hal yang kuran baik
Inner freedom ini ada ketika anak memiliki self-control, dan tidak dikendalikan oleh faktor internal itu. Tentu ini memang sulit, bahkan orang dewasa masih banyak yang tidak memiliki inner freedom dan memikirkan ego nya mengontrol perilakunya. Tapi menurut Maria Montessori memberikan kebebasan yang terstruktur pada anak-anak adalah awal yang baik. “Freedom with limits” ini sangat luas pembahasannya, tapi singkat cerita, anak-anak harus diberi kebebasan untuk belajar dan melakukan aktivitas yang diinginkan selama itu tidak menyakiti atau merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
Kebebasan ini juga merupakan aspek yang sangat penting untuk membentuk anak menjadi mandiri, dan mengembangkan kepribadian yang kuat.
Ada satu hal lagi yang penting di dalam konteks kemandirian yang datang dari freedom. Yaitu kemampuan untuk lifelong learning. Lifelong learning sendiri membutuhkan kebebasan dan juga kemampuan untuk mengoptimalkan kebebasan ini. Hal ini bukan lah hal baru, Jean-Jacques Rousseau filsafat dari abad ke-18 di buku nya “Émile, ou De l’éducation” Roussau menulis tentang ini.
Freedom for an egalitarian education
Ada satu hal yang harus selalu diingat oleh pendidik. Bahwa kita juga masih belajar, dan akan terus belajar, dan salah satu guru terbaik yang bisa didapatkan oleh seorang pengajar adalah murid nya. Pendidikan yang baik terjadi secara dua arah, murid belajar dari guru, dan guru belajar dari murid.
Dengan memberikan kebebasan dalam mendidik, sang pendidik akan terus menemukan hal baru, situasi yang baru, melihat kreativitas dan individualitas dari setiap murid nya, tentu banyak yang bisa di pelajari dari sini. Dengan memberikan kebebasan anak untuk memberi opini dan pendapatnya, kita sendiri bisa belajar banyak hal yang baru. Dari sini pendidik akan terus berkembang, dan tidak terjebak di dalam status-quo dimana pendidik hanya mengulang lagi dan lagi apa yang ia ajarkan.
Seperti yang Tagore ajarkan,
Sumber:
Chickering, A., & Kuh, G.D. (2005). Promoting Student Success: Creating Conditions So Every Student Can Learn. Occasional Paper No. 3.
Montessori, M. (2015). The Education of the Individual. NAMTA Journal, 40(2), 15-28.
Miller, L. M., Chang, C. I., Wang, S., Beier, M. E., & Klisch, Y. (2011). Learning and motivational impacts of a multimedia science game. Computers & Education, 57, 1425–1433.
Peckover, C. (2012). Realizing the Natural Self: Rousseau and the Current System of Education. Philosophical Studies in Education, 43, 84-94.
Sekolah kan tempat nya belajar ya, dan untuk meningkatkan kualitas sekolahan, tentu logika mengatakan yaa, tambahkan jam belajar nya, atau tingkatkan kualitas pembelajaran dan guru nya atau berikan buku-buku yang lebih bagus. Mungkin hal-hal itu bisa memberikan dampak yang baik, tapi menambahkan jam belajar harus hati hati, karena setelah diteliti malah ningkatin stress dan kesehatan mental anak pun berkurang (Gray, 2011).
Nah terus ada nggak ya intervensi nggak ada resiko nya, dan dampak positif nya banyak, bukan cuma di akademis, tapi di karakter anak juga, terlalu impossible gak si ini?
Nah ternyata tidak impossible, dan mungkin melawan logika kita. Intervensi pendidikan yang sangat ampuh dalam meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya untuk karakter anak adalah ketika kita bukan menambahkan jam belajar, tapi jam bermain!
Pada tahun ajaran 2010-2011 Stanford University bersama dengan Mathematica Policy Research mengadakan penelitian mengenai ini. Mereka mengadakan intervensi bermain berstruktur kepada 14 sekolah negeri, dan mengobservasi 11 sekolah negeri lain nya sebagai perbandingan.
Stanford University Campus
Setelah diteliti intervensi ini memberikan dampak sebagai berikut:
Tingkat bullying dan perilaku eksklusif pada murid-murid berkurang sebanyak 43%
Murid-murid lebih pandai dalam resolusi konflik
Guru merasa murid-murid lebih aman di lingkungan sekolah.
Rasa kebersamaan diantara murid ke murid dan murid ke guru meningkat
Transisi dari istirahat ke aktivitas belajar 27% lebih cepat
Murid-murid menunjukan perilaku yang lebih baik dan fokus meningkat di ruang kelas
Murid-murid menunjukan perilaku yang lebih baik di saat jam istirahat
Perlu diingat bahwa kemungkinan masih banyak lagi dampak positif dari intervensi ini yang tidak terdata. Karena memang intervensi ini hanya diukur menggunakan 6 kriteria yang mereka ingin lihat. Hal lain seperti kreativitas, kemampuan mereka bekerja sama, atau motivasi saat belajar bisa jadi ada, namun tidak terlihat karena tidak di lihat.
Nah intervensi bermain berstruktur ini seperti apa sih?
Ada 4 tipe aktivitas bermain yang diterapkan oleh Playworks di setiap sekolah.
Bermain berstruktur di jam istirahat
Selama intervensi ini berlanjut, para pelatih dari Playworks mengajak (tanpa memaksa) anak-anak untuk berpartisipasi dalam permainan-permainan terstruktur dan dipimpin oleh mereka aktifitas ini mengambil 60% dari jam istirahat mereka. Para pelatih merancang aktivitas yang seru dimana mereka bisa belajar leadership, resolusi konflik, dan perilaku inklusif. Di saat ini para pelatih juga memberi penekanan kepada penggunaan bahasa yang positif.
Bermain di dalam kelas
Di saat ini pelatih dari Playworks merancang permainan yang mendidik utuk anak-anak yang juga di ikuti oleh guru mereka. Sebagian besar guru (72%) sangat senang dengan aktivitas ini dan merasa ini memberikan dampak positif kepada murid-murid mereka. Sebagian kecil guru merasa ini mengganggu aktivitas pembelajaran, antara lain permasalahannya mengenai schedule, dan ketidakmampuan untuk bekerja sama dengan pelatih Playworks.
Program pelatih junior
Di dalam program ini, para pelatih Playworks mengajarkan murid-murid untuk menjadi fasilitator sesi bermain adik kelas mereka. Murid-murid ini mendapatkan banyak kesempatan mengasah leadership, dan social skills mereka.
Bermain berstruktur setelah sekolah
Para pelatih palyworks juga mengajak anank-anak dan guru-guru untuk belajar dan bermain bersama setelah pulang sekolah. Ini menyediakan aktivitas yang berstruktur di saat anak-anak masih menunggu jemputan atau memang belum bisa di jemput tepat waktu.
Melihat banyaknya dampak positif yang di hasil kan oleh intervensi seperti ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa intervensi yang terlalu formal di dunia pendidikan seperti nya tidak cukup. Dan disinilah Ludenara bangga bahwa kami sedang merancang intervensi di dunia pendidikan yang mengutamakan playful learning dan games, nah pasti bakal keren nih! ditunggu yaa..
Sumber:
Bleeker, M., James-Burdumy, S., Beyler, N., Dodd, A. H., London, R. A., Westrich, L., … & Castrechini, S. (2012). Findings from a Randomized Experiment of Playworks: Selected Results from Cohort 1. Mathematica Policy Research, Inc.
Gray, P. (2011). The decline of play and the rise of psychopathology in children and adolescents. American Journal of Play, 3(4), 443-463.
Seperti yang kita bisa lihat dari tokoh-tokoh pendidikan yang mempengaruhi filosofi Bapak Pendidikan Nasional kita, bermain dan playfulness berada di tempat yang sangat sentral dalam filosofi pendidikan yang baik. Dan kalau intelektual-intellectual ini menunjukkan ke arah playful learning ini, pasti konsep ini akan memberi kita banyak pencerahan mengenai pendidikan jika kita dalami lagi.
Pendidikan sendiri kita semua bisa seuju tujuan utamanya adalah untuk memastikan kesuksesan murid di masa depan, hingga dia bisa menjadi berguna untuk masyarakat. Nah di sini yang rada repot mendefinisikan kesuksesan, pasti setiap orang punya bayangan nya sendiri tentang kesuksesan. Tapi di sini lah keren nya bermain muncul!
Sekarang coba perhatikan hal-hal yang bisa memaksimalkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, kita bisa melihat bahwa setiap hal ini memiliki hubungan yang erat dengan bermain. Ini lah yang juga sering dimaksud dengan holistic education
Berikut adalah beberapa hal yang berhubungan erat dengan bermain dan sudah dibahas di artikel-artikel sebelum nya;
Bahkan banyak advokat bermain yang juga menekankan aspek spiritual dari bermain, seperti Friedrich Froebel. Tapi itu terlalu dalam, dan kalo kita bahas sekarang artikel ini lama-lama jadi buku. Dan demi pembaca, artikel Ludenara lebih enak kalo gak terlalu berat.
Nah bagaimana pun kita membayangkan kesuksesan buat anak dan murid kita, pasti mencantumkan beberapa hal ini, dan gak salah juga kalo kita ingin anak kita memiliki semua kehebatan di atas itu, naah makanya main yang bener, haha…
Sekarang ada pertanyaan yang sangat menarik, bahwa kenapa bisa suatu aktivitas bisa sangat penting untuk kesejahteraan manusia. Untuk menjawab pertanyaan ini kita terlebih dulu harus membahas sebenarnya, what the actual heck is play?
Memang kita pasti sudah paham apa sih main itu, orang dari bayi juga udah main ko, pas anak-anak apa lagi maiiiiin terus kerjaannya, remaja, dewasa pasti kita masih suka main!
Terus kenapa kita harus nanya lagi? Ternyata mempelajari “play” sendiri bisa memberikan wawasan tentang sifat manusia, struktur sosial, dan mengetahui bermain seperti apa yang baik, dan yang tidak.
Ternyata play sangat sulit untuk didefinisikan, hal ini banyak sekali diperdebatkan dari perspektif psychology, teori pendidikan, filsafat, hingga para pelajar perilaku hewan. Sampai-sampai buku yang paling terkenal tentang ini berjudul The Ambiguity of Play, dimana filsafat modern Brian Sutton-Smith mempelajari ratusan teori dan penelitian tentang bermain,
Hah ratusan? yaah…. kalo di bahas kayaknya berat banget nih. Jadi supaya tidak terlalu berat, kita ambil satu cara pandang saja yaitu edukasi, dan menanyakan bermain itu seperti apa sehingga bisa sangat mendidik, dan mengembangkan anak-anak sepenuhnya, lalu perspektif lain akan dibahas di artikel yang berbeda.
Freedom
Hal yang memungkinkan setiap orang menemukan bakan dan pasion nya adalah freedom. Lebih tepat nya lagi freedom to explore. Pada saat bermain kita mengeksplorasi apa pun sesuai hal yang kita anggap menarik, dan setelah melakukan eksplorasi yang cukup setiap orang pun pasti bisa menemukan bakat nya.
Setelah itu seperti yang bisa dipelajari dari filosofi pendidikan Maria Montessori dan juga Rabindranath Tagore, kebebasan sangat lah penting untuk menciptakan pendidikan yang efektif. Ini mengapa mereka mengutamakan bermain. Kenyataannya bermain memiliki sifat kebebasan yang tinggi. Setiap partisipan harus ingin bermain tanpa paksaan, di saat mereka di paksa untuk bermain, aktivitas ini sudah keluar dari definisi bermain dan semua manfaat bermain pun hilang.
Di saat bermain setiap orang merasakan kebebasan di tingkat yang lebih tinggi dari kesehariannya. Di sini manusia bisa mengekspresikan dirinya dengan lebih bebas lagi, tidak terpaksa melakukan hal yang tidak diinginkan dan lebih spontan, ini menjadi pupuk untuk kreatifitas manusia.
Sifat kebebasan ini juga mempromosikan pendidikan yang egaliter, dimana bukan hanya murid yang belajar dari guru, tapi guru juga berkesempatan untuk belajar dari murid-murid nya. Suatu hal yang sangat ditekankan oleh Tagore.
Intrinsically Motivating
Aktivitas yang seru, asik dan semua sinonim menggembirakan lain nya. Ini pasti sifat bermain yang paling kita kenal. Bahwa ada di dalam sifat manusia yang mendalam dimana kita terdorong untuk mencari aktivitas yang menyenangkan.
Di sinilah banyak manfaat playful learning bisa di lihat. Bahwa dengan merancang aktivitas pembelajaran yang serasa bermain anak-anak akan termotivasi dan semangat untuk belajar lag idan lagi. Ini juga manfaat utama yang telah banyak terdata di dunia akademis yang mempelajari manfaat bermain untuk pendidikan.
An End In Itself
Di saat bermain, kita bermain karena kita ingin bermain. Bukan karena motivasi eksternal materialistis seperti untuk mencari uang, mendapatkan penghargaan dan lain-lain.
Hal ini lah yang menciptakan kondisi terbaik untuk kita belajar. Mungkin ini memasuki ranah “spiritual” tapi tanpa motivasi external, keikhlasan terjadi dengan sendirinya. Di saat kita playful kita akan jauh lebih fokus, kondisi psikologis berada di tempat yang optimal, kita bisa mencerna informasi dengan lebih baik dan proses kognitif kita berjalan lancar. Ada quote dari Tagore yang sangat berhubungan dengan konsep ini dan bisa membantu menjelaskan nya
“Our purpose wants to occupy all the mind’s attention for itself, obstructing the full view of most of the things around us. The child, because it has no conscious object of life beyond living, can see all things around it, can hear every sound with a perfect freedom of attention, not having to exercise choice in the collection of information.” – Rabindranath Tagore
Menurutnya yang menghambat proses pembelajaran adah purpose, atau motivasi external ini.
Simulation
Banyak Play Theorist yang mengutamakan aspek imajinatif, dan world building dari aktivitas bermain. Dimana kita memencet tombol pause di kehidupan dan tengelam dalam dunia baru yang kita ciptakan bersama saat bermain. Di sini bermain sangat therapeutic, dimana untuk sejenak kita bisa meninggalkan semua kekhawatiran dan permasalahan di dunia nyata.
Untuk pendidikan ini menyediakan tempat yang aman untuk berbuat salah, kita bisa menciptakan masalah-masalah dunia nyata dan bereksperimen dengan berbagai macam cara menanganinya. Kita bisa berimajinasi tentang segala situasi yang bisa kita mainkan bersama untuk mempelajari bagaimana kita bisa berinteraksi dengan situasi itu.
Naah mungkin untuk sementara informasi ini cukup untuk kita sebagai pendidik menelaah aktivitas bermain seperti apa yang baik untuk pendidikan, dan yang kurang baik. Dengan informasi ini, kita bisa bereksperimen dengan berbagai macam permainan, dan dampaknya kepada pendidikan.
Dan seperti yang tadi di bahas, bermain in juga telah di pandang dengan berbagai macam kacamata ilmiah dan filosofis, tapi sebelum ini kami ingin mengucapkan terima kasih atas waktu yang diberikan untuk membaca artikel yang niat nya tadi gak kan berat tapi jadi berat juga….
Sumber:
Henricks, T.S. (2008). The Nature of Play An Overview.
Tidak pernah diragukan lagi, bahwa Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh yang paling di kagumkan oleh pendidik-pendidik di seluruh Indonesia, dan tentunya Ludenara juga sangat menghormati nya. Di eranya, pendidikan Indonesia dibentuk oleh bangsa Belanda dengan 3 landasan utama regering, tucht, orde (perintah, hukuman, dan ketertiban).
Ki Hajar Dewantara pun dengan benar mengkritik pendidikan seperti ini yang mengekang dan menindas anaka-anak, dan beliau pun menstruktur kan filosofi pendidikan yang progresif untuk melawan sistem pendidikan itu.
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara memang sangat mencerahkan, dan pasti sudah banyak yang mempelajari nya. Tapi sebenarnya belajar dari siapa aja si Bapak Pendidikan kita ini? Spoiler dikita ya, mereka juga advokat playful learning lho!
Banyak yang menunjuk Maria Montessori sebagai pendiri student-center learning, di sini Payful Learning menduduki posisi yang sangat sentral dalam filosofi pendidikan Maria Montessori.
Murid-murid Montessori di berikan banyak kebebasan dimana mereka bebas memilih aktivitas yang menyenangkan. Sang guru menyediakan struktur dan tujuan dari pembelajaran.
Panduan yang diberikan oleh guru di pendidikan Montessori dan Playful Learning menyediakan struktur yang memastikan bahwa pembelajaran tetap terjadi di dalam konteks kebebasan (Lillard, 2013)
Untuk menyediakan pembelajaran yang seru ini, Montessori sering mengutamakan interaksi antar murid-murid nya dan banyak aktivitas di mana mereka bekerja dan bermain bersama.
Iya Montessori menekankan “fun” sebagai elemen yang penting dalam pembelajaran. Meskipun terkadang anak-anak di sekolah Montessori terlihat sangat berkonsentrasi, bukan nya main-main dan ketawa-ketawa, pada akhirnya jika ditanya anak-anak ini sangat senang ketika mereka di sekolah.
Mungkin kontribusi Froebel yang paling penting di dunia pendidikan adalah “kindergarten”, dia percaya bahwa dengan bermain anak-anak sudah bisa belajar dari masa kecil.
Dari Froebel kita bisa memahami pentingnya merancang pendidikan yang mendidik anak sepenuh nya (fisik, kognitif, emosional, sosial, dll). Dan dari cara pandang ini lah kita juga jadi bisa lihat bahwa bermain menjadi aktivitas yang utama dalam mendidik anak.
Froebel yakin bahawa seorang anak perlu aktif dan terlibat dalam permainan yang bermakna (Provenzo, 2009). Makanya dia juga sering mendidik dengan menggunakan mainan. Mainan-mainan ini lah yang dikenal sebagai Froebel Gifts, yang masih sering digunakan hingga saat ini.
Kebebasan dan alam, yang disebut “method of nature” inilah fondasi dari filosofi pendidikan Tagore. Tagore mendorong anak-anak untuk berinteraksi dan mengenali dunia luar langsung dibandingkan membaca tentang dunia itu di dalam buku.
Menurutnya dengan metode ini anak-anak akan belajar lebih cepat, kreativitas akan muncul, dan proses pembelajaran akan lebih membahagiakan (The English Writings of Rabindranath Tagore).
Agar “method of nature” bisa berhasil, anak-anak membutuhkan kebebasan. Ini termasuk tingkat “kenakalan” tertentu, yang merupakan ekspresi keingintahuan anak-anak dan pertumbuhan mereka, dan yang tidak hanya diterima Tagore tetapi bahkan diinginkan.
Tidak memiliki kebebasan yang cukup dan disiplin serta hukuman yang keras, kata Tagore, dapat memiliki efek yang menghancurkan dan menurunkan moral pada anak-anak.
Memang bermain tidak secara spesifik dibahas dalam filosofi ini. Namun kita bisa melihat bahwa aktivitas-aktivitas yang didorong oleh Tagor sangatlah playful dan memiliki elemen kebebasan yang tinggi. Dan sebenarnya aktivitas yang kita lakukan dengan senang hati, dimana kita bebas melakukannya tanpa paksaan masuk dalam definisi bermain (Henriks, 2008).
Ini semua sangat berarti untuk Ludenara. Jika tokoh-tokoh pendidikan dunia ini juga mengadvokasikan bermain ini menunjukan bahwa pendekatan Ludenara menuju ke arah yang benar.
Satu hal lagi adalah karena mereka menunjukan kita ke arah ini pasti banyak sekali yang masih kita harus pelajari tentang aktivitas ini. Semua ini tentu akan harus kita terapkan juga sebaik-baik nya untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Sumber:
Henricks, T.S. (2008). The Nature of Play An Overview.
Lillard, A. S. (2013). Playful learning and Montessori education. NAMTA Journal, 38(2), 137-174.
Provenzo Jr, E. F. (2009). Friedrich Froebel’s Gifts: Connecting the Spiritual and Aesthetic to the Real World of Play and Learning. American Journal of Play, 2(1), 85-99.
School Children’, p. 565; Tagore, R. ‘My School.’ The English Writings of Rabindranath Tagore, Volume 4, A Miscellany. Ed. Nityapriya Ghosh. Delhi: Sahitya Akademi, 2006 (1925), 518-23, p. 520. [Hereafter: ‘My School’]
Saat Plato mengatakan “life should be lived as play” ini bisa di interpretasikan sebagai, yah di hidup ini kita main-main aja laah… ngak usah belajar laah, gak usah kerja duluu ngapain stress… santaii ajaaa. Yaah boleh hidup kaya gitu, kita gak ngelarang, haha.
Namun ada cara pandang yang lebih produktif, yang bisa membantu kita meraih potensi kita yang tertinggi, dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat di hidup ini, bahkan ketika kita sudah tidak ada, legatifcy kita tetap memberikan kebaikan-kebaikan. Disini kita bisa melihat play bukan sekedar aktivitas, atau cara pandang, dan bukan sekedar state of flow yang tidak permanen, namun sebagai kondisi kesadaran kita yang playful.
Saat TED talk nya, McGonigal menyatakan bahwa
TEDGlobal 2012 – June 25 – 29, 2012, Edinburgh, Scotland. Photo: James Duncan Davidson
“In the game world we become the best version of our self”.
Menurut nya saat di dunia games kita sangat nyaman dengan diri sendiri, kita bisa mengapresiasi segala hal di sekitar kita, kita tidak takut kegagalan, kita bisa belajar dari kesalahan, kita selalu ingin berkolaborasi, kita bisa memimpin, kita bisa memecahkan masalah lagi dan lagi, dan kita sangat altruis selalu ingin membantu pemain lain. Ini lah kondisi kesadaran playful di dunia game.
Sekarang kita juga bisa melihat definisi dari “play” itu sendiri. Ada 3 yang sangat bermanfaat untuk pembahasan ini (Henriks, 2008). Berikut adalah fersi singkat dari ke-3 definis ini:
Bermain memiliki elemen kebebasan, di saat salah satu partisipan dipaksa atau terpaksa untuk bermain, ini bukan lagi aktifitas yang kita bisa didefinisikan sebagai bermain dan segala manfaat bermain hilang.
Bermain juga sangat cocok dengan sifat manusia yang menginginkan novelty dan kebahagiaan, sehingga aktivitas ini menjadi intrinsically motivating.
Di saat bermain juga kita tidak memiliki motif exterior, dimana kita ingin bermain karena ingin bermain, bukan karena ingin mendapatkan uang, atau mendapatkan hal materialistik lainnya.
Nah dengan definisi-definisi “play” ini kita bisa melihat kondisi kesadaran playful ini lebih jelas lagi. Di kondisi seperti ini, kita sangat termotivasi untuk beraktivitas seperti belajar atau berkarya, kita tidak terpaksa melakukan nya, dan kita tidak memiliki motif exterior sehingga keikhlasan di aktifitas-aktifitas kita tercapai dengan sendiri nya. Tentu hal-hal ini sangat terlihat di gamers yang sedang asik bermain.
Alangkah baiknya jika kita membawa kondisi kesadaran di dunia games itu di kehidupan kita sehari-hari, waaah keren ya. Dan mungkin ini interpretasi “life should be lived as play” yang lebih bermanfaat.
Intrapersonal intelligence dan Playful State of Consciousness, ini lah highlights dari sang Lifelong Playful Learner. Dimana dia memiliki kondisi kesadaran ini di luar dunia games, dan bisa menggunakan tingkat kesadaran ini untuk mengembangkan dirinya, menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Sumber:
Henricks, T.S. (2008). The Nature of Play An Overview.
Jane McGonigal TED talk, gaming can make a better world https://www.youtube.com/watch?v=dE1DuBesGYM&t=233s
Sebagai pengajar pasti kita ingin murid kita tidak hanya bisa belajar saat bersama kita, tapi juga terus belajar secara efektif dengan sendiri nya. Kalau murid-murid dan anak-anak kita bisa gini, mereka pasti akan terus berkembang menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari, sepanjang umurnya.
Nah pasti bukan cuma guru, tapi juga orang tua pengen anak nya bisa kaya gini.
Kita ingin mereka menjadi lifelong playful learner, dimana mereka bisa:
Mendesain “curriculum” sendiri yang di sesuai kan dengan kekuatan, limitasi, dan minat mereka.
Memutuskan tujuan dari pembelajaran mereka
Membuat rencana agar tujuan-tujuan itu bisa tercapai
Menemukan cara belajar yang paling sesuai
Meregulasi perilaku, emosi, dan kognisi diri
Mengevaluasi hasil pembelajaran sendiri
Di sini lah Intrapersonal Intelligence memiliki peran yang sangat besar, karena ini satu bentuk intelligence yang memungkinkan mereka untuk memiliki semua kemampuan di atas. Untuk memastikan anak-anak kita menjadi “lifelong learner” yang baik, meningkatkan intrapersonal intelligence mereka lah awal yang sangat baik.
Istilah intrapersonal intelligence pertama di tuliskan di tahun 90-an oleh Howard Gardner dalam teorinya multiple intelligence. Namun konsep ini sangat tua, filsafat-filsafat Barat seperti Socrates yang sering menyarankan masyarakat Athens untuk “know thyself” sebagai fondasi hidup yang baik, atau Immanuel Kant mengajak kita untuk menggunakan rasionalitas untuk mendapatkan “self-knowledge”.
Depiction of Laozi in E. T. C. Werner’s Myths and Legends of China
Self-knowledge ini juga merupakan hal yang sangat penting di filsafat Timur. Seperti Lao Tzu yang mengatakan “Knowing others is wisdom, knowing yourself is enlightenment.”
Adi Shankara filsuf India juga mengatakan hal yang serupa “Absolute perfection is the consummation of Self-knowledge.”
Yaaah begitulah… memang self-knowledge ini penting banget, dan bahkan bisa jadi ini intelligence yang terpenting yang bisa kita miliki.
Bagaimana kita bisa menjadi diri kita yang terbaik, jika kita tidak tahu diri kita sendiri?
Dan bagaimana kita bisa mendapatkan, atau bahkan mengetahui kehidupan seperti apa yang kita inginkan, jika kita tidak tahu siapa yang menghidupinya?
Intrapersonal intelligence adalah kemampuan kita untuk memahami, mengenali, dan mengetahui semua tentang diri kita sendiri. Intelligence ini meliputi memahami kekuatan dan kelemahan, menyadari mood, emosi, niat, motivasi, dan keinginan diri sendiri, dan kapasitas untuk self-discipline, self-understanding dan self-esteem (Gardner & Hatch, 1989).
Intrapersonal intelligence membantu kita untuk membuat penilaian dan perbedaan antara pemikiran kita sendiri, kita juga bisa membnatun mental model yang akurat tentang diri kita sendiri dan mengandalkan model itu untuk membuat keputusan yang terbaik di dalam kehidupan kita. Intelligence ini juga memudahkan kita untuk mengontrol memotivasi diri kita, serta mengontrol emosi, perilaku, dan bentuk ekspresi diri.
Selain itu intrapersonal intelligence ini juga membantu kita untuk mengoptimalkan The 4 Freedoms of Play, kondisi-kondisi dimana pembelajaran terjadi dengan maksimal.
Freedom to explore mendorong kan kita untuk belajar apa yang kita inginkan, dan cara belajar apa yang kita inginkan. Intrapersonal intelligence akan mempercepat proses ini.
Freedom to fail membolehkan kita untuk gagal dan terus gagal, lalu belajar dari kegagalan itu. Memiliki kemampuan introspeksi akan memungkinkan kita untuk menggali lebih dalam tentang apa yang bisa kita pelajari dari kegagalan.
Freedom of effort menyarankan kita untuk bebas menggunakan usaha senyaman nya kita. Dengan intrapersonal intelligence kita memahami saat-saat kita bisa belajar dan bermain dengan effort yang minimal untuk hasil yang optimal, kita juga memahami kapan energy kita bisa digunakan dengan optimal untuk belajar.
Freedom of identity, Intrapersonal intelligence memudahkan kita untuk mengoptimalkan 3 freedom sebelumnya, namun yang ini terbalik. Dimana freedom of identity, saat kita bebas bermain dengan identitas kita, di saat itulah kita belajar banyak tentang diri kita sendiri.
Dari sini kita bisa melihat hubungan “play” dan intrapersonal intelligence sangat lah erat, dan banyak sekali cara meningkatkan intrapersonal intelligence dengan menggunakan Game Based Learning.
Hal ini lah yang akan di bahas di artikel kita berikutnya.
Thanks for reading! semoga bermanfaat…
Sumber:
Gardner, H. (1983). Frames of mind. New York: Basic Books.
Sellars, M. (2006). The role of intrapersonal intelligence in self-directed learning. Issues in Educational Research, 16(1), 95-119.