Afek murid harus sangat dipedulikan dalam proses pembelajaran.

Afek murid harus sangat dipedulikan dalam proses pembelajaran.

Image by Comfreak from Pixabay

Kondisi emosional, minat, kepercayaan, dan motivasi murid sangat lah penting untuk mendapatkan hasil dari proses pembelajaran. Ini lah prinsip dasar dari teori pembelajaran afektif, teori ini juga menjelaskan bahwa afek sangat mempengaruhi proses kognitif murid saat belajar. Dengan memahami teori pembelajaran ini, kita bisa melihat mengapa Game Based Learning (GBL) bisa sangat membantu proses pembelajaran, dan dengan memahami teori ini kita bisa meningkatkan kualitas sesi GBL kita dan mendapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik lagi.

Dalam konteks pembelajaran domain afek hirarki sesuai dengan tingkat kompleksitas. 

Penerimaan ( Receiving/Attending)

Mengacu kepada kesiapan murid untuk memperhatikan stimulasi yang tepat, juga kemampuan untuk menunjukkan atensi atau penghargaan terhadap orang lain. Dalam domain atau ranah afektif, penerimaan merupakan hasil belajar yang paling dasar dan penting untuk murid melangkah ke tingkat hirarki selanjutnya. Contohnya, mendengarkan penjelasan guru.

Sebagian besar orang dewasa, dan semua anak pasti lebih memilih bermain dibandingkan belajar.Bermain memang membangun motivasi intrinsik, kita bisa gunakan ini untuk mendapatkan perhatian murid. Elemen inti dari game membuat pemain termotivasi secara intrinsik seperti, tantangan, naratif fantasy, dan segala keunikan-keunikan yang membangun rasa ingin tahu (Dondlinger, 2007).

Responsif (Responding)

D tingkat ini murid menjadi terlibat, berinteraksi dan tertarik terhadap suatu materi. Anak memiliki kemampuan berpartisipasi aktif dalam suatu pembelajaran dan selalu memiliki motivasi untuk bereaksi dan mengambil tindakan. Contoh, ikut berpartisipasi dalam diskusi kelas mengenai suatu pelajaran.

Penelitian telah membuktikan bahwa ketertarikan pelajar pada sebuah bidang studi terbentuk setelah mereka memainkan games yang berlandasan topik itu (Miller et al. 2011). Mengetahui ini kita bisa menggunakan GBL dalam mengajarkan topik atau materi yang sebagian besar murid anggap membosankan. Lalu dengan menggunakan games dengan senang hati mereka akan memberikan atensi mereka kepada topik itu. 

Niali (Value)

“Valuing” terjadi saat murid menunjukan keterlibatan atau komitmen terhadap suatu nilai. Saat ini terjadi murid bisa menginternalisasi nilai yang baru mereka pelajari, dan terlihat dengan mereka mengubah perilaku sesuai nilai yang dipelajari. Contoh, murid tidak lagi telat mengerjakan tugas karena memahami pentingnya disiplin.

Organisasi (Organization)

Tujuan dari ranah organisasi adalah penyatuan nilai, sikap yang berbeda yang membuat anak lebih konsisten dan membentuk sistem nilai internalnya sendiri, dan menyelesaikan konflik yang timbul diantaranya. Juga mengharmonisasikan berbagai perbedaan nilai yang ada dan menyelaraskan berbagai perbedaan.

Karakterisasi (Characterization)

Acuan domain ini adalah karakter seorang murid dan gaya hidupnya. Semua hal ini akan tercermin dalam sebuah tingkah laku yang ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial, dan emosi. Nilai – nilai telah berkembang sehingga tingkah laku lebih mudah untuk diperkirakan, lebih konsisten dan terus terlihat di kepribadian dan perilaku murid tersebut.

Values and Game Based Learning

Seperti yang bisa kita lihat “nilai” menjadi muatan central di ketiga tingkat teratas hiraki ini. Dari mengajarkan nilai itu sendiri, mengorganisasi nilai dengan nilai-nilai yang sudah dipegang sebelumnya, hingga perubahan karakter terkait dengan nilai yang dipelajari.

Mengajarkan sesuatu yang cukup abstrak atau “berat” seperti nilai-nilai kepada anak-anak mungkin sangat sulit jika dilakukan dengan cara mengajar baku. Kunci mengajarkan sebuah perspektif atau nilai baru adalah, mengalaminya. Mengalami bagaimana sebuah nilai bisa membentuk individu dan masyarakat yang lebih baik.

Games bisa mensimulasikan sebuah situasi dimana memegang dan bertindak sesuai value tertentu bisa mempengaruhi lingkungan nya. Di sini seorang pemain bisa melihat langsung value apa yang penting. Pemain juga harus mengorganisasikan value yang dia pegang dengan value yang baru saja di pelajari.

Game Statecraft X

Nanyang Technological University, Singapore dimana para peneliti berhasil menggunakan game Statecraft X untuk mengajarkan tentang nilai-nilai kemasyarakatan. Bahwa sebuah masyarakat yang baik membutuhkan berbagai macam sudut pandang, memiliki anggota yang aktif berpartisipasi di lingkungan nya, dan berbagai macam hal lain. (Shan Chee et al. 2009)

 

Sumber:

San Chee, Y., Loke, S. K., & Tan, E. M. (2009). Becoming citizens through game-based learning: A values-driven, process approach to citizenship education. International Journal of Gaming and Computer-Mediated Simulations (IJGCMS), 1(2), 32-51.

 Dondlinger, M. J. (2007). Educational video game design: A review of the literature. Journal of Applied Educational Technology, 4(1), 21–31.

Miller, L. M., Chang, C. I., Wang, S., Beier, M. E., & Klisch, Y. (2011). Learning and motivational impacts of a multimedia science game. Computers & Education, 57, 1425–1433.

Plass, J. L., Homer, B. D., & Kinzer, C. K. (2015). Foundations of Game-Based Learning. Educational Psychologist, 50(4), 258–283. doi: 10.1080/00461520.2015.1122533

Bermain bisa membangun Indonesia menjadi negara yang lebih hebat dari Amerika!

Bermain bisa membangun Indonesia menjadi negara yang lebih hebat dari Amerika!

Hal apa yang paling penting untuk memastikan Indonesia akan lebih baik di masa depan, dan terus berkembang?

Mungkin banyak nya faktor yang harus dipedulikan untuk menjawab pertanyaan ini terlalu banyak sehingga impossible untuk dijawab. 

Namun, bagaimana kalau jawaban ini ber… ma… in…? Lebih tepatnya lagi, lebih banyaknya keluarga yang memiliki kualitas bermain yang baik!

Apakah ini jawaban terlalu, idealis? Tidak masuk akal? Bahkan gila?

Untuk memastikan argumentasi ini tidak abal-abal, ini akan menjadi argumentasi statistika. Lebih tepat nya lagi, kita bisa lihat negara yang sangat maju Amerika, memiliki banyak masalah yang kita punya solusi nya!

Sekarang kita mulai dari individu, sederhananya semakin banyak individu-individu di masa depan yang bermanfaat bagi bangsa, semakin baik bangsa itu jadinya.

 

Kutipan di topik ini yang sangat dahsyat dan selalu teringat adalah dari Bung Karno

Lalu bagaimana kita bisa memastikan seorang individu, akan tumbuh menjadi seseorang yang berkontribusi positif kepada negara?

Disinilah argumentasi menjadi statistik semata.

Hal yang memberikan kemungkinan tertinggi untuk seorang anak tumbuh menjadi individu yang produktif adalah; keluarga yang stabil.

Berikut adalah penelitian-penelitian yang membandingkan keluarga yang stabil dan yang tidak. Setiap penelitian memiliki definisi keluarga fragile yang sedikit berbeda.

Tapi kurang lebih keluarga fragile adalah keluarga yang pernah mengalami perceraian, atau salah satu dari orangtua tidak ada atau sering tidak ada.

 

Pertama adalah edukasi.

Princeton University meneliti 20 kota besar di A.S. Mereka menemukan bahwa dari 5,000 keluarga. Anak-anak yang tinggal bersama keluarga tidak stabil 2 kali lebih mungkin untuk tidak tamat pendidikan SMA nya.

Di penelitian yang melihat tingkat prestasi anak di sekolah, mereka melihat bahwa anak yang dari keluarga stabil memiliki nilai yang jauh lebih tinggi secara rata-rata.

Dari segi kesehatan mental lebih menggawatkanlagi.

Michigan State University menemukan 75% anak remaja yang melakukan pembunuhan datang dari rumah tanpa ayah.

Data dari The Centers for Disease Control menunjukan bahwa 85% anak yang memiliki gangguan perilaku juga tidak memiliki seorang ayah di rumahnya.

Mereka yang tanpa ayah di rumah 2 kali lebih mungkin untuk mencabut nyawanya sendiri, dan 10 kali lebih mungkin untuk menjadi pecandu narkoba, dan alkohol menurut U.S. Department of Health and Human Services.

 

Lalu bagaimana dengan ekonomi? Tentu ini hal yang sangat sering digunakan untuk mengukur kesuksesan sebuah bangsa.

Data dari U.S. Census Bureau menemukan 7% dari anak miskin memiliki keluarga yang utuh, sementara 40% tidak memiliki ayah dan 22% tidak memiliki ibu.

Untuk ekonomi jangka panjangnya National Longitudinal Survey of Youth menunjukan bahwa di umur 40 individu yang berasal dari keluarga yang stabil memiliki pendapatan yang lebih tinggi, dengan 14 persentil perbedaan

Sekarang dari sini kita lihat bahwa secara statistik, memang jauh lebih mungkin anak mencapai kesuksesan jika memiliki keluarga yang stabil. Sungguh ini yang kekurangan di Indonesia, menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa Indonesia dikenal sebagai fatherless country dimana kita menduduki peringkat 3 tertinggi untuk negara yang memiliki jumlah rumah tangga tanpa ayah.

Lalu apa peran bermain dalam membuat keluarga yang kokoh, kondusif, dan bahagia?

 

Untuk ini ada riset yang datang dari negeri kita sendiri.

Penelitian Dari Universitas indonesia mengajak lebih dari 300 orang tua dari Jakarta, Surabaya, Makasar, dan Medan untuk bermain bersama anak nya di playground yang tersedia di kota mereka masing-masing.

Selama 2 minggu mereka menghabiskan 1,5-2 jam sehari bermain dengan anak mereka dengan umur 1-5 tahun.

Data mereka akan persepsi kebahagiaan dan kepuasan berkeluarga di ambil sebelum dan sesudah intervensi.

 

Dan hasilnya bukan hanya kebahagiaan secara individu naik tapi juga hubungan antara orang tua dan anak, frekuensi mereka menikmati menghabiskan waktu bersama anak juga naik.

Secara menyeluruh mereka menikmati hubungan mereka dengan anak semakin positif, mereka lebih sering menunjukkan afeksi, merasa koneksi lebih kuat dan merasa mereka bisa menjadi tim yang solid.

Dari data ini kita bisa melihat bahwa hanya dengan bermain 2 jam setiap hari bersama keluarga dampaknya sangat signifikan.

Nah sekarang kesimpulan bahwa, yang terbaik untuk Indonesia di masa depan adalah keluarga yang rutin bermain bukanlah sebuah khayalan tanpa pondasi.

Ayo semua kita bermain untuk Indonesia!

Sumber:

Bardosono, Saptawati & Sekartini, Rini & Chandra, Dian & Wibowo, Yulianti & Basrowi, Ray. (2017). Bonding Development between Parents and Children through Playing Together to Improve Family Happiness. World Nutrition Journal. 1. 41. 10.25220/WNJ.V01i1.0009.

Robert Lerman, “The Impact of the Changing US Family Structure on Child Poverty and Income Inequality,” Economica 63, no. 250 (1996): 119–139; Adam Thomas and Isabel Sawhill, “For Love and Money? The Impact of Family Str

 

Dengan Boardgames belajar matematika jadi seru banget!

Dengan Boardgames belajar matematika jadi seru banget!

Tamu live Instagram Ludenara kali ini adalah Bapak Ali, guru SDIK Mutiara Anak Soleh, Sidoarjo. Di sesi live Instagram ini Pak Ali memberi wawasan yang penting untuk guru, dan orang tua. Selain itu Pak Ali bercerita tentang pengalaman dia mendesain dan menggunakan board games untuk mengajar, mengadakan kompetisi, dan memotivasi murid nya untuk belajar matematika.

Pertama saran yang sangat bermanfaat dari Pak Ali adalah mengenai pentingnya memahami anak-anak kita. Bahwa setiap anak itu unik, memiliki kemahiran nya sendiri-sendiri. Ini penting karena kita harus merancang sesi pembelajaran yang sesuai dengan mereka. Apa lagi di bidang matematika, Pak Ali bercerita bahwa dia mengajarkan materi matematika sesuai dengan kemampuan siswa nya. Ketika siswa itu sudah mahir, bisa ditambah tingkat kesulitan, tapi ketika belum bisa, maka tidak akan di paksa dan harus dibimbing sesuai kemampuannya.

Pak Ali juga menekankan bahwa motivasi belajar adalah kunci. Jika motifasi ini datang dari diri sendiri tentu anak akan giat terus belajar, tidak harus di suruh lagi. Ini lah kenapa kita harus selalu bereksperimen dengan metode-metode mengajar yang baru, agar kita bisa membangun motivasi intrinsik anak. Pak Ali juga menjelaskan bahwa kita tidak bisa mengajar dengan sekedar memberi tahu anak jawabanya. Yang lebih penting dari itu adalh menunjukan anak itu cara mendapatkan jawabanya. Jadi jangan memberi tahu, tapi tunjukan cara belajar. Dengan ini anak bisa mengerjakan soal-soal, dan belajar lebih dalam lagi dengan sendiri nya, tanpa menunggu jawaban dari guru atau orang tua.

Ini semua berkaitan dengan games. Games sangat lah student-centred, dimana anak-anak bisa bermain sesuai dengan kemampuannya sendiri, dan games bisa meningkatkan motivasi siswa dengan baik. Karena itu Pak Ali mendesain board game matematika yang telah berhasil menunjukan semua dampak positif ini secara langsung.

Boardgame rancangan Pak Ali

Board Game yang Pak Ali desain ini dimainkan secara berlawanan, dimana setiap pemain harus berhasil membentuk garis horizontal vertikal atau diagonal dengan lengkap, dan menghalangi lawan untuk menyelesaikan garisnya. Game ini memiliki versi-versi yang sesuai dengan kelas sekolah, seperti kelas 1 SD permainan ini dimainkan menggunakan penjumlahan dan pengurangan, kelas 2 perkalian dan kelas 3 operasi hitung campuran. Dengan cara ini Pak Ali bisa meningkatkan skill matematik individual setiap anak.

Versi yang lebih mudah

Game nya seru banget, dan tidak heran bahwa motivasi belajar jadi meningkat. Murid Pak Ali sendiri juga banyak yang tidak harus lagi di suruh belajar matematika, karena mereka dengan sendirinya ingin jago bermain, maka berlatih dengan giat!

 

Selain di mainkan di kelas, game ini juga dijadikan kompetisi yang diikuti semua murid di sekolah nya lho! Dengan kompetisi ini kita juga bisa melihat nilai edukasi tambahan yang didapatkan dari sistem game based learning ini. Yaitu mendidikan anak-anak kita untuk berkompetisi dengan sehat. Dimana anak-anak belajar menerima kekalahan dengan hormat, belajar dari kekalahan, dan juga belajar untuk tidak sombong ketika mereka menang. Khususnya karena ini semua terjadi di lingkungan sekolah yang positif, dimana banyak pembimbing yang membantu anak-anak membangun karakter yang baik ini, Pak Ali juga menekankan bahwa membangunn nilai karakter positif ini adalah salah satu tujuan dari sekolah Mutiara Anak Soleh ini.

Sistem pendidikan yang seru seperti ini juga menghasilkan hal yang diluar dugaan. Pertama biasanya guru-guru tidak menyangka bahwa pemenangnya bukan murid yang mereka sangka (murid yang memiliki nilai terbaik di kelas). Namun pemenangnya biasanya adalah murid yang sepertinya “biasa aja” di kelas, dan bukan yang paling pintar. Pertama ini menunjukan bahwa sistem penilaian murid di kelas tidak bisa mengukur keterampilan dan kepintaran murid seutuhnya, dan membutuhkan sistem lain seperti kompetisi untuk murid lain bisa menunjukan kemahirannya. Untuk memenangkan kompetisi murid harus memiliki emotional intelligence yang kuat dimana murid itu kuat menghadapi tantangan dan tidak gugup. Atau keterampilan sosial lain seperti mampu menekan lawan hingga yang lebih pintar pun gugup, dan mampu menghadapi intimidasi dari lawan yang lebih “pintar”. Tentunya memiliki karakter yang kuat seperti ini sangat baik untuk dunia kerja di masa depan, dan anak-anak yang dilatih berkompetisi secara sehat sejak dini, akan menjadi pekerja yang tangguh.

SDIK Mutiara Anak Soleh ini sangat kreatif, dan pasti program-program mereka bisa menjadi inspirasi sekolah lain, untuk informasi lebih lanjut bisa akses website merea di http://mutiaraanaksholeh.sch.id/

Jangan lupa, obrolan lengkap nya bisa di tonton di instagram Ludenara ya!

Ayo main games, dan tingkatin 21st century skills mu!

Ayo main games, dan tingkatin 21st century skills mu!

Photo by Erik Mclean on Unsplash

Games memotivasi kita untuk menyelesaikan masalah-masalah, melakukan kesalahan, mencoba lagi, games juga bisa memberi pengalaman belajar berharga dari berinteraksi dengan dunia simulasi. Ini semua ditambah dengan fasilitator yang memiliki pasion untuk mengajar memastikan pendekatan Game Based Learning sebagai pendekatan yang sangat ampuh untuk pembelajaran 21st century skills. Di tambah dengan tumpukan penelitian yang menggunung, tidak heran GBL menjadi rekomendasi WEF untuk pembelajaran 21st century skills.

Namun tidak hanya di situ saja. Tanpa fasilitator pun, video games telah berhasil menunjukan bukti empirik bahwa aktivitas yang bermain-main ini sangat baik untuk melatih 21st century skills. Penelitian secondary yang diadakan oleh 3 peneliti dari Kanada, Itali dan spanyol telah menunjukan informasi yang sangat menarik. Dari menganalisa lebih dari 10 penelitian sebelumnya mengenai “serious games” dan dampak nya terhadap 21st century skills.

Setelah itu para peneliti mengidentifikasikan beberapa karakteristik games yang membantu pemain meningkatkan 21st century skills, beserta tabel yang menunjukan seberapa berdampaknya setiap karakteristik ini kepada skill yang di kembangkan.

Penjelasan karakteristik game

Competition – Dibutuhkan untuk membuat belajar lebih menarik, dan memotivasi pemain untuk menyelesaikan game

Collaboration – Membantu mengajarkan prinsip-prinsip leadership: delegasi, training, mentoring, krisis manajemen.

Complex Collaboration – Tingkat kolaborasi yang tinggi, seperti yang di temukan di game MMORPG seperti World of Warcraft. Bisa membantu pengembangkan struktur ilmu yang felxible.

Expressive – ini termasuk memilih avatar dan mendesain identitas dalam game. Ini bisa membantu empati, rasa kepercayaan diri, dan berkontribusi dalam pembelajaran imersif

Strategy – Menyediakan tingkat kesulitan yang baik untuk pengalaman pembelajaran yang powerful. Pemain bisa memahami kesalahan yang mereka lakukan, dan memperbaikinya.

Tactical – Ini melibatkan decision making, adaptasi. Ini juga tempat yang baik untuk menyediakan pembinaan

Fantasy – Penggunaan graphic, audio, vido, dunia virtual dan AI untuk merepresentasikan realita. Pemain akan melibatkan diri dan berinteraksi di dunia virtual untuk pembelajaran dunia nyata

Context – Setting, narasi, cerita, karakter, permasalahan dan lain sebagainya. Cerita yang baik bisa membantu autentisitas permainan. Game yang baik memberikan pemain kesempatan untuk merancang ceritanya sendiri dari keputusan-keputusan yang di ambil. Belajar dari skenario yang kompleks bisa membantu pembelajaran manajemen yang kompleks.

Challenge – Pemain biasanya mendapatkan keterampilan baru melalui tantangan yang dilewati, semakin kompleks tantangan yang diberikan semakin banyak kesempatan untuk pemain mendapatkan keterampilan atau ilmu yang baru. Pembelajaran dan pemahaman bisa semakin mendalam dari tingkat kesulitan yang optimal (tidak terlalu sulit, atau gampang)

Sumber : 

Romero, Margarida & Usart, Mireia & Ott, Michela. (2014). Can Serious Games Contribute to Developing and Sustaining 21st-Century Skills?. Games and Culture: A Journal of Interactive Media. 10. 10.1177/1555412014548919.

Tantangan Mengajar 21st Century Skills

Tantangan Mengajar 21st Century Skills

 

https://www.weforum.org/

Jika kita memikirkan apa yang dibutuhkan siswa-siswi kita untuk sukses di masa depan kita tidak bisa lagi terlalu fokus terhadap “knowledge”. Dunia kerja abad 21 ini sangat dinamis. Menurut World Economic Forum 65% siswa-siswi SD akan bekerja pekerjaan yang sekarang belum ada.

Nah, bagaimana cara menyiapkan mereka jika kita tidak tahu ilmu apa yang akan mereka butuhkan?
Inilah 21st century skills, skills yang akan selalu dibutuhkan di lapangan pekerjaan apa pun. Tapi mengajarkan ini tidaklah mudah, dan berikut adalah beberapa tantangan nya.

 

Terbiasa fokus terhadap konten (knowledge) dan bukan pegembangan skills.

Image by Gerhard Gellinger from Pixabay

Sistem kita saat ini sagnat mementingkan konten, atau ilmu apa yang di butuhkna siswa-siswi di masa depan. Peramsalahan dari carapandang ini adalah, pertama sulit sekali memiliki ilmu yang akan mereka butuhkan di dunai yang dinamis, dan selalu berkembang. Kedua dunia ilmiah berkembang dengan sangat pesat, konten ilmu pengetahuan setiap tahun bertambah 2X lipat (Prensky, 2009).

Kita sekarang juga memiliki teknologi yang menyanggupi kita untuk mengakses informasi apa pun. Ini kesempatan yang baik untuk kita fokus terhadap mengembangkan kemampuan mereka untuk menggunakan informasi sebaik-baiknya. Selian itu 21st skills meruakan sesuatu yang bisa di gunakan di industry pekerjaan apa pun, maka dari itu skills sangat lah penting untuk di ajarkan dan di kembangkan sejak dini.

 

Assessment

Photo by Yustinus Tjiuwanda on Unsplash

Ujian sekolah yang kita biasa digunakan, hanya bisa untuk mengukur yang gampang untuk diukur, bukan yang butuh untuk di ukur. Sebagian besar dari 21st century skills hanya bisa diukur dan terlihat saat sedang diterapkan, bukan dari menjawab sebuah soal dengan benar. Kita harus bisa membuat sistem dimana siswa-siswi bisa menunjukan kemampuan mereka berkolaborasi, memecahkan masalah baru dengan solusi kreatif, berinovasi, mengkritik secara konstruktif, dan kemampuan-kemampuan lain nya. 

 

Kita masih mengajar di “Factory Model Schools”

Photo by Rubén Rodriguez on Unsplash

Sistem pendidikan seluruh dunia masih bedasarkan rancangan era post-enlightenment di abad ke-18. Disaat itu peradaban manusia mengalami revolusi industri, dan sistem pendidikan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan karyawan pabrik secara masif. Maka dari itu sistem ini tidak cocok untuk mendidik abad ke-21 yang sangat dinamis.

Sir Ken Robinson dengan baik telah menjelaskan permasalahan ini di TED Talk nya.

Berikut adalah video ringkasan seminar itu.

 

Game Based Assessment, Ini kah sistem penilaiyan yang paling adil?

Game Based Assessment, Ini kah sistem penilaiyan yang paling adil?

Image by S. Hermann & F. Richter from Pixabay

Untuk memiliki sistem pendidikan yang baik, tentu proses penilaian adalah hal yang sangat penting. Proses ini bisa melihat seberapa jauh siswa-siswi telah berkembang selama proses pembelajaran. Disisi lain kita juga bisa melihat seberapa efektifnya sebuah sistem itu sendiri.

Namun masalah yang saat ini kita sering kali alami adalah, sebagian besar sistem penilaian kita (ujian sekolah) sangat sempit (Bhattacharyya, S., Junot, M., & Clark, H. 2013). Kita sangat fokus dalam penghafalan, literasi, dan numerasi. Meskipun tiga hal ini sangat penting untuk masa depan, namun berikut adalah beberapa hal yang menunjukan bahwa sistem ini sangat kurang.

-Di dunia sekarang, masih banyak kompetensi lain yang dibutuhkan untuk kesuksesan yang sering disebut dengan 21st century skills. 

-Fokus terhadap nilai ujian memberikan insentif untuk menyontek, bukan memahami sesuai kemampuan masing-masing. 

-Ujian juga membuat guru fokus mengajarkan apa yang akan diuji.

-Dan bahasan utama artikel ini. Menilai kemampuan, dan kesuksesan anak dalam belajar melalui nilai ujian sangat tidak adil. Berikut adalah beberapa penyebabnya;

Pertama menyinggung masalah yang sentral dalam konsep keadilan, “consent” (Lovett, 2004). Dimana setiap orang yang berpartisipasi dalam sistem yang adil, ingin ikut berpartisipasi atau, lebih pentingnya tidak dipaksa untuk berpartisipasi. Kita tahu, tidak banyak anak yang suka atau mau mengikuti ujian, sebagian pasti merasa terpaksa.

Kedua, setiap anak yang memiliki learning disability seperti dyslexia, dyscalculia, atau ADHD meskipun ringan, akan tetap memiliki nilai yang burukk

Ketiga bisa dilihat dari quote yang sangat terkenal

 

Kita tahu setiap anak memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Menilai mereka dengan sistem yang sangat sempit membuat beberapa anak yang memang pandai membaca dan menghitung sangat pintar, dan kelemahannya tidak terlihat. Di sisi lain anak-anak yang memiliki kesulitan belajar di dalam ruang kelas atau sistem yang baku akan terlihat kurang pandai.

Ini lah mengapa Game Based Assessment jauh lebih adil, daripada sistem penilaian yang sering ada di sekolah-sekolah. Game Based Assessment dengan mudahnya memitigasi ketiga hal itu. Namun sebelum kita membahas mengapa sistem ini adil, ada satu peringatan. Hal yang sangat penting dalam menilai progress pembelajaran adalah konsistensi, dan jangka panjang. Meskipun kita menggunakan game yang paling keren, tidak mungkin kita bisa menilai mereka hanya dengan 1 sesi bermain atau dengan 1 game saja.

Consent

Kita pasti tahu, banyak siswa-siswi yang tidak suka dengan ujian, dan mereka merasa terpaksa mengikutinya. Mereka juga secara terpaksa mempelajari soal-soal yang akan keluar di ujian. Meskipun tidak bisa 100% mendapatkan consent mereka, tapi dengan Game Based Assessment siswa-siswi terlihat sangat senang saat di uji (Heinzen, 2014). Selain adil karena mengurangi rasa “terpaksa ingin diuji” ada banyak manfaat lain. Dengan motivasi yang baik, dengan keinginan yang tulus mereka akan melewati ujian sebaik-baiknya. Karena fakta ini, kita juga bisa berspekulasi bahwa Game Based Assessment lebih akurat dalam menilai perkembangan siswa-siswi.

Learning Disabilities 

dyscalculia

Beberapa penelitian telah melihat efektifitas Game Based Learning (GBL) untuk mengajar anak-anak yang memiliki learning disabilities. Dengan menggunakan GBL para peneliti telah berhasil secara signifikan meningkatkan konsentrasi (García-Redond et al., 2019). Penelitian lain mendemonstrasikan bahwa GBL bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir pada anak-anak yang menderita learning disabilities (Ahmad et al., 2010). Ini terjadi karan games tidak membutuhkan banyak membaca, fitur-fitur games menambahkan retensi konsentrasi mereka, dan mereka bisa belajar memecahkan masalah-masalah di games dengan banyak cara, seperti meniru, memperhatikan, mendengarkan, dan hal-hal lain yang bisa lewati learning disabilities. Meskipun penelitian-penelitian ini meliputi GBL bukan dan bukan Game Based Assessment, fitur-fitur games nya masih sama, dan fitur-fitur games itu lah yang bisa melewati learning disabilities. Dengan learning disabilities terlewati, mereka bisa mengikuti ujian dengan lebih baik.

Everyone is a genius in their own way.

Banyak sekali macam game, dan banyak macam keterampilan yang dibutuhkan untuk melewati 1 game saja. Ini juga mengapa World Economic Forum merekomendasikan GBL untuk mengajarkan dan melatih 21st century skills.

Dengan menggunakan berbagai macam game untuk menguji, kita bisa melihat kekuatan, dan kelemahan setiap siswa. Cooperative games bisa melihat leadership skills. Action games bisa melihat kemampuan-kemampuan kognitif seperti mental rotation, task switching, hand-eye coordination, dan lainya. Strategy games sangat baik untuk melihat executive function, seperti decision making, self-awareness, planning, problem solving, working-memory, dan lainnya. Dengan ini kita bisa melihat, bahwa ada anak-anak yang sangat pandai dalam social skills, yang lain pandai dalam decision making, dan seterusnya.

Sumber:

Lovett, F. (2004). Can justice be based on consent?. Journal of Political Philosophy, 12(1), 79-101.

Heinzen, Thomas. (2014). Game-Based Assessment: Two Practical Justifications. 10.13140/2.1.3251.7441.

Bhattacharyya, S., Junot, M., & Clark, H. (2013). Can you hear us? Voices raised against standardized testing by novice teachers. Creative Education, 4(10), 633.

García-Redondo, P., García, T., Areces, D., Núñez, J. C., & Rodríguez, C. (2019). Serious Games and Their Effect Improving Attention in Students with Learning Disabilities. International journal of environmental research and public health, 16(14), 2480. https://doi.org/10.3390/ijerph16142480

Wan Ahmad, Wan Fatimah & Akhir, Emelia & Azmee, Sarah. (2010). Game-based learning courseware for children with learning disabilities. 1. 1 – 4. 10.1109/ITSIM.2010.5561303.

Kemampuan Kognitif yang bisa diukur dengan Game Based Assessment.

Kemampuan Kognitif yang bisa diukur dengan Game Based Assessment.

Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash

Sistem penilaian yang biasa kita dapatkan di sekolah memang sangat efisien dalam mengukur berberapa hal, seperti ujian yang sebagian besar membutuhkan memori dan pemahaman materi, atau sistem absensi dan tugas-tugas juga bisa mengukur tingkat kedisiplinan murid.

Namun intelegensi manusia adalah hal yang sangat luas, dan mencakup banyak hal yang tidak bisa terlihat dan terukur di dalam sistem pendidikan yang sangat baku dan formal. Di sini lah, salah satu keunggulan bermain dan games terlihat. Bahwa games dengan sendirinya adalah sebuah aktivitas memecahkan masalah, dan bermain adalah sebuah proses memahami dunia sekitar kita, karena itu lah game based assessment bisa menjadi tools yang bisa melihat dimensi-dimensi human intelligence yang susah di lihat di sistem pendidikan yang formal.

Berikut adalah berberapa proses kognitif yang sangat di butuhkan untuk memainkan sebuah game. Proses-proses ini juga sangat bisa di ukur menggunakan game based assessment.

 

Fluid Intelligence

Image by Gerd Altmann from Pixabay

Games seringkali menaruh kita di situasi-situasi yang baru, environment di dalam games cepat dan sering berubah-ubah. Karena itu kemampuan untuk beradaptasi di situasi yang baru, dan seberapa cepat kita bisa menerapkan ilmu dan keterampilan kita untuk permasalahan yang baru sangat bisa terlihat di games.

Working Memory

Photo by bruce mars on Unsplash

Games secara general sering kali kita harus mencerna informasi secepat-cepatnya mengingatnya dan menerapkan nya untuk menghasilkan kemajuan. Selain itu banyak juga games yang menaruh memori sebagai kemampuan utama yang membedakan antara kemenangan dan kekalahan.

Problem-Solving

Image by Gino Crescoli from Pixabay

Banyak cendekiawan yang mendefinisikan games sebagai, “aktivitas problem solving yang dilakukan dengan senang hati”. Karena game sendiri adalah aktivitas problem solving maka, game based assessment adalah tool yang sangat baik dalam mengukur problem solving

 

Divergent Thinking

Image by ElisaRiva from Pixabay

Dalam sebuah studi yang didokumentasikan oleh Lieberman, keparalelan telah ditarik antara bermain-main pada anak-anak usia TK dan divergent thinking. Dimana konklusi dari studi ini menunjukkan bahwa playfulness di masa kecil sangat berdampak pada kemampuan divergent thinking di masa dewasa. Banyak games atau permainan yang membutuhkan spontanitas tinggi, decision making yang cepat dan kreatifitas. Hal-hal seperti ini lah terukur dari seberapa handal nya mereka memainkan sebuah games.

Tipe-tipe bermain, dan perannya dalam perkembangan anak.

Tipe-tipe bermain, dan perannya dalam perkembangan anak.

Image by Comfreak from Pixabay

Bermain sangatlah penting untuk perkembangan anak. Aktivitas lain yang biasanya kita anggap penting hanya yang membantu anak berkembang secara spesifik, seperti belajar untuk kepintaran, olahraga dan makan makanan yang bergizi untuk pertumbuhan fisik bermain mengembagkan anak secara holistik. Secara kognitif, fisik, emosional, kepandaian bersosialisasi, pengenmbagan karakter yang moral, dan personal development.

Potensi bermain di dunia pendidikan sangat lah luas. Untuk mengeluarkan potensi ini sepenuhnya hal yang harus kita pelajari adalah beberapa tipe bermain dan fungsi nya dalam pendidikan dan perkembangan anak. Bermain sendiri adalah sebuah aktivitas yang mencangkup banyak hal, karena itu telah banyak ilmuwan yang mengklasifikasikan aktivitas ini, dan merincikan manfaat setiap tipe bermain ini. Meskipun setiap tipe permainan memiliki fokus, atau fungsi perkembangan utama, semuanya mendukung aspek fisik, intelektual dan sosial-emosional pertumbuhan. Dari semua bukti yang tersedia, keseimbangan pengalaman masing-masing tipe bermain mungkin bermanfaat bagi perkembangan anak-anak. Berikut adalah lima tipe bermain dan manfaat nya.

Physical Play

Image by Sasin Tipchai from Pixabay

Mungkin ini bisa dibilang tipe bermain paling dasar secara kompleksitas. Tapi bermain yang bisa di masukan klasifikasi ini hanya muncul saat mereka beranjak umur 2 tahun, dan di umur 4-5 tahun tipe bermain ini merupakan 20% dari total perilaku mereka. Berlari, meloncat-loncat, memanjat, berdansa, memainkan segala bentuk bola, lompat tali, merupakan bentuk-bentuk dari tipe ini. Bukti menunjukkan bahwa tipe ini jenis terkait dengan pengembangan seluruh tubuh dan  koordinasi tangan-mata anak-anak, dan penting dalam membangun kekuatan dan daya tahan (Pellegrini and Smith, 1998). 

Rough and tumble play merupakan bentuk permainan fisik yang paling banyak di teliti. Mungkin translasi yang paling mendekati adalah “gelut-gelutan”. Bermain seperti ini mudah dibedakan dari agresi perbedaannya di kenikmatan nyata dari para peserta, dan tampaknya sepenuhnya bermanfaat. Bukti penelitian menunjukkan bahwa itu jelas terkait dengan perkembangan keterampilan dan pemahaman emosional dan sosial. Ini juga berhubungan dengan perkembangan ikatan emosional yang kuat, atau bonding, antara anak-anak dan orang tua, dan kemampuan anak usia sekolah untuk memahami ekspresi emosional (Jarvis, 200).

Object Play

Image by Esi Grünhagen from Pixabay

Tipe bermain seperti ini menyangkut pengembangan eksplorasi anak-anak, sebagai ilmuwan kecil, yang meneliti dunia fisik dan benda-benda yang mereka temukan di dalamnya. Bermain dengan benda dimulai segera setelah bayi dapat menggenggam dan memegang obyek. Perilaku investigasi awal termasuk menggigit, melihat, menggosok / membelai, memukul dan menjatuhkan. Ini mungkin digambarkan sebagai permainan ‘sensori-motor’ ketika anak mengeksplorasi bagaimana benda dan bahan terasa dan berperilaku. Dari sekitar 18-24 bulan balita mulai menata benda-benda, yang lambat laun berkembang dalam memilah dan mengklasifikasikan kegiatan. Pada usia empat tahun, perilaku membangun dan membuat muncul. 

Tipe Ini relatif banyak diteliti, karena secara khusus terkait dengan pengembangan keterampilan berpikir, bernalar dan problem solving. Saat bermain dengan benda, anak-anak menetapkan tujuan dan tantangan, dan mengembangkan repertoar kognitif dan keterampilan dan strategi fisik (Whitebread, 2012).

Symbolic Play

Image by S. Hermann & F. Richter from Pixabay

Manusia dilengkapi secara unik untuk menggunakan berbagai macam sistem simbolik termasuk bahasa lisan, membaca dan menulis, angka, berbagai visual media (melukis, menggambar, kolase) musik dan sebagainya. Tidak mengherankan, selama lima tahun pertama kehidupan, anak-anak mulai menguasai sistem ini, Jenis permainan ini mendukung mereka untuk mengembangkan kemampuan teknis, mengekspresikan dan merefleksikan pengalaman, ide dan emosi. 

Bermain dengan bahasa dimulai sejak dini dalam kehidupan, dari  anak-anak di bawah usia satu tahun. Bermain dengan suara, dan, saat mereka bertambah tua, khususnya bermain dengan nada bahasa atau kata-kata yang mereka dengar di sekitar mereka. Permainan ini adalah proses yang sangat aktif dan dengan cepat berkembang menjadi mengarang kata-kata baru, bermain dengan sajak, dan akhirnya anak-anak akan bermain dengan kata-kata dan lelucon lain dengan bahasa. Penelitian yang luas sudah jelas menetapkan bahwa jenis permainan ini adalah dukungan kuat untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan, yang terpenting, berdampak pada kemudahan anak-anak kecil mengembangkan keterampilan literasi dini (Christie dan Roskos, 2006). Dengan menempatkan dasar berhitung dalam konteks kehidupan nyata yang bermakna, permainan yang melibatkan penghitungan dan dasar operasi matematika lainnya juga mendukung kemampuan anak-anak untuk terlibat dengan matematika secara formal (Whitebread, 2000; Carruthers dan Worthington, 2006).

Socio-dramatic Play

Photo by ARIFKI RAHMADHANI on Unsplash

Banyak sekali bentuk dari permainan ini, tapi secara general anak-anak berpura-pura memainkan sebuah orang (biasanya dewasa) dan meniru perilaku mereka. Seperti anak-anak bermain polisi-polisian, atau jadi ibu rumah tangga (role-play).

Banyak studi yang telah melaporkan dampak pengalaman role-playing pada keterampilan naratif dalam lima hingga tujuh tahun (Whitebread dan Jameson, 2010), bermain kepura-puraan tentang penalaran deduktif dan sosial kompetensi, dan permainan sosio-dramatic (role-play) meningkatkan self-control di kalangan anak muda apalagi di anak-anak yang cenderung sangat impulsif.

Selama bermain sosiodramatik, khususnya, anak-anak diwajibkan untuk mengikuti aturan sosial yang mengatur karakter yang mereka mainkan. Berk, (2006) dan rekan melaporkan sejumlah studi dengan anak-anak berusia 3 – 4 tahun menunjukkan hubungan yang jelas antara kerumitan permainan sosio-dramatis dan peningkatan dalam tanggung jawab sosial.

Games

Image by Jan Vašek from Pixabay

Anak-anak kecil sangat termotivasi untuk memahami dunia mereka dan, sebagai bagian dari ini, mereka sangat tertarik pada aturan. Akibatnya, sejak usia sangat muda, mereka menikmati permainan dengan aturan, dan sering membuat sendiri. 

Koleksi permainan anak-anak Opie dan Opie (1959 ) dan cerita rakyat adalah bukti kecintaan anak-anak terhadap permainan dengan aturan. Ini termasuk permainan fisik seperti kejar-kejaran, petak umpet, benteng-bentengan, dan banyak permain tradisional lainnya. Anak-anak yang lebih dewasa, lebih banyak menyukai permainan intelektual seperti boardgames dan bermain kartu, video games, dan seluruh aneka ragam kegiatan olahraga.

Selain membantu anak-anak mengelai dan mengikuti peraturan, peran bermain games dalam perkembangan anak yang utama adalah bersosialisasi dengan baik dan benar. Saat bermain game dengan teman, saudara, dan orang tua mereka, anak-anak kecil belajar berbagai keterampilan sosial yang terkait dengan berbagi, bergiliran, memahami perspektif orang lain dan seterusnya (DeVries, 2006).

Sumber:

Whitebread, D., Basilio, M., O’sullivan, L., & Zachariou, A. (2019). The Importance of Play, Oral Language and Self-Regulation in Children’s Development and Learning: Implications for Quality in Early Childhood Education. The SAGE Handbook of Developmental Psychology and Early Childhood Education, 554-569. doi:10.4135/9781526470393.n32

Pandemi tidak harus menjadi halangan buat pendidikan. (Pengalaman Mas Nuno)

Pandemi tidak harus menjadi halangan buat pendidikan. (Pengalaman Mas Nuno)

Pademi yang kita rasakan sejak awal tahun 2020 mengakibatkan banyak halangan untuk beraktivitas, salah satu nya di dunia pendidikan, tapi siapa sangka ternyata ini memberikan banyak kesempatan dan ada juga yang bisa mengoptimalkan kesempatan ini dengan sangat baik.

Yang sangat mengagumkan bahwa cerita ini datang dari Petungkriyono tempat dimana fasilitas pendidikan sangat minim, dan tidak mudah terjangkau. Iya kita sering kan lihat bagaimana anak sekolah harus melewati berbagai rintangan, seperti hutan, lembah, gunung, sungai, buaya macan, monyet, hanya untuk sekolah.

Yah mungkin Petungkriyono tidak separah itu, tapi ini gambaran betapa susah nya perjuangan mereka untuk mendapatkan hak yang orang-orang kota sering lupa untuk disyukuri. Tempat dimana pendidikan saja pada awalnya merupakan tantangan yang besar, malah menjadi tempat dimana siswa-siswi dan guru bisa mengoptimalkan kebebasan yang didapatkan dari pandemi ini untuk belajar, berjuang, berusaha, dan terus berkembang.

Kita tahu bahwa di daerah dimana infrastruktur masih belum berkembang seperti di Petungkriyono, banyak saudara-saudara kita yang sayangnya belum memiliki teknologi yang memungkinkan mereka untuk mengikuti pembelajaran via online. Karena ini Mas Nuno memutuskan untuk mengunjungi siswa-siswi nya dan mengajak mereka bermain dan belajar bersama.

Di salah satu kunjungan ini Mas Nuno bertemu dengan salah satu muridnya yang bernama Wawan.  Wawan yang biasanya di kelas bisa dianggap biasa-biasa saja, dan seperti banyak murid petungkriyono lainnya semangat belajar di kelas sangat kecil. Namun seperti anak lainnya juga dia mendapatkan pendidikan yang sangat keren dari alam. Dia berhasil membudidayakan lebah , menjual madu dan membantu ayahnya yang sedang butuh biaya perobatan.

Melihat ini Mas Nuno semakin semangat mendorong dia untuk semakin produktif, dengan cara mengajak dia untuk menjadi narasumber budidaya lebah. Hingga saat ini Wawan menjadi sebuah mentor, untuk lima teman lainnya di kampungnya. Dengan mengajarkan mereka cara membudidaya lebah dan menjual madu ini pastinya Wawan bisa menambah keterampilan mereka yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan mereka, dan keluarga mereka.

Sepertinya banyak sekali yang bisa dipelajari dari cerita ini. Pertama kita harus merefleksikan semua investasi yang kita taruh di dunia edukasi formal ini, apakah semuanya bermanfaat? Dan jika ada cara belajar lain untuk anak-anak kita yang lebih produktif dengan investasi yang lebih kecil kenapa tidak?

Seperti contoh Wawan hanya dalam waktu dua bulan dia bisa membatu ayahnya yang sakit dengna membudi dayakan madu, sementara selama masa pelajaran formal dia tidak terlihat bakantya.

Hal lain yang harus kita lihat adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk siswa-siswi lain agar bisa seperti Wawan ini. Tentu kebebasan yang didapatkan di luar pendidikan formal tidak akan otomatis menjadi hal yang positif.

Bagi Mas Nuno jawaban yang paling sederhana adalah, ikuti hobi, dan passion. Dengan belajar dan melakukan hal yang mereka sukai mereka akan berupaya dengan 100% tidak kenal waktu, tidak kenal lelah. Seperti Wawan, di saat duduk di bangku sekolah tidak ada tempat untuk mengekspresikan passionnya dia, tapi diluar sana dia bisa belajar sesuai keinginannya dan menjadi orang yang sangat bermanfaat bagi lingkungannya.

Ini lah salah satu alasan kenapa Ludenara berusaha untuk mengoptimalkan bermain sebagai alat belajar yang handal.

Tentunya masih banyak lagi pelajaran yang bisa diambil. Seperti memperhatikan lingkungan dan alam kita dengan baik agar kita bisa mengoptimalkan apa yang ada di sekitar kita dan dijadikan hal yang positif. Kita juga bisa belajar tentang self-mastery, dan kemampuan untuk memunculkan sisi terbaik kita dan bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan kita

terkadang kurang tersampaikan atau kurang di explore di dunia pendidikan yang formal, karena pendidikan formal tidak bisa memfasilitasi keunikan setiap anak.

Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang. Bahwa di tahun 2020, tahun yang sekarang sering dijuluki the worst year ever masih banyak orang yang bisa merubah halangan menjadi kesempatan.

Ciptakanlah lingkungan belajar yang sesuai dengan proses perkembangan otak anak.

Ciptakanlah lingkungan belajar yang sesuai dengan proses perkembangan otak anak.

Image by Oberholster Venita from Pixabay

Kecerdasan atau kepintaran anak tentu salah satu prioritas yang ingin mereka kembangkan secara maksimal. Selain hal ini ada beberapa fungsi otak lain yang sangat penting untuk kesuksesan mereka di masa depan, seperti kreativitas, dan emotional intelligence. Mengingat pentingnya semua hal ini, kita harus membahas satu hal yaitu peran bermain dalam perkembangan otak.

Di masa muda, otak kita sangat plastic, kondisi dimana otak sangat mudah berubah, berkembang, dan terpengaruh oleh lingkungan. Di masa seperti ini lah stimulasi mental yang didapatkan dari bermain sangat lah penting. Anak-anak di panti asuhan yang diasuh tanpa banyak stimulasi menderita emotional deprivation mengakibatkan perilaku apatetik, dan perilaku yang tidak dewasa di saat seharusnya mereka sudah matang (Goldfarb, 1953). 

Hubungan antara bermain dan perkembangan otak yang sehat sangatlah jelas terlihat dari penelitian mamalia, termasuk bayi manusia. Semua mamalia di masa muda nya bermain, di saat ini orang tua memberi struktur dan menginisiasikan permainan. Struktur dan interaksi ini lah yang menjadi tulang punggung perkembangan (Angier, 1992). Semakin pesat otak mereka berkembang semakin kompleks juga permain yang dimainkan, ini menguatkan hubungan antar neurons di otak (Angier, 1992).

Peran bermain dalam perkembangan otak yang sehat sangat jelas terlihat karena penelitian oleh Nash (1997) di Baylor College of Medicine dimana Nash menemukan anak-anak yang jarang bermain memiliki otak yang 20-30% lebih kecil dibanding anak-anak lain di usia yang sama. Aktifitas-aktifitas yang playful lah yang sangat krusial di masa muda ini, bukan instruksi langsung.

Mempelajari tentang proses perkembangan otak dan hubungannya dengan bermain memberikan banyak implikasi, salah satunya adalah kemampuan kita untuk membuat lingkungan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan otak anak. Ini lah hal yang di kembangakn oleh 3 peneliti perkembangan anak. Di dalam journal mereka yang berjudul Rushton, S., Juola-Rushton, A., & Larkin, E. (2010). Neuroscience, play and early childhood education: Connections, implications and assessment (2010), mereka memberi beberapa rekomendasi untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan otak, secara singkat ini lah beberapa rekomendasi mereka: 

 

  • Pengaturan meja, kursi, materi pembelajaran, pencahayaan dan komponen lainnya menarik perhatian dan minat anak. Dari perspektif neurologis, rasa kegembiraan dan kebaruan dalam ruangan membantu menghasilkan dopamin, sebuah neurotransmitter yang menciptakan perasaan bahagia. Emosi (dalam arti tertentu, neurotransmitter dan hormon) mendorong perhatian (kemampuan anak untuk tetap terangsang dan terhubung dengan materi yang disajikan), dan perhatian mendorong pembelajaran.
  • Ruang yang dirancang untuk belajar secara individual, berkelompok (kecil dan besar). Stimulasi yang didapatkan dari teman sebaya sangat baik untuk meningkatkan neurotransmitter dan meningkatkan kinerja otak. Tapi selain itu mereka juga harus belajar bekerja sendiri-sendiri.
  • Lingkungan pembelajaran harus berpihak kepada anak (student-centered). Anak-anak belajar paling baik di dalam lingkungan di mana mereka dapat membuat keputusan tentang pemikiran dan pembelajaran mereka sendiri
  • Guru tentunya adalah faktor yang sangat besar. Saat anak-anak berinteraksi dengan pendidik yang imajinatif, bisa menerima anak-anak seutuhnya dan sanggup mendorong proses pembelajaran secara natural, anak-anak akan merasa percaya diri, dan keinginan belajar mereka akan meningkat.
  • Lingkungan yang aman untuk gagal. Bagian otak yang dinamakan Amygdala sangat rentan mengeluarkan hormon-hormon stress yang menghambat cara berpikir rasional. Ini sangat mudah terjadi ketika anak-anak merasa stress dan takut akan kegagalan. Maka menciptakan lingkungan dimana mereka bisa gagal tanpa stress sangatlah dibutuhkan.

 

Sumber:

Frost, J. L. (1998). Neuroscience, Play, and Child Development.

Rushton, S., Juola-Rushton, A., & Larkin, E. (2010). Neuroscience, play and early childhood education: Connections, implications and assessment. Early Childhood Education Journal, 37(5), 351-361.