Dari mempelajari games kita bisa belajar tentang belajar. Part 2.

Dari mempelajari games kita bisa belajar tentang belajar. Part 2.

Saat mempelajari games itu apa, kita menggunakan 4 definisi yang diberikan oleh intelektual-intelektual. Dari definisi-definisi ini kita bisa mendapatkan wawasan mengenai, kenapa games bisa menjadi media yang sangat baik untuk pembelajaran. Definisi yang berbeda-beda ini memiliki 2 aspek yang sama pertama playful dan kedua problem solving.

Di bagian pertama kita mempelajari aspek playful activity sebagai solusi dari halangan-halangan emosional pelajar.

Sekarang pembahasan bisa lebih luas lagi, yaitu tentang tujuan pendidikan itu sendiri. Tentunya kita tau belajar itu bukan untuk sekedar menghafal fakta dan lulus ujian di sekolah. Banyak tentunya yang memberi emphasis terhadap karakter yang moral, budaya, agar masa depan sukses, atau banyak hal lain. Tapi di luar pembahasan itu, ada satu hal yang bisa diterapkan di berbagai macam area, yaitu problem-solving. Banyak aspek kehidupan kita yang bisa dilihat sebagai tantangan atau problem yang ada solusinya. Karena itu kita pasti banyak yang setuju bahwa salah satu tujuan edukasi adalah menciptakan problem solvers di masa depan. Kemiskinan, global warming, atau penyakit menular, tentunya ini problem-problem yang kita menunggu solver nya siapa, ini lah esensi dari kenapa problem solving termasuk dalam 21st century skills.

 

Banyak sekali macam game, dari games traditional seperti petak umpet, board games seperti ular tangga, atau video games di HP dan PC, semua game ini memiliki sebuah obstacle, conflict, atau problem yang harus di solve, ini lah mengapa problem solving merupakan aspek yang sangat dasar dari sebuah game. 

 

Pasti banyak yang sudah mendengar clice “practice makes perfect” ini sepertinya menjadi clice karena memang sangat benar!

 

Untuk itu kita bisa melihat Activity Theory. Activity Theory menunjukkan bahwa pembelajaran dibentuk oleh praktik/aktivitas, dengan orang-orang dan lingkungan sekitar (Vygotsky, 1978; Cole & Engeström, 1993; Kaptelinin & Nardi, 2006). Activity Theory menyebut belajar sebagai “memperluas keterlibatan,” (sosial maupun intelektual) dengan orang lain dan lingkungan. Memahami sebuah makna dan pembelajaran dihasilkan karena aktivitas dengan orang lain dan lingkungan, bukan sesuatu yang terbatas sebagai proses mental individu saja.

 

Jadi belajar yang baik bukan lah sesuatu yang dikerjakan dengan sendiri, tapi lewat melakukan aktifitas yang berhubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitar, lalu pelajar bisa belajar dari pengalaman ini, seperti reaksi apa saja yang didapatkan setelah melakukan aktivitas ini dan itu.

 

Game memberikan kita sebuah simulasi dunia nyata, dimana kita bisa bebas berinteraksi dengan pemain lain dan lingkungan, dan melihat reaksi dari aksi-aksi kita. Kita bisa mengulang dan mengulang lagi apa yang kita ingin terapkan di dunia nyata. Contohnya game seperti Settlers of Catan memberikan banyak kesempatan untuk kita melatih negotiation skills kita. Di sini kita melihat jika bernegosiasi kita harus menguntungkan pemain lain bukan hanya diri sendiri, kadang kita harus bisa menekankan keinginan kita, kadang kita juga harus sabar mencari peluang negosiasi lain, seperti itu lah bernegosiasi di dunia nyata juga. 

Atau game seperti World of Warcraft terlihat sangat efektif untuk melatih teamwork. Di mana sebagai tim kita harus memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing anggota, kita harus berkomunikasi dengan baik, kita harus tahu peran kita dalam tim kapan kita harus melakukan apa, kapan kita harus menunggu anggota lain, merencanakan aksi sebagai tim, dan banyak aspek lain yang bisa kita practice di dunia game dan kita ulangi di dunia nyata. 

TEDGlobal 2012 – June 25 – 29, 2012, Edinburgh, Scotland. Photo: James Duncan Davidson

Ada TED talk yang sangat menarik oleh Jane McGonigal yang berjudul Gaming can make a better world. Jane menjelaskan bahwa dia telah menggunakan games untuk melatih orang-orang menyelesaikan problem-problem di dunia nyata. Seperti game World Without Oil pemain bisa belajar menggunakan bahan bakar sebaik-baik nya. Atau The Global Extinction dimana Jane mengajak 8000 pemain untuk mencari solusi-solusi di masa depan, mau itu tentang pangan, bahan bakar, kesehatan, keamanan, dan game ini berhasil menghasilkan 500 solusi-solusi kreatif tentang topik-topik ini setelah dimainkan selama 8 minggu.

 

Sepertinya inilah yang kita perlukan pelajar kita untuk mahiri, problem solving! Untuk itu lah banyak-banyak main dengan mereka, dan coba solve sebanyak-banyak nya problems.

 

Sumber:

 

TED talk Jane McGonigal Gaming can make a better world.

https://www.youtube.com/watch?v=dE1DuBesGYM

 

York University. (2016, January 29). Practice makes perfect, study confirms: Researchers were looking at fMRI brain scans of professional ballet dancers to measure the long-term effects of learning. ScienceDaily. Retrieved June 15, 2020 from www.sciencedaily.com/releases/2016/01/160129170533.htm

 

Dari mempelajari games kita bisa belajar tentang belajar. Part 1.

Dari mempelajari games kita bisa belajar tentang belajar. Part 1.

 

Sering kali kita membahas tentang manfaat menggunakan games sebagai media pembelajaran, dan juga banyak yang ingin mendesain games nya sendiri untuk mengajar, atau bahkan sudah berhasil mendesain game sendiri.

Namun pembahasan yang sangat dasar ini juga sangat penting. Dari menelusuri apa sih sebenarnya sebuah game kita bisa mempelajari tentang “belajar” itu sendiri. Dan kenapa games bisa menjadi media yang efektif untuk belajar dan mengajar. 

Ludenara sering kali menggunakan 4 definisi di atas sebagai pondasi dari diskusi kita mengenai games dan pendidikan. Dari keempat definisi ini ada kesamaan yang sangat penting untuk dibahas, yaitu mengenai playful attitude and point of view, dan problem solving. Artikel ini akan membahas Playful Attitude.

Model dan teori seperti the differential emotions theory (Izard, 2007), the control value theory of achievement emotions (Pekrun, 2000), dan the integrated cognitive affective model of learning with multimedia (Plass & Kaplan, 2015), telah menjelaskan bahwa kondisi emosi dan kognisi sangatlah bergantung dan mempengaruhi efektivitas belajar. Dengan singkat kita mengerti bahwa, kondisi-kondisi emosi yang tidak stabil atau negatif menjadi sebuah hambatan belajar;

 

  • Sensitivitas Emosional. Pelajar yang sensitif secara emosional terkadang menjadi kewalahan dan kehilangan kendali atas emosi mereka.
  • Takut. Ini bisa berupa ketakutan akan Kritik dan Penghakiman, atau Ketakutan akan Kegagalan dan Ketakutan akan Penolakan. 
  • Malu. Pelajar dapat merasakan pekerjaan mereka tidak akan sebagus yang lain, karenanya jangan pernah mencoba untuk berhasil.
  • Demotivation. Kemauan atau motivasi pelajar untuk mempelajari sebuah hal tentu sangat berdampak pada hasil pembelajaran.

 

Dari sini lah kita bisa mengerti kenapa games sangat baik untuk belajar. Games adalah sebuah aktivitas yang playful seperti definisi oleh Schell.

Playfulness memunculkan emosi-emosi positif dan stabil, ini lah yang membantu kita untuk melewati tantangan emosional saat belajar. Di dalam konteks perkembangan anak, bermain membantu anak-anak meregulasi emosi (Vygotsky, 1987). Jadi bukan hanya saat bermain mereka mengalami emosi yang baik, tapi juga bermain adalah proses melatih mental yang sehat. Dari bermain anak-anak akan mendapatkan stabilitas emosional yang bermanfaat saat belajar. Selain itu, telah dibahas di artikel Ludenara, aktivitas playful telah terbukti sebagai terapi ampuh untuk memperbaiki emosi-emosi negatif dan kondisi mental lain yang buruk.

Sepertinya tidak ada tempat lain di luar bermain games dimana kita bisa gagal sesukanya tanpa malu!. Games menyediakan tempat dimana kegagalan bukan lah sesuatu yang di takuti tapi adalah sebuah norma nya, dimana setiap pemain akan gagal sebelum lanjut ke tantangan berikutnya. 

Ini juga kenapa teori-teori yang mendukung Game Based Learning telah menaruh kegagalan dalam tahta yang tinggi. Teori 4 Freedoms of Play dari MIT menjelaskan kenapa anak-anak harus dibebaskan untuk melakukan kesalahan, teori Magic Circle oleh New York University juga menjelaskan keunggulan games sebagai teknologi pendidikan untuk membuat tempat yang aman untuk gagal.

Definisi Bernard Suit juga sangat penting untuk di lihat, khusus nya di bagian voluntary. Di mana aktifitas game itu di lakukan saat orang tidak di paksa. Tanmpa paksaan in juga yang membuat pemain terus termotivasi untuk bermain dan tidak ragu akan kegagalan.

Terakhir adalah topik yang sangat di bangga kan oleh para advokat bermain dan Game Based Learning. Yaitu adalah keunggulan games sebagai alat memotivasi anak untuk belajar. Seperti peran games untuk membangun motivasi intrinsik pelajar (Dondlinger, 2007), membangun ketertarikan pada topik pelajaran, dimana ketertarikan ini lah yang akan mendorong anak untuk terus mempelajari topik itu (Miller et al. 2011), dan membangun orientasi tujuan belajar yang membangun motivasi adaptif (Midgley, Kaplan, & Middleton, 2001). Pembahasan mengenai teori motivasi dan games juga ada di artikel Ludenara ini

Baca juga part 2 nya ya! Kita akan tentang problem solving dan games!

Sumber:

Helena Petersen, Manfred Holodynski. (2020) Bewitched to Be Happy? The Impact of Pretend Play on Emotion Regulation of Expression in 3- to 6-Year-Olds. The Journal of Genetic Psychology 181:2-3, pages 111-126.

Feiyan Chen, Marilyn Fleer. (2016) A cultural-historical reading of how play is used in families as a tool for supporting children’s emotional development in everyday life. European Early Childhood Education Research Journal 24:2, pages 305-319.

Whitebread, D., 2012. The Importance Of Play. [online] University of Cambridge. Available at: <http://www.importanceofplay.eu/IMG/pdf/dr_david_whitebread_-_the_importance_of_play.pdf>.

Game Based Learning ampuh dalam meningkatkan motivasi pelajar

Game Based Learning ampuh dalam meningkatkan motivasi pelajar

 

Photo by Rafaela Biazi on Unsplash

 

Salah satu tantangan pendidikan adalah membuat siswa-siswi kita untuk semangat dan terus ingin belajar. Sehingga tanpa disuruh, tanpa paksaan atau tanpa di iming-imingi hadiah mereka akan terus belajar dengan sendirinya. Tentu ini lah yang setiap pelajar ingin kan. Namun kita tahu bahwa kita jauh lebih termotivasi untuk bermain bukan belajar atau kerja, apa lagi anak-anak. 

Nah untung ada Game Based Learning, sebuah proses menggunakan games atau aktifitas bermain menjadi media belajar yang memotivasi anak-anak untuk belajar.

Secara logika kita kurang lebih mengerti kenapa bermain bisa meningkatkan motivasi belajar.

Pertama, anak-anak memang naluri nya mendorong mereka untuk bermain, sehingga segala aktifitas yang berkonteks bermain tentu akan diterima dengan antusias oleh mereka. Lalu aktivitas seru ini akan kita bungkus dalam proses Game Based Learning sehingga anak-anak yang sebenarnya sedang bermain, sadar atau tanpa sadar juga sedang belajar.

Selain itu seperti yang telah dibahas di artikel Ludenara sebelumnya, bermain memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, yang anak-anak pun akan berusaha memenuhi kebutuhan ini. Sehingga bermain menjadi sebuah proses yang di ingin-inginkan oleh mereka.

Sekarang selain logika belaka, artikel ini akan membahas beberapa teori motivasi ilmiah yang telah di kompilasikan di dokumen oleh American Psychological Association. Secara jelas dokumen ini membahas kenapa Game Based  Learning sangat ampuh dalam membentuk motivasi untuk belajar.

Intrinsic Motivation (Optimal Challenge) 

Elemen inti dari desain game membuat pemain termotivasi secara intrinsik seperti, tantangan, naratif fantasy, dan segala keunikan-keunikan yang membangun rasa ingin tahu (Dondlinger, 2007). Contohnya tantangan bisa sangat memotivasi, jika pemain semakin handal, mereka akan naik level dimana tingkat kesulitan bermain meningkat sehingga tantangan akan terus optimal (Malone, 1981).

Tantangan yang optimal ini sangat penting untuk pelajar. Banyak peneliti yang membanggakan “state of flow” dimana proses belajar seperti pembentukan ilmu dan skill baru terjadi tanpa kesulitan, dan tantangan yang optimal lah yang membuat pemain masuk ke dalam “state of flow” ini (Brom et al., 2014; Pavlas, Heyne, Bedwell, Lazzara, & Salas, 2010).

Values and Interest

Photo by Pete Wright on Unsplash

2 hal yang membuat manusia semangat untuk belajar adalah, jika pelajaran itu di anggap sangat bernilai (value), atau mereka memang tertarik kepada topik itu (interest). 

Penelitian telah membuktikan bahwa ketertarikan pelajar pada sebuah bidang studi terbentuk setelah mereka memainkan games yang berlandasan topik itu (Miller et al. 2011). Ludenara sendiri telah membuktikan ini dengan board game SIAGA! Dimana pemain ditantang untuk menjadi relawan BAZNAS yang bertugas untuk memitigasi bencana, dan meminimalisir jumlah korban bencana. Setelah memainkan games ini banyak siswa SMAN 8 Bandung yang ingin menjadi relawan tanggap bencana

Ini terjadi karena aktivitas bermain ini menyenangkan ini membangun “situational interest” yang tidak permanen. Dengan memainkan sebuah topik pembelajaran, lama-lama pemain membentuk “individual interest” yang sifat nya lebih permanen, sehingga pemain akan mempelajari topik ini dengan senang hati karena mereka memang tertarik. 

Achievement-related Goals

Ada 2 tipe orientasi tujuan belajar, Mastery Goal Orientation di mana siswa fokus pada pembelajaran keterampilan baru, menguasai materi, dan mempelajari hal-hal baru, dan Performance Orientation di mana siswa fokus memaksimalkan evaluasi yang menguntungkan dari kompetensi mereka, dengan kata lain orientasi ini mementingkan nilai ujian. Secara umum, siswa dengan mastery goal orientation cenderung memiliki pola motivasi yang lebih adaptif dan sehingga motivasi belajar lebih konsisten (Midgley, Kaplan, & Middleton, 2001)

Games mendorong pemain untuk memiliki mastery goal orientation karena di games yang membuat kita naik level atau mendapatkan reward adalah seberapa trampil nya kita dalam menghadapi tantangan-tantangan di games.

Sumber:

Sumber:

Plass, J. L., Homer, B. D., & Kinzer, C. K. (2015). Foundations of Game-Based Learning. Educational Psychologist, 50(4), 258–283. doi: 10.1080/00461520.2015.1122533

Miller, L. M., Chang, C. I., Wang, S., Beier, M. E., & Klisch, Y. (2011).
Learning and motivational impacts of a multimedia science game. Computers & Education, 57, 1425–1433.

 

Nilai Ujian Naik 10 Poin! Ini lah Hasil Game-based Learning

Nilai Ujian Naik 10 Poin! Ini lah Hasil Game-based Learning

Photo by Jerry Wang on Unsplash

Belajar sambil bermain memang banyak sekali manfaat di luar dunia akademisi, seperti ketangkasan sosial, berpikir kritis, kemampuan untuk beradaptasi, dan seterusnya.

Namun ternyata game based learning juga bisa cocok untuk mengajar di kelas untuk meningkatkan nilai ujian!

National University Campus

National Central University, Taiwan mengadakan penelitian yang membuktikan ini. Untuk ini mereka menggunakan game kartu Conveyance Go, yang di design untuk memberi pengetahuan mengenai energi dan transportasi untuk pelajaran sains. Untuk ilmu sains di game ini mereka menggunakan buku “Means of Transport and Energy” sebuah buku sains untuk kelas 4 SD yang telah distandarisasi oleh Dinas Pendidikan Taiwan.

 

“Ilmu” yang diharapkan akan dipelajari dari game based learning di bagi menjadi 4 level.

 

  • Factual Knowledge
  • Conceptual Knowledge
  • Procedural Knowledge
  • Metacognitive Knowledge

 

 

Sementara proses kognitif dibagi menjadi level-level berikut

Mengingat
factual knowledge, jenis-jenis transportasi dan tipe-tipe energy
conceptual knowledge seperti seberapa banyak sebuah transport menggunakan energy.

Mengerti
conceptual knowledge memahami bahwa tipe energy-energy di perbarui tidak menghasilkan polusi, semetara energy tidak di perbarui menghasilkan polusi.
Metacognitive knowledge Game ini membahas masalah-masalah lingkungan seperti polusi yang mengakibatkan pemanasan global, dan ketergantungan pada bahan bakar fosil akan mengakibatkan krisis jika bahan bakar itu habis.

Apply
Procedural knowledge Saat murid-murid mengerti peraturan bermain mereka akan sanggup mengikuti prosedur main, mereka juga akan merancang strategi-strategi untuk menang.

Evaluate
Metacognitive knowledge Murid-murid bisa belajar dengan sendirinya tentang pro dan kontran dari setiap mode transportasi.

 

Mereka mengumpulkan sekelompok Murid SD dan mereka pre-test yang mengukur ilmu mereka mengenai transportasi dan energy. Standar test yang mereka gunakan juga merupakan standard ujian sains yang di tetapkan oleh Dinas Pendidikan Taiwan.

Photo by Nicholas Doherty on Unsplash

Dengan nilai total 100 pada pre-test hasil nilai rata-rata murid adalah 83.33. Lalu proses game-based learning mereka terapkan dengan permainan kartu ini dan mereka adakan post-test.

Hasil nilai rata-rata post test sebesar 92.12! Nah sekarang kita lihat dengan jelas game-based learning bisa meningkatkan nilai sebanyak 10 point.

 

Penelitian-penelitian yang meliputi game-based learning sangat lah banyak. Di tahun 2012 Amerika menghasilkan 30 penelitian, Taiwan sebanyak 22 dan 20 di Inggris.

Tentunya masih banyak lagi yang bisa kita pelajari mengenai dampak game-based learning di dunia pendidikan!

 

Refrensi

Zhi Feng Liu, Eric & Chen, Po-Kuang. (2013). The Effect of Game-Based Learning on Students’ Learning Performance in Science Learning – A Case of “Conveyance Go”. Procedia – Social and Behavioral Sciences. 103. 1044-1051. 10.1016/j.sbspro.2013.10.430.

Game Based Learning sangat efektif untuk proses belajar. Ini dia penjelasan menurut perspektif Cognitive Learning Theory.

Game Based Learning sangat efektif untuk proses belajar. Ini dia penjelasan menurut perspektif Cognitive Learning Theory.

Photo by Michał Parzuchowski on Unsplash

Cognitive Learning Theory menjelaskan tentang mental kita saat kita sedang belajar. Dan jika kita melihat Game Based Learning (GBL) dengan teori ini, tujuan akhir GBL adalah ketika pemain bisa membentuk Mental Models (Mayer, 2005, 2014). Mental Model ini lah yang membuat kita bisa memprediksi masa depan, membuat keputusan, memecahkan masalah, memahami sebuah fenomena dan mentransfer ilmu.

Ada beberapa cara games bisa membantu proses mental agar pemain bisa membentuk mental model ini termasuk; menyedikan real world context, guide dan feedback, dan transfer of learning. Selain itu jika games di desain dengan baik elemen-elemen seperti information design, interaction design, gesture and movement, juga bisa membantu proses kognitif. 

Real World Situation and Context 

Salah satu potensi terbaik dari games dan playful learning adalah kemampuannya untuk menyediakan banyak kesempatan untuk situated learning (Lave & Wenger, 1991; Wenger, 1998). Games bisa menjadi sebuah simulasi dunia nyata, dimana semua permasalahan, dan tantangan mirip dengan apa yang harus dikerjakan di dunia nyata. Contohnya seperti Sim City kita menjadi seorang walikota yang harus menata kota kita dengan baik agar warga-warganya puas. Kita harus memastikan polusi tidak terlalu tinggi hingga banyak yang sakit, kita harus memastikan pendapatan kota sanggup untuk menyediakan fasilitas-fasilitas bagi warga seperti pemadam kebakaran, rumah sakit, sekolah, taman, kepolisian, dan lainnya.

Bukan hanya video games, tapi board games juga telah menunjukan kemampuannya untuk melakukan hal yang sama. Seperti game Aquatico pemain bisa belajar tentang membersihkan dan menjaga ekosistem perairan dari polusi, dan betapa terhubungnya setiap ekosistem. Bahkan sebuah universitas di A.S. menggunakan board game untuk mengajar mahasiswa kedokteran agar mereka siap untuk memitigasi situasi-situasi gawat darurat.

Transfer of Learning

Salah satu tantangan besar untuk pendidikan adalah mengajar di cara yang memungkinkan siswa untuk menerapkan pengetahuan mereka di luar konteks sekolah. Transfer umumnya lebih mudah ketika konteks baru mirip dengan konteks pembelajaran, tetapi beberapa faktor telah diidentifikasi mempengaruhi transfer (Barnett & Ceci, 2002; Haskell, 2000). 

Perkins dan Salomon (1989) mengusulkan dua cara utama pengetahuan dapat ditransfer ke situasi baru: low road, yang tergantung pada otomatisitas melalui berulang praktik keterampilan, dan jalan high road, yang tergantung pada abstraksi sadar dan penerapan pengetahuan. Permainan dapat memfasilitasi kedua jala ini untuk mentransfer dengan memberi kesempatan yang dapat diulang untuk mempraktikkan keterampilan dan menerapkan pengetahuan (low road) dan dengan memberikan pengalaman yang berbeda namun terkait yang memfasilitasi abstraksi yang dibutuhkan untuk pengetahuan digeneralisasikan ke situasi baru (high road). 

Guide and Feedback

Di dunia akademis ide scaffolding telah diusulkan sebagai praktik yang sangat baik untuk memfasilitasi pembelajaran. Ide ini pertama diusulkan oleh Wood, Bruner, dan Ross (1976) untuk menggambarkan cara di mana orang dewasa atau ahli mengajari seorang pelajar untuk menyelesaikan masalah atau menyelesaikan tugas. Scaffolding terjadi ketika seorang ahli mengontrol aspek tugas yang berada di luar kemampuan pelajar, dengan demikian memungkinka pelajar untuk menyelesaikan tugas yang dia tidak akan lakukan mampu melakukan sendiri. 

Entertainment Games saat ini sangat sukses dalam scaffolding pemain baru karena mereka harus belajar cara bermain. Seringkali games akan dimulai dengan level tutorial di mana tindakan pemain dan keberhasilan atau kegagalan berikutnya dimonitor secara ketat. Feedback dan dukungan yang sesuai di situasi games di mana pemain mengalami masalah, sehingga memberikan feedback yang dinamis untuk scaffolding. Di setiap level pemain meningkat scaffolding ini memudar dengan pelan sehingga pada akhirnya pemain bisa menyelesaikan level-level sulit tanpa panduan dan feedback.

Ini adalah ringkasan singkat dari publikasi oleh American Psychological Association berjudul Foundations of Game Based Learning. Dimana mereka membahas teori-teori pendidikan seperti teori motivasi, socio cultural, affect dan cognition yang dihubungkan dengan GBL. Karena itu Ludenara sangat merekomendasi para praktisi GBL untuk mempelajari dokumen ini karena banyak ilmu berharga yang dapat meningkatkan kualitas kita semua sebagai pelajar.

Dokumen ini bisa di download di Google Scholar. 

Sumber: Plass, J. L., Homer, B. D., & Kinzer, C. K. (2015). Foundations of Game-Based Learning. Educational Psychologist, 50(4), 258–283. doi: 10.1080/00461520.2015.1122533

Bermain action games ternyata sangat menguntungkan Otak Orang Dewasa. Khusus nya untuk Brain Plasticity

Bermain action games ternyata sangat menguntungkan Otak Orang Dewasa. Khusus nya untuk Brain Plasticity

Photo by Florian Olivo on Unsplash

Banyak yang tahu bahwa kemampuan belajar anak kecil lebih besar dari pada orang dewasa.

Salah satu penjelasan terbaik datang dari ilmu neurology iaitu brain plasticity. Brain plasticity, adalah kemampuan otak untuk melakukan perubahan struktural dan membuat neuro pathways yang baru. Dari struktur otak atau yang berubah kita bisa mempelajari ilmu dan keterampilan baru, mengingat hal-hal baru, otak dapat menyebabkan kerusakan, dan hal lain yang berkaitan dengan fungsi otak.

Sebelum penelitian-penelitian neurologis di abad 20 kita mengira brain plasticity ini hanya ada di otak yang masih berkembang (di anak muda, balita dan anak kecil). Namun ternyata telah banyak penelitian sejak pertengahan abad 20 yang menemukan bahwa otak orang dewasa masih memiliki plastisitas. 

Nah kabar baiknya brain plasticity ini bisa dilatih, hingga meningkatkan kemampuan orang dewasa untuk belajar!

Selama ini metode-metode populer yang disarankan untuk meningkatkan brain plasticity bisa diterapkan dengan mudah. Termasuk olahraga, khususnya aerobic yang membuat banyak oxygen masuk ke otak (Tarumi T, Zhang R January 2014) . Mindfulness (Lazar SW, et al. November 2005) dan Zen (Pagnoni G, Cekic M October 2007) meditation juga terlihat banyak manfaat untuk otak salah satunya adalah brain plasticity. Tentunya memainkan alat musik juga sangat baik juga (Hyde KL, et al. March 2009). Nah di daftar ini sekaran bisa di tambah “Main Action Games!”

Kalo di pikir-pikir semua solusi ini termasuk bermain, olahraga itu bermain seperti basket atau bola, mindfulness meditation bisa sambil main, main musik itu main, dan main games! Ini lah kenapa kita harus lebih main-main, hahaha. (ini lah bias Ludenara)

Iya ternyata action games sangat baik untuk brain plasticity, dokumen dari The Annual Review of Neuroscience tahun 2012 telah mendetail kan beberapa manfaat bermain action games untuk struktur otak yang memberikan dampak baik jangka panjang untuk orang dewasa.

Salah satu pelatihan untuk menambahkan barin plasticity telah di uji dengan kemampuan mental rotation. Di pelatihan ini para peserta memainkan action games selama 2 minggu dengan total jam bermain 10 jam. Lalu setelah di uji mereka bisa melakukan mental rotation lebih baik, dan efeknya jangka panjang.

Task switching, kemampuan untuk mengganti-ganti tugas-tugas kognitif juga salah satu ukuran brain plasticity. Sama seperti bermain Rise of Nation, bermain action games ternyata melatih otak kita untuk melakukan task switching dengan lebih baik. Penelitian yang membandingkan Action Game Player (AVG) dengan Non-action Video Game players (NVGP) telah menunjukan AVG lebih handal dalam tugas ini.

Real time decision juga membutuhkan brain plasticity, ketika kita harus membuat keputusan dengan jangka waktu yang pendek juga ternyata terlatih dengan bermain action game dan real times strategy game. Penelitian yang membandingkan AVG dan NVGP ini menunjukan bahwa AVG bisa mengakumulasi informasi 20% lebih banyak dari NVGP akumulasi informasi ini lah yang membuat decision making lebih mudah.

Dokumen ini mendetailkan banyak hal lain yang menunjukan brain plasticity menambah saat memainkan action video game, termasuk; reaction time, speed accuracy, vision, attention dan banyak lagi. Tentunya article ini akan terlalu panjang jika dibahas satu per satu, dan Ludenara sangat merekomendasikan dokumen ini dipelajari karena memiliki banyak informasi yang menarik, ini link untuk download dokumen ini.

References:

Tarumi T, Zhang R (January 2014). “Cerebral hemodynamics of the aging brain: risk of Alzheimer disease and benefit of aerobic exercise”. Frontiers in Physiology. 5: 6. doi:10.3389/fphys.2014.00006

Lazar SW, Kerr CE, Wasserman RH, Gray JR, Greve DN, Treadway MT, et al. (November 2005). “Meditation experience is associated with increased cortical thickness”. NeuroReport. 16 (17): 1893–7. doi:10.1097/01.wnr.0000186598.66243.19.

Daphne Bavelier, C. Shawn Green, Alexandre Pouget, Paul Schrater. “Brain Plasticity Through the Life Span: Learning to Learn and Action Video Games Annual Review of Neuroscience” 2012 35:1, 391-416

World Play Day came just in time! Hari yang mengingatkan bahwa semua orang butuh bersenang-senang.

World Play Day came just in time! Hari yang mengingatkan bahwa semua orang butuh bersenang-senang.

Jatuh pada tanggal 28 Mei World Play Day adalah sebuah inisiatif dari International Toy Library Association (ITLA) yang bertujuan untuk membangun hubungan baik antar generasi! Iya di hari ini kita dorong untuk mengajak main bukan hanya saudara dan teman sebaya tapi juga bapak, ibu, kakek, nenek, cucu, keponakan, dan anak. 

World Play Day biasany di selengarakan dengna 40 negara mengadakan event yang meriah untuk bermain bersama, tapi di tahun ini hari seperti ini tetap penting utnuk kita semua.

Karena hari ini jatuh di saat pandemi, maka itu tema nya adalah “Be safe and play at home”. 

 

Nah “Be safe and play at home” ini tetap bisa melahirkan inisiatif-inisiatif yang keren! Salah satu nya adalah dari Cotlands sebuah NGO dari South Africa. Untuk event ini Cotlands menyediakan activity book gratis yang bisa di download, di print, dan di nikmati bersama di rumah.

Binary Impact, sebuah game developer dari Jerman juga menyediakan konten mereka secara geratis untuk menyelengarakan hair World Play Day! Salah satu game mereka yang berjudul Beam di bisa di download secara gratis, Binary Impact mendesain game ini untuk orang dewasa lho, jadi puzzle nya lumayan rumit!

Memang jika di bandingkan tahun-tahun yang lalu, dimana 40 negara mengadakan event yang meriah dan besar, World Play Day kali ini tidak biasa di selengarakan secara maksimal. Karena itu, ayo di tahun depan jangan kelewat kita harus balas dengan bermain sepuas-puas nya!

Tragedy yang membangunkan kita akan bahayanya Play Deprivation

Tragedy yang membangunkan kita akan bahayanya Play Deprivation

Picture by: towershooting.com

Pada tanggal 1 Agustus, 1966 Charles Whitman membawa senapan dan senjata lainnya ke dek observasi di atas menara Gedung Utama di Universitas Texas di Austin, lalu menembakan senapannya ke arah orang-orang di kampus dan jalan-jalan di sekitarnya. Selama 96 menit lamanya dia menembak dan membunuh 14 orang (termasuk anak yang belum lahir) dan melukai 31 lainnya. Satu korban terakhir meninggal pada tahun 2001 karena efek luka yang masih tersisa. Mungkin yang bisa kita anggap lebih tragis lagi terjadi di malam sebelumnya, ketika Whitman menusuk dan membunuh ibu kandung dan istrinya sendiri.

Tentunya tragedi seperti ini menjadi sebuah subjek penelitian para ekspert di saat itu, dan hingga saat ini. Tentunya setiap expert yang meneliti memiliki pandangan nya masing-masing mengenai apa penyebab tragedi ini, mengenai apa sebenarnya yang membuat Charles Whitman, seseorang yang taat peraturan hingga ikut membela negaranya ketika di marinir bisa melakukan hal tragis seperti ini. Namun ada sebuah penelitian yang bisa menjelaskan banyak hal.

Di saat itu gubernur Texas John Connally membentuk sebuah tim peneliti untuk mencari tahu semua tentang hal ini. Stuart Brown sebagai psychiatrist adalah salah satu peneliti yang ditunjuk, salah satu konklusi dari tim ini lah yang mengubah hidupnya, bahwa lebih dari faktor yang lain kurangnya unstructured play di masa kecil, adalah apa yang mengubahnya menjadi seorang pembunuh.

Brown telah mempelajari pembunuh massal lainnya di samping Whitman dan mengatakan dia telah menetapkan bahwa mereka juga tidak memiliki permainan yang sehat seperti rough and tumble play saat anak-anak. Bermain bukan satu-satunya hal yang hilang, kata Brown, tetapi itu adalah tema umum. Dia telah memeriksa sekitar 8.000 orang dan sejarah bermain mereka. Jika Whitman diizinkan bermain selama hidupnya, kata Brown, ia dapat mengembangkan fleksibilitas dan keterampilan sosial untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan tanpa beralih ke kekerasan.

Dari testimoni yang didapatkan oleh Brown bersama tim mereka tahu bahwa sang ayah sangat lah brutal, suka mendominasi dan sangat menuntut. Di masa kecil nya Whitman tidak diizinkan memiliki teman, dan anak-anak lain tidak diizinkan untuk mengunjungi rumahnya. Guru-gurunya ingat bahwa Whitman tidak tahu bagaimana bermain sebagai seorang anak. Dia akan meniru perilaku bermain anak-anak lain tetapi tampaknya tidak senang dengan mereka. Brown melihat seorang anak yang tidak pernah mengembangkan keterampilan sosial yang akan mempersiapkannya untuk mengatasi stres.

TEDGlobal March 12, 2009

Kasus ini dari penembakan di atas menara universitas, pembunuhan sang ibu kandung dan istri, hingga masa kecil yang sangat buruk memang sangat lah tragis. Mungkin ini semua akibat dari play deprivation adalah sebuah jawaban yang terlalu sederhana. Namun dengan banyak alasan seperti landasan teori dan penelitian yang telah dibahas di artikel sebelumnya, kita percaya paling tidak bermain bisa memitigasi perilaku anti sosial seperti ini.Kasus ini pula yang menginspirasi Stuart Brown untuk membangun the National Institute of Play.

 

Sumber

Taboada, M. B. (2018, September 26). How UT sniper Charles Whitman’s hatred inspired an Institute for Play. Retrieved from https://www.statesman.com/news/20160903/how-ut-sniper-charles-whitmans-hatred-inspired-an-institute-for-play

https://towershooting.com/

 

Play Deprivation, ketika kekurangan bermain berakibat fatal!

Play Deprivation, ketika kekurangan bermain berakibat fatal!

Image by lisa runnels from Pixabay
Dr Stuart Brown, psychologytoday.com

Bermain adalah kebutuhan, dan seperti kebutuhan lainnya jika tidak dipenuhi akan berakibat fatal. Perilaku anti sosial, tindakan kekerasan, otak dan badan yang tidak berkembang secara maksimal, depresi, kecemasan, gangguan kesehatan fisik dan mental, adalah beberapa dampak negatif yang telah jelas diteliti dan dokumentasi kan sebagai dampak dari play deprivation (Lauer, 2011). Saat anak play deprived mereka kehilangan segala hal esensial yang dibutuhkan untuk perkembangan, sehingga mereka memiliki disabilitas sosial dan biologis (Huges, 2003). Kondisi play deprivation ini memang mengawetkan, hingga Dr. Stuart Brown menyatakan di saat play deprived kita kehilangan segala essence yang membuat kita manusia.

 

Too little play experiences can lead to depression, feelings of hostility, aggression, and
the loss of the things that make us human beings.

Lalu apakah benar, bermain dengan baik bisa mencegah hal-hal seperti stunting otak, mental disorder, hingga tindakan kekerasan dan kriminal? 

Berikut adalah berberapa penlitian dan pendapat dari para ekspert;

Bermain untuk perkembangan otak yang sehat

Ketika membahas perkembangan otak, waktu di kelas mungkin kurang penting daripada waktu di taman bermain. 

“Pengalaman bermain mengubah koneksi neuron di prefrontal cortex Anda,” kata Sergio Pellis, seorang peneliti di University of Lethbridge di Alberta, Kanada. “Dan tanpa pengalaman bermain, neuron-neuron itu tidak berubah,” katanya.

Perubahan-perubahan dalam prefrontal cortex selama masa kanak-kanak itulah yang membantu menghubungkan pusat kendali eksekutif otak, yang memiliki peran penting dalam mengatur emosi, membuat rencana, dan menyelesaikan masalah, kata Pellis. Jadi bermain, adalah apa yang mempersiapkan otak muda untuk hidup, kasih, sayang dan bahkan tugas sekolah.

Bukti bahwa bermain penting untuk kesuksesan akademis ditunjukkan oleh penelitian dari Vanderbilt University. Mereka membandingkan anak-anak lulusan TK yang memberi penekanan pada keterampilan akademis atau calistung, dengan anak-anak yang tidak masuk TK. Memang pada awalnya mereka lebih siap untuk sekolah, tapi sejak kelas 1 tanggapan mereka akan sekolah sudah negatif, mereka menganggap sekolah tempat yang penuh stress. Selain itu di kelas 2 anak-anak yang masuk TK malah memiliki nilai lebih rendah di matematika, literasi, dan bahasa.

Bermain untuk kesehatan mental

Di negara-negara yang mengkompilasi data dengan baik seperti Amerika dan negara-negara Skandinavia, kita bisa melihat seiring dengan berkurangnya waktu, dan tempat bermain anak-anak, penyakit-penyakit mental disorder seperti kecemasan, depresi, hingga menyakiti diri sendiri meningkat. Memang kita semua tahu bahwa correlation is not causation, di American Journal of Play Peter Gray telah mendokumentasikan masalah ini dan menunjukan bukti logis causation yang kuat. Untuk mempelajari detailnya kita sangat rekomendasikan journal ini, namun berikut adalah ringkasan singkat mengapa bermain bisa mencegah kondisi mental yang buruk.

Sense of personal control over their faith.

Dia membahas bahwa jika manusia tidak merasa mengendalikan hidupnya, mereka lebih mungkin mengalami gangguan mental. Manusia yang percaya bahwa mereka adalah korban dari keadaan di luar kendali mereka cenderung lebih sering cemas, dibandingkan manusa yang percaya bawa mereka lah yang bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri.

The Coddling of the American Mind authorsExtrinsic goals vs intrinsic goals

Tujuan hidup yang seharusnya “intrinsic” seperti personal development sekarang bergeser ke hal-hal yang “extrinsic” seperti harta dan penghargaan dari orang lain, maka mereka dengan sangat cepat akan mengalami depresi dan kecemasan. Karena banyak sekali hal extrinsic yang di luar dari kontrol kita dan tidak permanen, menggantungkan kebahagiaan kepada hal yang tidak permanen dan di luar kontrol kita sangat tidak berguna.

Hal inilah yang dapat dicegah dengan bermain, seperti yang dia jelaskan tipe bermain tertentu seperti free play, mengajarkan kita untuk lebih mandiri, menghargai diri sendiri, dan mengontrol hidup kita sendiri. Dari bermain kita juga bisa mencari kebahagiaan tanpa materi yang berlebih, atau faktor eksternal lainnya.

The Coddling of The American Mind, authors

Penulis buku The Coddling of The American Mind, Greg Lukianoff dan Jonathan Haidt menujukan dampak negatif yang terjadi ketika anak-anak tidak diberikan free play yang cukup. Anak-anak ini lah yang menjadi Generasi Z (generasi pelajar universitas sekarang) memiliki mental yang rapuh, mereka sangat tidak sanggup menghadapi masalah dan sering kali mengandalkan orang tua untuk menyelesaikan masalah mereka.

Pencegahan perilaku anti sosial, kekerasan, dan kriminalitas

Image by RichJohnsonPhoto from Pixabay

Tentu untuk mencegah perilaku anti sosial, sosialisasi dari usia dini sangat penting. Bermain pun adalah cara terbaik untuk sosialisasi dengan keluarga, guru dan teman sebaya. Dari teori 

Theory by Mildred Bernice Parten Newhall (August 4, 1902 – May 26, 1970) an American sociologist, a researcher at University of Minnesota’s Institute of Child Development.

Teori social stages of play kita bisa melihat ada tipe permainan yang sangat krusial untuk setiap tahap perkembangan anak.

Selain itu Jean Piaget, the father of development psychology, mengemukakan bahwa karakter moral anak pada dasarnya terbentuk saat mereka bermain. Ketika bermain anak-anak belajar benar dan salah (moral dan immoral), dari melakukan sesuatu immoral mereka melihat dan mendapatkan reaksi negatif dari teman-teman nya, mereka belajar mengikuti peraturan, menyadari mengapa peraturan itu terbentuk, dan konsekuensi dari melanggar peraturan. Level setelah itu adalah saat mereka bisa membentuk peraturan-peraturan sendiri saat bermain untuk memastikan setiap anak bisa bermain dengan adil. Hal ini tidak hanya berlandaskan teori tapi juga bukti empirikal. Cambridge Journal of Education mempublish penelitian, yang menunjukan bahwa bermain mengembangkan empati dan perilaku prososial. Empati dan perilaku prososial ini sangat penting jika kita melihat bahwa menurut teori kognitif sosial kita belajar lebih efektif jika bersama kelompok yang kondusif.

Penelitian hewan juga menunjukan hasil yang menarik. Jaak Panksepp menyatakan: “Fungsi permainan adalah untuk membangun otak pro-sosial, otak sosial yang tahu bagaimana berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang positif.” 

Panksepp telah mempelajari proses ini pada tikus, yang suka bermain dan bahkan menghasilkan suara khas yang disebutnya “tikus tertawa”. Ketika tikus masih muda, bermain muncul untuk memulai perubahan jangka panjang di area otak yang digunakan untuk berpikir dan memproses interaksi sosial, kata Panskepp. Di area study ini juga kita mengetahui bahwa hewan yang tidak bermain di masa mudanya sangat rentan terhadap perilaku anti sosial seperti kekerasan.

Dari semua data di atas kita harus menanyakan para pembaca, apakah bapak/ibu setuju, bahwa bermain bisa mencegah tindakan kriminal?

Sumber:

Play Deprivation

Daunhauer, L. A., & Cermak, S. (2008). Play Occupations and the Experience of Deprivation. Play in Occupational Therapy for Children, 251–261. doi: 10.1016/b978-032302954-4.10008-x

Bermain untuk perkembangan otak yang sehat

Kenneth R. Ginsburg, ; and the Committee on Communications and ; and the Committee on Psychosocial Aspects of Child and Family Health

Pediatrics January 2007, 119 (1) 182-191; DOI: https://doi.org/10.1542/peds.2006-2697

Murid play based kindergarten lebih sukses di SD

Farran, D. C., & Lipsey, M. W. (2016). Evidence for the benefits of state

prekindergarten programs: Myth & misrepresentation. Behavioral

Science & Policy, 2(1), pp. XX–XX.

Bermain untuk kesehatan mental

Lukianoff, G., & Haidt, J. (2019). The coddling of the American mind: how good intentions and bad ideas are setting up a generation for failure. New York City: Penguin Books.

Gray, P. (2011). The Decline of Play and the Rise of Psychopathology in Children and Adolescents. American Journal of Play, 3.

Pencegahan perilaku anti sosial, kekerasan, dan kriminalitas

Wenner, M. (2009). The Serious Need for Play. Scientific American Mind, 20(1), 22–29. doi: 10.1038/scientificamericanmind0209-22

Bermain penting untuk memenuhi kebutuhan manusia

Bermain penting untuk memenuhi kebutuhan manusia

Bukan sekedar aktivitas sepele yang kita lakukan untuk menghabiskan waktu atau melawan kebosanan, bermain adalah aktivitas yang sangat penting karena kita bisa memenuhi kebutuhan kita sebagai manusia.

Salah satu teori paling terkenal di bidang psychology adalah Maslow’s hierarchy of needs, dimana psikolog Abraham Maslow merincikan kebutuhan manusia dari yang paling dasar seperti sandang pangan papan hingga kebutuhan untuk mencapai potensi tertinggi nya.

Memang saat tahap peradaban kita masih primitif, bermain penting untuk belajar bertahan hidup di masa dewasaTapi memang kita semua tau, permainan tidak bisa dimakan, digunakan sebagai pakaian, dan melindungi kita dari hujan, dingin, atau panas. Jika ada permainan yang bisa mencukupi kebutuhan dasar ini, tolong kontak Ludenara sekarang juga! 

Bermain bukan kebutuhan physiologis, namun psychological. Tapi jangan lupa bahwa kebutuhan psychological ini bukan tidak penting, hanya memang physiologic memiliki prioritas utama. 

Banyak penelitian yang menjelaskan bahwa kasus-kasus depresi, melukai diri sendiri, hingga bunuh diri terjadi karena kebutuhan psikologis tidak terpenuhi dan karena itu lah kesehatan mental jatuh. Satu lagi hal yang bisa menerangkan pentingnya psychological needs ini adalah survei mengenai penyesalan manusia di masa hidup (Regrets of the Dying – Bronnie Ware).

Mereka tidak menyesal karena harta (ingin lebih kaya, ingin barang-barang mewah) namun mereka menyesal karena terlalu giat bekerja, tidak menjalin hubungan lebih baik teman-temannya, dan live a happier life.

Alan Gerding seorang professor of psychology dari Cuyahoga Collage telah merincikan kebutuhan-kebutuhan yang sangat cocok untuk di lengkapi dengan bermain.  Berikut adalah rangkuman dari seminar publik Greding

Social Belonging

Image by Stefan Keller from Pixabay

Yang pertama, kebutuhan dasar psychology adalah social belonging. Kita makhluk sosial yang butuh di cintai di sayangi, di akui kerabat kita. Tentunya kita harus menjalin hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita.

Dari usia dini kita tahu anak-anak melakukan ini dengan bermain dengan temannya atau dengan keluarga, di masa remaja dan dewasa pun kita tahu bahwa bermain sangat lah cocok untuk social bonding.

Dari bermain kita bisa semakin dekat dengan orang-orang disekitar kita.

 

Self Esteem

Di tahap ini menurut Maslow manusia membutuhkan status dan kehormatan dari orang sekitar. Hal-hal seperti ini membutuhkan banyak prestasi dan kesuksesan, di sini lah bermain bisa membantu namun fungsi bermain sebagai alat untuk membantu karir kita adalah topik yang panjang, dan akan di bahas di lain waktu.

Secara singkat premis nya seperti ini; bermain bisa membuat kita menjadi orang yang lebih baik (productive, creative, skillfulll) hal ini lah akan meningkatkan status sosial kita. 

Picture by: Board Gaming with Education Tuesday Knight Games feat. Alan Gerding – 64

Namun ada hal lain yang ditunjukkan oleh Alan Gerding, ya itu self esteem sebagai nilai kita terhadap diri kita sendiri, atau seberapa bahagiannya diri kita dengan diri sendir,i seberapa bangga nya kita dengan diri sendiri.

 

Menurut Profesor Gerding disini lah bermain bisa membantu. Banyak sekali macam games dan setiap orang pasti akan menemukan game yang mereka bisa kuasai karena cocok dengan mereka. Memiliki mastery dalam sebuah game bukan hal yang mudah dan pencapaian ini akan meningkatkan self esteem kita.

 

 

Self-actualization

Definisi paling singkat dari self-actualization adalah mencapai potensi tertinggi, atau menjadi versi terbaik dari diri kita. Pada TED talk di tahun 2010 Jane McGonigal menyatakan bahwa 

In game world we become the best version of our self

TEDGlobal 2012 – June 25 – 29, 2012, Edinburgh, Scotland. Photo: James Duncan Davidson

Penjelasan McGonigal sangatlah menarik.

Saat di dunia games kita sangat nyaman dengan diri sendiri, kita bisa mengapresiasi segala hal di sekitar kita, kita tidak takut kegagalan, kita bisa belajar dari kesalahan, kita selalu ingin berkolaborasi, kita bisa memimpin, kita bisa memecahkan masalah lagi dan lagi.

 

Hal-hal yang menurut Maslow adalah karakteristik dari seseorang yang sudah self-actualized. Menurut Maslow, terkenal atau tidak dikenal, berpendidikan atau tidak, kaya atau miskin, seseorang yang sudah self-actualized cenderung cocok dengan profil ini.

Photo by Mohamed Nohassi on Unsplash

Ini fungsi bermain, menyediakan jendela untuk melihat bahwa kita sudah self-actualize, dan jika benar kita sudah mencapai titik ini;                                                                                                                                                                           

Then there is nothing to fear, nothing to worry, and there is nothing that we can’t do.

 

Sumber: 

Maslow’s hierarchy of needs

Maslow, A.H. (1943). “A theory of human motivation”. Psychological Review. 50 (4): 370–96. CiteSeerX 10.1.1.334.7586. doi:10.1037/h0054346

Self-actualization profile

Coon, Mitterer;”An Introduction to Psychology: Gateways to Mind and Behavior” 2007 p. 479

Alan Gerding, the psychology of why we play

https://www.youtube.com/watch?v=wFtw9D_OjMw

Jane McGonigal TED talk, gaming can make a better world

https://www.youtube.com/watch?v=dE1DuBesGYM&t=233s