Dari 3,000 tahun yang lalu Game Based Learning sudah ada!

Dari 3,000 tahun yang lalu Game Based Learning sudah ada!

Claude Lorrain – Apollo Muses

Di tahun 387 Sebelum Masehi, Plato mendirikan The Academy sebuah perguruan tinggi yang menurut bukti arkeologi merupakan perguruan tinggi yang paling pertama terbangun di Eropa. Di dalam kampus nya Plato juga mendirikan sebuah kuil yang didedikasikan untuk “The Muses” Sekelompok Dewi-dewi yang menurut Plato adalah pelindung paideia (education) dan paidia (play) (D’Angour 2013)

Secara general bermain dan aktifitas-aktifitas lain yang masuk dalam “lindungan” The Muses (puisi, musik, dansa, drama, komedi) memiliki peran yang sangat besar dalam filsafat Plato secara menyeluruh.

Plato melawan dualitas yang bertentangan antar paidia (play) dan spoude (serious). Pemikiran yang konvensional di jaman itu adalah dualitas diantara kedua ini, dimana bermain dan aktivitas lain yang serius itu bertolak belakang dan tidak bisa disamakan. Namun setiap orang yang membaca Platonic Dialogues pasti menyadari bahwa secara explicit Plato mencampurkan kedua hal ini secara harmonis (Ardley 1967).

Hal ini terangkum dengan sangat singkat di dalam salah satu quote Plato yang mungkin paling populer,

“Life must be lived as play”

-Plato

Dalam bukunya Laws (Book 1) Plato mengobservasi bahwa bermain sangat lah natural untuk Anak, “Saat Anak-anak berkumpul dan bermain bersama, mereka secara spontan mereka menemukan permainan-permainan yang cocok untuk usa mereka.” 

Plato mengadvokasikan agar masyarakat menggunakan aktivitas bermain untuk tujuan-tujuan utilitarian. Plato menuliskan, “Belum ada masyarakat yang benar-benar menyadari betapa pentingnya bermain untuk kestabilan sosial, proposal saya adalah kita harus meregulasikan permainan Anak-anak”. 

Menurut Plato kita bisa menggunakan games untuk mengarahkan dan melatih Anak agar mereka bisa lebih siap menempati peran nya sebagai orang dewasa di masa depan. Jika Anak-anak ingin menjadi petani yang baik dari kecil dia harus coba mainan-mainan petani dan bermain “role-play” yang mencontoh petani-petani yang baik.

Satu hal lagi dari Plato yang sekarang Ludenara coba terapkan sebaik mungkin adalah pendidikan dimulai dari enjoyment Anak, dan bukan arahan otoriter yang menurut pendidik harus dilakukan oleh sang Anak. Seperti quote ini;

 

“Do not train a child to learn by force or harshness; but direct them to it by what amuses their minds, so that you may be better able to discover with accuracy the peculiar bent of the genius of each.”

Plato

 

Integrasi antara bermain dan pendidikan ini ternyata bukan Plato yang memulai, melainkan ini pembelajaraan yang Plato dapatkan dari guru nya, Socrates. Dalam buku nya The Republic, Plato mendokumentasikan dialog dia bersama guru nya.

Raphael – The School of Athens

Socrates memisahkan antara bermain yang berupa distraksi dari pendidikan, dan permainan yang sejalan dengan pendidikan yang disebut “law-abiding play”, permainan yang mendorong Anak untuk berkontemplasi tentang yang benar dan yang baik.

Dengan pemahaman itu, bermain memiliki beberapa fungsi (Crocco et al., 2016):

 

  • Menunjukan bakat pelajar
  • Membantu pendidik melihat hal apa yang paling cocok untuk didalami oleh pelajar
  • Membantu pelajar mengingat pelajaran dengan meningkatkan engagement saat belajar
  • Meningkatkan fungsi pikiran untuk menganalisa situasi, dan berpikir kritis.

Hal-hal ini menurut Socrates sangat penting untuk Anak-anak yang ingin menjadi filsafat, atau yang ingin menduduki posisi pemimpin.

Semakin menarik saat kita mempelajari cendikiawan-cendikiawan yang telah memikirkan peran bermain dalam masyarakat, ternyata memang sudah banyak yang sudah mengadvokasikan Game Based Learning. Sekarang saat nya bersama kita memaksimalkan hal ini untuk tujuan yang baik.

Sumber:

Alvin W. Gouldner, Enter Plato: Classical Greeces and the Origins of Social Theory (1965)

Ardley, G. (1967). The role of play in the philosophy of Plato. Philosophy, 42(161), 226-244.

Crocco, F., Offenholley, K., & Hernandez, C. (2016). A proof-of-concept study of game-based learning in higher education. Simulation & Gaming, 47(4), 403-422.

D’Angour, A. (2013). Plato and play: Taking education seriously in ancient Greece. American Journal of Play, 5(3), 293-307.

Cara Membuat Semua Games Menjadi Edukatif!

Cara Membuat Semua Games Menjadi Edukatif!

Photo by Denise Jans on Unsplash

Haduuu banyak banget ya games itu, dari yang gratis di HP lah, board games yang sering diskon di boardgame.id lah, belum lagi games-games VR yang super canggih mana ya games yang baik buat Anak, apa harus cari games yang mahal ya? Ato malah harus design game sendiri?

Sebenarnya saat kita benar-benar ingin mengubah aktivitas bermain menjadi sebuah sesi pembelajaran yang bermakna tidak perlu repot. Hanya dengan menggunakan games yang Anak sudah suka mainkan.

Jika dimainkan dengan baik pasti bisa menjadi sebuah pengalaman belajar yang menyenangkan dan juga penuh arti.

Untuk itu kita bisa menggunakan Protokol Game Based Learning (GBL) yang telah dirancang secara baik oleh Kummara

 

 

Jika kita perhatikan Protokol GBL ini terbagi menjadi 5 bagian, saat kita bisa menerapkan semua bagian nya, dan menikmati seluruh proses nya bersama anak hasil nya akan baik!

Rencana Sesi

Kita bisa mengawali dari merancang Resep Main dengan pendekatan ini, kita didorong untuk melakukan modifikasi-modifikasi sederhana agar games yang dimainkan bisa memberikan makna yang lebih dalam.

Atau kita bisa memilih 2 pertanyaan yang bisa mengarahkan kita untuk merencanakan semua ini.

  1. Hal yang ingin dipelajari bersama Anak?
  2. Game yang Anak saya sukai ini bisa mengajarkan apa ya?

Jika kita memilih pertanyaan yang pertama, tantangan nya adalah memilih permainan yang cocok, dan juga yang akan Anak kita sukai. Manfaat nya kita bisa mengarahkan Anak kita untuk mempelajari hal yang menurut kita penting. Disini yang kita bisa browsing di internet mengenai games yang memiliki tema yang ingin kita ajarkan, lalu mencoba nya.

Pertanyaan yang kedua mungkin lebih mudah saat kita memiliki cara pandang yang luas mengenai apa yang dimaksud dengan “edukatif”. Setelah itu kita coba mainkan dan perhatikan dengan cermat permainan yang Anak kita sering kali mainkan, kita bisa menanyakan, bisa belajar apa aja ya di game ini?

Sebagian besar dari game-game populer sekarang tidak mengajarkan konten pendidikan secara explicit, namun saat kita memperhatikan keterampilan apa saja yang dibutuhkan untuk memenangkan games tersebut sudah jelas berbagai macam soft skills dibutuhkan, dan akan terlatih, apalagi jika didiskusikan lebih lanjut dengan Anak-anak kita.

Apabila kita benar-benar butuh mengajarkan konten akademis menggunakan games populer, kita bisa menggunakan games yang memiliki hubungan dengan materi pembelajaran dan games ini digunakan untuk batu loncatan pembelajaran akademis itu. 

Hal ini bisa dihubungkan dengan sesi diskusi, penutup & tugas.

Setelah mengambil keputusan-keputusan ini, kita bisa mulai merencanakan apa saja yang harus dilakukan saat melaksanakan ke-4 tahap sisa nya.

Berikut adalah beberapa pertimbangan saat merencanakan tahap-tahap berikut nya.

Diskusi Pembuka

Saat menggunakan resep main, atau memilih pertanyaan pertama sesi pembuka ini dilakukan untuk mengenalkan permainan, bercerita untuk menarik perhatian Anak-anak, menjelaskan cara bermain, dan mulai menyinggung sedikit hal-hal yang akan dipelajari.

Saat memilih pertanyaan kedua, sesi ini akan digunakan untuk mengajak anak agar mereka lebih fokus akan hal-hal yang bisa dipelajari saat bermain game yang mereka sudah biasa mainkan. 

Kita coba ajak anak untuk lebih sadar akan keputusan-keputusan, dan proses berpikir mereka saat bermain. Kita bisa arahkan mereka untuk bisa berintrospeksi akan kelemahan dan kekuatan mereka dalam permainan ini.

Satu hal lagi yang bisa kita lakukan di sini adalah mendorong anak untuk terus mencoba mengenali dirinya sendiri lebih dalam. Di sini games bisa membantu Anak untuk mencari minat dan menunjukan bakat nya. Berbagai macam games bisa menunjukan kepada anak berbagai macam cara pandang, topik, ilmu pengetahuan, dan untuk anak mencoba berbagai macam tantangan yang membutuhkan keterampilan yang berbeda sehingga mereka lebih sadar anak letak bakat mereka.

Sesi Bermain Game

Jika kita menjadi fasilitator kita bisa fokus mengobservasi Anak-anak bermain, kita bisa mencatat hal-hal penting selama permainan seperti, 

  • Kondisi emosi saat bermain
  • Kelebihan dan kekurangan
  • Hal-hal yang bisa diperbaiki
  • Keterampilan apa saja yang mereka latih
  • Karakter atau kepribadian mereka saat bermain

Saat kita bermain bersama mereka, sebisa mungkin kita juga mengobservasi, jelas tidak akan semaksimal saat kita fokus menjadi fasilitator namun hal ini tetap sebaik nya dilakukan.

Kita juga harus menjaga sesi bermain agar tetap kondusif, jangan Anak-anak malah berantem atau ada kekacauan lain nya. Jika Anak-anak tidak bisa menjaga kondisi emosi nya saat bermain, ini bisa menjadi pelajaran yang juga menarik untuk dibahas.

Hal yang wajib agar sesi ini berjalan dengan lancar adalah menikmati! Jangan lupa, main harus senang, kalo gak seneng bukan main namanya hahaha..

Diskusi, Penutup, & Tugas

Bagian diskusi ini memiliki bobot yang besar disini kita mulai berdiskusi dengan Anak-anak mengenai apa saja yang mereka alami saat bermain, hal yang paling menyenangkan dan yang paling menantang, hal yang menurut mereka sangat bermakna, hal apa saja yang mereka pelajari, dan hal apa yang harus diperbaiki.

Kita juga coba untuk gali lebih dalam lagi poin-poin yang seperti nya mereka pelajari meskipun mereka tidak mengungkapkan nya dengan pertanyaan-pertanyaan.

Untuk merangkai pertanyaan demi memimpin sesi diskusi yang mendalam, kami rekomendasikan Socratic Questioning sebagai teknik ampuh untuk merangkai pertanyaan yang bisa mendorong pembelajaran yang lebih dalam.

Disini kita dapat mendorong Anak-anak untuk mengawali Project Based Learning, dimana mereka merancang sebuah artefak pembelajaran. Contoh nya seperti membuat infographic, atau mind mapping tentang pelajaran yang didapatkan dan disini kita bisa mulai hubungkan dengan materi-materi pembelajaran akademis jika kita inginkan.

Evaluasi

Disini kita coba lakukan dua hal sekaligus, apresiasi dan improvement.

Kita tidak boleh lupa mensyukuri semua yang telah kita dapatkan dari hal-hal sekecil apapun, ini adalah pondasi yang baik agar kita bisa terus meningkatkan kualitas proses pembelajaran kita dan Anak-anak kita.

Setelah itu kita mulai bertanya, hal apa saja yang bisa kita perbaiki? Mungkin kita bisa bantu Anak-anak menyusun strategi baru saat permainan selanjut nya, mungkin kita mulai pikirkan karya-karya apalagi yang bisa mereka kerjakan setelah bermain.

Jadi kita coba lihat semua proses dari tahap perencanaan di awal hingga tahap diskusi, kita coba cermati satu persatu dan coba tingkatkan yang menurut kita masih bisa ditingkatkan.

Harvard merilis Games untuk meningkatkan Literasi anak serta quality time dalam keluarga

Harvard merilis Games untuk meningkatkan Literasi anak serta quality time dalam keluarga

Orang tua adalah Guru pertama dan sosok yang bisa memberi pengaruh yang sangat besar kepada seorang Anak. Dengan tugas dan tanggung jawab yang besar ini, memang wajar jika Orang tua merasa tidak mampu sehingga menaruh tanggung jawab mendidik Anak kepada Sekolah maupun media-media belajar seperti buku atau video dan games edukatif.

Melihat besar nya peran Orang tua dan pengasuh dalam perkembangan anak Harvard Graduate School of Education merilis games gratis yang dirancang untuk melatih Literasi dasar Anak-anak usia dini yang sekaligus memberikan banyak kesempatan agar Orang tua dan Anak bisa menghabiskan waktu bersama yang berkualitas.

Berberapa hal ini lah yang menjadi pertimbangan utama saat tim Harvard merancang games literasi ini. 

Selain memainkan game nya bersama Anak, cara pandang mereka saat merancang game ini sangat menarik, dan banyak hal yang bisa kita pelajari mengenai proses pembelajaran Anak.

Teknologi bukan lah pengganti namun pendukung

Saat menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran sebaik nya kita jangan mengira bahwa teknologi adalah pengganti Guru maupun Orang tua. Media-media pembelajaran ini bukan lah suatu hal yang kita biarkan Anak kita konsumsi saat kita sedang sibuk.

Karena saat kita melihat cara Anak-anak belajar kita akan tahu bahwa sebagian besar dari apa yang Anak-anak pelajar terjadi dalam konteks sosial. Dan social learning memang terbukti sangat efektif, ya iya lah karena kita memang makhluk sosial.

Jadi sebaik nya teknologi kita gunakan sebagai alat pendukung proses pembelajaran yang kita lakukan dengan Anak-anak kita. Teknolog bisa menjadi media dimana kita bisa mengajak Anak kita bermain sambil belajar bersama.

Literasi sebagai pondasi pembelajaran 

Kemampuan kita untuk belajar sangat tergantung kepada tingkat literasi kita. Jika kita bisa memahami literatur filosofis, atau ilmiah jelas banyak sekali yang bisa kita pelajari, dan saat kita bisanya baca hoax di sosmed, ya jelas gawat….

Pemikiran ini lah yang membuat Harvard memutuskan untuk merancang games literasi sebagai games pertama yang mereka publis untuk publik secara gratis. Karena memang jika dipikir-pikir tingkat literasi Anak-anak kita memang sangat penting untuk masa depan yang lebih baik, dan semakin banyak dari mereka yang literate, semakin baik pula masyarakat kita.

Anak-anak harus belajar dengan cara yang lebih alami, dan menyenangkan

Sebagai pemimpin project ini, Joe Blatt menyatakan bahwa keresahan yang kita miliki mengenai teknologi, dan pendidikan modern secara general adalah pengaruh hal-hal ini dalam mengurangi ruang dan waktu anak untuk bermain. 

Padahal anak-anak harus diberikan ruang untuk eksplorasi, dan melakukan sesuatu yang memang mereka ingin lakukan dengan sendiri nya karena rasa penasaran mereka dan hal-hal lain yang muncul saat mereka bermain ini sangat critical untuk pembelajaran.

Karena itu game-game ini dirancang agar Anak-anak dan Orang tua bisa melakukan interaksi yang bisa membangun pondasi untuk literasi saat melakukan aktifitas-aktifitas sehari-hari. Pondasi untuk literasi ini yang disebut oleh Joe Blatt sebagai pre-literacy yang tidak semata-mata harus berupa membaca, menulis, bahkan kosakata. 

Pre-literacy ini berupa pola berpikir yang mensupport literasi. Penelitian mereka menunjukan bahwa latihan literasi sangat efektif bisa sesederhana percakapan yang berkelanjutan, mereferensi ingatan, dan pengalaman di masa lalu. 

Selain itu, tujuan yang mereka ingin capai adalah merancang pembelajaran yang alami untuk Anak dan Orang tua. Dimana Orang tua tidak memiliki hubungan negatif dengan tim peneliti dan game ini seperti mereka “disuruh” melakukan ini untuk menjadi pendidik yang baik. Melainkan mereka akan merasa “Oh ternyata ada caranya kita bisa bermain dengan anak sekaligus mendidik mereka”.

Melihat dari publikasi mereka mengenai games ini seperti nya mereka memiliki niat yang sangat baik dari melakukan penelitian yang rinci mengenai proses pembelajaran anak, hingga membuat games ini gratis dan hanya perlu didownload dan dimainkan tidak perlu koneksi internet jadi pulsa gak boros deh..

Games ini pastinya berbahasa Inggris dan jika ada Orang tua yang merasa bahasa ini menjadi halangan, menurut kami inilah saat yang baik untuk belajar bahasa bersama Anak, dan jangan malu ya klo mereka malah lebih pinter bahasa Inggris nya!

Games ini tersedia di Google Play store untuk pengguna Android dan Apple Store untuk pengguna iOS. Ayo download segera dan Have Fun Learning!

Link nya ada di sini https://www.gse.harvard.edu/apps/early-literacy

Sumber:

https://www.gse.harvard.edu/news/21/03/qa-joe-blatt-re-early-learning-apps

Menggunakan The Magic Circle of Play untuk memperdalam pembelajaran.

Menggunakan The Magic Circle of Play untuk memperdalam pembelajaran.

Ada banyak teori mengenai kenapa bermain bisa santa mendidik. Salah satu yang sering menjadi teori landasan Ludenara adalah “4 Freedoms of Play” oleh Scot Osterweil, yang menjelaskan 4 kondisi yang membuat kita belajar dengan baik dan ke-4 kebebasan ini dapat kita temukan dalam aktivitas bermain.

Selain itu ada teori yang menarik berdasarkan Homo Ludens karya dari Johan Huizinga yaitu “Characteristics of The Magic Circle of Play”. Dalam teori ini kita dijelaskan bahwa saat bermain kita memasuki ruang psikologis dimana permainan itu terjadi yang diibaratkan sebagai sebuah lingkaran.

Dalam lingkaran ini seakan-akan kita memasuki dunia baru dimana peraturan, norma, dan kode etik dunia nyata ditinggalkan untuk sementara, sehingga memberi ruang agar banyak hal baru bisa muncul. 

Maka dari itu sangat penting bahwa salah satu syarat agar sebuah aktifitas menjadi bermain adalah “consent” dimana setiap pemain mau bermain tanpa paksaan, memasuki Magic Circle dan mengikuti peraturan permainan dengan senang hati.

Magic Circle ini memiliki 3 karakteristik yang membuat bermain menjadi sangat edukatif bahkan untuk orang dewasa sekalipun (Whitton, 2018). Ruang yang aman, imersif, dan motivasi intrinsik.

Ruang yang aman.

Saat belajar kita membutuhkan ruang yang aman untuk bereksperimentasi, mempelajari minat kita, dan untuk gagal. Tentu setiap pendidik paham akan pentignnya ruang yang aman untuk gagal dan berkesperimentasi ini.

Kita tidak akan bisa belajar dengan maksimal jika kita takut akan kesalahan dan kegagalan. Sayang nya tidak banyak dari pelajar yang memiliki kebebasan untuk gagal didunia nyata dimana konsekuensi seperti nilai jelek bahkan tidak naik kelas sangat membebankan mereka.

Tentu semua ini hilang didunia permainan, saat bermain kegagalan adalah proses yang mutlak bahkan dibutuhkan agar kita bisa mencari solusi yang tepat terhadap setiap tantangan di dalam permainan tersebut.

Cara pandang bahwa kegagalan adalah proses belajar ini harus dibangun, karena hal ini bisa membantu siswa belajar ketabahan (Holdsworth, Turner, and Scott-Young 2017).

Immersive

Karakteristik yang kedua ini memungkinkan pelajar untuk memasuki kondisi psikologis yang lebih positif saat mereka masuk kedalam dunia yang baru ini, atau bisa disebut “lusory attitude”. 

Setiap orang yang memasuki Magic Circle ini berperan dalam menciptakan dunia yang baru, dan menerima realita-realita baru, dengan ini pelajar menstimulasi imajinasi dan memungkinkan pelajar untuk mempertimbangkan potensi dan kemungkinan-kemungkinan baru. 

Proses membina imajinasi dan menciptakan ide baru dalam permainan ini terlihat meningkatkan kreativitas (Bateson, 2014).

Istilah lusory attitude ini diciptakan oleh Bernard Suits dalam karyanya “The Grasshopper: Games, Life and Utopia” Dimana Bernard menjelaskan bahwa saat bermain kita dengan senang hati memecahkan masalah-masalah yang sebenarnya tidak harus dipecahkan. Dengan pengertian ini kita juga paham bahwa saat bermain kita juga meningkatkan kapasitas problem solving dan critical thinking kita.

Intrinsic Motivation

Memotivasi anak untuk belajar selalu menjadi hal yang diutamakan dalam pendidikan. Namun seringkali yang kita jumpai dalam proses pendidikan formal adalah motivasi extrinsic. 

Motivasi extrinsic datang dari luar, sistem pendidikan kita sudah banyak extrinsic motivation seperti nilai ujian, rangking kelas, dan bahkan ancaman tidak naik kelas. Ada motivasi extrinsic yang juga guru sering berikan, seperti pujian, rayuan, berbagai macam bentuk hadiah, dan bahkan motivasi negatif seperti hukuman.

Segala macam motivasi yang datang dari luar  ini tidak akan bisa mendorong pelajar untuk belajar sebaik motivasi yang datang dari diri nya.

Ketika pelajar itu benar-benar belajar sesuatu karena dia ingin tahu. Ketika pelajar melakukan sesuatu karena dia ingin melakukan itu.

 

Sumber:

Bateson, P. (2014) ‘Play, playfulness, creativity and innovation’, Animal Behavior and Cognition,vol. 2, no. 2, p. 99

Holdsworth, S., Turner, M. & Scott-Young, C. M. (2017) ‘ … Not drowning, waving. Resilience and university: a student perspective’, Studies in Higher Education, pp. 1–17

Whitton, N. (2018). Playful learning: tools, techniques, and tactics. Research in Learning Technology, 26.

Game Based Learning akan semakin relevan di Masa Depan. Berpain pun semakin penitng!

Game Based Learning akan semakin relevan di Masa Depan. Berpain pun semakin penitng!

 

 

Photo by: Rico De Zoysa

Sejak ada nya internet, kita memahami bahwa ilmu bukan lagi hal yang langka. Siapa pun dimana pun jika memiliki internet dan niat, bisa mempelajari apa pun.

Dengan banyaknya platform belajar online yang murah seperti Skillsahre, dan kelas-kelas online gratis lain nya belajar dan melatih Hard Skills pun menjadi sesuatu yang sangat terjangkau bagi siapa pun.

Dan dengan kedua hal utama itu, Knowledge (ilmu) dan Hard Skills tidak lagi menjadi hal yang langka. Meskipun kedua hal ini tetap sangat dibutuhkan, namun “harga jual” nya berkurang.

Tapi dengan kompleksitas dunia kita sekarang, ada satu hal yang harga jualnya semakin meningkat, yaitu Soft Skills.

Di tahun 2016 World Economic Forum mengeluarkan laporan mereka mengenai 21st century skills

 

Dari 16 keterampilan yang akan dibutuhkan di abad 21 ini hanya 6 keterampilan pertama (1-6) yang bisa kita kategorikan sebagai Hard Skill.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah laporan LinkedIn’s 2019 Global Talent Trends. Dimana mereka menemukan bahwa 92% perekrut pekerja menganggap Soft Skills lebih penting dibandingkan hard skill saat merekrut calon karyawan.

Selain itu Zety, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang rekrutmen melakukan survei “Top Skills Employers Look For 2021” mereka menemukan bahwa 61% merasa soft skills lebih penting.

Nah disinilah kita bisa paham mengapa GBL (Game Based Learning) semakin relevan di masa depan.

Setiap media belajar memiliki keunggulan nya sendiri. Kebetulan salah satu keunggulan games yang telah diteliti secara detail adalah kemampuan games untuk melatih soft skills.

Dalam survei oleh zety itu mereka mendaftarkan 10 Soft Skills yang paling dibutuhkan.

  1. Teamwork
  2. Communication
  3. Time-management
  4. Problem solving
  5. Creativity
  6. Leadership
  7. Organization
  8. Emotional Intelligence
  9. Decision-making
  10. Stress management

 

Beberapa artikel Ludenara telah mendetailkan penelitian yang menunjukan kenapa GBL sangat efektif dalam melatih beberapa Soft Skills Tersebut dan penerapan nya.

Kebetulan minggu lalu artikel Ludenara membahas tentang keunggulan GBL melatih Komunikasi dan Teamwork.

Lalu penelitian IBM Gaming Report melihat bagaimana kita bisa belajar Leadership melalui games online. Saking banyak nya yang bisa dipelajari dari laporan ini, ulasan kami dibagi menjadi 2 bagian.

Aktivita bermain juga terlihat semakin penting. Berberapa penelitian menunjukan bahwa bermain sangat penting untuk meningkatkan Creativity, Emotional Intelligence, dan Problem solving.

Sebenarnya memang ini sudah banyak diketahui, laporan 21st Century Skills World Economic Forum sendiri menjelaskan bahwa kita perlu menggunakan Play/Game Based Learning untuk melatih 21st century skills yang mereka daftarkan. 

Hal ini pun telah dikonfirmasi oleh penelitian yang sama sekali tidak terhubung dengan World Economic Forum. Ternyata hanya sekedar memainkan game sudah bisa melatih 21st century skills, apalagi jika kita terapkan GBL protokol yang baik. 

Semua hal ini menunjukan bahwa bermain dan pendekatan belajar yang seperti bermain semakin penting!

Menggunakan game apa pun untuk melatih teamwork!

Menggunakan game apa pun untuk melatih teamwork!

Image by Defence Imagery from Pixabay

“Mampu bekerja dalam tim” sering sekali kan kita melihat itu sebagai kriteria di lowongan pekerjaan, tentu tidak mengagetkan karena kita semua juga tau betapa penting nya kemampuan kerja sama itu. Indonesia sendiri sering membanggakan budaya “gotong royong” kita.

Di ranah ini lah salah satu keunggulan game sebagai media belajar muncul. Games ternyata sangat baik untuk melatih teamwork. Bahkan di tempat yang paling tidak main-main pun, permainan tetap digunakan untuk berlatih.

Tempat paling tidak main-main yang dimaksud ini adalah latihan teamwork militer Amerika Serikat.

Ada satu berita yang baru dan menarik, Video Games sekarang dipergunakan agar personil militer A.S. tetap bisa melakukan pelatihan meskipun merka harus social distancing dimasa pandemi.

Setelah dilhat lagi, ternyata negara yang memiliki budget militer paling tinggi di dunia ini juga sering menggunakan games untuk melatih tentara nya.

Menurut General Paul Gorman teamwork skills bisa dilatih secara efektif menggunakan game-game multiplayer yang dijual di pasaran, dan game-game tidak perlu realistis untuk menyediakan pelatihan yang efektif (Gorman, 2003)

Pendapat ini sangat menarik, berarti game multiplayer apapun tidak harus realistis bisa digunakan untuk melatih teamwork. Jadi game-game di HP yang sering dimainkan anak-anak seperti Mobile Legend, atau PUBG bisa untuk melatih team work?

Mungkin benar bisa, tapi tentu kita harus memakainya dengan benar dengan niatan untuk melatih skills dan bukan sekedar main-main sampe kecanduan.

Salah satu nya tentu kita bisa menggunakan protokol Game Based Learning, 

 

Kita bisa juga harus tau secara spesifik teamwork skill yang mana yang bisa dilatih menggunakan games. 

Sebuah meta analisis di tahun 2016 mengkonklusikan bahwa fitur-fitur dalam game bisa memunculkan dan melatih, Coordination, Cooperation, Communication, Team Cognition (pemanfaatan informasi yang dimiliki oleh tim), dan Adaptability (Marlow et al., 2016).

Selain itu sebuah penelitian yang menganalisis secara spesifik pelatihan teamwork dalam militer A.S. juga menambahkan Leadership, Monitoring, dan Team Orientation (Hussain et al., 2008).

Saat ingin melatih teamwork mungkin awal yang baik adalah mengobservasi skill mana yang sudah digunakan dengan baik, dan yang mana yang belum.

Selain itu mungkin ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari game yang memang sengaja dirancang untuk meneliti dampak penggunaan game pada teamwork skills di militer A.S. mungkin ada pelajaran disini yang bisa dimanfaatkan di bidang lain.

Game ini dimainkan secara berlawanan antara dua tim. Setiap tim harus menjaga bendera-bendera dan mencoba merebut bendera tim lawan (capture the flag).

Satu penekanan dalam game ini adalah pentingnya peran setiap anggota. Saat bermain setiap anggota memiliki satu peran dalam game (leader, archer, mage, medic, scout, tank). Setiap peran memiliki keunggulan, kelemahan, dan tanggung jawab masing-masing. 

Ini mungkin yang bisa kita anggap sebagai inti dari teamwork. Setiap tim harus bisa memaksimalkan setiap anggota nya, merancang strategi, membagi tugas, dan berkoordinasi sesuai dengan peran setiap anggota.

Tentu satu hal yang sangat penting adalah komunikasi. Agar game bisa melatih teamwork, para pemain harus bisa berkomunikasi dengan mudah.

Untuk merancang lingkungan yang mirip dengan situasi kenyataan, game ini memudahkan para pemain (anggota militer) untuk berkomunikasi. Mereka menggunakan headphones dan microphone untuk bisa berkomunikasi secara langsung dengan tim nya.

Mereka mengadakan sesi planning secara langsung. Dimana mereka menunjuk pemimpin, membuat rencana strategi untuk menang, memberi ruang untuk adaptasi dalam rencana ini. Setelah bermain mereka mengadakan debriefing yang membahas tentang semua yang bisa mereka pelajari mengenai teamwork setelah memainkan game ini.

Melihat game-game populer yang sering dimainkan anak-anak ternyata fitur-fitur ini sudah ada. Seperti setiap karakter di Mobile Legend memiliki peran (mage, tank, support, carry), dan tim yang bagus di PUBG juga mengalokasi peran kepada setiap pemain (leader, scout, flex, rusher, sniper). Mereka juga memberikan chanel komunikasi, yang mungkin bisa dioptimalkan dengan baik.

Dan mungkin jika dimainkan dengan benar secara kelompok dengan seorang coach yang mengobservasi semua proses teamwork yang terjadi, bermain game-game populer ini bisa dioptimalkan sebagai pelatihan teamwork.

Sumber:

Gorman, P. (2003, July). Comments at DARWARS program meeting. Washington, D.C.

Marlow, S. L., Salas, E., Landon, L. B., & Presnell, B. (2016). Eliciting teamwork with game attributes: A systematic review and research agenda. Computers in Human Behavior, 55, 413-423.

Hussain, T. S., Weil, S. A., Brunyé, T., Sidman, J., Ferguson, W., & Alexander, A. L. (2008). Eliciting and evaluating teamwork within a multi-player game-based training environment. Computer games and team and individual learning, 77.

Keunggulan Game Based Learning untuk melatih komunikasi.

Keunggulan Game Based Learning untuk melatih komunikasi.

Image by Ryan McGuire from Pixabay

Setiap media pembelajaran memiliki keunggulan nya masing-masing. Buku sangat efisien dalam menyampaikan informasi, video bisa menunjukkan banyak hal yang mungkin susah untuk dibayangkan dan dipahami. Sementara games adalah sebuah aktivitas interaktif dimana pelajar bisa melakukan hands on learning dan berpartisipasi dalam pembelajaran secara aktif.

Saat bermain games kita harus membuat banyak keputusan, memecahkan banyak masalah, kita lebih termotivasi dan games mensimulasikan situasi-situasi yang harus dipelajari (Steinkuehler, 2012). Karena hal-hal ini lah games sangat efektif dalam mengasah keterampilan-keterampilan yang sering disebut dengan 21st century skills.

Pemahaman ini semakin luas tersebar dalam dunia pendidikan. Dan karena pendidikan juga semakin paham kita tidak lagi bisa sekedar menyampaikan ilmu namun kita sekarang harus bisa mengasah keterampilan.

Kali ini kita akan membahas sebuah keterampilan yang pasti semua orang membutuhkan di bidang apapun yaitu komunikasi. Berikut adalah elemen dan fitur yang menjadikan game sebagai media yang cocok untuk melatih komunikasi.

Gameplay dan Kondisi Optimal

Sederhana nya gameplay adalah hal-hal yang membuat game jadi seru. Spesifik nya cara bagaimana pemain berinteraksi dengan game, dengan pola, peraturan, tantangan, koneksi antar pemain dengan permainan, dan untuk video games audio dan visual.

Gameplay telah terbukti bisa meningkatkan efektivitas pelatihan komunikasi karena hal ini bisa membawa pemain ke dalam kondisi emosional yang optimal untuk belajar (Reinders & Wattana, 2015). Keinginan untuk berkomunikasi dan berpartisipasi meningkat, mereka lebih terbuka untuk menerima masukan dan kegagalan.

Dan tentu tidak perlu menggunakan game yang sudah jadi. Fitur-fitur dalam game seperti tantangan, poin-poin, hadiah, dan sense of progression bisa dimasukan ke dalam proses pembelajaran komunikasi agar mendapatkan kondisi emosional yang sama.

Experiential Learning

Pada dasar kita membutuhkan pengalaman dan kesempatan yang banyak untuk mengasah keterampilan apapun, termasuk komunikasi. Games mendorong pemain untuk bermain lagi dan lagi, dengan ini mereka memiliki banyak kesempatan untuk melatih keterampilan yang dibutuhkan untuk progress di dalam game. 

Jika kita rancang permainan yang membutuhkan komunikasi untuk mendapatkan poin, maju ke tahap selanjutnya, atau menang, tentu mereka akan berkomunikasi lebih banyak lagi (Bodnar & Clark, 2017).

Observation Opportunity

Salah satu hal yang terlihat efektif dalam meningkatkan keterampilan komunikasi adalah modeling. Dimana pelajar bisa melihat contoh-contoh komunikasi yang baik dari orang lain dan mencoba mengimitasi nya (Burleson & Kunkel, 2002).  

Menggunakan games dalam pembelajaran komunikasi memberikan banyak kesempatan bagi setiap orang untuk mengobservasi pemain lain dan berbagai macam cara komunikasi. Apa lagi jika game nya terancang dengan baik, dengan mudah pemain-pemain bisa meliaht pemenang dari permainan ini dan bersama pengajar dengan pemain bisa menganalisa hal-hal baik yang dilakukan oleh sang penemang.

Melihat kesuksesan dari penggunaan game based learning sebagai pelatihan komunikasi bisa membantu kita merancang pelatihan komunikasi meskipun di luar konteks game. Kita bisa memastikan para peserta memiliki kondisi emosional yang baik, memberi mereka banyak kesempatan untuk mencoba berkomunikasi, dan memberi contoh-contoh baik berkomunikasi.

Sumber:

Burleson, B. R., & Kunkel, A. W. (2002). Parental and peer contributions to the emotional support skills of the child: From whom do children learn to express support? Journal of Family Communication, 2, 79–97

Bodnar, C. A., & Clark, R. M. (2017). Can game-based learning enhance engineering communication skills?. IEEE transactions on professional communication, 60(1), 24-41.

Steinkuehler, K. Squire, and S. Barab, Games, Learning, and Society—Learning and Meaning in the Digital Age. New York: Cambridge University Press, 2012, p. xvii.

Reinders, H., & Wattana, S. (2015). Affect and willingness to communicate in digital game-based learning. ReCALL, 27(1), 38-57.

Ini lah kunci untuk pembelajaran online yang efektif

Ini lah kunci untuk pembelajaran online yang efektif

Photo by Nick Morrison on Unsplash

Dalam situasi pandemi seperti ini, tidak heran jika semua orang menanyakan apakah pembelajaran online bisa se-efektif belajar offline di sekolah? Mungkin jawaban nya adalah tidak bisa. Tapi hal yang kita ingat adalah, meskipun belajar online tidak bisa sebaik belajar langsung di sekolah kita bisa selalu meningkatkan kualitas pembelajaran online kita. 

Pertanyaan selanjutnya adalah, mulai dari mana? Jawaban nya juga cukup gampang, kita bisa mulai dari faktor utama dalam peningkatan kualitas pembelajaran online, yaitu student engagement. Engagement sangat lah krusial untuk hasil pembelajaran online!

Sekarang kita pahami dulu definisi engagement di dunia pendidikan. Tingkat engagement adalah seberapa banyak usaha dan investasi psikologis siswa saat mempelajari ilmu, atau mendapatkan keterampilan baru dan menguasainya (Newmann, Wehlage, & Lamborn, 1992). Dari definisi ini saja kita sudah bisa memahami bahwa engagement sangat lah penting dalam pembelajaran online maupun offline.

Maka dari itu, banyak strategi peningkatan engagement online yang fokus dalam merancang pengalaman belajar yang aktif seperti, tugas kelompok dimana murid harus saling berinteraksi, membiarkan murid menjadi fasilitator sesi diskusi, tugas presentasi, atau membuat assessment yang interaktif seperti games (Game Based Assessment).

Hal ini juga mengapa Game Based Learning (GBL) bisa sangat membantu pembelajaran online. Salah satu manfaat dari penggunaan (GBL) yang sering kali dirasakan oleh guru-guru adalah tingkat engagement murid yang tinggi. Dan bukan hanya cerita-cerita dari guru tapi juga telah banyak penelitian yang menemukan bahwa computer-GBL sangat baik dalam meningkatkan engagement positif murid saat belajar (Sabourin & Lester 2014).

Student engagement sendiri memiliki tiga tipe (Moore 1993), dan setiap tipe ini butuh diperhatikan untuk menghasilkan sesi pembelajaran online yang ampuh. 

Content – Instructor

Pertama kita bisa mulai dari interaksi guru dengan konten, tentu seorang guru lah yang akan memastikan konten pembelajaran siswanya sesuai dengan yang dibutuhkan. Banyak rekomendasi mengenai konten yang dirincikan di penelitian ini, salah satunya adalah korelasi positif antara level pembelajaran siswa dengan konsistensi, kesederhanaan, kejelasan konten, lalu ditambah dengan tujuan pembelajaran yang pasti akan membuat online learning lebih baik.

Student – Instructor

Lalu guru akan membuat iklim online yang kondusif untuk pembelajaran siswa,dimana guru harus bisa membuat materi pembelajaran menjadi menarik, dan memotivasi siswa untuk belajar. Tentunya guru harus aktif di dalam proses ini. Fakta yang perlu di perhatikan di isni adalah, semakin lemah, atau sedikit interaksi antara guru dan siswa, semakin kecil siswa merasakan mereka belajar. Tentunya segala macam interaksi yang bisa diberikan online sangat berharga untuk siswa, diantaranya adalah; feedback, humor, pujian, atau meminta opini dan sudut pandang siswa. 

Student – Content

Kunci di sini adalah active learning. Dimana murid bukan hanya sekedar mengkonsumsi konten secara pasif, seperti mendengarkan atau mencatat. Maka sangat penting untuk merancang sesi pembelajaran online dimana murid bisa mengasah keterampilannya secara aktif. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan juga bisa menambahkan engagement dan mendorong murid untuk menggali ilmu lebih dalam lagi.

Student – Student

Selain tiga interaksi di atas, ada lagi yang bisa ditambahkan dan tidak kalah penting. Interaksi antar siswa juga vital, teori-teori pendidikan sosial-kognitif menyatakan bahwa semua pembelajaran bersifat sosial dan pengetahuan itu dibangun melalui interaksi sosial. Shea, Swan, Fredericksen, dan Pickett mempelajari 268 kursus online menemukan bahwa persepsi pembelajaran siswa sangat berbeda seiring dengan tingkat interaksi yang mereka dapatkan. Siswa yang menilai tingkat interaksi dengan teman nya tinggi juga melaporkan tingkat pembelajaran yang tinggi.

Sumber:

L. Sabourin and J. C. Lester, “Affect and Engagement in Game-BasedLearning Environments,” in IEEE Transactions on Affective Computing, vol. 5, no. 1, pp. 45-56, Jan.-March 2014, doi: 10.1109/T-AFFC.2013.27.

Newmann, F. M., Wehlage, G. G., & Lamborn, S. D. (1992). The significance and sources of student engagement. In F. Newmann (Ed.), Student engagement and achievement in American secondary schools (pp. 11–39). New York, NY: Teachers College Press.

Moore, M. J. (1993). Three types of interaction. In K. Harry, M. John, & D. Keegan (Eds.), Distance education theory (pp. 19–24). New York: Routledge  

 

Game Based Learning untuk Intrapersonal Intelligence

Game Based Learning untuk Intrapersonal Intelligence

Image by Rudy and Peter Skitterians from Pixabay

Dalam membentuk seorang pelajar yang berkualitas, fondasi apa yang harus kita perhatikan dengan baik?

Kita banyak mementingkan karakter, skill, atau ilmu pengetahuan yang menurut kita penting untuk mereka miliki di masa depan.

Namun satu hal dari masa depan yang pasti adalah ketidakpastian, dan bagaimana kita bisa membekali mereka untuk menghadapi ketidakpastian?

Ada satu bentuk intelligence yang bisa membantu mereka untuk membentuk karakter, dan mendapatkan ilmu atau skill baru dengan sendiri nya. Sehingga di saat masa depan itu tiba, mereka sanggup beradaptasi, dan mempelajari semua hal yang mereka butuhkan. Itu lah intrapersonal intelligence.

Dengan intrapersonal intelligence yang baik, kita bisa memilih tujuan pembelajaran, bahkan tujuan-tujuan dalam hidup yang sangat sesuai dengan diri kita sendiri, sesuai dengan kekuatan, limitasi, minat, bakat, dan segala macam individualitas yang setiap orang miliki.

Kita juga dapat menilai diri kita sendiri sesuai standar yang kita inginkan, kita bisa tahu seberapa jauh kita telah berkembang, dan hal apa saja di depannya yang harus kita pelajari. Dan mungkin hal terakhir yang membuat intelligence ini sangat penting adalah kemandirian yang kita dapatkan.

Karena seseorang dengan intrapersonal intelligence yang baik akan bisa menemukan cara yang terbaik untuk belajar seperti menemukan rutinitas atau disiplin nya yang sekali lagi sesuai dengan individualitas nya.

Seperti yang telah di bahas di artikel sebelum nya, bermain dan intrapersonal intelligence sangat berkaitan. Dan memahami cara pandang ini juga bisa meningkatkan kualitas sesi game based learning yang kita berikan untuk murid-murid kita.

Pertama yang kita harus ketahui bermain khususnya role-play sudah memberikan banyak ruang agar intrapersonal intelligence bisa terbangun. Bermain mengembangkan kesadaran diri, kita juga belajar hal-hal seperti mengungkapkan perasaan, berempati, dan mengendalikan emosi (Rogers & Evans, 2006). 

Ini ditambahkan dengan protokol Game Based Learning (planning, implementing, debriefing) yang dirancang untuk meningkatkan intrapersonal intelligence tentu akan membuat sesi pembelajaran semakin efektif.

Di tahap perencanaan kita bisa merancang pertanyaan-pertanyaan yang mendorong introspeksi. Sebuah penelitian mengenai anak usia dini, menunjukan 4 tipe pertanyaan yang kita bisa rancang untuk mendorong personal intelligence (Wee, Shin, & Kim, 2013) :

  • Self discipline
  • Understanding perspectives and feelings
  • Positive self-concept
  • Understanding of self and awareness of inner mood

Seperti pertanyaan yang mengarah ke perasaan-perasaan yang mereka alami ketika menang/kalah, ketika hal-hal diluar ekspektasi mereka muncul, atau ketika teman-teman mereka melakukan hal yang diinginkan atau tidak.

Pertanyaan-pertanyaan tentang proses berpikir mereka juga akan mendorong self-knowledge. Seperti, bagaimana kamu bisa keluar dari masalah itu, atau apa yang kamu lakukan sebelum mengambil keputusan.

Selain itu banyak juga bentuk Socratic questioning, seperti tipe pertanyaan asumsi dan perspektif yang mendorong introspeksi, dan ini sangat cocok untuk ditambahkan di sesi diskusi Game Based Learning.

Dalam tahap implementasi kita bisa mengajak murid-murid kita untuk meningkatkan self-awareness mereka di saat bermain, kita ajak mereka untuk mengarahkan fokus nya bukan ke dunia luar tapi ke proses-proses internal yang terjadi di dalam diri mereka.

Dengan ini kita bisa mendorong mereka untuk berintrospeksi bukan hanya setelah bermain tapi di saat-saat permainan itu masih berlanjut.

Di luar konteks Game Based Learning, yang membuat game sebagai alat efektif untuk meningkatkan intrapersonal intelligence adalah, game sebagai alat pendeteksi minat dan bakat.

Memainkan sebuah game adalah aktivitas yang membutuhkan berbagai life skills, seperti komunikasi, kolaborasi, problem solving, emotional intelligence, adaptability, initiative dan banyak lagi. 

Dengan memainkan berbagai macam games, kita bisa menemukan bakat kita dimana, atau skill apa yang kita miliki dan bisa dipelajari dengan cepat, serta skill apa yang mungkin kita masih sulit untuk dapatkan.

Media game juga sudah meliputi hampir semua macam aspek kehidupan kita, dari games tentang sejarah, berbagai macam sains, bisnis, ekonomi, strategi dan lain-lain.

Mendorong anak-anak untuk mencoba berbagai macam game akan mengarah kan mereka kepada minat mereka, mereka bisa memahami kesukaan dan ketidaksukaan mereka.

 

Sumber:

Wee, S. J., Shin, H. S., & Kim, M. H. (2013). Young Children’s Role-Playing for Enhancing Personal Intelligences in Multiple Intelligences Theory. International Research in Early Childhood Education, 4(1), 53-72.

Rogers, S., & Evans, J. (2006). Playing the game. European Early Childhood Education Research Journal, 14(1), 43-56

Indonesia akan menjadi konsumen produk Game Based Learning ke-4 terbesar di dunia!

Indonesia akan menjadi konsumen produk Game Based Learning ke-4 terbesar di dunia!

Pasar Game Based Learning tumbuh sebesar 27.1% secara global!

Sejak 2005 Meetari telah mendata perkembangan pasar Game Based Learning, dan menurut kepala tim penelitian Sam S. Adkins setiap tahun laporan mereka semakin detail dan akurat.

Laporan mereka juga mendata prediksi pertumbuhan pasar. Dan menurut laporan ini, di tahun 2025 pasar Game Based Learning akan mencapai $28.8 billion, atau 4 kali lipat! 

Mereka juga mendetail kan prediksi ini untuk 63 negara pembeli teratas. Nah menurut prediksi mereka di tahun 2025 Indonesia akan menjadi negara pembelanja produk Game Based Learning terbesar ke-4! Dengan A.S. di posisi pertama, diikuti oleh Cinda dan India.

Pertumbuhan yang pesat ini diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama ada hubungannya dengan perkembangan psikologi pendidikan.

 Sekarang kita memahami bahwa proses pembelajaran memiliki 2 fase, knowledge transfer, dan learning transfer. Teknik-teknik mengajar lain sangat ber condong kepada knowledge transfer, dan mengalami kesulitan dalam learning transfer.

Game Based learning sangat handal dalam 2 fase ini, termasuk learning transfer dimana peserta didik untuk menunjukan apa yang mereka sudah pelajari dalam lingkungan games yang mensimulasikan situasi dunia nyata.

Menurut laporan mereka, dengan semakin luas nya kesadaran akan ini, demand untuk produk game based learning semakin juga meleast. Demand ini datang dari pemerintah lokal dan nasional, institusi-institusi pendidikan, organisasi non dan for profit.

Katalis lain yang mendorong perkembangan pasar ini adalah perkembangan AI (artificial intelligence) yang sudah banyak digunakan dalam games, perkembangan dalam teknologi AR (augmented reality) dan VR (virtual reality) games, investasi dalam bidang ini yang semakin banyak, muncul nya startup-startup baru, dan globalisasi.

Kabari ini tentu sangat menggembirakan khusus nya jika kita bayangkan implikasi nya terhadap pendidikan di Indonesia. Seperti yang dicantumkan dalam prediksi mereka, Indonesia akan menjadi konsumen Game Based Learning k-4 paling besar di dunia.

Yang jelas berarti semakin banyak murid kita yang terekspos dengan Game Based Learning, dan jika semua teori-teori mengenai Game Based learning benar ini akan meningkatkan kualitas belajar mereka.

Selain itu, ini kabar baik bagi kita yang bergerak pada bidang ini. Dengan demand pasar semakin banyak tentu semua kreatifitas kita dalam mengembangkan teknik pendidikan bisa diterima baik oleh siapapun yang bergerak dalam bidang pendidikan.

Semoga benar prediksi mereka, dan tentu Ludenara sangat bersyukur semua kerja keras kita, dan semua suport dari teman-teman telah menghasilkan sesuatu yang baik, dan tentu kedepannya akan terus menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk pendidikan Indonesia.

 

Sumber:

https://www.prweb.com/releases/global_game_based_learning_market_spikes_to_28_8_billion_by_2025/

Laporan lengkap nya ada di sini:

https://seriousplayconf.com/downloads/2020-2025-global-game-based-learning-market-metaari-report/