Ayo main dan belajar dengan Aquatico!

Ayo main dan belajar dengan Aquatico!

Aquatico adalah salah satu board game yang dimainkan untuk Game Schooling Ludenara. Game yang penuh dengan konten pembelajaran ekosistem perairan, tapi bukan hanya itu yang bisa dipelajari saat kita memainkannya. Banyak hal yang sangat penting untuk masa depan anak-anak yang bisa dilatih saat memainkan game ini. Hal-hal itu merupakan soft skills yang sangat penting untuk kesuksesan di masa dewasa, dan di kehidupan sehari-hari.

  1. Different Perspective/ Big Picture,

Di game ini murid-murid berperan sebagai penanggung jawab ekosistem perairan, dari sini mereka bisa memahami bahwa banyak sudut pandang yang harus mereka lihat. Dari sudut pandang ekosistem mereka sendiri, dan sudut pandang pemain lainnya.

 

  1. Healthy Competition and Presistance

Saat berkompetisi, murid-murid belajar menerima kekalahan serta belajar dari itu, dan karena mereka tetap ingin menang persistence sangat berkembang dengan ini.

 

 

  1. Teamwork, Communication, and Leadership

Saat bermain kooperatif mereka berperan sebagai pemimpin dan pengikut, mereka belajar berkolaborasi untuk mencapai tujuan yang sama. Mereka harus membuat rencana, memastikan setiap anggota melakukan aksi yang sudah disetujui, dan tentunya mereka juga harus belajar berkomunikasi dengan baik.

  1. Initiative and Adaptability

Anak-anak awalnya mengoleksi kartu ekosistem sesuai dengan binatang yang mereka ingin dapatkan, namun setelah mereka sadar itu sangat susah dicapai, atau ekosistem mereka terpolusi, mereka dengan cepat beradaptasi dan mengoleksi ekosistem yang lain untuk mendapatkan binatang yang lain, hal ini juga yang disebut adaptability ketika mereka cepat beradaptasi pada situasi baru.

  1. Critical Thinking, and Creativity

Fasilitator menjelaskan bagaimana cara bermain game, namun cara untuk menang mereka harus mencari tahu sendiri. Dari proses ini mereka mengasah critical thinking, dengan sendirinya mereka kritis akan menemukan cara terbaik untuk menang. Kreatifitas juga sangat berkemang, terilhat ketika mereka bisa menemukan solusi-solusi kreatif pada saat suatu permasalahan muncul.

 

Kebetulan, board game ini lagi discount lhoo!

Dapatkan harga dan diskon spesial hingga Rp. 50.000  sampai tanggal 19 April 2020.

Belanja atau cari tahu informasi selengkapnya tentang Aquatico di @Boardgame.id : bit.ly/aquatico-baru (atau klik tautan di bio)

Kirim DM atau hubungi 0857-4697-0411 (Caca) jika ada pertanyaan.

 

Game Based Learning bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Ini 5 alasannya!

Game Based Learning bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Ini 5 alasannya!

Sekarang setiap orang pasti setuju, bahwa kualitas edukasi Indonesia amat sangat harus tingkatkan. Ini salah satu alasan kenapa organisasi Ludenara dibentuk. Organisasi ini ingin melihatkan sisi bermain yang kadang terlewat sama masyarakat luas, bahwa bermain sangat penting untuk perkembangan anak secara holistic, dari tubuh, otak, mental, dan faktor-faktor lain nya yang bisa membantu setiap anak meraih potensi terbaik mereka.

Lalu bagaimana bermain, atau game based learning bisa meningkatkan kualitas edukasi Indonesia? Untuk ini ada lima landasan utama,bagaimana efektifitas dari setiap sesi pembelajaran bisa meningkat melalui game based learning.

 

Hal pertama yang penting untuk belajar dengan efektif adalah tingkat motivasi murid untuk belajar, karena motivasi adalah aspek kunci dari pembelajaran yang efektif (Garris et al.,2002) Sederhana nya belajar harus gembira dulu. Untuk meningkatkan aspek ini gim sangat lah cocok, fitur-fitur dari gim mendorong motivasi intrinsik, dan meningkatkan ketertarikan siswa kepada topik pembelajaran (Druckman, 95). 

Bukti ilmiah telah mendemonstrasikan bahwa gim menambahkan motivasi untuk belajar topik-topik akademis dan non-akademis seperti matematika (Kebritch et al., 2010), sains (Toprac, 2011), bahasa (Hainey et al., 2011), sejarah (Squire, 2004), software engineering (Papastergiou, 2009) melatih mahasiswa kedokteran (Roubidoux et al., 2002), meningkatkan kesadaran akan isu sensitif (Klopfer, 2008), atau makanan sehat (Serrano 2004). Motivasi ini juga berkelanjutan, sehingga siswa-siswi mau mengerjakan soal-soal lebih banyak (Lee et al., 2004) dan lebih semangat untuk mendalami topik itu.

Landasan kedua adalah pengembangan siswa-siswi terlepas dari materi akademis. Game based learning memiliki banyak manfaat dalam mengasah keterampilan yang mereka butuhkan untuk masa depan (antara lain adalah: kreativitas, kolaborasi,berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berempati, kegigihan, inisiatif dan lain-lain). World Economic Forum merincikan keterampilan-keterampilan ini sebagai 21st Century Skills, di dalam laporan ini World Economic Forum juga merekomendasikan game based learning sebagai cara paling baik untuk mengembangkan dan mengajarkan keterampilan-keterampilan ini.

Ketiga mengenai kesuksesan akademis siswa-siswi. Bila kita memang sangat peduli akan kesuksesan akademis anak, kita harus melihat dua faktor, yaitu kemampuan komunikasi mereka, dan juga kemampuan untuk meregulasi diri sendiri secara emosi, dan proses berpikir. Karena jika digabungkan faktor-faktor ini adalah indikator terbaik untuk memprediksi kesuksesan akademis dan kesejahteraan emosi (Whitebeard, 2011). Dan yang paling krusial untuk mengembangkan dua hal ini adalah bermain (Vygotsky, 1987).

Landasan keempat mencangkupi salah satu tujuan edukasi yang sangat penting, yaitu membentuk karakter yang moral. Menggunakan games mengajarkan karakter moral yang dasar yaitu Anak-anak belajar mengikuti peraturan. Tapi tidak sebatas itu aktifitas bermain sendiri merupakan cara Anak-anak membentuk karakter yang moral secara natural.

Menurut father of developmental psychology, Jean Piaget karakter moral anak pada dasarnya terbentuk saat mereka bermain. Ketika bermain anak-anak belajar benar dan salah (moral dan immoral), dari melakukan sesuatu immoral mereka melihat reaksi negatif dari teman-teman nya, sebaliknya melakukan ketika melakukan hal moral mereka mendapatkan feedback positif seperti di ajak main lagi. Selain itu mereka belajar mengikuti peraturan, menyadari mengapa peraturan itu terbentuk, dan konsekuensi dari melanggar peraturan. Level

setelah itu adalah saat mereka bisa membentuk peraturan-peraturan sendiri saat bermain untuk memastikan setiap anak bisa bermain dengan adil. Hal ini tidak hanya berlandasan teori. Cambridge Journal of Education mempublish penelitian, yang menunjukan bahwa bermain mengembangkan empati dan perilaku prososial. Hal ini sangat penting jika kita melihat bahwa menurut teori kognitif sosial kita belajar lebih efektif jika bersama kelompok yang kondusif.

Selain sangat baik untuk siswa-siswi, berlatih menggunakan game based learning meningkatkan kompetensi guru ini lah landasan ke-lima. Penelitian dari Finnish Institute for Educational Research menemukan empat kompetensi Guru yang terlatih saat menggunakan pendekatan game based learning yaitu; pedagogis, teknologi, kolaboratif dan kreatif. Hasilnya berlaku untuk mengembangkan pendidikan guru, karena kompetensi guru dalam penggunaan game based learning akan terintegrasi dengan pengetahuan profesional, dan portofolio keterampilan guru.

Sumber:

 Felicia, P. (2011). What evidence is there that digital games can contribute to increasing students ‘ motivation to learn ?

 Schunk, D. H. (2020). Learning theories: an educational perspective. Hoboken, NJ: Pearson.

Waite, S., & Rees, S. (2013). Practising empathy: enacting alternative perspectives through imaginative play. Cambridge Journal of Education, 44(1), 1–18. doi: 10.1080/0305764x.2013.811218

Nousiainen, T., Kangas, M., Rikala, J., & Vesisenaho, M. (2018). Teacher competencies in game-based pedagogy. Teaching and Teacher Education, 74, 85–97. doi: 10.1016/j.tate.2018.04.012

 Freitas, S. D., Dunwell, I., & Rebolledo-Mendez, G. (n.d.). Learning as Immersive Experience. Teaching and Learning in 3D Immersive Worlds, 5. doi: 10.4018/978-1-60960-517-9.ch002

Druckman, D. (1995). The educational effectiveness of interactive games. In D. Crookall, & K. Arai (Eds.), Simulation and gaming across disciplines and cultures: ISAGA at a watershed (pp. 178-187). New York: SAGE Publications.

 World Economic Forum. (2015). New vision for education: unlocking the potential of technology. Geneva, Switzerland.

The Healing Power of Play

The Healing Power of Play

Image by Jill Wellington from Pixabay

Setelah berakhirnya turmoil politik di tahun 1990 banyak sekali anak-anak yatim piatu yang terlantar di Romania. Fasilitas negara yang sangat minim tidak sanggup merawat mereka dengan baik, sehingga banyak dari mereka yang mengalami banyak sekali isu-isu mental dan masalah perkembangan.

 

Image by DarkWorkX from Pixabay

Di tahun 1999 salah satu rumah sakit di Romania menampung 16 anak berusia 1 sampai 10 tahun, anak-anak ini mengalami banyak sekali isu mental, seperti menyakiti diri sendiri, sering sekali ketakutan, tidak bisa berhubungan baik dengan sesama, dan lainnya. Mereka juga mengalami stunting, mereka hampir tidak memiliki kemampuan motorik sama sekali. Kebiasaan mereka sangat tidak layak bagi anak-anak yang aktif dan ceria, sepanjang hari yang mereka lakukan hanyalah melamun menatap dinding, dan termenung cemas.

 

Lalu rumah sakit ini mereka bekerja sama dengan organisasi Inggris, White Rose Initiative untuk melatih pengasuh-pengasuh yang bisa menyembuhkan anak-anak ini. Terapi yang mereka lakukan sangat lah sederhana, rumah sakit menyediakan playroom dimana pengasuh mengajak anak-anak bermain bersama.

 

 

 

Pada dasarnya terapi ini menggunakan pendekatan non-intervensi, dimana mereka menekankan “free play”. Tapi mereka juga memiliki 11 kategori yang ditekankan; kebebasan; fleksibilitas; interaksi sosial dan sosialisasi; aktivitas fisik; stimulasi intelektual; kreativitas dan pemecahan masalah; keseimbangan emosional;

Image by Bessi from Pixabay

Berikut adalah metode-metode terapi mereka;

1. Mengurangi hambatan proses bermain

Anak-anak ini memiliki banyak hambatan untuk bermain, dari kelaparan, ruangan bermain yang kotor. Hambatan-hambatan ini dikurangi sehingga anak-anak bisa bermain dengan sepenuh hati.

2. Memperkaya lingkungan bermain

Pengasuh memastikan ruang bermain memungkinkan anak-anak menjadi gembira. Tempat di mana anak-anak dapat melakukan kegiatan yang tidak serius untuk     kesenangan, dan kepuasan.

3. Pendekatan Non-intervensi

Untuk mayoritas anak-anak, hanya saat bermain lah mereka memiliki kendali terhadap dunia dan kehidupannya sendiri. Kondisi dimana anak-anak bisa menguasai kehidupannya sendiri sangat lah penting untuk terapi.

4. Negative Capability

Para pengasuh menemukan hasil yang paling banyak ketika mereka tidak terlihat melakukan apa-apa. Ketika pengasuh terburu-buru untuk ikut campur urusan anak-anak, pengasuh membatasi kemampuan dan kreativitas anak-anak. Pengasuh harus berpikiran terbuka, tidak menghakimi, dan tidak berprasangka, dan dengan demikian ia menyediakan lingkungan yang mendorong imajinasi, kreativitas, eksplorasi dan eksperimen — dan karenanya pengembangan anak.

5. Menggunakan wawasan kehidupan personal.

Simpati, empati, mimesis, penyesuaian afektif, dan interpretasi isyarat permainan yang sensitif, adalah keterampilan dan kemampuan yang penting untuk makhluk sosial yang baik. Anak-anak mengembangkan keterampilan ini saat mereka bermain. Mereka bukan keterampilan yang bisa diajarkan di kelas. Mereka semua adalah keterampilan yang penting bagi pekerja bermain jika mereka tidak salah membaca situasi yang dihadapi mereka setiap hari. Ini sangat jelas saat bekerja di rumah sakit.

6. Mengikuti agenda anak

Segala kebiasaan, keinginan, dan minat anak tidak diarahkan sesuai dengan keinginan orang dewasa. Orang dewasa tidak pernah memaksakan apa yang mereka anggap baik kepada anak namun menggunakan apa yang mereka minati untuk membangun hubungan baik. 

7. Menciptakan hubungan untuk memperkuat harga diri anak

Salah satu hal yang paling penting di terapi ini adalah hubungan yang terjalin antara anak-anak ini dan antara pengasuh dengan anak. Hubungan yang baik ini lah yang sangat membantu proses penyembuhan mereka dan proses perkembangan yang terjadi secara beriringan. Dengan pendekatan non-intervensi anak-anak merasakan sendiri bahwa mereka sanggup membangun hubungan yang baik dengan orang lain dan tentunya mereka merasakan harga diri nya tumbuh.

Photo by Senjuti Kundu on Unsplash

Hasil nya sangat inspiratif, dalam waktu kurang dari satu tahun, anak-anak yang mengalami isu mental kronis menunjukan pemulihan yang dianggap banyak ahli tidak mungkin. 

Setiap anak bisa sembuh, dan berkembang dengan kecepatannya sendiri, namun pada dasarnya hanya dengan 4 minggu bermain dengan rutin setiap anak menunjukan tanda-tanda pemulihan yang signifikan.

Ada perkembangan substansial dalam keterampilan sosial semua anak.Semua keterampilan komunikasi anak-anak berkembang, beberapa lebih cepat daripada yang lain.

Perkembangan otot-rangka anak-anak lah yang mungkin merupakan indikator kemajuan yang paling luar biasa dan tidak terduga.

 

 

 

 

 

Sumber: Brown, F. (2014). The Healing Power of Play: Therapeutic Work with Chronically Neglected and Abused Children. Children, 1(3), 474–488. doi: 10.3390/children1030474

 

4 Freedoms of Play. Merdeka Belajar versi Ludenara!

4 Freedoms of Play. Merdeka Belajar versi Ludenara!

Photo by Aditya Saxena on Unsplash

 

Massachusetts Institute of Technology (MIT) memiliki program “educational arcade” dimana mereka diberikan banyak ruang untuk bereksperimen dan meneliti pendidikan. Nah, salah satu teori mereka adalah “4 freedoms of play”. Lerner-centered theory  ini memberi wawasan bahwa, jika 4 kondisi ini terpenuhi, pembelajaran akan terjadi dengan efektif.

Berikut adalah 4 kondisi tersebut;

 

  1. Freedom to Explore,
Photo by Jamie Street on Unsplash

Pertama anak-anak akan belajar dengan lebih baik jika mereka dengan sendiri nya yang ingin tahu mengenai topik, atau keterampilan tertentu.  Selain itu anak-anak juga harus diberikan kebebasan untuk memilih cara belajar mereka, mungkin mereka ingin nonton film, menggambar, atau memainkan games mengenai topik ini. Dengan kebebasan ini, maka akan ada motivasi intrinsik, dengan ini mereka akan terus fokus, semangat belajar dan rasa ingin tahu tidak akan pudar. Hal-hal ini lah yang akan terus mendorong mereka untuk menjelajahi dan belajar hal-hal baru. Ini mengapa 4 Freedoms of Play sangat condong ke arah Student Centric.

 

       2. Freedom to Fail,

Photo by Taelynn Christopher on Unsplash

Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari kegagalan, kita bisa merefleksikan hal yang telah terjadi, menanyakan apa yang salah? Dan terus mencari jalan yang benar. Dengan membebaskan anak-anak untuk gagal, mereka akan terus bereksperimen, mereka akan mencari cara baru untuk menyelesaikan masalah, mencari jalan baru untuk mencapai suatu tujuan. 

 

3. Freedom of Identity,

Photo by Steven Libralon on Unsplash

 

Di permainan anak-anak akan mencoba peran-peran yang baru, dengan ini mereka bisa belajar berempati, dengan menempatkan diri mereka di posisi orang lain. Dengan mengidentifikasikan diri sebagai orang lain anak-anak bisa belajar dari pengalaman orang lain, melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan bersama, dan kebahagian orang menjadi kebahagiaan diri mereka juga.

Selai itu kebebasan untuk beridentitas akan mendorong anak-anak untuk menemukan jati diri nya, mereka akan melihat sendiri dimana letak ketertarikan mereka, hal-hal yang mereka tidak sukai, cara belajar yang paling baik untuk mereka dan banyak hal lain yang penting untuk menumbuhkan individual yang kuat.

 

4. Freedom of Effort,

Image by stine moe engelsrud from Pixabay 

 

Kita tidak bisa selalu memaksakan anak untuk selalu rajin, fokus, niat, dan berusaha dengan maksimal. Anak-anak akan lebih produktif di jangka panjang jika mereka bisa memilih kapan mereka ingin berusaha dengan maksimal, dan kapan mereka ingin bersantai-santai. Karena memaksakan anak untuk selalu berusaha keras akan menimbulkan tekanan yang tidak kondusif, dan juga dengan cepat mereka akan merasa letih.

Bukan hanya ranking PISA yang rendah, Indonesia juga masih kalah bersaing di bidang Inovasi!

Bukan hanya ranking PISA yang rendah, Indonesia juga masih kalah bersaing di bidang Inovasi!

Banyak yang kita bisa pelajari dari laporan Global Innovation Index oleh WIPO (World Intellectual Property Organization).

Namun seblum itu, kita juga harus memahami betapa penting nya inovasi dalam kesejahteraan kita sekarang.

Dengan memandang kemajuan yang telah manusia capai sepanjang sejarah, kita bisa melihat bahwa kehidupan kita semakin nikmat, damai, dan mudah.

Seperti harapan hidup yang meningkat dari rata-rata 30 tahun, hingga rata- rata 70. 

Pendapatan kita yang meningkat drastis saat Industrial Revolution.

 

Dan juga menurunya tingkat peperangan di seluruh dunia.

 

Banyak faktor yang membuat kehidupan kita semua semakin baik, dan hal paling utama yang mendorong itu semua adalah inovasi. Tentunya semakin banyak dan baik inovasi, kehidupan kita akan semakin membaik.

 

Tahun 2019 WIPO (World Intellectual Property Organization) telah mengeluarkan laporan mereka mengenai negara-negara yang menghasilkan inovasi paling banyak, dan juga negara-negara yang dengan sangat effesien menggunakan investasi mereka untuk menghasilkan inovasi yang banyak.

Dari laporan ini kita bisa belajar banyak hal, salah satunya adalah kebutuhan inovasi di dunia edukasi semakin penting, seperti yang tertulis di laporan ini

“Economies at all development levels now ask questions on how to instill the curiosity of science and entrepreneurship in children and students.” Mungkin disinilah Ludenara bisa banyak berperan. 

Selain itu, kita juga bisa menganalisa negara-negara yang telah bisa berinovasi dengan skala besar, serta negara-negara yang telah gagal dalam usaha ini.

Negara-negara yang menghasilkan inovasi terbaik juga sangat terkenal dengan sistem edukasi yang memberi penekanan terhadap pembelajaran 21st century skills 4cs (Collaboration, Creativity, Communication, Critical thinking) sejak awal abad ini. Ini negara-negara seperti Swiss (peringkat 1), Swedia (peringkat 2), Belanda (peringkat 4), dan Finlandia (peringkat 6).

Kita juga tahu bahwa faktor utama dalam menghasilkan inovasi bukan lah kondisi ekonomi sebuah negara. Ada negara-negara yang berlimpah dengan kekayaan, tapi sayangnya sangat minim dalam menghasilkan inovasi, seperti Arab Saudi, UAE (United Arab Emirates), Lithuania, dan Qatar, menduduki peringkat dibawah 40, dari 50 negara. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia dan tetangga-tetangga kita?

WIPO juga mengeluarkan peringkat inovasi untuk negara-negara berkembang, yang kondisi ekonomi nya masih kurang baik.

WIPO chart for developing countries

Seperti yang kita bisa lihat, negara-negara tetangga kita yang memiliki kondisi ekonomi yang sama, banyak menduduki peringkat tinggi. Seperti Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Sungguh susah jika kita beri alasan kenapa Indonesia tidak bisa menyaingi negara-negara ini, yang investasi terhadap pendidikan juga tidak berbeda dengan Indonesia.

 

Menurut data UNESCO, Vietnam menginvestasikan 29,6% dari total pengeluaran untuk edukasi per murid, Filipina hanya di 11%, Indonesia pun memberikan alokasi paling tinggi, untuk per murid Indonesia mengeluarkan 40% dari total pengeluaran. Mungkin salah satu faktor kreativitas Indonesia adala efisiensi dari pengeluaran di bidang pendidikan. 

Semoga data-data ini bisa membantu kita semua untuk lebih semangat lagi mendidik penerus kita lebih baik, dari yang kita lakukan selama ini.

Sumber:

Global Innovation Index 2019. (n.d.). Retrieved from https://www.wipo.int/global_innovation_index/en/2019/

Advokasi Bermain Oleh UNICEF

Advokasi Bermain Oleh UNICEF

image by, UNICEF

Kami berkomitmen untuk bekerja tanpa lelah untuk implementasi penuh Agenda ini pada tahun 2030”

  • Deklarasi komitmen SDG negara-negara anggota PBB, 2015

 

SDG (Social Development Goals) no.4 adalah “promoting lifelong learning for all” tentunya banyak sekali inovasi-inovasi untuk mencapai tujuan ini. 

Sekarang kita lihat usaha dari UNICEF, yang telah di beri support oleh Leggo foundation. Dari kerja sama ini, mereka menyuarakan advokasinya bahwa, “learning through play” memiliki peran yang sangat penting di dalam mencapai target SDG.

 

Lalu bagaimana bermain bisa berperan dalam mencapai SDG ini?

Di jurnal ini UNICEF menjelaskan secara lebar bagaimana “learning through play” ini adalah pondasi yang sangat penting untuk pendidikan setiap anak. Karena lifelong learning sangat membutuhkan perspektif bahwa belajar itu hal yang sangat menyenangkan, agar anak-anak dengan sendiri akan terus belajar.

 

Selain itu banyak hal teknikal lain yang membahas tentang bermain sebagai proses belajar yang alami untuk anak-anak.

image by, UNICEF

 

Satu hal di jurnal ini yang belum banyak kita bahas adalah, tantangan-tantangan menggunakan bermain untuk belajar. Menurut UNICEF ada 5 faktor yang menghambat, yaitu;

 

  1. kurangnya pemahaman tentang nilai permainan sebagai landasan konsep akademik
  2. kesalahpahaman orang tua atau pengasuh tentang bermain
  3. kurikulum atau standar pembelajaran yang tidak membahas permainan
  4. kurangnya pelatihan profesional guru yang berfokus pada pembelajaran melalui permainan
  5. ukuran kelas yang terlalu besar hingga membatasi kebebasan anak-anak untuk bermain

Berikut adalah infografis oleh UNICEF mengenai tantangan ini.

 

Siaga! Boardgame yang lebih dari boardgame

Siaga! Boardgame yang lebih dari boardgame

Dari pengalaman-pengalaman para guru yang telah melewati bencana terlahir lah Siaga!

Setelah survey lokasi bencana Lombok 2018, Mas Eko telah merancang learning kit yang bisa membantu mengajar tanggap bencana untuk murid-murid sekolah, dan juga pembelajaran informal di luar sekolah.

Bersama dengan Lembaga Beasiswa Baznas, Ludenara mengajak lebih dari 40 guru yang telah melewati bencana alam di Lombok dan juga Palu, untuk bermain dan belajar bersama. Bersama guru-guru yang sangat hebat ini, kita menggali potensi Siagai! sebagai learning kit tanggap bencana yang sangat komplit.

Setelah project ini tentu Siaga! akan menjadi alat edukasi yang semakin baik. Kita harapkan tool kit ini bisa membantu guru-guru dan orang tua di seluruh nusantara untuk memberi pembelajaran tanggap bencana yang akan menyelamatkan nyawa.

Learning kita ini membuka pembahasan untuk 3 fase mitigasi bencana. Dari fase persiapan, dimana kita belajar bersama mengenai informasi-informasi yang harus kita pelajari sebelum terjadinya bencana.

Setelah itu, kita juga mengerti pentingnya pelatihan evakuasi di saat terjadinya bencana. Karena se paham-paham nya kita, se hafal-hafal nya kita mengenai teori-teori tanggap bencana, akan sia-sia jika tidak ada latihan, teori sendiri tidak bisa menyelamatkan kita di saat terjadinya bencana.

Dan erakhir adalah fase pasca bencana, saatnya kita saling membantu, bergotong royong dan membangun kembali tempat tinggal kita yang telah terlanda bencana.    

Siaga! juga memberi penekanan pada pentingnya kerja sama di seluruh fase mitigasi bencana. Dengan memainkan board game ini kita bisa mengalami sendiri seberapa fatal nya jika kita gagal saling mengerti. 

Program ini kita jalankan bersama Lembaga Beasiswa Baznas, dengan tujuan untuk memberikan edukasi tanggap bencana kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Dan seperti yang kita ketahui, seluruh masyarakat Indonesia yang berdiri di atas lingkaran api, sangat membutuh kan nya. SIa

Untuk itu, kita masih butuh bantuan yang banyak, untuk mensosialisasikan misi kita, serta support untuk merealisasikan program kita di seluruh Nusantara.

Ludenara for Lombok and Palu

Ludenara for Lombok and Palu

LOMBOK, INDONESIA – AUGUST 07 (Photo by Ulet Ifansasti/Getty Images)

Hutan gunung sawah lautan..
Simpanan kekayaan..
(Ismail Marzuki, Ibu Pertiwi. 1958)

Iya, Indonesia penuh dengan kekayaan, dengan tanah yang subur, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Tapi kekayaan ini juga ada harganya.
Gunung-gunung volcano yang menyuburkan tanah kita semua berdiri di atas lingkaran api.
Sehingga selama bulan Januari hingga Maret saja sudah terjadi 1.107 bencana alam (PNPB)

Seingin-inginnya kita untuk tidak pernah terkena bencana, kita tidak bisa melawan lingkaran api yang di atasnya terletak tanah air kita.
Karena itu, Ludenara bersama dengan BAZNAS ingin mengadakan pendidikan mitigasi bencana alam, tentunya dengan metode pembelajaran yang meaningfull untuk anak-anak kita.

Tidak lama setelah gempa bumi yang terjadi di Lombok, tim Ludenara mengadakan survei pasca gempa bumi. Tim Ludenara mendatangi sekolah-sekolah, dan rumah-rumah warga yang terkena bencana untuk mempelajari lebih dalam tentang apa yang mereka alami selama bencana dan pasca bencana.

Kita juga bekerja sama dengan guru-guru di sekolah yang terkena bencana, untuk mendiskusikan apa saja hal yang paling penting untuk diajarkan kepada anak-anak kita mengenai mitigasi bencana. Dari sini kita pulang dan merancang “learning kit” mitigasi bencana.
Nah, di tanggal 17 Desember, Ludenara akan datang ke Palu dan juga Lombok untuk menghadirkan sesi pembelajaran mitigasi bencana dengan learning kit yang kita dapatkan dari survei pasca gempa bumi Lombok 2018.

Discovery Learning, poses pembelajaran saat bermain!

Discovery Learning, poses pembelajaran saat bermain!

 

Discovery learning adalah salah suatu proses pembelajaran yang muncul di saat kita bermain. Proses pembelajaran ini berdasarkan teori oleh Jerome Bruner, yang menyatakan bahwa belajar bukan lah sekedar menyerap ilmu, tapi juga menggunakan intuisi, imajinasi, dan kreativitas mereka, untuk menemukan fakta, korelasi, dan kebenaran.

 

Teori ini berdasarkan teori edukasi constructivism, yang berasal dari Jean Piaget bapak dari developmental psychology. Teori-teori Piaget telah banyak berkontribusi kepada ilmu sosial, mengenai bagaimana anak belajar dan berkembang menjadi orang dewasa. 

 

Teori Constructivism memberikan perspektif bahwa ketika kita belajar, kita membangun pengetahuan baru di atas pembelajaran sebelumnya. Pengetahuan yang sudah ada ini mempengaruhi pengetahuan baru yang kita dapatkan dari pengalaman. Pengalaman.

Dari sisi ini, constructivism bercondong kepada pembelajran yang aktif, dan salah satu proses pembelajaran itu adalah discovery learning.

Ini juga mengapa Discovery Learning juga terklarifikasi sebagai student-centered. Pengalaman di berikan empasis.

Berikut adalah prinsip-prinsip dari discovery learning

 

 

1 Problem Solving

 

Pada dasarnya saat kita bermain, kita mencoba untuk memecahkan masalah untuk mencapai kemajuan di dalam permainan tersebut. Kita bermula dari asumsi apa yang harus kita kerjakan, lalu kita tes asumsi itu saat kita menggunakannya untuk memecahkan masalah.

 

2 Experience and Interaction

 

Bermain adalah belajar dari pengalaman sendiri, kita berinteraksi dengan lingkungan, kita bereksperimen, mengeksplorasi, dan memanipulasi suatu situasi, atau object.

 

3 Information Analysis and Interpretation.

Untuk game based learning, discovery learning berorientasi pada proses dan bukan berorientasi pada konten. Pembelajaran bukan hanya kumpulan fakta. Saat bermain kita belajar untuk menganalisis dan menafsirkan informasi yang diperoleh dan kita hubungkan kepada dunia nyata, tidak hanya menghafal jawaban yang benar.

Tidak ada Guru, di Game Schooling Ludenara

Tidak ada Guru, di Game Schooling Ludenara

Yang sangat membedakan pendidikan Ludenara dengan pendidikan tradisional adalah peran guru.

Pendidikan pada umumnya mewajibkan guru untuk membuat dan melaksanakan program pengajaran, menganalisis materi pelajaran, mengisi rapot, dan banyak lagi. Secara singkat guru adalah figur authority yang diberikan tugas untuk menyampaikan ilmu, dan menilai murid sesuai kurikulum.

Namun di cara mengajar, ada pendekatan yang berbeda.  Pendekatan ini berawal dari ahli psikologis Amerika Carl Ransom Rogers, yang mendirikan pendekatan pembelajaran yang fokus pada murid secara individu, atau student-centered learning

Carl Rogers sangat menekankan meaningful learning, menurut dia pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dilihat sebagai berguna dan berarti oleh murid tersebut. Pembelajaran melalui pengalaman yang memiliki relevansi untuk kehidupan murid experiential learning, pembelajaran mencantumkan tidak hanya aspek kognitif tapi juga afektif, kepribadian, sikap dan dievaluasi oleh murid itu sendiri.

Menurut Rogers peran guru di dunia edukasi adalah sebagai fasilitator, dimana guru merancang suasana pembelajaran yang berorientasi terhadap meaningful learning. Fasilitator tidak fokus terhadap membuat lesson plan, fasilitator harus menyediakan sumber-sumber ilmu atau kondisi-kondisi tertentu supaya pembelajaran terjadi dengan sendirinya. 

Singkat nya, berikut adalah fitur-fitur cara mengajar tradisional (declarative) dan cara mengajar seorang fasilitator.

Tentunya setiap pendekatan pengajar memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Untuk itu Ludenara tidak meletakan diri sebagai kritik sistem edukasi yang lain, namun kita hanyalah penyedia sistem edukasi alternatif.