Orang tua dan guru pasti sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, dalam artian kita pasti ingin proses pembelajaran itu efektif, bermanfaat, dan bermakna. Nah untuk menghadirkan proses pembelajaran yang seperti ini, pasti kita belajar dari pengalaman pendidik lain, dan jelas penelitian atau teori-teori pendidikan dan psikologi.
Mempelajari hal-hal ini jelas sangat penting, dari sini lah kita mengetahui pentingnya motivasi, keterlibatan, relevansi dan hal-hal lain yang penting untuk proses pembelajaran berkualitas. Tetapiselain mempelajari pendidikan dari kacamata ilmu pendidikan dan psikologi ilmu sosial lain juga bisa memberi wawasan yang menarik lho, contohnya ekonomi!
Ilmu ekonomi telah memberi banyak wawasan mengenai perilaku manusia dan interaksinya dengan hal-hal yang menurut kita memiliki nilai ekonomi, seperti barang, jasa dan komoditas. Nah dalam ilmu ekonomi ada Experience Economy bisa memberi wawasan mengenai pendidikan seperti apa yang akan dinilai bermakna dan memuaskan bagi “konsumennya” yaitu siswa-siswi.
Menurut Experience Economy, kebahagiaan dan kepuasan kita tidak bisa dijelaskan hanya dengan memiliki barang, komoditas atau menerima jasa, namun pengalaman memiliki bobot yang besar dalam kebahagiaan kita. Karena itu pula pengalaman memiliki nilai yang lebih premium dibandingkan sekedar barang, komdotas, ataupun jasa.
Penelitian pun sudah mensuport pemahaman ini (Carter and Gilovich, 2010). Mereka menemukan bahwa konsumen yang memilih membelanjakan uangnya untuk barang mendapatkan kepuasan yang lebih rendah dengan yang memilih pengalaman. Mereka juga menemukan bahwa kepuasan dengan barang menurun seiring berjalannya waktu, tapi kepuasan atas pengalaman justru meningkat.
Pemahaman ini bisa kita aplikasikan dalam dunia pendidikan (Kim et al., 2018).
Dengan mudah kita bisa menyamakan tingkat kepuasan konsumen bisa berarti pendidikan tingkat kualitas pendidikan dari cara pandang siswa-siswi. Saat siswa-siswi puas dengan pendidikannya berarti mereka merasa yang dipelajari itu bermanfaat, bermakna, dan mereka juga mendapatkan pemahaman materi pembelajaran, dari mendapatkan hal-hal ini kepuasan belajar muncul.
Sekarang kita bisa mencari tingkat kepuasan belajar yang tinggi. Dalam pendidikan kita bisa melihat buku, video, dan alat batu pembelajaran lain sebagai barang, dan mengajar sebagai jasa. Nah pembelajaran yang dimodifikasi lah yang bisa dianggap sebagai pengalaman karena beberapa dampak gamifikasi:
Active engagement: Elemen-elemen game seperti cerita, dinamika dan interaksi yang membuat siswa-siswi terlibat secara aktif dan menikmati proses pembelajaran.
Learning effect: Menggunakan gamifikasi untuk pembelajaran membantu siswa-siswi memperkuat ingatan mereka mengenai apa yang dipelajari
Personal experience: Saat siswa-siswi menyelesaikan misi, berhasil melewati tantangan, mereka akan merasakan pengalaman belajar yang lebih personal.
Sumber:
Carter, T. J., & Gilovich, T. (2010). The relative relativity of material and experiential purchases. Journal of Personality and Social Psychology, 98(1), 146–159. doi:10.1037/a0017145
Kim, S., Song, K., Lockee, B., & Burton, J. (2018). Gamification in Learning and Education: Enjoy Learning Like Gaming (Advances in Game-Based Learning) (Softcover reprint of the original 1st ed. 2018 ed.). Springer.
Pernah gak, menghabiskan waktu berjam-jam belajar di kelas terus pas kelas itu beres bingung, tadi belajar apa ya?
Kalo gak pernah kayak gini, hebat anda murid teladan tapi sayangnya gak semua seperti itu. Bagi yang pernah mengalami itu, alasanya adalah pelajar tidak terlibat dalam proses belajarnya, atau tingkat student engagement nya rendah.
Student engagement ini didefinisikan sebagai, keterlibatan siswa diukur dengan tingkat perhatian, keingintahuan, minat, optimisme, dan semangat yang ditunjukkan Siswa ketika mereka belajar. Dari sini sudah jelas bahwa setiap pendidik dan pelajar merasakan pentingnya engagement setiap Siswa di kelas.
Banyak sekali faktor yang bisa meningkatkan keterlibatan Siswa, seperti Guru yang inspiratif, teman belajar yang saling mendukung, materi pelajaran yang sesuai dengan minat, atau cara belajar yang asik!
Kan untuk jadi Guru inspiratif susah kalo yang sudah ,hebat! Bergantung kepada Siswa-siswi lain untuk menyemangati temannya sangat tidak bisa diandalkan, memang kita bisa mengajar materi yang sesuai minat mereka, tapi tidak selamanya bisa begitu. Nah sepertinya cara yang paling praktis dan semua Guru bisa terapkan adalah mengubah metode belajar menjadi asik!
Hal ini sangat mudah dengan menggunakan games, selain itu Game Based Learning sudah terbukti secara ilmiah ampuh meningkatkan keterlibatan siswa karena berbagai hal. Berikut adalah beberapa fitur dalam game yang meningkatkan keterlibatan siswa menurut literatur yang mengkaji penelitian dari tahun 2008-2018 (Shu & Liu, 2019).
Relatedness
Yang pertama adalah relatedness biasanya games memiliki tokoh yang harus dimainkan, dan sering kali Siswa-siswi akan merasa terhubung dengan tokoh yang dimainkan. Seperti misalnya dalam game Monopoly kita memainkan seorang pengusaha yang ingin menguasai dunia properti dengan hotel-hotel dan rumah-rumah.
Siswa-siswi akan merasa “oh iya aku juga pengen jadi pengusaha.” dengan merasa terhubung dengan tokoh seperti ini mereka akan lebih terlibat dalam proses pembelajaran.
Social Interaction
Game yang dimainkan bersama akan mendorong interaksi sosial dengan teman-temannya secara kompetitif dan kooperatif dengan ini pasti mereka lebih terlibat dalam proses belajarnya.
Yang menarik, interaksi sosial ini juga merupakan proses belajar sendiri. Dari mengobservasi orang lain kita bisa membentuk ilmu, peraturan, keterampilan, kepercayaan dan kebiasaan baru. Ini ditambah dengan belajar dari konsekuensi dan tindakan kita sendiri memungkinkan kita belajar ilmu dan keterampilan yang kompleks (Schunk, 2012).
Enjoyment
Bermain adalah aktivitas yang memang sangat bisa dinikmati. Dengan proses Game Based Learning yang kita lakukan adalah bermain sambil belajar. Jadi Siswa-siswi dengan menikmati proses belajarnya mereka pasti akan lebih terlibat!
Menikmati sebuah proses juga akan menambahkan manfaat yang kita dapatkan saat mengerjakan proses itu sendiri. Coba kita mengingat pengalaman kita sendiri, pasti segala sesuatu yang kita lakukan dengan senang hati akan memberi lebih banyak manfaat daripada melakukan sesuatu karena dipaksa.
Fantasy
Fitur ini sangat berhubungan dengan enjoyment. Dengan adanya sebuah cerita, narasi, keadaan, dan tokoh-tokoh yang menarik permainan akan lebih menarik lagi!
Ada berberapa game yang mungkin aspek fantasynya belum kuat, atau kurang cocok dengan Siswa-siswi. Hal ini dengan mudah bisa diubah dan mengarang sebuah dubai fantasy yang lebih sesuai. Saat sebelum memulai, selama bermain, dan saat akhir permainan kita bisa mengajak Siswa-siswi masuk kedalam dunia yang kita karang agar mereka semakin terlibat.
Self-efficacy
Efikasi Diri adalah suatu kepercayaan diri terhadap kemampuan dirinya dalam melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan. Dalam konteks ini seberapa PADnya kita akan kemampuan diri untuk belajar, memecahkan masalah, atau mencapai sebuah tujuan. Efikasi Diri ini sangat penting untuk efektivitas proses pembelajaran, dan semakin Siswa PD bahawa “Aku bisa memahami ini” semakin terlibat mereka dengan proses belajarnya.
Game Based Learning adalah media yang cocok untuk meningkatkan Efikasi Diri Siswa-siswi. Ada beberapa penelitian yang menunjukan playfulness yang dialami oleh Siswa-siswi saat bermain game meningkatkan Efikasi Diri mereka dalam bidang akademik (Potosky, 2002). Hal ini terlihat saat Anak-anak main games, mereka sangat pandai dan cepat sekali memahami konten dan struktur game. Karena ini juga mereka menjadi semakin PD akan kemampuan mereka untuk belajar.
Challenge/Skill Balance
Tantangan adalah hal penting yang membuat Games menjadi menarik. Pemain merasa tertantang untuk naik level, mengalahkan musuh, atau menyelesaikan masalah.
Tentu tantangan ini harus diseimbangkan dengan keterampilan yang mereka miliki. Game yang terlalu mudah akan membosankan, game yang terlalu sulit akan membuat pemain frustasi. Games yang menyediakan kesulitan yang pantas untuk keterampilan akan membuat mereka sangat terlibat dalam permainan itu.
Sumber:
Schunk, D. H. (2012). Learning theories: An educational perspective. Boston, MA: Pearson.
Shu, L. & Liu, M. (2019). Student Engagement in Game-Based Learning: A Literature Review from 2008 to 2018. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 28(2), 193-215. Waynesville, NC USA: Association for the Advancement of Computing in Education (AACE). Retrieved October 26, 2021 from https://www.learntechlib.org/primary/p/183934/.
Potosky, D. (2002). A field study of computer efficacy beliefs as an outcome of training: the role of computer playfulness, computer knowledge, and performance during training. Computers in Human Behavior, 18(3), 241–255. doi:10.1016/S0747-5632(01)00050-4
Rabu, 13 Oktober Ludenara mendapatkan kesempatan untuk bertemu via Zoom dengan Bapak Ibu Guru dan Kepala sekolah dari Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara. Pertemuan ini merupakan rapat koordinasi awal dari Nusantara Bermain Bermakna. Sebuah program inisiasi Ludenara yang didukung oleh Program Organisasi Penggera oleh Kemendikbud. Rapat ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Disdik masing-masing kota yang menunjukkan sepenuhnya menunjukkan sport mereka untuk keberlangsungan dan kesuksesan.
Rapat ini kita manfaatkan untuk mensosialisasikan detail program kami, seperti jadwal pelaksanaan, detail kegiatan program, dan apa saja yang akan dipelajari oleh peserta. Kami juga mendapatkan kesempatan untuk menganalkan diri kita sebagai organisasi dan menjelaskan pemikiran kita bahwa bermain adalah proses belajar yang luar biasa, dan pentingnya bahagia saat belajar.
Dari pemikiran ini lah kita merancang Nusantara Bermain Bermakna, dimana para peserta Guru pada akhirnya bisa mengimplementasikan pendekatan Game Based Learning, dimana Guru-guru bisa memilih game-game yang sudah ada dan menghadirkan pembelajaran yang interaktif, asik, dan bermakna. Kami pun juga akan melaksanakan kelas Game Design, dimana Guru-guru dapat mendesain sendiri game yang sesuai dengan kebutuhan mengajar mereka.
Seperti rapat koordinasi yang sebelumnya sepertinya banyak Bapak & Ibu Guru yang sangat tertarik dengan konsep ini, dan banyak menanyakan tentang penggunaan games sebagai media belajar. Ludenara pun semangat, dan sudah tidak sabar untuk belajar bersama Guru-guru dan mengeksplorasi bersama potensi game untuk media belajar.
Semoga Nusantara Bermain Bermakna akan menghadirkan banyak hal baik bukan hanya untuk para peserta, namun untuk pendidikan Indonesia secara menyeluruh. Kami ingin berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada Sekolah-sekolah dan Disdik, Bandung, Bogor, Semarang, Pekalongan, dan Lombok Utara tentunya juga kepada Kemendikbudristek yang sudah memberikan kepercayaan dan dukungannya!
Banyak sekali hal yang kita inginkan dari dunia pendidikan yang nampak pada permukaan banyka ornag yang menginginkan pendidikan menambah ilmu pengetahuan anak yang sesuai dengan kurikulum. Ini terlihat dari puluhan tahun sistem pendidikan kita yang sangat mementingkan nilai ujian.
Seiring berkembangnya jaman kita semakin paham bahwa itu mungkin bukan hal yang utama apa lagi dengan adanya internet semua ilmu bisa di kases degan mudah. Lalu pendidikan menjadi sarana agar Anak-anak bisa meningkatkan soft skills mereka, seperti berpikir kritis, kreatif, dan semua 21st century skills lainnya.
Jelas tidak hanya disitu, satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah pendidikan harus mampu membantu Anak mengembangkan karakter yang moral. Sehingga mereka bisa menjadi orang yang mampu bekerja sama, memiliki keinginan untukuk membantu orang lain, dan secara menyeleuruh membuat Indonesia lebih baik.
Dari tujuan-tujuan pendidikan ini kita bisa melihat betapa luarbasanya bermain. Karena dari bermain Anak-anak mengembangkan ketiga hal ini.
Sudah banyak artikel kita yang membahas bahwa bermain membuat kondisi psikologis sangat optimal untuk membentuk ilmu baru, salah satunya ada penelitan yang menunjukan nilai ujian Anak-anak meningkat lebih tinggi saat belajar menggunakan games.
Nah diartikel ini kita coba membahas sedikit bagaimana saat bermain Anak-anak terdorong untuk mengembangkan karakter yang moral. Pertama yang jelas tidak semua macam bermain bisa ya, main video game sendirian sepertinya tidak ada dampak pada pembentukan karkater yang baik, permainan sosial lah yang dibutuhkan.
Sebuah penelitian di Indonesia menunjukan bahwa banyak nilai-nilai positif yang kita banggakan berkembang secara natural saat Anak-anak bermain, khususnya permainan tradisional.
Melalui permainan-permainan ini anak-anak belajar berbagai macam nilai-nilai budaya seperti proto demokrasi, kepemimpinan, kebersamaan, tanggung jawab, dan lain-lain (Dharmamulya, 1992).
Kita bisa mempelajari proses berkembangnya moralitas dari bapak psikologis perkembangan, Jean Piaget (1932). Melalui observasinya Jean Piaget melihat bahwa saat Anak-anak bermain dengan teman-temannya banyak sekali hal yang terajdi yang mendorong perkembangan moralitas mereka secara bertahap.
Tahap pertama saat mereka bermain pasti mereka akan mengikuti peraturan yang sudah ditentukan. Mereka juga mulai belajar manfaat dari peraturan yang baik, seperti saat main petak umpet yang mencari harus menutup matanya terlebih dahulu agar yang lain bisa sembunyi.
Mereka akan mulai sadar konsekuensi dari tidak mengikuti permainan seperti jika ada yang curang mereka mungkin bisa menang tapi mendapatkan reaksi negatif dari teman lainnya. Kalo ada Anak yang terus-terusan tidak mau mengikuti peraturan demi ingin menang Anak itu akan merasakan dampak yang sangat buruk seperti social rejection dan tidak memiliki teman yang mau diajak bermain lagi.
Ini merupakan tahap yang Piaget sebut memahami moral responsiblity, saat mereka sadar siapa yang pantas dihukum (yang membawa bola dengan tangan saat main sepak bola) dan siapa yang tidak patut di hukum (tanmpa sengaja memegang bola). Ini terjadi usia 6-9 tahun.
Belajar mengikuti peraturan memang merupakan tahap yang baik untuk membentuk karakter. Namun sangat tidak cukup, karena kita sendiri tahu bahwa peraturan tidak selamanya benar dan bisa berubah-ubah demi kepentingan yang lebih tinggi, seperti keamanan, kesejahteraan atau keadilan.
Banyak permainan seperti permainan tradisional atau saat Anak-anak bebas bermain mereka sering menegosiasi peraturan demi niali-nilai baik seperti kebersamaan. Contohnya saat sekelompok Anak-anak dengan umur berbeda-beda bermain mereka sering meringankan peraturan untuk adik-adik mereka, atau mereka yang memang memiliki disabilitas.
Seperti saat main benteng-bentengan yang membutuhkan fisik yang kuat dan lincah, mereka bisa memberi dua “nyawa”, atau saat bermain monopoli mereka memberikan uang leibh banyak di awal permainan kepada adik-adik yang jauh lebih kecil agar permainannya tetap seru, kompetitif, dan dalam konteks ini adil.
Fleksibilitas dan negosiasi akan peraturan ini sering terjadi pada anak usia 9 tahun keatas, Piaget menyembut ini Autonomous Morality saat Anak-anak mulai mempikirkan secara dalam apa yang benar dan salah, tanmpa mengandalkan peraturan.
Disaat ini mereka mulai berkembang diluar egosentrism mereka dan belajar empati, memposisikan diri sebagai orang lain, contohnya sebagai Anak kecil yang belum bisa lari kencang atau berpikir secara kompleks, tapi ingin ikut bermain.
Sumber:
Dharmamulya, S. et al. (1992). Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.
DeVries, R. (1998). Moral and Intellectual Development Through Play: How to Promote Children’s Development Through Playing Group Games. Web: http://www. uni. edu/coe/regentsctr/moral. html, 27.
Piaget, J. (1932). The moral judgment of the child. London: Kegan, Paul, Trench, Trubner & Co.
Salah satu hal yang membuat bermain semakin penting adalah kemampuannya untuk mengurangi stress kita. Khususnya dalam mengendalikan stress yang datangnya dari faktor external diluar kendali kita. Dimana meskipun kita tidak bisa berhenti memikirkannya, kita tidak punya pilihan lain selain berdoa, dan menunggu.
Dengan bermain fokus dan pikiran kita teralihkan kepada setiap momen yang berlalu dalam permainan, bukan kepada hal eksternal penyebab stress kita itu. Secara biologis juga ternyata penelitiannya sudah jelas, memang bermain sangat bermanfaat untuk ini.
Seringkali kita memikirkan stress dalam konteks kehidupan sehari-hari, namun ternyata tidak hanya saat situasi sehari-hari. Bermain tetap menjadi sarana pengendalian stress disertasi yang ekstrim! Salah satunya adalah pasca bencana alam untuk para penyintas yang bukan hanya melewati hal yang sangat tragis, sekaligus masih melewati situasi yang pasti penuh stress.
Sebuah penelitian dari Universitas Muhammadiyah Magelang meneliti 10 Paud yang terletak di daerah yang telah terkena bencana untuk melihat penggunaan permainan sebagai terapi penyembuhan trauma.
Penelitian ini menunjukan bahwa bermain merupakan terapi yang paling efektif untuk Anak-anak usia muda karena beberapa hal. Pertama kemampuan mereka untuk mengekspresikan dirinya dan memahami konsep secara verbal masih sangat terbatas. Karena itu kita tidak bisa menggunakan terapi penyembuhan trauma dan stress yang konvensional untuk orang dewasa.
Bermain sendiri merupakan cara mereka untuk mengekspresikan dirinya dan berkomunikasi, karena itu terapi terbaik untuk mereka memang dengan cara bermain. Bermain membantu mereka mencegah, dan menyelesaikan tantangan-tantangan psikologis dan mencapai tumbuhkembang yang optimal.
Anak-anak yang melewati bencana membutuhkan lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan, sebuah lingkungan yang bisa dibangun melalui bermain. Disini lah mereka bisa benar-benar menerima dirinya, mengekspresikan perasaan dan pikirannya dengan nyaman dan dengan cara yang tepat secara simbolis melalui permainan.
Nah dalam penelitian ini mereka menemukan bahwa juga banyak Guru-guru yang menggunakan permainan tradisional sebagai terapinya. Menurut para peneliti, permainan tradisional memang seharusnya lebih efektif karena bukan hanya sesuai dengan mereka secara umurnya, tapi juga secara budaya dan lingkungan mereka.
Permainan-permainan tradisional yang digunakan adalah Gobak sodor, mainan kelereng, engklek, dan Dakok & Bakikak. Asik yaaa!!
Penelitian ini menunjukan bahwa pertama semakin banyak alasan untuk bermain, dan sekarang kita tahu meskipun tingkat stress yang sangat tinggi, bermain tetap menjadi media efektif untuk menanggulanginya. Selain itu semakin banyak alasan mengapa kita harus menjaga agar permainan-permainan tradisional kita tidak punah, karena semakin jarang Anak-anak yang memainkannya, ayo ajarkan Anak-anak kita bermain!
Sumber:
Madyawati, L., & Sulistyaningtyas, R. E. (2020, May). Local Culture Games for Post-Disaster Trauma Healing in Early Childhood. In 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics and Social Sciences (BIS-HESS 2019) (pp. 508-512). Atlantis Press.
Sering kali kita menemukan anak-anak yang memiliki kecerdasan dan IQ yang tinggi tapi tidak berhasil meraih prestasi akademis yang sesuai. Sebaliknya juga kita tahu bahwa ada anak-anak yang memiliki prestasi akademis yang baik meskipun tingkat kecerdasan mereka tidak terlalu tinggi. Hal ini terjadi karena kecerdasan bukan lah satu-satu nya faktor untuk prestasi akademis (Aisha, Hamzah, & Farial, 2017).
Dalam mengukur kontribusi kesuksesan di bukunya Revolusi Kecerdasan Abad 21 (2005) Agus Efendi memberikan angka 80% untuk kontribusi EQ, dan hanya 20% untuk IQ. Ini menunjukan bahawa pembelajaran untuk kecerdasan emosional sangat lah penting.
Lalu apa metode pembelajaran untuk meningkatkan kecerdasan emosional yang efektif? Pertama kita tidak boleh lupa cara agar kecerdasan emosional berkembangan adalah, membiarkan mereka bermain dengan teman-teman nya. Nah setelah itu, untuk aktivitas bermain yang lebih tersktur seperti Game Based Learning, Role-Playing terlihat sangat ampuh dalam mengembangkan kecerdasan emosional.
Role-playing sendiri sederhana nya adalah bermain drama. Di mana anak-anak bisa memainkan peran apapun, dan di dalam skenario se-imajinatif apapun. Nah jika digunakan untuk pendidikan kecerdasan emosional, guru bisa menulis skenario terbuka dimana anak-anak harus menjalankan konflik berdasarkan emosi, dan biarkan mereka bereaksi sesuai dengan yang mereka inginkan, dan lalu bisa pelan-pelan diperbaiki oleh sang guru.
Skenario ini bisa berupa konflik antar dua pangeran yang saling memperebutkan tahta, dimana anak-anak harus belajar resolusi konflik dengan temannya. Atau pendekar yang dikhianati oleh temannya sendiri, di sini anak-anak bisa belajar memaafkan, dan cara memberi moral yang baik kepada temannya sendiri. Dan tentunya masih banyak lagi yang bisa diulik, asalkan konflik-konflik ini melibatkan banyak emosi, dimana anak itu harus bisa menganalisa diri nya dan temannya, mengekspresikan emosi, mengendalikan emosi dengan baik, dan mengatur perilaku diri yang baik.
Tentunya sangat baik jika disesuaikan dengan keterampilan emosional apa yang kita ingin ajarkan kepada siswa kita (Herlina, 2015).
Role-playing sendiri memiliki beberapa fitur yang sangat membantu anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional.
1) Melihat banyak perspektif
2) Menganalisis perilaku dan emosi diri, bersama dampingan guru
3) Banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri
4) Motivasi, dan sesi belajar yang fun!
Sumber:
Aisyah, S., Hamzah, & Farial. (2017). Efektivitas Layanan Penguasaan Konten Melalui Metode Pembelajaran Simulasi Dengan Teknik Sosiodrama Untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional Siswa Pada Kelas Vii Di Mts Al-Azhar Kec.Alalak Kab.Batola Tahun Ajaran 2017/2018. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia, ISSN. 2460-9722 , 26-32.
Efendi, A. (2005). Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesfull Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta.
Herlina, U. (2015). Teknik Role Playing dalam Konseling Kelompok. SOSIAL HORIZON: Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 2, No 1, Juni 2015. ISSN 2407-5299 , 94-107
Bahwa manusia adalah makhluk sosial, frase ini bukan hanya menjelaskan kenapa kita tidak bisa hidup bersendiri, tapi juga bahwa kita belajar, dan berkembang di dalam kondisi sosial.
Karena itu pula bukan hanya bermain, tapi proses belajar konvensional juga akan lebih efektif jika Anak-anak kita melakukannya bersama.
Kita belajar mengatur perilaku berdasarkan dua hal. Pertama kita memahami bahwa keluarga dan masyarakat memiliki preferensi untuk perilaku tertentu, kedua kita juga memiliki idealisme internal. Mempelajari ilmu dan keterampilan baru juga terjadi di dalam konteks sosial. Dari mengobservasi orang lain kita bisa membentuk ilmu, peraturan, keterampilan, kepercayaan dan kebiasaan baru. Ini ditambah dengan belajar dari konsekuensi dan tindakan kita sendiri memungkinkan kita belajar ilmu dan keterampilan yang kompleks (Schunk, 2012).
Tapi sebagai pendidik Guru maupun Orang tua, kita ingin Anak-anak kita memahami materi pembelajaran tertentu. Untuk itu kita bisa coba menghadirkan Game Based Learning.
Proses Game Based Learning ini bisa kita tingkatkan kualitasnya dengan menyesuaikan dengan teori pembelajaran social congitive. Teori social cognitive ini sangat mudah jika kita menggunakan games dan cara asik lainnya, seperti dunia nyata, interaksi dan pengaruh sosial yang terjadi saat bermain bisa meningkatkan kualitas belajar.
Berikut adalah berberapa landasan teori social cognitive yang bisa diterapkan dengan mudah, seperti mendorong terjadinya ke-4 hal ini, mengobservasi saat sedang berlangsung, dan mendiskusikannya bersama mereka setelah bermain.
Interaksi antar siswa
Photo by MI PHAM on Unsplash
Games menyediakan banyak kesempatan untuk interaksi sosial di mana proses pembelajaran bisa terbentuk (Squire, 2011). Tujuan dari proses pembelajaran sosial terhubung dengan bagaimana murid bisa berpartisipasi di dalam kelompok, menggabungkan ilmu bersama untuk mencapai suatu tujuan, menggunakan pengaruh sosial untuk mendorong murid untuk belajar.
Motivasi mengingkat karena teman
Photo by Yannis H on Unsplash
Kita semua tahu bahwa motivasi adalah faktor yang sangat besar agar proses pembelajaran memberi hasil yang baik. Di ranah ini ada penelitian yang relevan, setelah diteliti faktor apa yang membuat pemain mau bermain lagi dan lagi adalah interaksi sosial yang mereka dapatkan (Steinkuehler & Duncan, 2008). Memang ya, yang membuat bermain itu lebih seru saat kita bisa bermain bareng teman-teman kita.
Tempat untuk melatih keterampilan sosial
Photo by Christoffer Zackrisson on Unsplash
Selain mendukung dan meningkatkan efektifitas pembelajaran, memainkan game itu sendiri menyediakan banyak kesempatan pemain untuk belajar bersosialisasi. Saat bermain game kita mengembangkan seperangkat praktek sosial yang efektif (Shaffer et al., 2005). Seperti belajari bekerja sama, komunikasi, menanggapi ekspektasi sosial, berkompetisi dengan sehat, dan berbagai macam keterampilan sosial yang sangat dibutuhkan didunia kerja profesional. Jadi, salah satu dampak dari aspek sosial bermain adalah memfasilitasi pemain untuk belajar mengaplikasikan ilmu mereka dengan cara yang tepat dalam keadaan di kehidupan nyata.
Emotional Intelligence berkembang dengan baik
Photo by Husniati Salma on Pixabay
Kita tahu bahwa bermain adalah aktivitas yang sangat powerfull untuk meningkatkan Emotional Intelligence, bahkan hingga tahap leadership (Hohlbein, 2015). Banyak sekali proses yang terjadi saat bermain sehingga Emotional Intelligence anak berkembang, seperti saat mereka melakukan prilaku yang tidak baik, mereka kan menerima interaksi negatif dari teman-teman nya. Mereka akan belajar untuk menerima kekalahan dengna baik, untuk tidak terlalu sombong saat menang, untuk berkomunikasi, dan mengekspresikan dirinya secara baik.
Sumber:
Hohlbein, Patricia J., “The power of play in developing emotional intelligence impacting leadership success: a study of the leadership team in a Midwest private, liberal arts university” (2015). Theses and Dissertations. 595. https://digitalcommons.pepperdine.edu/etd/595
Schunk, D. H. (2012). Learning theories: An educational perspective. Boston, MA: Pearson.
Squire, K. (2011). Video games and learning: Teaching and participatory culture in the digital age. technology, education—Connections (The TEC series). New York, NY: Teachers College Press.
Steinkuehler, C., & Duncan, S. (2008). Scientific habits of mind in virtual worlds. Journal of Science Education and Technology, 17, 530–543. http://dx.doi.org/10.1007/s10956-008-9120-8
Shaffer, D. W., Halverson, R., Squire, K. R., & Gee, J. P. (2005). Video games and the future of learning (WCER Working Paper No. 2005-4). Madison: University of Wisconsin–Madison, Wisconsin Center for Education Research (NJ1).
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan kita mengenai “how people learn” berbagai macam pendekatan pembelajaran yang Playful pun semakin luas diterima, dan semakin banyak diterapkan. Pendekatan ini bukan hanya cocok untuk Anak-anak yang memang kodratnya harus bermain, tapi ternyata hingga remaja maupun dewasa, pendekatan Playful Learning memang masih sangat efektif (Hemmi et al., 2014).
Hal yang membuat pendekatan ini cocok untuk semua orang mungkin karena ada banyak sekali macam Playful Learning. Mungkin yang playing populer adalah Game Based Learning yang memang sudah banyak sekali penelitian yang menunjukan efektifitasnya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Tentu tidak perlu menggunakan Games agar pembelajaran menjadi menyenangkan. Beberapa contoh lain adalah Story Based Learning yang menggunakan cerita seru untuk pembelajaran, atau menggunakan media-media untuk belajar seperti menonton video/film, atau Gamification yang menggunakan elemen-elemen games dalam proses pembelajaran.
Macam-macam Playful Learning ini hanya terbatasi oleh kreativitas Guru dan Murid karena itu jelas masih banyak lagi macam pendekatan Playful. Karena itu berikut adalah 5 prinsip Playful Learning yang bisa membantu Guru untuk menerapkan atau merancang pendekatan playful untuk ruang kelas (Zosh et al., 2018), dan pasti prinsip ini juga bisa diterapkan oleh Orang tua jika ingin belajar sambil bermain bersama Anak-anaknya di rumah.
Yang lebih kerennya lagi prinsip-prinsip ini juga bisa dimasukan dalam pendekatan-pendekatan belajar yang sudah efektif agar semakin efektif lagi, seperti Project Based Learning atau Problem Based Learning.
Joyful
Ini bisa jadi prinsip paling penting yang membuat Playful Learning menjadi, ya Playful. Bahwa kita menikmati proses belajar juga yang membuat Playful Learning sangat bermanfaat. Pertama jelas dari motivasi, kita akan terus semangat belajar saat kita senang. Selain itu kebahagiaan serta emosi positif lainnya membuat pemikiran kita lebih fleksibel dan terintegrasi, dan juga meningkatkan kreatifitas (Isen, 2001).
Hal utama yang membuat kita bisa menikmati sesuatu datang dari diri sendiri, yaitu melakukan hal yang memang ingin kita lakukan bukan karena dipaksa, mencari tau sesuatu karena rasa ingin tahu bukan karena besok akan ada di ujian.
Untuk menerapkan kita bisa coba bereksperimen, apakah Anak-anak kita masih akan berpartisipasi dengan aktivitas yang kita suguhkan dan belajar meskipun tidak diwajibkan. Jika mereka mau melakukannya, mereka jauh lebih mungkin menikmati prosesnya.
Selain perasaan senang ini juga memiliki beberapa macam, dan ada yang cocok untuk suasana pembelajaran dan bisa diterapkan. Click link ini untuk membaca artikel yang membahas ini ya!
Active Learning
Jika Anak-anak secara aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran mereka akan jauh lebih memahami konten pembelajarannya dibanding saat mereka mengkonsumsi informasi secara pasif, seperti mendengarkan, membaca, ataupun menonton. Fenomena ini terlihat jelas dari pengalaman-pengalaman pribadi Guru dan juga hasil eksperimen sains (Chi, 2009).
Active learning ini terjadi bukan saat Anak-anak sekedar aktif mengerjakan sesuatu, saat mereka mengerjakan soal yang membutuhkan memori itu bukan berpikir secara aktif, melainkan mengingat. Aktivitas-aktivitas seperti bereksperimen, mengerjakan suatu project, menyelesaikan masalah merupakan bentuk dari berpikir secara aktif (Felder & Brent, 2009).
Berpikir/belajar secara aktif juga bisa sangat sederhana, seperti menanyakan pertanyaan terbuka. Hal ini mendorong Anak-anak berpikir secara aktif karena mereka tidak sekedar menebak iya atau tidak atau mengingat. Melainkan mereka harus mencari tahu bagaimana cara menjawab agar bisa meyakinkan Guru atau teman mereka bahwa mereka benar-benar memahami topik pembelajaran.
Engagement
Student engagement merupakan keterlibatan siswa yang diukur dengan tingkat perhatian, keingintahuan, minat, optimisme, dan semangat yang ditunjukkan siswa ketika mereka belajar.
Engagement bisa jadi hal yang membedakan antara belajar atau tidak. Saat belajar kita harus memisahkan semua stimulus yang masuk dari panca indra mana yang penting atau tidak dan memfiltrasi pikiran kita agar hanya memikirkan apa yang berhubungan dengan yang dipelajari.
Hal ini membutuhkan usaha mental yang berat, khususnya untuk Anak-anak yang bagian lobus frontal otaknya belum cukup sempurna untuk fungsi eksekutif seperti ini. Namun semua ini akan terjadi dengan sangat mudah, saat “flow” muncul. Kondisi mental dimana kita bisa fokus pada satu hal tanpa usaha.
Dengan Playful Learning kita mencoba meningkatkan engagement bahkan memunculkan flow pada Siswa-siswi kita. Memang menggunakan Games sangat efektif untuk ini, liat aja kalo Anak-anak main games, konsennyaa yaa ampuun. Nah kalo dibahas cara meningkatkan engagement disini pasti artikelnya jadi kepanjangan, tapi untungnya kita sudah punya tips meningkatkan engagement!
Socially Interactive
Fakta bahwa kita makhluk sosial, yang juga belajar lebih efektif dalam kondisi sosial sudah menjadi pengetahuan umm. Teori-teori pembelajaran seperti social cognitive theory oleh Bandura dan zone of proximal development dari Vygotsky telah memberikan banyak kesuksesan saat diterapkan.
Selain membuat belajar lebih efektif, belajar bersama teman-teman juga merupakan hal penting yang membuat belajar menjadi asik!
Fenomena ini pun juga telah diteliti secara rinci, ada sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 1000 orang untuk meneliti sebenarnya apa sih itu “fun”? Salah satu tipe fun yang mereka temukan adalah sociability, yaitu senang karena bersama-sama (McManus & Furnham 2010).
Sepertinya prinsip ini yang paling mudah diterapkan di antara prinsip-prinsip lain. Ingin Anak-anak lebih menikmati proses belajar? Ya ajak mereka buat belajar sama temen-temennya aja…
Meaningful
Meaningful, atau penuh arti dalam konteks pendidikan sering dimaksud sebagai konten pembelajaran yang terhubung secara personal dan nilai-nilai yang dipegang, atau bisa juga pelajar anggap penting, berhubungan dengan pengalaman pribadi, dan minat pelajar.
Seperti Siswa-siswi yang melihat contoh soal pecahan di papan tulis akan menemukan lebih banyak meaning saat mereka ditanyakan kue ini harus diapakan agar semua teman-teman kalian bisa mendapatkan porsi yang sama.
Tentu pelajar yang baik bisa menemukan arti dibalik setiap ilmu yang mereka pelajari, tapii jelas tidak semua orang bisa melakukan ini, apa lagi Anak-anak. Melainkan kita bisa membuat topik pembelajaran lebih berarti untuk Siswa-siswi kita.
Maka hal yang paling sederhana adalah menghubungkan topik pembelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari atau nilai yang mereka pegang, lebih baik lagi jika dilakukan dengan pertanyaan terbuka.
Seperti pelajaran sejarah tentang perang kemerdekaan, kita bisa tanyakan, “menurut kalian kenapa nenek moyang kita rela menyerahkan nyawa mereka demi merdeka?” Pertanyaan ini menghubungan mereka dengan nenek moyang mereka, dan nilai yang kita pengang bersama bahwa penjajahan adalah tindakan yang immoral.
Dengan pertanyaan ini meskipun mereka tidak menjawab mereka akan lebih tertarik mendengarkan kondisi sejarah kita saat dijajah dan materi lain yang berhubungan dengan perang kemerdekaan atau penjajahan.
Sumber:
Chi, Michelene. T. “Active-Constructive-Interactive: A Conceptual Framework for Differentiating Learning Activities.” Topics in Cognitive Science 1, no. 1 (2009): 73–105.
Felder, R. M., & Brent, R. (2009). Active learning: An introduction. ASQ higher education brief, 2(4), 1-5.
Hemmi, A., Narumi-Munro, F., Alexander, W., Parker, H., & Yamauchi, Y. (2014). Coevolution of mobile language learning: Going global with games consoles in higher education. British Journal of Educational Technology
Isen, Alice M. “An Influence of Positive Affect on Decision Making in Complex Situations: Theoretical Issues with Practical Implications.” Journal of Consumer Psychology 11, no. 2 (2001): 75–85.
McManus, I. C., & Furnham, A. (2010). “Fun, fun, fun”: Types of fun, attitudes to fun, and their relation to personality and biographical factors. Psychology, 1(03), 159.
Zosh, Jennifer M., Kathy Hirsh-Pasek, Emily J. Hopkins, Hanne Jensen, Claire Liu, Dave Neale, S. Lynneth Solis, and David Whitebread. “Accessing the Inaccessible: Redefining Play as a Spectrum.” Frontiers in Psychology 9 (2018): 1124.
Pasti tidak jarang Orang tua yang punya pemikiran “apa yang harus saya lakukan agar anak bisa berkembang secara maksimal?” dan dengan pertanyaan itu kita coba dorong Anak-anak agar melakukan segala macam aktivitas yang baik untuk mereka.
Pertama jelas kita coba sekolahkan di sekolah yang terbaik, pulang sekolah mereka kita ikuti berbagai macam aktivitas untuk mendorong tumbuh kembangnya seperti les musik, seni, ikut tim olahraga, dan lain-lain. Dan saat bermain pun kita ajak mereka main bareng karena kita tahu games bisa menjadi media belajar sekaligus bermain.
Iya main games Namun ada tipe bermain yang juga merupakan kebutuhan agar Anak bisa berkembang secara maksimal, yaitu Free Play! Free play terjadi ketika Anak-anak diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang mereka inginkan, dari memilih main apa, di mana, dan dengan siapa.
Free play berbeda dengan bermain games yang sudah terstruktur dengan baik, saat Free play anak-anak bebas berimajinasi, membuat dunia permainan sendiri membuat peraturan, atau bahkan bermain tanpa ada peraturan.
Hal yang paling penting adalah aktivitas ini “child-driven” bukan sebuah aktivitas dimana Anak-anak diatur oleh orang dewasa, atau bermain secara pasif seperti main video games, atau nonton tv.
Apa manfaat nya?
Mungkin untuk sebagian Orang tua sedikit mengherankan, ko bisa ya bermain sebebas-bebasnya seperti ini bermanfaat? Belajar apa mereka?
Memang Free play tidak se-edukatif permainan yang sudah tersktur dimana peraturan sudah jelas ada dan Anak-anak harus mencoba memecahkan masalah yang ada dalam game, apa lagi dengan bimbingan Orang tua yang bisa menuntun proses bermain agar semakin edukatif. Namun Free play memiliki manfaat perkembangan yang mungkin tidak secara formal edukatif.
Anak-anak juga butuh belajar mandiri dimana mereka bisa menghibur diri nya, melakukan eksplorasi melawan rasa keraguan dan ketakutan nya. Mengembangkan kemandirian ini sangat penting untuk pertumbuhan dan percaya diri mereka.
Berikut adalah beberapa manfaat Free play yang sudah diteliti oleh American Academy of Pediatrics (AAP)
Mendorong Anak-anak untuk menggunakan kreatifitas dan imajinasi mereka
Anak-anak berinteraksi dan mengeksplorasi lingkungan sekitarnya
Membantu Anak-anak untuk lebih siap sekolah dan belajar
Anak-anak berlatih problem solving dengan sendirinya
Mendorong Anak-anak untuk meregulasi dan mengendalikan dirinya sendiri
Membantu Anaka-anak membangun kemampuan mengambil keputusan
Anak-anak bersosialisasi dan belajar menyelesaikan konflik
Jika Anak-anak tidak diberikan kesempatan untuk Free play resikonya juga bisa gawat. Di A.S. telah terdata dengan baik bahwa dalam setengah abad terakhir kesempatan Free play Anak-anak berkurang secara drastis dan konsekuensi negatif nya jelas.
Berkurang nya Free play mengakibatkan berkurang nya perkembangan emosional yang mengakibatkan meningkatnya kecemasan, depresi, permasalahan dengan atensi dan kontrol diri (Gray, 2011).
Buku “The Coddling of the American Mind” juga mendokumentasi fenomena yang sama. Namun buku ini menunjukan konsekuensi lain. Yaitu Anak-anak muda yang tidak memiliki kesempatan Free play yang cukup menjadi rapuh secara sosial-emosional, mereka tidak bisa menyelesaikan masalah nya sendiri dan terlalu sering mengandalkan otoritas orang dewasa untuk menyelesaikan masalah nya.
Nah sesekali biarin aja anak main sendiri, banyak manfaat nya gak ngerepotin Orang tua lagi! Hahaha..
Namun mungkin yang repot adalah rasa khawatir, apa lagi bentuk Free play yang terbaik adalah saat Anak-anak main di luar rumah. Jika khawatir mungkin itu adalah tanda Orang tua yang harus belajar percaya bahwa sang Anak bisa menjaga dirinya. Orang tua juga harus berani melepas Anak demi kemandirian dan perkembangan mereka sendiri.
Jika dilihat dampak Video Games untuk kesehatan mental secara objective, memang Video Games memiliki sisi baik dan buruk hal ini telah kita rangkum di artikel sebelum nya.
Meskipun masih banyak perdebatan mengenai ini, di mana ada penelitian yang menunjukan dampak baik, dan ada juga yang menunjukan dampak buruk, seperti nya ada 1 kepastian yang sudah disepakati yaitu main Video Games secara moderat tidak terlalu banyak maupun sedikit, memberi manfaat paling banyak dari sisi kesehatan mental, kreativitas, peningkatan fungsi kognitif, social well being dan lain lainnya.
Diantara semua manfaat itu seperti nya kesehatan mental lah yang kita sangat butuhkan disaat pandemi yang memberikan banyak sekali tantangan dan yang membuat menjaga kesehatan mental semakin menantang, padahlan kesehatan mental ini juga penting agar kita bisa memiliki ketahanan fisik yang kuat untuk melawan pandemi ini.
Nah selain memainkan Video Games secara moderat ada beberapa hal lain yang kita bisa coba cari saat memiliki Games mana yang akan meningkatkan kesehatan mental kita dan keluarga kita. Berikut adalah 5 elemen yang bisa meningkatkan kesehatan mental dan bisa didapatkan dalam Video Games.
POSITIVE EMOTION
Kemampuan, kesempatan, dan mengalami perasaan emosi positif seperti kebahagiaan, kepuasan, dan lain nya jelas sangat penting untuk kesehatan mental.
Hal utama yang bisa dimunculkan dari video games adalah relaksasi, mengurangi stress, menghentikan kita dari terus menerus memikirkan masalah dan emosional well-being (Snodgrass et al., 2011b).
ENGAGEMENT/FLOW
Engagement dalam konteks ini adalah ketika kita benar-benar terikat dan “masuk” kedalam satu aktivitas, kehilangan “rasa” waktu, dan merasa memiliki energy yang tidak habis-habis untuk terus melakukan aktivitas itu.
Aktivitas yang secara intrinsik menarik mengeluarkan tingkat konsentrasi yang tinggi dan pengalaman yang optimal (Csikszentmihalyi, 2008). Pemain sering kali melaporkan merasa benar-benar masuk kedalam dunia games dan merasa mereka adalah karakter di dalam dunia itu (Snodgrass et al., 2011b). Engagement seperti ini meningkatkan rasa kebahagiaan (Killingsworth and Gilbert, 2010).
RELATIONSHIPS
Hubungan kita dengan orang lain berkorelasi dengan kebahagiaan, kesehatan, dan kesejahteraan secara menyeluruh. Semakin baik hubungan kita dengan Orang-orang di lingkungan kita semakin baik diri kita, dan sebaliknya.
Video Games memberikan banyak kesempatan untuk sosialisasi, dari bekerjasama untuk menyelesaikan satu quest, membuat guild atau kelompok dalam satu game, dan saling membantu untuk merasakan progress di dalam game. Bahkan ada penelitian yang menemukan bahwa Anak-anak dibawah 18 tahun pemain Multiplayer Online Games memiliki hubungan yang sangat baik dengan teman-teman online game nya, bahkan lebih baik dari teman-teman nya di dunia nyata (Yee, 2006)
MEANING
Melakukan aktivitas yang menurut kita bermakna memberikan rasa kepuasan yang luar biasa. Perasaan bahwa kita melakukan sesuatu yang bermakna muncul dari melakukan sesuatu yang memiliki tujuan baik yang lebih besar dari tujuan egois kita sendiri.
Video games khusus nya yang Multiplayer juga memberikan banyak kesempatan untuk melakukan tugas-tugas atau tantangan-tantangan yang akan memberi manfaat bagi pemain dan teman-teman pemain secara menyeluruh. Bertemu secara daring untuk bermain bersama bisa memberikan social dan emotional bond yang kuat dan memberikan makna untuk para pemain (Jones, 2014).
ACCOMPLISHMENT
Memiliki tujuan dan sasaran untuk dicapai memberikan rasa memiliki prestasi baik dan kepuasan yang berkontribusi secara besar dalam kesehatan mental.
Games pada dasarnya adalah sebuah aktivitas problem solving dimana setiap pemain akan merasakan kepuasan saat mereka berhasil melewati tantangan yang akan menjadi semakin rumit semakin kita progress di dalam tingkatan-tingkatan game itu. Ryan et al. (2006) memberi pendapat bahwa games bisa membuat pemain perasa kompeten. Ketika kita merasa jago itu tentu berkontribusi baik kepada kesehatan mental kita.
Hal lain yang menarik adalah kita bisa coba menemukan 5 hal ini dalam aktivitas-aktivitas lain selain video games, tentu jika aktivas tersebut bisa memunculkan ke-5 hal ini pasti kesehatan mental kita juga akan terpengaruhi secara baik dari aktivitas itu.
Killingsworth M. A., Gilbert D. T. (2010). A wan-dering mind is an unhappy mind. Science 330 93210.1126/science.1192439
Ryan R. M., Rigby C. S., Przybylski A. (2006). The motivational pull of video games: a self-determination theory approach. Motiv. Emot. 30 347–363
Snodgrass J., Lacy M., Dengah F., Fagan J., Most D. (2011b). Magical flight and monstrous stress: technologies of absorption and mental wellness in Azeroth. Cul. Med. Psychiatry 35 26–62 10.1007/s11013-010-9197-4
Yee N. (2006). Motivations for playing online games. Cyberpsychol. Behav. 9 772–775 10.1089/cpb.2006.9.772